"Dasar wanita g*la!” Hendra terus menggerutu sepanjang perjalanan menuju kantor. Sejak kemarin, dia benar-benar sudah putus komunikasi dengan Livia. Wanita itu memblokir semua akses untuk berhubungan dengannya. Mulai dari telepon, aplikasi mengirim pesan sampai ke akun media sosial.
Rasa kesalnya sudah diubun-ubun. Livia menghilang seperti ditelan bumi karena Vira. Entah apa yang terjadi di antara wanita simpanan dan istrinya itu tadi malam hingga Livia seakan enggan kenal lagi dengannya."Argh!" Hendra memukul kemudi mobil. Lelaki itu benar-benar dibuat sakit kepala oleh tingkah istrinya. Dia bergegas menginjak rem saat lampu lalu lintas berganti menjadi merah.Hendra sangat membenci Vira. Dalam pandangannya, Vira hanyalah wanita yang tidak punya harga diri karena dijadikan pembayar hutang oleh orangtuanya. Malangnya, karena itu dia ikut kecipratan sial. Hubungannya dengan Arlin yang sudah terjalin cukup lama harus kandas. Kisah cinta dengan wanita pujaan hatinya itu berakhir begitu saja saat Mama Lily mengatakan dia akan menikah lusa.Tanpa pemberitahuan sebelumnya, tiba-tiba Hendra telah terikat pernikahan yang sah secara hukum dan agama. Arlin terluka. Perjalanan cinta mereka selama empat tahun mendadak berhenti begitu saja.Wanita yang patah hati itu memilih pergi. Dia memilih menepi dari setiap kenangan yang mereka lewati. Membuang jauh semua angan tentang hidup bersama sang kekasih hati. Arlin pergi dengan memeluk luka yang sangat menyakiti.Tinggalah Hendra merindu sendiri. Berharap bisa mengetahui sedikit saja bagaimana kabar wanita yang sempat memenuhi hari-hari. Nihil. Arlin menghilang bak ditelan bumi.Karena itu pula lah, lelaki itu akhirnya melampiaskan semua kekesalannya pada Vira dengan cara memiliki banyak wanita simpanan. Tujuannya agar istrinya itu tidak tahan dan menggugat cerai.Namun sialnya, wanita itu justru gigih bertahan. Entah bagaimana caranya Vira selalu bisa menemukan dan mengusir setiap wanita yang sedang dekat dengannya. "Tiiiiiiiiiiin!"Lamunan Hendra terhenti saat mendengar klakson mobil di belakang. Rupanya lampu hijau telah menyala sejak tadi. Lelaki itu bergegas melajukan mobilnya kembali.Mobil mewah berwarna hitam itu memasuki gedung area perkantoran tiga puluh menit kemudian. Hendra memarkirkan mobilnya di depan lobby. Petugas keamanan sigap mengambil kunci yang diberikan Hendra untuk diparkirkan. Gedung perkantoran setinggi empat puluh lima lantai itu menjulang megah. Dengan langkah gagah Hendra memasuki lobby dengan penuh percaya diri.Senyum Hendra terkembang sempurna saat ada karyawan yang menyapa. Sebagai pimpin perusahaan, dia memang terkenal sangat ramah."Selamat pagi, Pak." Sapa Lani, sekretaris pribadi Hendra."Pagi, Lan." Hendra tersenyum lebar.Mereka berjalan beriringan. Dari jauh kedua orang itu terlihat sangat serasi. Lani memang cantik. Ditambah dengan pakaiannya yang selalu modis, membuat siapa saja betah berlama-lama memandangnya.Selera Hendra memang tidak perlu diragukan dalam memilih wanita."Sudah kau pesankan tempat untuk nanti malam?" Hendra melambatkan langkahnya yang lebar. Kepalanya menoleh sedikit ke arah Lani yang berjalan di belakangnya. "Sudah, Pak." Lani tersipu.Hendra tersenyum samar melihat rona merah di wajah sekretarisnya itu.Sesaat sebelum memasuki lift, ponsel di saku jas Hendra bergetar. Lelaki itu menghentikan langkah. Bergegas diambilnya ponsel yang terus bergetar dari tadi.Pusing.Nama yang tertera di layar ponsel. Hendra menarik napas. Vira. Untuk apa pula wanita itu meneleponnya sepagi ini? Ck! Hendra berdecak sebal. Memilih mematikan panggilan tanpa mengangkatnya."Ting!" Bunyi pintu lift terbuka.Hendra masuk ke dalam lift diikuti Lani. Tangan lentik sekretaris pribadi Hendra menekan angka empat puluh lima. Tempat tertinggi di gedung ini, ruangan tempat Hendra menjalankan bisnis yang sangat disegani. Sepersekian detik, mereka telah berpindah tempat. "Ting!" Pintu lift terbuka. Lantai empat puluh lima.Ponsel di saku Hendra kembali bergetar. Lelaki itu memilih mengabaikannya. Pasti itu Vira. Dia malas mendengar suara perempuan itu. Paling menanyakan kenapa tidak ikut sarapan."Jam sepuluh nanti ada rapat dengan rekanan bisnis, Pak."Lani menyampaikan sambil berjalan menuju ruangan. Hendra mengangguk mendengar ucapan sekretarisnya.Dia masih memikirkan Livia yang memutuskan semua akses komunikasi mereka. Apa yang sebenarnya Vira katakan pada Livia sehingga wanita itu seolah sangat jijik padanya? Bahkan, menurut informasi dari orangnya, Livia sudah pindah apartemen untuk menghindarinya. Duh!Tidak terlalu masalah sebenernya buat Hendra. Dengan kondisi finansial yang mapan serta wajah yang tampan, mudah saja baginya menjerat para perempuan. Namun, dia masih cukup penasaran dengan gadis muda bermata sipit itu. Hendra menarik napas panjang. Dia menoleh kebelakang. Sebenarnya, dia dan Lani tidak hanya terikat pekerjaan. Lebih dari itu, mereka cukup sering menghabiskan waktu bersama. Hendra tersenyum tipis, pasti Vira tidak akan mengira mereka ada affair karena dia dan Lani terikat hubungan profesionalisme kerja."Panggil Mas saja kalau hanya berdua, Lan." Hendra mensejajari langkah Lani.Perempuan berwajah cantik dan bertubuh sintal itu sedikit salah tingkah. Lantai empat puluh lima ini memang ruangan khusus Hendra. Sehingga selalu ada dirinya di meja kerja luar, menerima kalau ada tamu. Sedangkan Hendra dalam ruangan khusus. Secara otomatis hanya mereka berdua yang ada di lantai itu."Ini di kantor, Pak." Lani menunduk. Wajahnya merona merah."Justru karena di kantor jadi seru. Lebih ada tantangan. Lagi pula, tidak ada orang ini." Hendra mengedipkan mata."Iya, Pak.""Kok bapak lagi.""Eh, iya, Mas." Lani tambah salah tingkah. Hendra tertawa kecil sambil melangkah masuk ke ruangannya. Meninggalkan Lani yang berbunga-bunga di meja kerja.Atasannya itu memang romantis dan sedikit genit. Tetapi walau begitu, belum sekalipun lelaki itu berusaha memegang tubuhnya, bahkan berpura menyenggol pun tidak pernah. Dia hanya romantis dan genit di omongan. Sementara untuk sentuhan, lelaki itu seperti menghindarinya."Bapak ada, Lan?" Satu suara mengejutkan Lani yang sedang senyum-senyum karena pikirannya. "Eh, ada, Bu." Lani bergegas berdiri. Tidak menyangka istri atasannya itu datang sepagi ini."Ikut saya ke ruangan bapak.""Hah?!"Vira menggerakkan dagunya. Memberi kode pada Lani agar mengikutinya masuk menemui Hendra.Sekretaris pribadi Hendra mengangguk pelan. Sedikit bingung kenapa dia diminta ikut juga.Vira berjalan dengan langkah yang penuh percaya diri. Penampilannya sangat simpel namun terlihat elegan. Selera wanita itu memang sangat bagus dalam memadu padankan pakaian. Membuatnya selalu terlihat sedap dipandang mata."Pagi, Yang." Suara Vira terdengar empuk di telinga. Hendra yang sedang minum air putih hangat yang telah disiapkan oleh petugas tersedak. "Ini aku bawakan sarapannya."Sarapan? Hendra menatap Vira bingung. Sementara Lani gantian menatap Hendra heran. "Tolong siapkan di meja ya, Lan." Vira menyerahkan tas yang berisi makanan."Oh iya, Bu." Dengan kening berkerut Lani menata semua di meja tempat menerima tamu."Kau lihat, Lan? Bahkan untuk sarapan saja Mas Hendra minta dibawakan." Vira tertawa kecil.Sementara Hendra yang bingung hanya terpaku menatap Vira. Apa lagi yang kini dilakukan oleh istri yang tidak diinginkannya itu?"Walau pemilik perusahaan, tetapi Mas Hendra sangat irit. Kau tahulah, dia terlalu memikirkan karyawan. Takut gaji tidak terbayar. Selain itu, Mas Hendra juga memikirkan angsuran rumah dan mobil." Vira menggeleng kecil seolah prihatin. "Kau tahu, kan mobil mewah yang sering dipakainya itu? Masih kredit. Tiga tahun lagi baru lunas." Vira berjalan pelan mendekati Lani yang membeku.Pelan dia menepuk bahu sekretaris pribadi sekaligus kandidat wanita simpanan suaminya. "Jadi, kusarankan kau berpikir banyak sebelum memutuskan menjadi wanita simpanan Mas Hendra. Dia itu kere." Vira menutup mulut menahan tawa."Saya, saya tidak ada hubungan dengan Bapak, Bu." Lani menggigit bibir."Ada juga tidak apa-apa. Aku hanya memberitahumu, kalau Mas Hendra itu tidak sekaya kelihatannya."Tawa renyah Vira memenuhi ruangan.Wajah Hendra memerah. Jangankan membeli satu rumah dan satu mobil mewah. Bahkan membeli showroom mobil dan perusahaan developer yang membangun rumah itu pun dia sanggup!Vira benar-benar membuatnya mendidih.Mulut lelaki itu tertutup rapat. Matanya tajam menatap Vira yang berjalan mendekatinya. Wanita itu mendekatkan wajah mereka. Sangat dekat. Bahkan mereka bisa merasakan hembusan napas masing-masing.Vira berbisik pelan. Sangat pelan. Bahkan bunyi desing pendingin ruangan masih kalah pelan oleh suaranya."Jangan marah, Mas. Aku hanya mencoba menyelamatkanmu dari wanita-wanita matre yang hanya menginginkan hartamu saja."Hendra mendengus sebal. Sementara Vira tersenyum penuh kemenangan."Waaaaaah, masak apa ini menantu kesayangan mama?" Mama Lily tersenyum lebar melihat meja makan penuh dengan masakan."Eh, Mama? Sudah bangun?" Vira menyapa riang mertuanya yang baru saja masuk ke dapur. Sepagi ini wanita itu sudah memasak berbagai macam makanan."Sudah dong. Tadinya mama mau masak, kangen dapur. Eh lagi-lagi sudah keduluan sama menantu mama yang rajin ini." Mama Lily tertawa sambil duduk di salah satu kursi."Loh? Mama tidak bilang mau masak, tahu begitu kan Vira bisa bangun agak siangan." Vira dan Mama Lily tertawa bersama mendengar jawaban Vira."Kamu persis ibumu, Vir. Beruntung sekali Hendra bisa menikah denganmu." Mama Lily memperhatikan Vira yang dengan cekatannya memindahkan dan menata masakan di meja makan.Vira tersenyum. Wanita itu tidak tahu mana yang dikatakan mertuanya itu persis dengan ibunya. Dia bahkan tidak sempat merasakan pelukan bundanya walau hanya sedetik saja."Ibumu dulu pintar sekali memasak. Bahkan setiap ada kegiatan yang berhubungan dengan
"Vir."Vira yang sedang serius merapikan tanaman hias menoleh pada Mama Lily. selepas sarapan tadi, mereka langsung ke depan. Seperti biasa, setiap akhir pekan Mama Lily dah Vira akan asyik mengurus tanaman hias. Sementara Hendra memilih membaca surat kabar di teras sambil mendengarkan percakapan mereka."Iya, Ma?" tanya Vira sambil tangannya kembali sibuk memotong daun-daun bunga yang mulai menguning."Kamu sudah halangan belum bulan ini?"Vira mengerutkan kening mendengar pertanyaan Mama Lily. Tumben mertuanya itu bertanya tentang hal yang sangat pribadi."Baru saja selesai dua hari yang lalu. Kenapa, Ma?""Nah! Pas itu, Hen!" Mama Lily memukul kaki Hendra yang duduk di kursi belakangnya dengan menggunakan gunting untuk merapikan taman hias."Aduh! Apa sih, Ma?" Hendra mengelus kakinya yang tadi dipukul Mama Lily. Lelaki itu meletakkan koran yang sedari tadi dibacanya."Itu Vira baru selesai halangan." Mama Lily menoleh ke belakang. Mengedipkan sebelah mata pada anak laki-laki sema
Dering ponsel Vira terdengar dari dalam kamar. Wanita cantik nan manis itu bergegas masuk ke dalam. Berjalan cepat menuju kasur, tempat dia meletakkan ponselnya tadi sebelum menggoda Hendra."Ck!" Vira berdecak sebal saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya.Lama dia menimbang akan diangkat atau tidak sampai dering ponselnya berhenti sendiri. Namun, tidak lama kemudian ponselnya kembali berdering. Membuat Vira menarik napas panjang."Halo." Singkat saja Vira menyapa."Dari mana saja, Vir? Jangan sok sibuk deh. Susah sekali setiap mau dihubungi!" Suara di seberang sana terdengar."Heh! Memangnya aku tidak ada kerjaan? Asal kau tahu, kegiatanku banyak! Tidak setiap detik ponsel ini kupegang!" Vira menggertakkan gigi menahan kesal."Alah! Kegiatan apa? Sok-sokan saja kamu itu. Jangan mentang-mentang sudah jadi istri orang berduit dan hidup enak kamu lupa keluargamu sendiri!""Keluarga? Sejak kapan kita menjadi keluarga?" Vira tertawa sinis mendengar ucapan Zahra, istri ayahnya.
"Kenapa bukan ayah sendiri yang menghubungiku?!""Oh, itu, eeeee, jadi begini, Vir ….""Biar nanti aku yang menghubungi ayah." Vira cepat memotong omongan Zahra. Dia kasihan karena pasti istri ayahnya itu kebingungan mencari alasan."Vir! Vira! Ja …."Vira langsung memutus sambungan telepon tanpa mempedulikan Zahra yang masih berteriak memanggil namanya.Ponsel Vira kembali berdering. Wanita itu berdecak sebal saat melihat nama di layar. Istri ayahnya itu benar-benar menyebalkan! Dia akhirnya mematikan ponsel dan membanting alat komunikasi itu ke kasur.Wanita itu terlihat kesal. Jadi, uang kebutuhan untuk pengobatan ayahnya yang selama ini dia kirim dipergunakan oleh ibu dan saudara tirinya? Sebegitu sayang ayahnya pada mereka. Lelaki itu bahkan rela memangkas pengobatan hanya agar istri dan anak tirinya bisa hidup enak. Vira menutup wajah dengan kedua tangan. Bahunya tiba-tiba bergetar. Vira menangis. Menyesali kenapa nasib buruk ini harus menimpa dirinya. Apa gunanya hidup bergeli
"Bagaimana, Ma?" Gadis berbando coklat itu menatap mamanya dengan tatapan antusias."Ck!" Rahma berdecak sebal."Tambah belagu saja itu si Vira." Wanita dengan lipstick merah menyala itu menghentakkan sebelah kakinya. "Duh! Kenapa lagi dia, Ma?" Silmi menghempaskan badannya bersandar pada sandaran sofa. Wajahnya terlihat sangat kesal."Ya biasa, pamer kehidupan mewahnya." Rahma ikut menyandarkan tubuhnya seperti Silmi."Ck! Kapan dia transfer?" Silmi menoleh, melihat ibunya yang seperti sedang termenung memikirkan sesuatu."Entah. Katanya mau memastikan ke papamu dulu.""Ih! Nyebelin banget sih. Mentang-mentang sudah jadi istri orang kaya. Dia begitu kan karena aku juga!" Silmi melipat kedua tangannya di depan dada."Aduh!" Silmi memegang kepalanya yang terasa sakit karena digetok oleh Rahma."Jangan bicara seperti itu. Habis kamu sampai papa mendengar omonganmu." Rahma melotot ke arah Silmi."Ya, kan memang karena Silmi, Ma." Gadis berambut panjang itu menjawab pelan."Diamlah! Ibu
"Permisi." Pak Heru mengajak kedua pengawal berbadan kekar yang sedari tadi berdiri di belakangnya. "Saya masih berbaik hati karena memandang Vira, Pak Aksa. Atau saya punya penawaran bagus, biarkan Vira menjadi istri ketiga saya, maka semuanya saya anggap selesai." Pak Heru tersenyum lebar sambil mengedipkan sebelah mata pada Vira.Vira hanya tersenyum lebar menanggapi kedipan Pak Heru, membuat kedua lesung pipinya terlihat jelas."Dah, Vira." Pak Heru mencium jari telunjuk dan jari tengahnya, kemudian melambaikannya pada Vira. Wanita berlesung pipi itu hanya mengangguk sedikit pada Pak Heru.Hening. Lima menit berlalu dalam keadaan bisu di ruang tamu itu. Silmi menggigit bibir, sementara Rahma berkali-kali menghela napas."Kau kemanakan uang sebesar itu, Sil?" Suara berat Ayah Aksa akhirnya terdengar."Pa." Rahma bersuara.Ayah Aksa bergegas mengangkat tangan saat melihat Rahma akan meneruskan ucapannya. "KAU KEMANAKAN?!"Silmi langsung terisak mendengar bentakan dari Ayah Aksa."
"Arlin."Samar telinga Vira mendengar suara orang mengucapkan satu nama."Arlin."Antara sadar dan tidak, Vira terbangun dari tidurnya. Dia mengucek mata, kemudian menggeliat sambil menyibakkan selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Wanita itu kemudian duduk diantara keremangan kamar."Arlin. Maaf." Kali ini suara itu diiringi dengan isakan kecil.Vira bergerak pelan mengambil air minum dalam gelas yang terletak di atas nakas samping tempat tidurnya. Dia meneguk air dengan nikmat, sejuk terasa membasahi tenggorokannya yang kering karena pendingin ruangan menyala maksimal."Ini bukan inginku." Suara yang terdengar semakin tersedu-sedu.Wanita berwajah manis itu menarik napas panjang. Ini bukan pertama kalinya dia terbangun di tengah malam karena igauan Hendra, suaminya.Selama tiga tahun pernikahan mereka, hampir setiap malam Vira terjaga karena mendengar suara Hendra yang sesenggukan menahan tangis.Arlin.Satu nama yang selalu Hendra sebut dalam setiap mimpinya yang diiringi isakan ta
Vira mencium tangan Rahma dan berjabat tangan dengan Silmi.Itu hari pertama Vira bertemu dengan ibu dan saudara tirinya. Beberapa bulan setelah itu, Ayah Aksa dan Rahma resmi menjadi suami istri. Rumah yang tadinya sepi karena hanya ditinggali oleh dua orang, kini ramai karena ada penghuni baru.Rumah itu selalu ramai dan dipenuhi canda tawa. Sayangnya, Vira hanya bisa menjadi penonton dalam setiap adegan bahagia yang terpampang di depan mata."Vir. Cobalah hormati Mama Rahma, seperti Silmi menerima kehadiran Ayah.""Wajar saja Silmi menerima ayah. Karena ayah memperlakukan dia dengan baik!""Maksudmu, Mama Rahma memperlakukanmu tidak baik?!""Tanya saja dengan istri tersayang ayah!""Sopanlah sedikit, Vir!""Pa, cukup!" Rahma menahan Ayah Aksa yang terlihat sedikit emosi karena sikap Vira."Tidak ada uang jajan sampai kau bisa menghormati Mama Rahma dan menerima kehadiran adikmu, Silmi!"Vira terdiam. Ini pertama kali dalam seumur hidupnya, Ayah Aksa berbicara kasar padanya.Sakit.
Vira mengangguk. Kedua lesung pipinya tercetak jelas.Manis. Hendra membatin."Boleh aku tahu kenapa kau bisa bertahan setelah sekian lama? Bahkan kau masih tetap menerimaku kembali, setelah semua kesalahan yang kulakukan secara sengaja dan sadar." Hendra membelai rambut Vira yang tergerai. Wangi. Aroma mint yang sangat dia sukai."Karena aku juga belum bisa menjadi istri yang baik bagimu, Mas. Aku menyadari, dulu niatku salah. Aku terlalu berambisi membuatmu menerima kehadiranku agar bisa membungkam Silmi dan mamanya.” vira tertawa kecil mengingat masa itu. Masa-masa perjuangan saat dia hampir setiap minggu menemui wanita Hendra yang selalu berbeda.“Seiring berjalannya waktu, aku mulai mengerti tidak semua hal bisa berjalan sesuai dengan keinginanku. Satu yang kusadari, harusnya aku tidak memaksakan diri agar kau menerimaku.” Vira memiringkan tubuhnya menghadap Hendra. Tangannya menyentuh pipi Hendra pelan.Sungguh, hatinya terasa hangat. Ini pertama kalinya mereka bicara seintim i
Kabar terakhir yang dia dengar, ada upaya dari beberapa pihak yang berusaha memberikan jaminan bebas untuk Arlin. Setidaknya, dia bisa bebas walau berstatus sebagai tahanan kota. Namun, Vira tidak ambil pusing. Wanita itu sudah cukup puas bisa membuat wanita itu merasakan sempitnya ruang penjara walau hanya beberapa hari.Dari awal dia sudah tahu, Arlin tidak akan mungkin mendekam dalam penjara selama itu. Tujuannya hanya satu, membersihkan namanya dan membuat mata Hendra terbuka bahwa wanita itu tidak selemah pikirannya selama ini. Dia berharap, dengan semua yang dilakukan Arlin selama ini, suaminya bisa melupakan rasa bersalahnya pada wanita itu.“Kenapa Vira minta maaf? Bahkan detik ini, Bunda sudah tidak punya muka untuk bertemu denganmu, Nak.”Sasa yang membawa gelas minuman dan Sesa yang membawa piring berisi makanan ringan terhenti langkahnya saat akan memasuki kamar. Mereka urung masuk saat mendengar suara tangisan ibunya.Mata mereka ikut basah. Ini pertama kalinya ibu mere
“Kak Vira?” Gadis berusia sembilan belas tahun itu sedikit terkejut saat melihat siapa yang tadi mengetuk pintu rumah mereka.“Siapa, Sa?” Seorang gadis yang berusia sama muncul dari balik hordeng pembatas ruangan. Wajah mereka tampak sama. Serupa pinang dibelah dua.“Halo, Sasa, Sesa?” Vira tersenyum lebar melihat dua saudara kembar itu. Mata mereka membulat karena terkejut.“Bunda ada?” Vira kembali bertanya karena Sasa dan Sesa hanya diam dan mematung memperhatikannya.“Ada, masuklah.” Sasa akhirnya menyingkir dari pintu, memberi jalan pada Vira dan Hendra.Hendra memperhatikan rumah itu. Ruangannya terlihat bersih dan rapi walau ukurannya tidak terlalu besar. Sofa sederhana dengan bentuk leter L dan meja kaca memenuhi ruangan itu. Televisi berukuran tiga puluh dua inch terletak tepat di depan sofa.Di dinding terpasang beberapa bingkai foto. Salah satu foto menarik perhatian Hendra. Terlihat enam orang sedang berpose, tiga wanita dan tiga pria dengan latar belakang bangunan yang m
“Vira mengatakan hubunganmu dan Mama Lily sedikit renggang karena kehadiran Om Winar?”Hendra mendengus. Dia memang mengabaikan Mama Lily belakangan ini. Menganggapnya tidak ada, agar wanita itu bisa merasakan bagaimana perasaan Papa Heru yang disebutnya sudah meninggal sekian lama.“Semua memang salah Papa, Hen. Papa juga sangat paham bagaimana kecewanya mamamu pada papa. Suami yang dia dampingi dari posisi nol, setelah berjaya justru menyeleweng. Itulah sebabnya kenapa papa menjauh, karena menghargai mamamu.” Papa Heru menarik napas panjang, menyesali kebodohannya selama ini.“Sejujurnya, waktu itu papa gelap mata. Namun, karena mengerti hancurnya perasaan mamamu dan menyadari kesalahan, papa langsung menerima keputusan pisah tanpa membawa sepeser pun harta yang kami kumpulkan bersama.” Angin sepoi-sepoi kembali berhembus, menggoyangkan rambut Hendra yang sudah agak panjang.“Bukan salah mamamu dia mengatakan papa sudah tiada, andai papa mau bisa saja papa datang menemuimu ke sana.
“Pa.” Vira melambaikan tangan pada lelaki yang sedang berdiri di samping saung. Sepertinya lelaki itu sedang menatap kedatangan mereka.Hendra mengerutkan kening mendengar Vira menyapa dengan “Pa”. Dia tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. Tingkat percaya diri dan sok kenal istrinya memang patut diacungi jempol.“Vira.”Suara berat itu membuat Hendra mengangkat kepala. Vira? Mereka saling mengenal?Sekitar sepuluh meter dari saung, Hendra mematung. Walau lelaki itu menggunakan pakaian yang lusuh khas baju petani ke kebun, namun tidak menutupi wibawa seseorang yang baru saja menyapa istrinya itu.Seketika hati Hendra basah. Dia sangat mengenali sosok yang sedang menunggu kedatangan mereka itu. Walau rambutnya sudah beruban, lelaki itu masih terlihat tampan. Tubuhnya pun masih sangat gagah di usianya yang sudah tidak lagi muda.“Papa,” desis Hendra.Dia berusaha menegarkan langkah kakinya yang terasa bergetar. Jantungnya berdegup kencang sampai-sampai dia seperti bisa mendengar de
Lelaki berbaju abu-abu dengan warna yang sudah pudar itu menoleh saat mendengar beberapa suara. Dia menghentikan sejenak aktivitas mencuci tangan dan kaki di pancuran bambu yang airnya mengalir jernih. Baru saja kemarin dia memasang pancuran bambu itu. Selama ini dia langsung menciduk airnya menggunakan gayung dari batok kelapa.Melihat rimbun rumpun bambu di ujung desa saat dia akan lewat menuju sawah, melintas pikirannya untuk membuat pancuran. Benar saja, ternyata pancuran ini lebih memudahkan aktivitasnya untuk mencuci tangan dan peralatan bekas makan.Lelaki itu baru saja menyelesaikan makan siangnya. Ikan nila bakar dan tumis kangkung menemani makan siangnya hari itu. Setelah dari pagi tenaganya terkuras karena membersihkan hama di antara padi dan membenarkan pematang, menu makanannya terasa sangat sedap menyapa lidah. Ditambah dengan angin sepoi-sepoi dan lengking burung elang yang terbang rendah mencari mangsa, menambah kenikmatannya makan di atas saung kecil di tengah sawah.
“Aamiin.” awak media serentak mengaminkan, membuat Vira tertawa renyah.“Silang pendapat antara saya dan suami hari ini bukan masalah besar. Akhir-akhir ini kami memang kurang intens berkomunikasi karena saya sibuk mengurus acara empat bulanan dan Mas Hendra sibuk dengan pekerjaannya. Sudah ya.” Vira melambaikan tangan sambil tersenyum dan melenggang masuk ke gedung.Hendra mencegat Vira begitu istrinya itu lewat di depannya. Dia menarik tangan Vira pelan dan mengajaknya masuk ke dalam salah satu ruangan kosong.“Apa yang kau lakukan di sini, Vir?” Hendra menatap Vira tajam.“Maksud, Mas?” Vira mundur selangkah, membuat jarak diantara mereka tidak terlalu dekat.“Sudah kukatakan jangan ikut campur masalah keluargaku!” Hendra mengepalkan tangan.“Fokus saja pada kehamilanmu dan kesehatan Ayah Aksa. Ini bukan ranahmu. Biar kuselesaikan dengan caraku. Mengerti?!”“Ikut campur bagaimana?” Vira menatap Hendra tenang. Sementara Hendra menatapnya dengan garang.“Kenapa kau membuat pernyataa
“Ibu Savira, kenapa anda datang terpisah dengan Pak Hendra? Kenapa kalian datang padahal sebelumnya tidak? Apakah ada hal penting terkait agenda sidang hari ini.”Vira hanya tersenyum mendengar rentetan pertanyaan dari wartawan. Dia terus berjalan lurus tanpa merasa perlu menjawab pertanyaan mereka.“Tadi Pak Hendra mengatakan kalian akan menempuh jalur kekeluargaan karena mempertimbangkan posisi Arlin sebagai pimpinan perusahaan sehingga menyangkut hajat hidup orang banyak. Bagaimana tanggapan anda?” Vira menghentikan langkah dan menoleh pada salah satu wartawan yang tadi bertanya. Dia mengerutkan kening mendengar pernyataan itu.“Bagaimana?” Vira balik bertanya.“Apakah anda akhirnya memutuskan hadir karena tidak mau suami anda kembali intens berhubungan dengan Bu Arlin yang dulu merupakan pacarnya?”Vira tersenyum mendengar pertanyaan kedua ini. Dia mengaitkan kacamata hitam di kerah baju bagian dadanya sebelum menjawab.“Jalur kekeluargaan? Jujur, kalau saya pribadi belum ada renc
"Bagaimana agenda sidang hari ini, Pak Hendra? Apakah ada hal yang mendesak sehingga anda hadir? Beberapa sidang sebelumnya hanya kuasa hukum yang mewakili." Awak media langsung mengerumuni Hendra begitu lelaki itu keluar dari mobil.Hendra mengulas senyum pada wartawan yang mengikuti langkahnya. Kasus ini memang menarik perhatian publik karena dari awal Arlin sudah melempar bola kepada media. Seiring berjalannya persidangan, banyak fakta-fakta tersembunyi yang ikut mencuat, termasuk hubungan Arlin dan Hendra di masa lalu.Hal itu menarik perhatian masyarakat, karena terkuak hubungan Arlin dan Hendra bukan hanya sekedar rekan bisnis. Namun, lebih dari itu, mereka sempat berpacaran lama bahkan hampir bertunangan. Cinta mereka harus kandas karena Hendra dijodohkan dengan Vira.Romansa cinta mereka bertiga bahkan mengalahkan fokus pada kasus yang sedang berjalan. Animo masyarakat lebih tertarik untuk mengulik kisah asmara ketiganya.“Anda datang sendiri tanpa didampingi Ibu Savira? Apak