"Eh, Mas. K-kapan sampai?" Mei langsung tergagap, menghampiri Zaka yang tengah memandang kaget keduanya. Didu juga tak kalah kaget, segera pura-pura merapikan mangkuk bekas makan Mei barusan. Zaka bergeming, tak menyahuti Mei. Namun matanya tertuju pada Didu.
"Permisi, Pak. Saya mau kembali ke pantry," ucap Didu pelan, sambil menunduk. Satu tangan memegang alat pel, satunya lagi membawa mangkuk Mei tadi.
"Tunggu, saya belum selesai denganmu!" telunjuk Zaka menahan dada Didu, saat akan melewatinya. Wajah Didu menengang takut.
"Sssstt...aahh." Mei mendesis.
Kedua lelaki itu menoleh."Kenapa, Ma?" tanya Zaka dengan wajah khawatir.
"Perut Mama sakit, Pa," rengek Mei, berakting sangat meyakinkan. Didu pun khawatir, namun Mei segera mengedipkan matanya, memberi kode pada Didu, agar segera keluar dari ruangannya. Lelaki muda itu segera keluar, tergesa menuju pantry.
Setelah menenangkan Mei dan mengolesi minyak kayu putih pada perut istri
Selamat membaca.Jangan lupa mampir di cerita seru lainnya ya. 🥰"Terimakasih untuk pekerjaan dan tumpangannya, Mas Erik."Tara membaca pesan singkat yang ada di ponsel Erik. Namanya tidak ada, hanya nomor saja. Erik yang baru saja pulang dari kantor, langsung masuk kamar mandi. Sudah dua hari Erik memang pulang terlambat, namun dikarenakan pekerjaan di kantor yang semakin menumpuk. Tara menaruh kembali ponsel Erik, di atas meja riasnya. Lalu Tara mengambil baju kaos dan celana boxer dari dalam lemari, untuk suaminya. Sambil menunggu Erik selesai mandi, Tara bermain bersama Yusuf di atas ranjang. Bayi yang kini berusia delapan bulan itu, sangat lucu dan menggemaskan. Oh ya, sejak hari di mana Yusuf dirawat, Zaka sudah rutin menengok Yusuf dan mengajaknya bermain walaupun hanya satu jam setiap harinya. Bayi gembul itu selalu tersenyum ceria saat bersama Zaka maupun Erik.Erik keluar kamar mandi dengan tubuh berbalut handuk coklat.
"Apiiihh!" teriak Tara dalam tidurnya. Matanya terbelalak kaget. Begitu juga Erik yang terlihat kaget ,dengan teriakan Tara.Huu...haa... "Astaghfirulloh...astaghfirulloh," lafadz Tara berulang kali. Nafasnya memburu dan jantungnya berdegub sangat kencang, mimpi itu bagaikan nyata."Ya Allah, Ma. Kenapa?" Erik mengusap punggung Tara dengan perlahan."Ya Allah, Apih." Tara memeluk Erik dengan kuat. Dan menangis tersedu."Mimpi apa, Ma?" tanya Erik sambil berbisik."Mimpi Apih selingkuh!""Astaghfirulloh, amit-amit ya Allah, Ma. Mimpinya nakutin." Erik terus mengusap punggung Tara. Erik menuangkan air ke dalam gelas, yang terletak di meja samping kasur. Lalu memberikannya pada Tara, menuangkannya ke dalam mulut Tara, lalu mengusap bibir Tara dengan lembut."Sudah kita tidur lagi yuk," ajak Erik kemudian, menarik lembut lengan Tara, agar kembali berbaring bersamanya."Apih, kita tahajjud dulu yuk, Ra takut."Erik mengulum senyum.
Tara dan Arle sudah duduk di dalam ruangan Arle, Erik melanjutkan meetingnya bersama manager pemasaran dan jajarannya. Sedangkan Arle bermaksud mengerjakan kembali tugas yang diberikan Erik. Meskipun masih mengerjakan pekerjaan receh, namun sebagai salah satu anak pemilik perusahaan.Arle tetap memiliki ruangan sendiri yang cukup privasi, Arle juga memiliki seorang asisten yang membantunya. Tara sedikit gelisah menunggu Laras, masuk ke dalam ruangan Arle."Mbak jangan gugup dong, katanya jagoan," ledek Arle yang melihat Tara sedikit gugup, Arle kini sudah duduk di mejanya, sambil memandang laptopnya."Ish, orang ini kebelet pipis," sahut Tara sambil membenarkan duduknya. Arle terbahak. "Ya sudah sana ke toilet, tuh!" mata Arle menuju pintu di sudut kanan, ruangannya."Ga papa, tahan aja," sahut Tara lagi."Ntar pipis di celana lho," ledek Arle lagi."Ya tinggal suruh Laras bersihin ompol aku!" Tara terkekeh. Matanya membulat. Ide itu akh
Mei sudah memutuskan untuk berbicara pada suaminya malam ini, Mei juga sudah menyiapkan mentalnya terhadap apapun yang terjadi ke depannya. Malam ini Mei memasak masakan kesukaan suaminya, telur ceplok balado dan tumis pokcoy dengan bakso. Mei juga membuatkan brownies untuk Zaka, sambil berdebar menanti suaminya pulang, Mei duduk di sofa depan TV. Sesekali melirik ponselnya, Didu mengirimkan pesan kepada Mei agar mengurungkan niatnya untuk memberi tahu Zaka. Mei hanya membacanya, tidak berniat membalasnya.Mei sedang menyiapkan energi untuk membuka aib yang telah ia lakukan beberapa bulan lalu bersama Didu. Waktu serasa lambat berputar, sudah pukul tujuh, Zaka belum juga kembali. Padahal Zaka sudah berjanji akan makan malam di rumah.Baru saja Mei akan menelepon suaminya, Lelaki itu telah masuk ke dalam pekarangan rumah, memarkirkan mobil sedannya di samping mobil Mei. Wajah Zaka sumringah, dengan membawa tentengan sekotak pizza kesukaan Mei."Assalamualaikum,"
Sudah dua minggu, Zaka menginap di rumah Pak Aditya, barang-barang pribadinya, sudah ia ambil semua dari rumahnya bersama Mei. Rumah itu adalah hadiah pernikahan yang ia berikan pada Mei dan atas nama Mei. Jadi Zaka tidak ingin mengganggu gugat rumah tersebut. Biarlah seperti ini adanya. Rumah tersebut Zaka berikan untuk Mei. Zaka juga sudah mendaftarkan gugatan perceraiannya di pengadilan, hanya saja semua berproses.Pagi ini Zaka ikut sarapan bersama keluarga besarnya, Tara seperti biasa melayani Erik dengan telaten, walaupun wajahnya sedikit pucat, karena mengalami mual muntah di pagi hari."Kalau ga enak badan, tiduran aja Mah," ucap Erik yang melihat Tara sangat pucat."Ga papa, Pih. Masih bisa," sahutnya lemah sambil mulai menyendokkan nasi ke dalam mulut. Namun ...Ueek!Uueek!Tara setengah berlari ke wastafel yang berada di dapur. Disusul oleh Erik yang khawatir dengan keadaan Tara, Erik memijat tengkuk Tara."Pusing, Pih," bis
"Toloooong...!" teriak Mei histeris saat Didu dengan pasrah dipukuli oleh Arle. Suara melengking Mei terdengar begitu keras, sehingga beberapa orang perawat wanita dan seorang perawat pria datang menghampiri ruang tindakan Mei. Para perawat tersebut melerai, dengan menarik paksa Arle yang tengah kesetanan mengamuk, membabi buta memukuli Didu. Bahkan hingga Didu pingsan, Mei semakin terisak, tak lama pandangannya kabur.Erik menemani Arle yang dengan wajah berantakan duduk di ruangan manajemen rumah sakit. Arle telah membuat keributan, melukai orang, bahkan menimbulkan shock bagi pasien yang baru saja mengalami keguguran. Tentu saja pihak rumah sakit tidak mau tahu masalah apa yang terjadi?yang jelas Arle telah menimbulkan kerugian pada rumah sakit, serta membuat gaduh.Erik sendiri telah mendengar duduk persoalannya dari Arle. Jelas terlihat raut marah dan kecewa pada Arle. Erik mencoba bicara pada pihak manajemen, agar tidak membawa kasus ini ke meja hijau. Er
Ada sedikit mature ya (21 ).Wanita muda berparas cantik itu terbangun dari tidurnya. Saat suara gaduh terdengar sangat riuh di sebrang pintu kamar kosannya. Laras membuka mata perlahan, mengucek-ngucek matanya. "Ada apa sih?" gumamnya sambil mengintip dari balik jendela. Ternyata teman sekosannya yang bernama Ayu, diusir paksa oleh ibu kos. Laras hanya menarik nafas panjang. Untung ia selalu on time membayar uang kosan. Laras berjalan ke arah kamar mandi, diliriknya jam di dinding, sudah pukul setengah tujuh pagi. Menghampiri cermin yang tergantung di dinding, mengambil sisir, kemudian menyisir rambut panjangnya dengan perlahan. "Allahu Akbar," pekiknya histeris. Matanya hampir terjun bebas dari tempatnya. Dengan gemetar ia mengangkat tangannya, menyentuh tulang pipinya, kulit di sana tampak mengeriput. "Tidaaaakk!" teriak Laras histeris, dengan cepat matanya mencari letak ponselnya, meraihnya dari atas nakas. Gemetar Laras memencet nomor ponsel M
Erik mengangkat tubuh Tara yang luruh di lantai, setelah mengangkat telpon dari rumah sakit. Bahkan Bu Erika terduduk lemas dibantu oleh Arle menggotongnya duduk di sofa, bibik sibuk mondar mandir membuatkan teh hangat untuk Tara dan Bu Erika, sedangkan Pak Aditya langsung menuju rumah sakit tempat Zaka dirawat. "Bagaimana kondisi anak saya, Dok?" terdengar suara berat Pak Aditya menahan kesedihannya. Dokter tersebut menunduk, mencoba mengambil nafas dalam sebelum berucap."Bapak Zaka koma, Pak."Pak Aditya oleng, sampai dokter dan perawat memagangi kedua tangannya. Agar Pak Aditya tidak tersungkur di lantai rumah sakit. Pak Aditya pun mendapat perawatan medis sebentar di ruang UGD, karena nafasnya sedikit sesak, begitu mendengar kabar Zaka yang koma. "Papa...," panggil Arle saat tiba di rumah sakit. Arle menyusul Pak Aditya, setelah pihak rumah sakit menghubungi kembali keluarga Pak Aditya. Arle menghampiri papanya yang terbaring di ranjang UGD