Sreeet.
Kurasakan sebuah pergerakkan dari kasur di sampingku. Pelan memang, tapi dapat membuatku terbangun dari tidur yang belum begitu lelap.
Dalam gelapnya kamar, dapat kulihat suamiku bangkit dari tidurnya. Ah ... pastinya dia terbangun karena kebelet buang air kecil saja. Sebaiknya aku melanjutkan tidur agar badanku yang memang sedang sedikit demam ini besok lebih segar lagi.
Namun, ada yang aneh, kulihat suamiku itu berjalan mengendap-endap, seperti seorang maling yang tak mau ketahuan. Sesekali ia melirik kearahku, seperti memastikan sesuatu. Gegas aku kembali menutup mataku tak ingin ia tahu bahwa aku sebenarnya tidak tidur.
Sambil berpura-pura tidur, dapat kulihat suamiku kini membuka pintu kamar dengan sepelan mungkin, sampai tidak terdengar suara sedikit pun. Percis maling yang punya salah.
Aneh, kenapa ia harus melakukan hal itu jika hanya mau ke kamar kecil? Sebegitu takutnya kah ia menganggu tidurku?
Karena ulah aneh suamiku, Dani, barusan, aku tak dapat lagi memejamkan mata. Tak dapat kupikirkan alasan yang membuat suamiku sampai harus berjalan mengendap-endap di kamarnya sendiri. Sebaiknya kutunggu saja sampai dia kembali datang dan menanyakan alasannya.
Namun, sudah lebih dari sepuluh menit, Dani tak juga kembali. Selama itu kah waktu yang dia butuhkan untuk buang air kecil?
Rasa penasaranku semakin menggebu, akhirnya aku pun memilih untuk menyusulnya ke kamar kecil agar tahu apa yang tengah diperbuatnya kini.
Namun, tak kudapati ia di kamar kecil sama sekali. Suasana rumah pun begitu hening. Semua lampu yang tidak terpakai masih dalam kondisi mati. Tak ada tanda-tanda keberadaan Dani sama sekali.
Sebenarnya dimana dia dan apa yang sedang di lakukannya tengah malam seperti ini?
Gegas aku mencarinya di seluruh sudut rumah yang mungkin dia berada. Tapi nihil, sama sekali tak kutemukan sosoknya. Hingga sayup-sayup dapat kudengar suara orang berbincang dari teras rumah.
Apakah itu Dani, suamiku? Sedang berbincang dengan siapa dia tengah malam seperti ini?
Tanpa ragu aku pun menghampirinya. Ingin tahu siapa yang sedang berbincang dengannya. Saat semakin dekat, suara Dani semakin jelas, dan tak kudengar suara orang lain selain suaranya sendiri. Semakin penasaran aku pun mendekat. Namun, belum juga kubuka engsel pintu ruang tamu, dapat kudengar isi perbincangannya.
"Iya ... nanti kamu kabarin aja kalau udah free, biar kita bisa jalan bareng."
Dari balik pintu ruang tamu yang tertutup rapat aku mengupingnya. Sambil mengintip melalui jendela kulihat suamiku itu sedang berbincang dengan seseorang yang entah siapa lewat telepon.
"Oke, kemana pun aku siap asal dengan kamu, Tuan Putri."
Tuan putri? Berarti Dani tengah menelepon seorang wanita. Apa Dani berselingkuh di belakangku, dan wanita yang di teleponnya itu adalah selingkuhannya?
Ingin aku melabraknya saat ini juga menanyakan dengan siapa dia saling bertelepon tengah malam seperti ini, tapi pasti ia akan mengelak.
"Haha ..., siap! Apa pun yang kamu mau aku pasti akan penuhi. Buktinya sudah kubelikan tas seperti yang Shania punya 'kan?"
Siapa sebenarnya wanita itu? Kenapa Dani sampai membawa-bawa namaku, apa wanita itu mengenaliku? Ah... andai aku membawa ponsel akan kurekam apa yang kudengar ini sebagai bukti.
"Siap, Sayang, kita lanjut besok lagi ya, aku takut Shania bangun nih."
Rupanya Dani akan segera mengakhiri percakapan teleponnya itu. Aku harus segera kembali ke kamar sebelum ia menyadari keberadaanku yang tengah menguping percakapannya.
Beruntung aku bisa segera kembali ke kamar sebelum Dani kembali ke dalam. Gegas kututupi tubuhku kembali dengan selimut. Sebisa mungkin bersikap seolah tak ada yang terjadi.
Tak lama kudengar suara pintu kamar terbuka, dari balik guling yang menutupi wajahku dapat kulihat Dani berjalan mengendap-endap kembali memasuki kamar lalu membaringkan tubuhnya dengan perlahan di sampingku, setelah sebelumnya mengecup lembut keningku.
Menjijikan, setelah dia berbincang dan saling memanggil sayang dengan wanita lain, bisa-bisanya ia masih mengecup keningiku seolah tak memiliki salah apa pun. Dia tidak tahu saja bahwa aku tidak tidur dan sudah mengetahui permainan busuknya.
****
Keesokan harinya kami berdua bersikap seperti biasa. Walau kesal, aku tetap menjalankan kewajibanku sebagai istri dengan baik. Memperisapkan segala keperluan Dani untuk bekerja.
Andai saja aku memiliki bukti percakapannya semalam di telepon, pasti dia sudah kusidang saat ini. Rasanya geram sekali mengetahui bahwa suamiku bermain api di belakangku.
Dani pun tetap bersikap manis seperti biasa. Ia mengecup keningku dan memeluk erat tubuhku sebelum berangkat, saat aku mengantarnya ke depan untuk melepasnya pergi bekerja.
"Duh, mesranya kalian seperti pengantin baru saja!" ujar Haya, tetangga kami, dari balik pagarnya.
Karena sedang bad mood juga tak enak badan aku hanya menjawab ucapan Haya barusan dengan senyuman. Tanpa mau terlibat perbincangan sedikit pun dengannya.
Sedang suamiku membalasnya dengan senyuman ramah, dan berbasa-basi, "Mau berangkat kerja, Mbak?"
"Iya nih, Mas. Kebetulan mobil saya mogok. Palingan saya naik ojeg online saja," jawab Haya sambil tersenyum manis sekali. "Ya beginilah nasib tinggal seorang diri, jauh dari suami. Kalau ada hal urgent gini gak ada yang bantu urusin," lanjutnya dengan wajah memelas yang dibuat-buat.
Ya, Haya memang tinggal seorang diri di rumahnya. Ia sudah menikah, tapi suaminya pulang sekitar enam bulan sekali karena bekerja di kapal pesiar.
"Loh ... dari pada naik ojeg, mending bareng saya, Mbak. Kebetulan tempat kerja kita juga kan searah." Tanpa meminta izinku Dani menawarinya tumpangan.
Dasar laki-laki. Sudah berani selingkuh di belakangku. Sekarang malah curi-curi kesempatan untuk dekat dengan tetangga cantik seperti Haya itu.
"Yang benar, Mas? Syukurlah kalau begitu. Saya jadi gak usah naik ojeg hari ini."
"Iya benar, ayo Mbak, kita berangkat." Dani pun segera membukakan pintu penumpang agar memudahkan Haya untuk naik.
Dengan bersemangat Haya segera datang. Tanpa permisi ia melewatiku begitu saja menuju pintu mobil yang telah dibukakan oleh Dani barusan.
Saat Haya tepat melintas di hadapan, aku merasa seperti ada yang aneh dengan penampilannya. Tapi entah apa. Beberapa saat aku memerhatikannya, mencari tahu apa yang nampak aneh itu.
Hingga tatapanku jatuh pada tas yang tengah dikenakan Haya. Tas berwarna cokelat tua dari salah satu brand ternama yang sama persis dengan yang kumiliki. Tiba-tiba aku teringat percakapan Dani semalam di telepon, bahwa ia sudah membelikan selingkuhannya tas yang sama dengan yang kumiliki. Dan Haya kini memakai tas yang juga sama percis dengan milikku
Apa jangan-jangan ..., Haya lah selingkuhan suamiku yang ditelepon olehnya semalam?
****
Jantungku berdebar kencang saat mengetahui kemungkinan bahwa bisa jadi Haya adalah selingkuhan suamiku. Mengingat betapa pedulinya Dani padanya selama ini.Aku jadi teringat Dani sering memintaku untuk mengirim masakan yang kumasak pada wanita itu. Kasihan katanya karena Haya wanita karier yang tinggal sendiri. Sering juga kulihat Dani mengajak berbincang Haya di teras rumah, walau hanya berbasa-basi, tapi menurutku intensitas kedekatan mereka lebih banyak dibanding denganku yang sesama perempuan.Lalu tentang tas itu ..., pantas kan jika aku curiga?Kulepas kepergian suamiku dan Haya dengan gemuruh di dada juga rasa penasaran yang teramat sangat. Aku harus segera membuktikan siapa yang ditelepon oleh suamiku semalam, lalu segera mengambil sikap padanya.Tak mau pernikahanku yang baru berjalan empat tahun ini harus diwarnai dengan pengkhianatan. Aku memang belum bisa memberikan Dani, anak. Tapi apa pun itu, tak ada alasan untuk sebuah pengkhianatan janji suci pernikahan.****Seperti
Namun, tiba-tiba ..., brak ....Ponselku terlepas dari genggaman begitu saja, dan menimbulkan suara yang cukup nyaring."Apa itu?" ucap Dani tersentak.Gegas kuambil ponsel yang terjatuh tersebut, lalu dengan cepat berlari ke kamarku agar Dani tidak mengetahui bahwa aku menguntitnya. Segera 'ku tutupi lagi tubuhku dengan selimut seperti semula. Nafasku terengah-engah karena berlari kencang sambil berjinjit agar tak menimbulkan suara.Tak lama Dani pun datang. Ia langsung menjatuhkan tubuhnya di sampingku."Shania, kamu kenapa keringatan begini? Nafasmu terengah-engah dan badanmu dingin?" tanya Dani sambil mengusap keningku.Jantungku berdebar makin kencang, semoga Dani tidak curiga denganku. Aku pun memilih untuk berpura-pura baru terbangun dari tidur."Eeeh ... A-aku mengigil, Mas!" jawabku tak sepenuhnya berbohong. Karena pada kenyataannya tubuhku benar-benar menggigil karena menahan kesal teramat sangat padanya."Kamu sakit? Mau kuambilkan obat?" tanya Dani khawatir. Sepertinya a
Segala pikiran dan perasaan berkecamuk menjadi satu. Ingin segera kulabrak mereka saat ini juga. Tapi aku sadar diri aku hanya sendirian. Tidak memiliki kekuatan apa pun.Dengan pikiran kalut aku mencoba mencari tahu apa yang bisa kulakukan saat ini. Kulihat ponsel di tangan. Aku harus menghubungi seseorang yang bisa berpikir logis dan bergerak cepat atas semua ini. Segera saja kucari nomor telepon ketua RT yang memang tinggal tak jauh dari rumah."Pak, maaf mengganggu malam-malam. Tolong saya, Pak! Suami saya ...," ucapku panik saat telepon diangkat."Kenapa dengan Pak Dani, Bu? Sakit?""Bukan, Pak.. suami saya. Dia ada di rumah Haya, istri Pak Emil yang sedang berlayar itu. Entah apa yang sedang mereka lakukan. Aku takut membayangkannya.""Ha ... jam segini mereka berduaan?!""Iya, Pak. Tolong saya, Pak. Saya tak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya takut melihat mereka sedang macam-macam.""Baik, Bu! Bu Shania yang tenang dulu ya, saya akan segera ke sana."Aku pun menunggu Pak
Aku tak menyangka, kelakuan bejatku bersama Haya akan ketahuan. Dua security komplek, Pak RT dan juga Shania, memergokiku yang sedang bersama Haya.Padahal ini pertama kalinya kami melakukannya. Setelah sekian lama aku menahan diri menolak ajakan Haya karena tak mau kejadian seperti ini terjadi. Tapi nahas, yang kutakutkan benar saja terjadi.Shania marah besar, ia menampar pipiku keras. Aku tahu, aku memang salah telah melakukan hal ini. Tapi aku pun tak sepenuhnya salah, karena Haya terus saja menggodaku. Menawarkan sesuatu yang sulit untuk kutolak.Kucing tak akan menolak ikan, 'kan?Tapi ternyata tak sampai di situ, Shania juga mengetahui hubunganku dengan Risa, karyawannya sendiri. Aku benar-benar kecolongan. Jadi selama ini Shania tahu setiap malam aku menelepon Risa untuk menghilangkan penatku.Apa jangan-jangan dia juga tahu bahwa kami sering jalan keluar?Nasib buruk kini benar-benar menimpaku. Entah apa yang terjadi dengan rumah tanggaku setelah ini. Harusnya aku mendengar p
Tak kusangka, aku hamil tepat di saat aku mengetahui bahwa suamiku telah bermain gila dengan wanita lain. Entah ini anugerah atau musibah. Karena bahkan kini aku tak bisa berpikir apa-apa lagi.Kulihat binar bahagia di mata Dani ketika mengetahui berita kehamilanku. Ia segera menghampiri dan menggenggam tanganku. Sebenarnya aku jijik bersentuhan dengannya lagi. Tapi aku begitu lemah sampai-sampai tak memiliki tenaga untuk sekedar menyingkirkan tangan lelaki bej*t itu dari tanganku."Shania, kita akan menjadi orang tua. Shania! Impian kita selama ini terwujud," ucapnya penuh kebahagiaan. Tapi tidak denganku. Sungguh rasanya aku ingin bertanya pada Tuhan, kenapa ia harus memberikan kehamilan padaku saat ini. Saat aku sudah bulat berpisah dari suamiku. Kenapa bayi itu harus ada di perutku di saat aku tidak menginginkannya?"Shania ... kamu masih marah padaku? Kumohon Shania, maafkan aku. Aku berjanji akan berubah. Demi anak kita, Shania!" bujuknya sambil mengecup punggung tanganku.Den
"Bapak memukuli Mas Dani, sampai babak belur." jawabnya singkat, wajahnya masih nampak bete. Barangkali ia merasa terganggu karena masalah ini membuat waktu tidurnya hilang. Salsa memang hobi tidur, dan sangat sulit dibangunkan. Pasti tadi ia juga di paksa ikut oleh Bapak dan Ibu kemari. "Baguslah, aku malah berharap aku yang akan melakukannya," timpalku kesal.*****Kini aku sudah berada di rumah. Tepat pukul lima subuh kami beranjak pulang kembali. Rasanya aku ingin sekali beristirahat. Merebahkan tubuhku sebentar saja. Karena sudah beberapa hari ini aku tidak tidur dengan benar.Ayah sedang berada di luar bersama pihak RT dan RW. Entah apa yang sedang dibicarakan dan dilakukan mereka. Kuserahkan semua kasus ini pada Ayah. Karena aku sudah tak mau lagi memikirkannya.Sementara itu ibu membuatkan segelas susu dan teh hangat. Ia juga memasangkan aromaterapi di kamar agar membuatku lebih nyaman, lalu membiarkanku beristirahat tanpa membahas masalah Dani lagi. Aku memang memintanya unt
"Kak Shania, apa yang kamu lakukan?"Tiba-tiba Salsa datang, memekik kaget. Ia lalu menghampiriku dan dengan sigap mengambil pisau dalam genggamanku. "Jangan gegabah, Kak! Kakak bisa saja masuk penjara jika seperti ini!" bentaknya lagi."Mas Dani, pergi sana, jangan dekati kakakku lagi!" Salsa membentak Dani keras sambil memelototinya. Dani pun tanpa membantah sedikit pun segera berlalu meninggalkan kami.Aku seketika terduduk lemas di lantai dapur sungguh melelahkan semua ini. Fisik, hati dan pikiran terkuras habis hanya karena masalah yang suamiku buat."Kak, kamu baik-baik saja?" tanya Salsa serqya berjongkok disampingku."Bagaimana aku bisa baik-baik saja, Salsa? Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri suamiku bermain gila dengan wanita lain? ""Bagaimana aku bisa baik-baik saja sementara dia juga ternyata main gila dengan karyawanku sendiri?""Bagaimana mungkin aku bisa baik-baik saja sedangkan aku sekarang hamil dari benih seorang baj*ngan seperti Dani?""Ini gila, Salsa ... i
"Tidak, masalah ini harus selesai dengan hukum. Anak kalian harus menerima akibatnya hukuman yang setimpal karena perbuatannya!" tegas Bapak."Shania, kudengar kamu hamil, kamu harus memikirkan anakmu. Jika Dani dipenjara kasian anakmu nanti," lontar Mama, seraya mendekatiku, memegang tangaku keras."Cih ..., persetan dengan Dani. Aku lebih kasihan jika anak ini lahir dan mengetahui ayahnya adalah lelaki bajing4n!" bentakku, sambil menghempaskan tangan mama mertua dari tanganku."Shania, jaga ucapanmu. Dani hanya khilaf, semua manusia punya kesalahan!" elak Mama, membela anaknya."Apa aku harus memaafkan kesalahannya setelah aku melihat dengan mata kepalaku sendiri dia berbuat mesum? Apa Mama akan memaafkan jika itu terjadi pada diri mama sendiri? Harus Mama dan Papa tahu, Dani tak hanya berselingkuh dengan satu wanita. Tapi dua. Dan entah ada berapa lagi yang tidak aku ketahui!" Kukeluarkan semua emosiku pada mereka."Tapi penjara bukan solusi, Shania! Kita cari solusi lainnya bersam
Tiga bulan kemudian.Aku baru saja pulang dari persidangan pembacaan hukuman untuk Haya dan mulai berkutik kembali dengan pekerjaanku yang cukup menumpuk karena selalu terpotong karena kasus Haya ini. Tapi, selama mengikuti persidangan Haya, aku jadi tahu bahwa setelah bebas dari penjara kemarin ternyata Haya dan Dani masih berhubungan, bahkan saat Dani telah menikah dengan Salsa pun mereka masih sering bertemu. Menjijikan sekali.Lalu ternyata saat hari percobaan pembunuhan itu Haya yang memasang GPS pada ponsel Dani mengikutinya sampai ke Bogor. Ia marah besar saat mengetahui Dani malah menikah dengan wanita lain dan bukannya menepati janji untuk menikah dengan dirinya. Akhirnya Haya pun mengatur rencana untuk membunuh Dani. Pada malam setelah pernikahan, Haya memberikan minuman berisi obat tidur pada semua orang yang ada di rumah tempat berlangsungnya pernikahan Dani. Lalu setelah semuanya terlelap dia pun menyerang Dani dengan berbekal pistol yang didapatn
Setelah melepas semua emosinya akhirnya Salsa tertidur di kursi ruang tengah. Kini Ibu dan Bapak yang menemaninya karena aku harus menyusui Dewa.Ibu dan Bapak sangat terluka ketika mengetahui ulah Dani. Lagi, mereka harus menerima anaknya disakiti oleh lelaki yang sama. Seharusnya Salsa mengikuti ucapan kami yang melarangnya menikah dengan lelaki berengs3k itu agar semua ini tak terjadi.Saat sedang menyusui, tiba-tiba kulihat ada panggilan telepon dari Emil. Gegas aku mengangkatnya."Shania, kau tahu Haya sudah tertangkap?" tanya Emil.Ah ..., aku hampir saja melupakan kasus Haya. Meninggalnya Kayla dan kabar Dani menikah lagi membuat aku melupakan masalah yang satu itu."Syukurlah kalau dia sudah tertangkap. Di mana memang dia sembunyi?" tanyaku penasaran."Di Bogor.""Wah ..., jauh juga ya dia melarikan diri. Syukurlah polisi bisa menemukan dia," ucapku merasa lega. Setidaknya satu persatu masalah selesai."Tapi, Shania ...," ucap Emil terput
POV ShaniaRumah kini kembali sepi setelah Kayla dimakamkan dan para pelayat pun berangsur pulang. Suasana duka masih terasa menyelimuti seisi rumah.Rasanya ada yang aneh, setelah sebelumnya kami selalu mendengar celoteh Kayla yang mulai terdengar, kini semua tinggallah hening.Sedangkan Salsa, sejak pulang dari rumah sakit terus mengurung diri di kamar. Ia bahkan tak ikut dalam prosesi pemakaman, lebih memilih berdiam diri dan meratapi semuanya.Sejujurnya aku khawatir pada kondisinya. Sungguh aku akan merasa lebih tenang jika Salsa mengungkapkan emosinya, menangis, meraung-raung atau apa pun itu. Bukannya hanya berdiam diri seperti saat ini.Berulang kali Bapak dan Ibu memintanya keluar dan berkumpul bersama kami. Tapi sama sekali tak ada respon darinya.[Kak, apa Tuhan sedang menghukumku?]Sebuah pesan tiba-tiba masuk ke ponselku saat aku tengah membereskan perlengkapan Dewa. Dari Salsa.[Tapi kenapa harus K
Sungguh aku tak habis pikir apa yang ada di benaknya hingga Haya bisa berpikir seperti itu. Ia terus saja menagih janjinya agar aku mau menikahinya.Seperti saat ini, aku hanya bisa menarik nafas panjang atas permintaannya ini. Tak mungkin kan aku menikahinya di saat aku sudah menikah dengan Salsa lalu sebentar lagi saja aku akan menikahi Mirna?Aku memang suka bersama wanita, tapi tidak untuk menjadikan mereka istriku semuanya.[Aku ..., mencintaimu, Dani. Aku melakukan ini semua agar bisa segera hidup denganmu] ucapnya lagi melalui pesan.Mama yang melihat aku terus sibuk dengan ponselku, seketika mengambilnya paksa dari tanganku."Kamu jangan sibuk dengan ponsel terus, Dani! Sebentar lagi kamu menikah! Biar Mama saja yang pegang ponselmu ini. Agar nanti Salsa atau siapa pun tak akan mengganggumu!" ujar Mama sambil memasukkan ponselku dalan tasnya.****Keesokan harinya prosesi akad nikah dan resepsi berjalan lancar. K
Kadang terbersit rasa bersalah pada Salsa jika ingat sebentar lagi aku akan menduakannya. Dia saja belum aku bahagiakan dengan baik. Aku masih belum mendapat pekerjaan yang layak, dan harus membuatnya terus bertengkar dengan Shania karena belum bisa memberikannya rumah yang layak.Ya ..., walau memang rumah yang ditempatinya kini pun masih bisa dibilang rumahku juga sih, karena aku membelinya berdua dengan Shania. Salahnya aku waktu itu malah membiarkan sertifikat rumah ini atas namanya. Tapi ... toh nasi sudah menjadi bubur. Yang penting aku masih bisa tinggal di sini bersama anak dan istriku.Saat menikah dengan Salsa aku sempat berjanji menjadikan ia wanita satu-satunya. Tapi ternyata terpaksa kini aku harus menarik janjiku sendiri. Semua itu kulakukan demi baktiku pada kedua orang tuaku. Juga demi ... Mirna, gadis manis yang polos itu.Sesaat sebelum aku berangkat, Kayla terus menangis. Segala cara sudah aku dan Salsa coba agar anak itu terdiam dan bis
POV Dani[Dani, jangan lupa hari Kamis nanti kita akan ke Bogor. Keluarga Mirna sudah mempersiapkan segala keperluan untuk pernikahan kalian!]Kubaca ulang pesan yang dikirimkan oleh Mama beberapa saat yang lalu dan segera menghapus isi pesan tersebut sebelum Salsa membacanya.Ya, Mama terus memaksaku untuk menikah dengan Mirna, anak dari salah satu kolega Ayah."Mumpung masih ada yang mau menjadi istrimu, Dani! Kau tahu sepak terjangmu sangat parah sekali. Untung saja orang tuanya percaya pada ayahmu. Jadi mau saja menjadikanmu menantunya!" terang Mama saat memberitahukan perihal pernikahan ini."Bapaknya Mirna itu punya perternakan sapi yang besar. Kamu kalau sudah menikah dengan Mirna yang akan mengurusnya. Hidupmu akan kembali seperti dulu lagi jika menikah dengannya!" terang Mama tanpa kuminta sedikit pun.Tentu saja aku menolak ide wanita yang telah melahirkanku itu dengan keras. Aku kan sudah bertekad untuk bertobat, hanya ing
Saat di kantor polisi drama pun terjadi. Fani, yang datang tak lama setelah diberitahu tentang kondisi Ardi tak terima atas pelaporan yang kubuat. Tapi ia juga tak dapat mengelak atas tuduhan teror dan rencana menghancurkan usahaku. Karena semua percakapan rencana mereka tersimpan dalam ponselnya.Sementara itu yang wanita yang paling ingin kutemui saat ini--Haya-- malah kabur ketika polisi memanggilnya untuk datang. Ia bahkan kini sama sekali tak bisa dihubungi. Entah kemana perginya wanita itu. Emil pun sudah berusaha menghubungi beberapa kerabat yang ia kenal untuk mencari keberadaannya. Tapi Nihil, semua mengatakan tidak bertemu dengan wanita itu."Aku melakukan semuanya atas perintah Haya!" ucap Fani, membela dirinya sendiri sambil menangis meratapi semua saat polisi meminta penjelasan atas semuanya."Tapi kamu yang merencanakan semuanya, kan? Menyuruh Ardi melamar di tempatku dan memintanya mengganti sepsifikasi kain!" bentakku penuh murka.
"Apa kau jujur? Apa semua ini tidak ada sangkut pautnya dengan Fani Ghaisani, kakakmu?" tanyaku to the point Sektika kulihat Ardi pun memucat. "Bu Shania tahu?""Tentu saja aku tahu. Kau tidak bisa menyembunyikan jati dirimu terus. Jadi, jujur padaku. Kau sengaja kan melakukannya? Apa Fani yang menyuruhmu?" selidikku. Menatapnya tajam."Tunggu, Fani Ghaisani. Sepertinya aku mengenalnya. Apa dia tinggal di perumahan Nirmala?" sela Emil tiba-tiba."Ya, yang kutahu dia tinggal di sana. Juga Ardi. Entah kalau dia sudah pindah atau memiliki rumah lainnya," jawabku, kesal."Apa kamu juga kenal dengan Haya, Ardi?" tanya Emil tiba-tiba. Membuatku mengernyitkan kening. Apa maksud pertanyaan Emil, sebenarnya?"A-aku ti-tidak mengenalnya, Pak," jawab Ardi tergagap. Siapa pun akan tahu jika dia berbohong.Seketika Emil mengambil paksa ponsel Ardi. "Apa, kata kuncinya?" todong Emil. Ardi makin memucat, keringat sebesa
"Gawat, Shania! Semua pelanggan komplain dengan produk yang mereka terima. Ternyata kain yang kita pakai mengkerut, sehingga dress yang mereka pesan tidak bisa dipakai lagi," ujar Emil melalui telepon.Kini aku seorang diri di rumah. Karena Kayla yang terkena pneumonia harus dirawat di rumah sakit, maka Salsa, Ibu dan Bapak menemaninya.Lalu berita buruk itu datang. Aku mengetahui komplen ini bukan hanya dari Emil, tapi sejak semalam ponselku pun tak henti berdering mendapat komplen dari para pelanggan. Mereka semua mengatakan kecewa akan produk kami."Sepertinya kita kecolongan kali ini. Aku sedang menganalisa di mana letak kesalahannya. Sejauh ini sepertinya dari pihak pabrik ada salah tanggap tentang bahan yang digunakan" terang Emil lagi.Sungguh aku kini tak bisa berpikir apa-apa. Ini kejadian pertama kali gagal produksi dengan kuntitas yang sangat banyak. Masalahnya lagi, ribuan picis sudah sampai pada pelanggan sehingga mereka benar-benar