"Waaaaaah, masak apa ini menantu kesayangan mama?" Mama Lily tersenyum lebar melihat meja makan penuh dengan masakan.
"Eh, Mama? Sudah bangun?" Vira menyapa riang mertuanya yang baru saja masuk ke dapur. Sepagi ini wanita itu sudah memasak berbagai macam makanan."Sudah dong. Tadinya mama mau masak, kangen dapur. Eh lagi-lagi sudah keduluan sama menantu mama yang rajin ini." Mama Lily tertawa sambil duduk di salah satu kursi."Loh? Mama tidak bilang mau masak, tahu begitu kan Vira bisa bangun agak siangan." Vira dan Mama Lily tertawa bersama mendengar jawaban Vira."Kamu persis ibumu, Vir. Beruntung sekali Hendra bisa menikah denganmu." Mama Lily memperhatikan Vira yang dengan cekatannya memindahkan dan menata masakan di meja makan.Vira tersenyum. Wanita itu tidak tahu mana yang dikatakan mertuanya itu persis dengan ibunya. Dia bahkan tidak sempat merasakan pelukan bundanya walau hanya sedetik saja."Ibumu dulu pintar sekali memasak. Bahkan setiap ada kegiatan yang berhubungan dengan makan-makan, Zita selalu menawarkan diri dengan senang hati memasak buat semua." Zita. Yozita. Nama ibu kandung Vira. Nama yang sengaja disematkan di belakang namanya, untuk mengenang jasa sang bunda."Mama dan ibu dulu berteman dekat?" Vira meletakkan capcay, sayur terakhir yang dia siapkan."Sangat." Mama Lily tersenyum.Wanita yang masih terlihat cantik di usia senja itu menatap menantunya lamat-lamat. Mata tuanya tiba-tiba mengembun. Kelebatan ingatan masa lalu menyergap pikirannya.Pagi hari, pukul 06.30 WIB. Dua puluh sembilan tahun yang lalu."Zita." Tangan Lily muda gemetar. Wajahnya terlihat sangat kalut saat menatap wajah pucat sahabatnya yang terbaring di ranjang rumah sakit. "Zi." Sekali lagi Lily mencoba membangunkan sahabatnya.Suara pintu kamar rumah sakit dibuka lalu ditutup kembali terdengar. Bunyi sepatu yang beradu dengan lantai nyaring memenuhi ruangan. Langkah demi langkah kian mendekat."Ly." Suara berat dan serak terdengar. Suara yang sangat dikenali Lily."Aksa." Lily menatap lelaki yang tadi menyapanya. Aksara, biasa dipanggil Aksa. Lelaki itu terlihat sangat kacau."Kapan kau tiba?" Aksa berjalan mendekati ranjang Zita, istrinya.Lelaki itu duduk disampingnya, sejenak menatap wajah pucat itu. Dia lalu menggenggam tangan Zita yang terasa dingin."Baru saja," jawab Lily. Wanita yang membawa tas berwarna hijau tua itu mendesah. Tadi dia bergegas kemari saat menerima telepon dari Aksa. Lelaki itu belepotan menjelaskan dengan cepat keadaan sahabatnya itu. Pendarahan. Tidak sadarkan diri. Dalam perjalanan ke rumah sakit.Lily dan Zita bersahabat dekat. Mereka satu perjuangan saat dulu kulihat. Sama-sama mahasiswi rantau, sama-sama dari keluarga yang tidak berada, mereka mati-matian berjuang saling menguatkan agar bisa meraih gelar sarjana. Dengan semua pengalaman yang mereka lalui bersama. Maka tidak perlu ikatan darah untuk menjadi saudara. Persahabatan mereka semakin dekat, saat nenek Zita meninggal. Habis sudah keluarganya. Dia anak tunggal yang lahir dari ayah dan ibu yang juga anak satu-satunya.Keluarga mereka kecil. Saat kedua orangtuanya meninggal dalam kecelakaan, Zita hanya mempunyai seorang nenek. Saat neneknya juga berpulang, maka habislah keluarga Zita.Beruntung ada Lily yang menguatkan. Maka mereka akhirnya sudah menjadi seperti saudara kandung. Saat libur kuliah, Zita sering pulang ke rumah Lily yang diterima dengan baik oleh kedua orangtuanya."Apa kata dokter, Sa?" Lily kembali bertanya setelah hening sekian lama di antara mereka."Harus dioperasi. Ketubannya hampir habis. Mereka sedang mempersiapkan ruang operasi." Aksa memijat kepala."Bagaimana ini, Ly?" Lelaki itu menatap Lily. Matanya basah. Tadi dia kalut, tidak tahu harus menghubungi siapa. Yang terpikir dikepalanya hanya Lily. Sahabat kental Istrinya. "Apa yang bagaimana?" Lily ikut mengusap ujung matanya yang mendadak basah."Dokter mengatakan kemungkinan terburuk, hanya satu dari mereka yang bisa diselamatkan." Tangis Aksa pecah.Lily terpana. Hidungnya terasa kedat. Seserius itukah keadaannya?"Bagaimana ini, Ly? Aku ingin istri dan anakku selamat semuanya." Pedih. Sangat pedih mendengar tangisan lelaki itu. Tangisan yang penuh ketakutan akan ditinggalkan oleh orang-orang yang sangat dicintainya. "Tenanglah, Sa. Dokter mengatakan itu kemungkinan terburuk. Kita berdoa saja semoga hasil terbaik yang bisa mereka lakukan. Semoga semuanya selamat." Lily mengelus pundak Aksa. Dia mencoba menenangkan suami sahabatnya itu. Walau dalam hati dia pun sebenarnya merasa sangat ketakutan."Mas.""Zi!" Aksa langsung mengelus kepala Zita lembut."Aku …."Suara pintu dibuka membuat ucapan Zita terhenti."Bantu kami memindahkan Ibu Yozita ke brankar ya, Pak. Harus dioperasi sekarang. Kondisi gawat." Perawat menjelaskan secepat mungkin. Bergegas Aksa mengangkat istrinya. Sementara Lily membantu membawakan infuse. Mereka berlarian sepanjang lorong rumah sakit menuju ruang operasi."Ly." Zita memegang tangan Lily, sesaat sebelum masuk ke ruang operasi."Tolong. Tolong jaga anakku seperti kau menjaga anakmu." Mata Zita menatap Lily penuh permohonan."Zi!" Napas Lily tersengal karena tadi ikut berlarian mendorong brankar Zita."Jangan berpikiran macam-macam. Masuk dan melahirkanlah. Aku dan Aksa menunggumu dan anakmu di sini.""Berjanjilah, Ly! Berjanjilah kau akan menjaga anakku dengan nyawamu." Mata Zita berkaca-kaca. Wanita itu seolah telah memiliki firasat waktunya tak lagi lama."Bu. Kita harus segera masuk." Suster menyela."Aku berjanji." Janji itu akhirnya terucap dari mulut Lily. Janji yang dipeluknya dengan erat hingga kini.Lily muda menghapus air mata saat ruang operasi ditutup.Pun di sini.Pagi hari. Pukul 06.30 WIB. Dua puluh sembilan tahun setelah kejadian itu.Mama Lily menghapus air matanya yang mengalir."Mama menangis?" Vira bergegas memeluk mertuanya itu dari belakang."Ada apa, Ma?" Vira menghapus air mata di kedua pipi mertuanya.Mama Lily menggeleng.Dia benar-benar menepati janjinya pada Zita, sahabatnya.Setelah pemakaman Zita waktu itu, Aksa memilih kembali ke kota kelahirannya. Mereka hilang kontak sejak saat itu. Sampai suatu hari. Tiga tahun yang lalu. Janji yang dia ucapkan dua puluh sembilan tahun yang lalu memanggil.Aksa meneleponnya dengan suara bergetar. Lelaki itu terdengar menahan tangis. Dia memohon agar Lily mau menyelamatkan Vira, menyelamatkan masa depan anaknya.Lily menangguk mantap saat Aksa mengakhiri semua penjelasan. Tanpa banyak kata, sekejap mata pernikahan Hendra dan Vira dilaksanakan.Rahasia kecil yang tidak Vira ketahui, ayahnya melakukan itu semua justru untuk melindunginya. Melindungi putri semata wayangnya."Mama tidak apa-apa, Vir. Mama hanya kangen dengan ibumu." Mama Lily berdiri. Memeluk Vira dengan erat.Sementara sepasang mata mengawasi mereka dari pintu dapur. Tatapan mata setajam mata elang itu nyalang menatap Vira dan Mama Lily yang sedang berpelukan. Itulah yang membuat Hendra kesulitan menceraikan Vira. Mama dan istrinya itu terlalu dekat dan saling menyayangi. Hendra dapat merasakan itu.Hendra mendengus sebal. Dia masih kesal dengan Vira. Kurang dari seminggu, dua wanita yang dekat dengannya menjauh pergi. Livia yang raib bak ditelan bumi dan Lani yang mulai menjaga jarak sehingga mereka tidak sedekat dulu lagi.Lelaki itu benar-benar pusing dengan tingkah Vira yang terus-terusan mengganggu kesenangannya."Vir."Vira yang sedang serius merapikan tanaman hias menoleh pada Mama Lily. selepas sarapan tadi, mereka langsung ke depan. Seperti biasa, setiap akhir pekan Mama Lily dah Vira akan asyik mengurus tanaman hias. Sementara Hendra memilih membaca surat kabar di teras sambil mendengarkan percakapan mereka."Iya, Ma?" tanya Vira sambil tangannya kembali sibuk memotong daun-daun bunga yang mulai menguning."Kamu sudah halangan belum bulan ini?"Vira mengerutkan kening mendengar pertanyaan Mama Lily. Tumben mertuanya itu bertanya tentang hal yang sangat pribadi."Baru saja selesai dua hari yang lalu. Kenapa, Ma?""Nah! Pas itu, Hen!" Mama Lily memukul kaki Hendra yang duduk di kursi belakangnya dengan menggunakan gunting untuk merapikan taman hias."Aduh! Apa sih, Ma?" Hendra mengelus kakinya yang tadi dipukul Mama Lily. Lelaki itu meletakkan koran yang sedari tadi dibacanya."Itu Vira baru selesai halangan." Mama Lily menoleh ke belakang. Mengedipkan sebelah mata pada anak laki-laki sema
Dering ponsel Vira terdengar dari dalam kamar. Wanita cantik nan manis itu bergegas masuk ke dalam. Berjalan cepat menuju kasur, tempat dia meletakkan ponselnya tadi sebelum menggoda Hendra."Ck!" Vira berdecak sebal saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya.Lama dia menimbang akan diangkat atau tidak sampai dering ponselnya berhenti sendiri. Namun, tidak lama kemudian ponselnya kembali berdering. Membuat Vira menarik napas panjang."Halo." Singkat saja Vira menyapa."Dari mana saja, Vir? Jangan sok sibuk deh. Susah sekali setiap mau dihubungi!" Suara di seberang sana terdengar."Heh! Memangnya aku tidak ada kerjaan? Asal kau tahu, kegiatanku banyak! Tidak setiap detik ponsel ini kupegang!" Vira menggertakkan gigi menahan kesal."Alah! Kegiatan apa? Sok-sokan saja kamu itu. Jangan mentang-mentang sudah jadi istri orang berduit dan hidup enak kamu lupa keluargamu sendiri!""Keluarga? Sejak kapan kita menjadi keluarga?" Vira tertawa sinis mendengar ucapan Zahra, istri ayahnya.
"Kenapa bukan ayah sendiri yang menghubungiku?!""Oh, itu, eeeee, jadi begini, Vir ….""Biar nanti aku yang menghubungi ayah." Vira cepat memotong omongan Zahra. Dia kasihan karena pasti istri ayahnya itu kebingungan mencari alasan."Vir! Vira! Ja …."Vira langsung memutus sambungan telepon tanpa mempedulikan Zahra yang masih berteriak memanggil namanya.Ponsel Vira kembali berdering. Wanita itu berdecak sebal saat melihat nama di layar. Istri ayahnya itu benar-benar menyebalkan! Dia akhirnya mematikan ponsel dan membanting alat komunikasi itu ke kasur.Wanita itu terlihat kesal. Jadi, uang kebutuhan untuk pengobatan ayahnya yang selama ini dia kirim dipergunakan oleh ibu dan saudara tirinya? Sebegitu sayang ayahnya pada mereka. Lelaki itu bahkan rela memangkas pengobatan hanya agar istri dan anak tirinya bisa hidup enak. Vira menutup wajah dengan kedua tangan. Bahunya tiba-tiba bergetar. Vira menangis. Menyesali kenapa nasib buruk ini harus menimpa dirinya. Apa gunanya hidup bergeli
"Bagaimana, Ma?" Gadis berbando coklat itu menatap mamanya dengan tatapan antusias."Ck!" Rahma berdecak sebal."Tambah belagu saja itu si Vira." Wanita dengan lipstick merah menyala itu menghentakkan sebelah kakinya. "Duh! Kenapa lagi dia, Ma?" Silmi menghempaskan badannya bersandar pada sandaran sofa. Wajahnya terlihat sangat kesal."Ya biasa, pamer kehidupan mewahnya." Rahma ikut menyandarkan tubuhnya seperti Silmi."Ck! Kapan dia transfer?" Silmi menoleh, melihat ibunya yang seperti sedang termenung memikirkan sesuatu."Entah. Katanya mau memastikan ke papamu dulu.""Ih! Nyebelin banget sih. Mentang-mentang sudah jadi istri orang kaya. Dia begitu kan karena aku juga!" Silmi melipat kedua tangannya di depan dada."Aduh!" Silmi memegang kepalanya yang terasa sakit karena digetok oleh Rahma."Jangan bicara seperti itu. Habis kamu sampai papa mendengar omonganmu." Rahma melotot ke arah Silmi."Ya, kan memang karena Silmi, Ma." Gadis berambut panjang itu menjawab pelan."Diamlah! Ibu
"Permisi." Pak Heru mengajak kedua pengawal berbadan kekar yang sedari tadi berdiri di belakangnya. "Saya masih berbaik hati karena memandang Vira, Pak Aksa. Atau saya punya penawaran bagus, biarkan Vira menjadi istri ketiga saya, maka semuanya saya anggap selesai." Pak Heru tersenyum lebar sambil mengedipkan sebelah mata pada Vira.Vira hanya tersenyum lebar menanggapi kedipan Pak Heru, membuat kedua lesung pipinya terlihat jelas."Dah, Vira." Pak Heru mencium jari telunjuk dan jari tengahnya, kemudian melambaikannya pada Vira. Wanita berlesung pipi itu hanya mengangguk sedikit pada Pak Heru.Hening. Lima menit berlalu dalam keadaan bisu di ruang tamu itu. Silmi menggigit bibir, sementara Rahma berkali-kali menghela napas."Kau kemanakan uang sebesar itu, Sil?" Suara berat Ayah Aksa akhirnya terdengar."Pa." Rahma bersuara.Ayah Aksa bergegas mengangkat tangan saat melihat Rahma akan meneruskan ucapannya. "KAU KEMANAKAN?!"Silmi langsung terisak mendengar bentakan dari Ayah Aksa."
"Arlin."Samar telinga Vira mendengar suara orang mengucapkan satu nama."Arlin."Antara sadar dan tidak, Vira terbangun dari tidurnya. Dia mengucek mata, kemudian menggeliat sambil menyibakkan selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Wanita itu kemudian duduk diantara keremangan kamar."Arlin. Maaf." Kali ini suara itu diiringi dengan isakan kecil.Vira bergerak pelan mengambil air minum dalam gelas yang terletak di atas nakas samping tempat tidurnya. Dia meneguk air dengan nikmat, sejuk terasa membasahi tenggorokannya yang kering karena pendingin ruangan menyala maksimal."Ini bukan inginku." Suara yang terdengar semakin tersedu-sedu.Wanita berwajah manis itu menarik napas panjang. Ini bukan pertama kalinya dia terbangun di tengah malam karena igauan Hendra, suaminya.Selama tiga tahun pernikahan mereka, hampir setiap malam Vira terjaga karena mendengar suara Hendra yang sesenggukan menahan tangis.Arlin.Satu nama yang selalu Hendra sebut dalam setiap mimpinya yang diiringi isakan ta
Vira mencium tangan Rahma dan berjabat tangan dengan Silmi.Itu hari pertama Vira bertemu dengan ibu dan saudara tirinya. Beberapa bulan setelah itu, Ayah Aksa dan Rahma resmi menjadi suami istri. Rumah yang tadinya sepi karena hanya ditinggali oleh dua orang, kini ramai karena ada penghuni baru.Rumah itu selalu ramai dan dipenuhi canda tawa. Sayangnya, Vira hanya bisa menjadi penonton dalam setiap adegan bahagia yang terpampang di depan mata."Vir. Cobalah hormati Mama Rahma, seperti Silmi menerima kehadiran Ayah.""Wajar saja Silmi menerima ayah. Karena ayah memperlakukan dia dengan baik!""Maksudmu, Mama Rahma memperlakukanmu tidak baik?!""Tanya saja dengan istri tersayang ayah!""Sopanlah sedikit, Vir!""Pa, cukup!" Rahma menahan Ayah Aksa yang terlihat sedikit emosi karena sikap Vira."Tidak ada uang jajan sampai kau bisa menghormati Mama Rahma dan menerima kehadiran adikmu, Silmi!"Vira terdiam. Ini pertama kali dalam seumur hidupnya, Ayah Aksa berbicara kasar padanya.Sakit.
"Sudah berapa kali kukatakan, Vir? Kau tidak usah menyiapkan keperluanku! Aku bisa melakukannya sendiri." Hendra berdiri sambil berkacak pinggang di samping tempat tidur.Setelan jas biru navy senada dengan warna dasi, baju singlet, kemeja lengan panjang berwarna biru langit, lengkap dengan kaos kaki dan sepatu terletak rapi di atas tempat tidur.Setiap pagi Vira menyiapkan semua keperluan suaminya saat lelaki itu sedang mandi. Mulai dari pakaian sampai tas kerja yang isinya telah dia rapikan. Sehingga Hendra terima beres. Tinggal memakai baju dan langsung menenteng tas.Cus, sarapan.Kemudian tinggal berangkat ke kantor dengan tenang."Kita cukup melakukan sandiwara seperti suami istri kalau sedang di depan Mama." "Dan … di depan keluargaku." Vira tersenyum manis sambil mengedipkan sebelah mata.Hendra berdecak sebal melihat Vira sibuk menata isi tasnya. Memasukkan laptop, buku catatan, pulpen, dan banyak printilan lainnya. "Aku bingung, deh, sama kamu, Mas." Vira berjalan mendekat
Vira mengangguk. Kedua lesung pipinya tercetak jelas.Manis. Hendra membatin."Boleh aku tahu kenapa kau bisa bertahan setelah sekian lama? Bahkan kau masih tetap menerimaku kembali, setelah semua kesalahan yang kulakukan secara sengaja dan sadar." Hendra membelai rambut Vira yang tergerai. Wangi. Aroma mint yang sangat dia sukai."Karena aku juga belum bisa menjadi istri yang baik bagimu, Mas. Aku menyadari, dulu niatku salah. Aku terlalu berambisi membuatmu menerima kehadiranku agar bisa membungkam Silmi dan mamanya.” vira tertawa kecil mengingat masa itu. Masa-masa perjuangan saat dia hampir setiap minggu menemui wanita Hendra yang selalu berbeda.“Seiring berjalannya waktu, aku mulai mengerti tidak semua hal bisa berjalan sesuai dengan keinginanku. Satu yang kusadari, harusnya aku tidak memaksakan diri agar kau menerimaku.” Vira memiringkan tubuhnya menghadap Hendra. Tangannya menyentuh pipi Hendra pelan.Sungguh, hatinya terasa hangat. Ini pertama kalinya mereka bicara seintim i
Kabar terakhir yang dia dengar, ada upaya dari beberapa pihak yang berusaha memberikan jaminan bebas untuk Arlin. Setidaknya, dia bisa bebas walau berstatus sebagai tahanan kota. Namun, Vira tidak ambil pusing. Wanita itu sudah cukup puas bisa membuat wanita itu merasakan sempitnya ruang penjara walau hanya beberapa hari.Dari awal dia sudah tahu, Arlin tidak akan mungkin mendekam dalam penjara selama itu. Tujuannya hanya satu, membersihkan namanya dan membuat mata Hendra terbuka bahwa wanita itu tidak selemah pikirannya selama ini. Dia berharap, dengan semua yang dilakukan Arlin selama ini, suaminya bisa melupakan rasa bersalahnya pada wanita itu.“Kenapa Vira minta maaf? Bahkan detik ini, Bunda sudah tidak punya muka untuk bertemu denganmu, Nak.”Sasa yang membawa gelas minuman dan Sesa yang membawa piring berisi makanan ringan terhenti langkahnya saat akan memasuki kamar. Mereka urung masuk saat mendengar suara tangisan ibunya.Mata mereka ikut basah. Ini pertama kalinya ibu mere
“Kak Vira?” Gadis berusia sembilan belas tahun itu sedikit terkejut saat melihat siapa yang tadi mengetuk pintu rumah mereka.“Siapa, Sa?” Seorang gadis yang berusia sama muncul dari balik hordeng pembatas ruangan. Wajah mereka tampak sama. Serupa pinang dibelah dua.“Halo, Sasa, Sesa?” Vira tersenyum lebar melihat dua saudara kembar itu. Mata mereka membulat karena terkejut.“Bunda ada?” Vira kembali bertanya karena Sasa dan Sesa hanya diam dan mematung memperhatikannya.“Ada, masuklah.” Sasa akhirnya menyingkir dari pintu, memberi jalan pada Vira dan Hendra.Hendra memperhatikan rumah itu. Ruangannya terlihat bersih dan rapi walau ukurannya tidak terlalu besar. Sofa sederhana dengan bentuk leter L dan meja kaca memenuhi ruangan itu. Televisi berukuran tiga puluh dua inch terletak tepat di depan sofa.Di dinding terpasang beberapa bingkai foto. Salah satu foto menarik perhatian Hendra. Terlihat enam orang sedang berpose, tiga wanita dan tiga pria dengan latar belakang bangunan yang m
“Vira mengatakan hubunganmu dan Mama Lily sedikit renggang karena kehadiran Om Winar?”Hendra mendengus. Dia memang mengabaikan Mama Lily belakangan ini. Menganggapnya tidak ada, agar wanita itu bisa merasakan bagaimana perasaan Papa Heru yang disebutnya sudah meninggal sekian lama.“Semua memang salah Papa, Hen. Papa juga sangat paham bagaimana kecewanya mamamu pada papa. Suami yang dia dampingi dari posisi nol, setelah berjaya justru menyeleweng. Itulah sebabnya kenapa papa menjauh, karena menghargai mamamu.” Papa Heru menarik napas panjang, menyesali kebodohannya selama ini.“Sejujurnya, waktu itu papa gelap mata. Namun, karena mengerti hancurnya perasaan mamamu dan menyadari kesalahan, papa langsung menerima keputusan pisah tanpa membawa sepeser pun harta yang kami kumpulkan bersama.” Angin sepoi-sepoi kembali berhembus, menggoyangkan rambut Hendra yang sudah agak panjang.“Bukan salah mamamu dia mengatakan papa sudah tiada, andai papa mau bisa saja papa datang menemuimu ke sana.
“Pa.” Vira melambaikan tangan pada lelaki yang sedang berdiri di samping saung. Sepertinya lelaki itu sedang menatap kedatangan mereka.Hendra mengerutkan kening mendengar Vira menyapa dengan “Pa”. Dia tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. Tingkat percaya diri dan sok kenal istrinya memang patut diacungi jempol.“Vira.”Suara berat itu membuat Hendra mengangkat kepala. Vira? Mereka saling mengenal?Sekitar sepuluh meter dari saung, Hendra mematung. Walau lelaki itu menggunakan pakaian yang lusuh khas baju petani ke kebun, namun tidak menutupi wibawa seseorang yang baru saja menyapa istrinya itu.Seketika hati Hendra basah. Dia sangat mengenali sosok yang sedang menunggu kedatangan mereka itu. Walau rambutnya sudah beruban, lelaki itu masih terlihat tampan. Tubuhnya pun masih sangat gagah di usianya yang sudah tidak lagi muda.“Papa,” desis Hendra.Dia berusaha menegarkan langkah kakinya yang terasa bergetar. Jantungnya berdegup kencang sampai-sampai dia seperti bisa mendengar de
Lelaki berbaju abu-abu dengan warna yang sudah pudar itu menoleh saat mendengar beberapa suara. Dia menghentikan sejenak aktivitas mencuci tangan dan kaki di pancuran bambu yang airnya mengalir jernih. Baru saja kemarin dia memasang pancuran bambu itu. Selama ini dia langsung menciduk airnya menggunakan gayung dari batok kelapa.Melihat rimbun rumpun bambu di ujung desa saat dia akan lewat menuju sawah, melintas pikirannya untuk membuat pancuran. Benar saja, ternyata pancuran ini lebih memudahkan aktivitasnya untuk mencuci tangan dan peralatan bekas makan.Lelaki itu baru saja menyelesaikan makan siangnya. Ikan nila bakar dan tumis kangkung menemani makan siangnya hari itu. Setelah dari pagi tenaganya terkuras karena membersihkan hama di antara padi dan membenarkan pematang, menu makanannya terasa sangat sedap menyapa lidah. Ditambah dengan angin sepoi-sepoi dan lengking burung elang yang terbang rendah mencari mangsa, menambah kenikmatannya makan di atas saung kecil di tengah sawah.
“Aamiin.” awak media serentak mengaminkan, membuat Vira tertawa renyah.“Silang pendapat antara saya dan suami hari ini bukan masalah besar. Akhir-akhir ini kami memang kurang intens berkomunikasi karena saya sibuk mengurus acara empat bulanan dan Mas Hendra sibuk dengan pekerjaannya. Sudah ya.” Vira melambaikan tangan sambil tersenyum dan melenggang masuk ke gedung.Hendra mencegat Vira begitu istrinya itu lewat di depannya. Dia menarik tangan Vira pelan dan mengajaknya masuk ke dalam salah satu ruangan kosong.“Apa yang kau lakukan di sini, Vir?” Hendra menatap Vira tajam.“Maksud, Mas?” Vira mundur selangkah, membuat jarak diantara mereka tidak terlalu dekat.“Sudah kukatakan jangan ikut campur masalah keluargaku!” Hendra mengepalkan tangan.“Fokus saja pada kehamilanmu dan kesehatan Ayah Aksa. Ini bukan ranahmu. Biar kuselesaikan dengan caraku. Mengerti?!”“Ikut campur bagaimana?” Vira menatap Hendra tenang. Sementara Hendra menatapnya dengan garang.“Kenapa kau membuat pernyataa
“Ibu Savira, kenapa anda datang terpisah dengan Pak Hendra? Kenapa kalian datang padahal sebelumnya tidak? Apakah ada hal penting terkait agenda sidang hari ini.”Vira hanya tersenyum mendengar rentetan pertanyaan dari wartawan. Dia terus berjalan lurus tanpa merasa perlu menjawab pertanyaan mereka.“Tadi Pak Hendra mengatakan kalian akan menempuh jalur kekeluargaan karena mempertimbangkan posisi Arlin sebagai pimpinan perusahaan sehingga menyangkut hajat hidup orang banyak. Bagaimana tanggapan anda?” Vira menghentikan langkah dan menoleh pada salah satu wartawan yang tadi bertanya. Dia mengerutkan kening mendengar pernyataan itu.“Bagaimana?” Vira balik bertanya.“Apakah anda akhirnya memutuskan hadir karena tidak mau suami anda kembali intens berhubungan dengan Bu Arlin yang dulu merupakan pacarnya?”Vira tersenyum mendengar pertanyaan kedua ini. Dia mengaitkan kacamata hitam di kerah baju bagian dadanya sebelum menjawab.“Jalur kekeluargaan? Jujur, kalau saya pribadi belum ada renc
"Bagaimana agenda sidang hari ini, Pak Hendra? Apakah ada hal yang mendesak sehingga anda hadir? Beberapa sidang sebelumnya hanya kuasa hukum yang mewakili." Awak media langsung mengerumuni Hendra begitu lelaki itu keluar dari mobil.Hendra mengulas senyum pada wartawan yang mengikuti langkahnya. Kasus ini memang menarik perhatian publik karena dari awal Arlin sudah melempar bola kepada media. Seiring berjalannya persidangan, banyak fakta-fakta tersembunyi yang ikut mencuat, termasuk hubungan Arlin dan Hendra di masa lalu.Hal itu menarik perhatian masyarakat, karena terkuak hubungan Arlin dan Hendra bukan hanya sekedar rekan bisnis. Namun, lebih dari itu, mereka sempat berpacaran lama bahkan hampir bertunangan. Cinta mereka harus kandas karena Hendra dijodohkan dengan Vira.Romansa cinta mereka bertiga bahkan mengalahkan fokus pada kasus yang sedang berjalan. Animo masyarakat lebih tertarik untuk mengulik kisah asmara ketiganya.“Anda datang sendiri tanpa didampingi Ibu Savira? Apak