Namun, tiba-tiba ..., brak ....
Ponselku terlepas dari genggaman begitu saja, dan menimbulkan suara yang cukup nyaring.
"Apa itu?" ucap Dani tersentak.
Gegas kuambil ponsel yang terjatuh tersebut, lalu dengan cepat berlari ke kamarku agar Dani tidak mengetahui bahwa aku menguntitnya. Segera 'ku tutupi lagi tubuhku dengan selimut seperti semula. Nafasku terengah-engah karena berlari kencang sambil berjinjit agar tak menimbulkan suara.
Tak lama Dani pun datang. Ia langsung menjatuhkan tubuhnya di sampingku.
"Shania, kamu kenapa keringatan begini? Nafasmu terengah-engah dan badanmu dingin?" tanya Dani sambil mengusap keningku.
Jantungku berdebar makin kencang, semoga Dani tidak curiga denganku. Aku pun memilih untuk berpura-pura baru terbangun dari tidur.
"Eeeh ... A-aku mengigil, Mas!" jawabku tak sepenuhnya berbohong. Karena pada kenyataannya tubuhku benar-benar menggigil karena menahan kesal teramat sangat padanya.
"Kamu sakit? Mau kuambilkan obat?" tanya Dani khawatir. Sepertinya aktingku berhasil. Dani sama sekali tidak curiga. Aku pun mengangguk mengiyakan. Dani pun kembali keluar kamar mengambilkan obat untukku.
Saat Dani tengah mengambilkan obat itu, kucoba melihat kondisi ponsel yang barusan terjatuh. Kucoba menyalakannya untuk melihat hasil yang barusan aku rekam. Namun, nahas layar ponselku pecah dan tak bisa menampilkan apa pun. Sia-sia saja apa yang telah aku lakukan barusan.
****
"Mas, semalam ..., ketika aku menggigil kedinginan, kamu ke mana?" tanyaku keesokan harinya saat kami tengah sarapan.
Aku memberanikan diri menanyakan padanya ingin tahu jawaban apa yang akan diberikannya.
"Aku kan mengambilkanmu obat, Shania!" jawabnya polos.
"Bukan yang itu, tapi sebelumnya. Aku memanggil-manggil kamu, tapi kamu gak ada."
Dani tampak tersentak kaget saat aku bertanya. Mungkin tak menyangka bahwa aku tahu ia tak ada di sampingku. Ia pun berdehem salah tingkah.
"A-aku ke ..., ke kamar kecil, Shan, kebelet," jawabnya tergagap tanpa sedikit pun melihat mataku.
"Tapi kok lama sekali?"
"Eh ... itu karena ..., aku kebelet buang air besar," jawabnya kali ini sambil menggaruk kedua tengkuknya.
Seperti dugaanku dia pasti akan mengelak. Ia akan mencari-cari alasan agar tak dicurigai. Sayangnya ponselku mati dan tak bisa menunjukkan langsung tentang apa yang kulihat semalam.
"Kamu masih gak enak badan, Shania?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. "Kalau masih gak enak badan, minta antar Salsa ke dokter nanti, ya!" lanjutnya lagi. Kentara sekali enggan membahas yang barusan lebih lama.
Kamu tahu, Mas, aku sudah tahu kebusukanmu dengan wanita itu karena aku semalam tidak tidur!
****
Seperti biasa sambil menunggu satu persatu karyawanku datang aku mempersiapkan pekerjaan hari ini. Bersiap untuk launching baju daster model terbaru yang memang kami lakukan hampir setiap bulannya.
"Assalamualaikum."
Kulihat Dewi dan Risa datang. Tatapanku langsung tertuju pada penampilan Risa kini. Tak kudapati lagi ia membawa tas branded yang kemarin dipakainya. Berganti menjadi tas yang biasanya ia pakai sehari-hari. Tas yang sudah cukup lusuh karena sering digunakannya.
Sebenarnya aku kesal melihat wanita berusia dua puluh tahunan di hadapanku ini. Tak kusangka kecil-kecil ia sudah menjadi seorang pelakor. Apa lagi ia berani bermain dengan suami bosnya sendiri yang telah dengan begitu baik mau memperkerjakannya di sini.
Ya, Risa-lah wanita yang semalam kulihat saat suamiku sedang video call. Ternyata benar dugaanku kemarin, Risa tak mungkin bisa membeli tas branded jika tak ada yang membelikannya. Dan Dani-lah orangnya yang telah memberikan pada Risa. Seperti ucapannya di telepon kemarin malam. Bahwa ia telah memberikan wanita itu sebuah tas persis milikku.
Kuperhatikan penampilan Risa dari ujung kaki ke ujung kepala. Tak ada yang menarik. Risa layaknya wanita pada umumnya. Rambutnya panjang tergerai, ia memakai kaos biasa dan celana jeans. Kulitnya kuning langsat, namun memang ia terlihat manis dengan lesung pipi dan juga gingsul di giginya. Merasa diperhatikan olehku, Risa pun pamit untuk melihat stok di kamar sebelah.
Seharian ini aku tak mau bicara dengan Risa. Sepanjang hari kucari-cari alasan apa yang tepat untuk memecatnya segera. Tak sudi lagi jika harus menampung seorang pelakor dan pengkhianat seperti dirinya.
Menjelang jam pulang kerja kuminta Risa untuk menghadapku. Sambil menunduk ia duduk tetap di depanku. Seperti seseorang di kursi pesakitan Risa duduk dengan gelisah.
"Risa, kuminta besok kamu tak usah masuk kerja," ucapku to the point.
Risa tersentak kaget. Ia menatap mataku dengan penuh kebingungan.
"Kenapa, Bu?" tanyanya dengan suara bergetar.
"Kamu kupecat!" tegasku.
"Ta-tapi apa kesalahanku?"
"Kukira kamu tahu sendiri apa kesalahanmu," ucapku sinis.
"Ini gajimu bulan ini, dan ingat besok jangan kembali lagi ke rumah ini!" Kulemparkan sebuah amplop berisi sisa gajinya ke hadapannya.
"Bu, apa kesalahan saya? Kumohon jangan pecat saya. Saya benar-benar membutuhkan pekerjaan ini. Bagaimana adik-adik saya melanjutkan sekolah jika saya tidak bekerja?" Risa memelas sambil mengatupkan kedua tangannya.
Tak ada ras iba sama sekali untuknya. Melihatnya membuatku terus terbayang wajahnya yang kulihat semalam saat sedang video call dengan suamiku.
"Sudah pergi sana jangan kembali lagi. Aku sudah muak melihatmu!" usirku murka sembari pergi meninggalkan Risa. Biar dia memikirkan sendiri apa kesalahannya.
****
Kukira Risa akan mengadu pada suamiku soal pemecatannya. Maka aku pun bersiap jika nanti Dani mempertanyakan kenapa. Tapi tidak sama sekali, sepulang kerja barusan Dani bersikap biasa saja padaku.Sampai ketika kami sama-sama naik ke tempat tidur.
Nampaknya malam ini pun aku harus bersiap dengan kemungkinan Dani akan kembali berbincang dengan selingkuhannya lewat telepon. Sebuah ponsel baru telah kupersiapkan sementara ponsel yang lama masih di simpan di tempat servis.
Seperti dugaanku. Menjelang tengah malam, Dani kembali turun dari kasur. Kemudian ia berjalan mengendap-endap keluar kamar.
Sama seperti kemarin aku pun mengikutinya. Setelah beberapa lama ia keluar kamar. Segera aku menuju ruang tamu tempat biasa aku menguping suamiku. Namun kali ini nihil, Dani tak ada di teras depan sana.
Jantungku berdebar kencang. Di mana Dani berada? Sedangkan pintu ruang tamu pun dalam kondisi terkunci dari dalam dan kuncinya masih menggantung di tempatnya.
Aku pun mengelilingi rumah. Tak peduli lagi jika ketahuan Dani aku sedang menguntitnya. Namun lagi-lagi nihil, tak kutemukan ia di mana pun berada. Termasuk di kamar di mana kantorku berada.
Sempat putus asa aku berniat kembali ke kamar saja dan menghubunginya lewat telepon. Tapi tiba-tiba pandanganku tertuju pada pintu luar di dapur yang menghubungkan dengan tempat menjemur pakaian. Pintu itu sedikit terbuka. Ternyata Dani berada di luar sana.
Namun, tetap tak kudapati sosoknya. Malah aku menemukan sebuah kursi di luar sana yang menempel dengan tembok yang menghubungkan tembok rumahku dengan rumah Haya.
Kucoba naiki kursi itu, barangkali menemukan petunjuk. Jantungku berdebar kencang, kakiku mendadak lemas, saat kulihat sendal Dani ada di dalam rumah Haya, dengan pintu belakang Haya juga yang sedikit terbuka.
Dani ada di rumah Haya, apa yang tengah mereka lakukan tengah malam seperti ini?
Segala pikiran dan perasaan berkecamuk menjadi satu. Ingin segera kulabrak mereka saat ini juga. Tapi aku sadar diri aku hanya sendirian. Tidak memiliki kekuatan apa pun.Dengan pikiran kalut aku mencoba mencari tahu apa yang bisa kulakukan saat ini. Kulihat ponsel di tangan. Aku harus menghubungi seseorang yang bisa berpikir logis dan bergerak cepat atas semua ini. Segera saja kucari nomor telepon ketua RT yang memang tinggal tak jauh dari rumah."Pak, maaf mengganggu malam-malam. Tolong saya, Pak! Suami saya ...," ucapku panik saat telepon diangkat."Kenapa dengan Pak Dani, Bu? Sakit?""Bukan, Pak.. suami saya. Dia ada di rumah Haya, istri Pak Emil yang sedang berlayar itu. Entah apa yang sedang mereka lakukan. Aku takut membayangkannya.""Ha ... jam segini mereka berduaan?!""Iya, Pak. Tolong saya, Pak. Saya tak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya takut melihat mereka sedang macam-macam.""Baik, Bu! Bu Shania yang tenang dulu ya, saya akan segera ke sana."Aku pun menunggu Pak
Aku tak menyangka, kelakuan bejatku bersama Haya akan ketahuan. Dua security komplek, Pak RT dan juga Shania, memergokiku yang sedang bersama Haya.Padahal ini pertama kalinya kami melakukannya. Setelah sekian lama aku menahan diri menolak ajakan Haya karena tak mau kejadian seperti ini terjadi. Tapi nahas, yang kutakutkan benar saja terjadi.Shania marah besar, ia menampar pipiku keras. Aku tahu, aku memang salah telah melakukan hal ini. Tapi aku pun tak sepenuhnya salah, karena Haya terus saja menggodaku. Menawarkan sesuatu yang sulit untuk kutolak.Kucing tak akan menolak ikan, 'kan?Tapi ternyata tak sampai di situ, Shania juga mengetahui hubunganku dengan Risa, karyawannya sendiri. Aku benar-benar kecolongan. Jadi selama ini Shania tahu setiap malam aku menelepon Risa untuk menghilangkan penatku.Apa jangan-jangan dia juga tahu bahwa kami sering jalan keluar?Nasib buruk kini benar-benar menimpaku. Entah apa yang terjadi dengan rumah tanggaku setelah ini. Harusnya aku mendengar p
Tak kusangka, aku hamil tepat di saat aku mengetahui bahwa suamiku telah bermain gila dengan wanita lain. Entah ini anugerah atau musibah. Karena bahkan kini aku tak bisa berpikir apa-apa lagi.Kulihat binar bahagia di mata Dani ketika mengetahui berita kehamilanku. Ia segera menghampiri dan menggenggam tanganku. Sebenarnya aku jijik bersentuhan dengannya lagi. Tapi aku begitu lemah sampai-sampai tak memiliki tenaga untuk sekedar menyingkirkan tangan lelaki bej*t itu dari tanganku."Shania, kita akan menjadi orang tua. Shania! Impian kita selama ini terwujud," ucapnya penuh kebahagiaan. Tapi tidak denganku. Sungguh rasanya aku ingin bertanya pada Tuhan, kenapa ia harus memberikan kehamilan padaku saat ini. Saat aku sudah bulat berpisah dari suamiku. Kenapa bayi itu harus ada di perutku di saat aku tidak menginginkannya?"Shania ... kamu masih marah padaku? Kumohon Shania, maafkan aku. Aku berjanji akan berubah. Demi anak kita, Shania!" bujuknya sambil mengecup punggung tanganku.Den
"Bapak memukuli Mas Dani, sampai babak belur." jawabnya singkat, wajahnya masih nampak bete. Barangkali ia merasa terganggu karena masalah ini membuat waktu tidurnya hilang. Salsa memang hobi tidur, dan sangat sulit dibangunkan. Pasti tadi ia juga di paksa ikut oleh Bapak dan Ibu kemari. "Baguslah, aku malah berharap aku yang akan melakukannya," timpalku kesal.*****Kini aku sudah berada di rumah. Tepat pukul lima subuh kami beranjak pulang kembali. Rasanya aku ingin sekali beristirahat. Merebahkan tubuhku sebentar saja. Karena sudah beberapa hari ini aku tidak tidur dengan benar.Ayah sedang berada di luar bersama pihak RT dan RW. Entah apa yang sedang dibicarakan dan dilakukan mereka. Kuserahkan semua kasus ini pada Ayah. Karena aku sudah tak mau lagi memikirkannya.Sementara itu ibu membuatkan segelas susu dan teh hangat. Ia juga memasangkan aromaterapi di kamar agar membuatku lebih nyaman, lalu membiarkanku beristirahat tanpa membahas masalah Dani lagi. Aku memang memintanya unt
"Kak Shania, apa yang kamu lakukan?"Tiba-tiba Salsa datang, memekik kaget. Ia lalu menghampiriku dan dengan sigap mengambil pisau dalam genggamanku. "Jangan gegabah, Kak! Kakak bisa saja masuk penjara jika seperti ini!" bentaknya lagi."Mas Dani, pergi sana, jangan dekati kakakku lagi!" Salsa membentak Dani keras sambil memelototinya. Dani pun tanpa membantah sedikit pun segera berlalu meninggalkan kami.Aku seketika terduduk lemas di lantai dapur sungguh melelahkan semua ini. Fisik, hati dan pikiran terkuras habis hanya karena masalah yang suamiku buat."Kak, kamu baik-baik saja?" tanya Salsa serqya berjongkok disampingku."Bagaimana aku bisa baik-baik saja, Salsa? Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri suamiku bermain gila dengan wanita lain? ""Bagaimana aku bisa baik-baik saja sementara dia juga ternyata main gila dengan karyawanku sendiri?""Bagaimana mungkin aku bisa baik-baik saja sedangkan aku sekarang hamil dari benih seorang baj*ngan seperti Dani?""Ini gila, Salsa ... i
"Tidak, masalah ini harus selesai dengan hukum. Anak kalian harus menerima akibatnya hukuman yang setimpal karena perbuatannya!" tegas Bapak."Shania, kudengar kamu hamil, kamu harus memikirkan anakmu. Jika Dani dipenjara kasian anakmu nanti," lontar Mama, seraya mendekatiku, memegang tangaku keras."Cih ..., persetan dengan Dani. Aku lebih kasihan jika anak ini lahir dan mengetahui ayahnya adalah lelaki bajing4n!" bentakku, sambil menghempaskan tangan mama mertua dari tanganku."Shania, jaga ucapanmu. Dani hanya khilaf, semua manusia punya kesalahan!" elak Mama, membela anaknya."Apa aku harus memaafkan kesalahannya setelah aku melihat dengan mata kepalaku sendiri dia berbuat mesum? Apa Mama akan memaafkan jika itu terjadi pada diri mama sendiri? Harus Mama dan Papa tahu, Dani tak hanya berselingkuh dengan satu wanita. Tapi dua. Dan entah ada berapa lagi yang tidak aku ketahui!" Kukeluarkan semua emosiku pada mereka."Tapi penjara bukan solusi, Shania! Kita cari solusi lainnya bersam
"Dasar ed*n lo berbuat bej*t di lingkungan sini, gak tahu apa kalau kita semua kena dosanya karena lo zina?""Rajam aja sampai mati, itu hukuman paling pantas untuk pezina!""Ayo telanjangi, gunduli, lalu arak keliling kampung para pezina itu!"Begitulah kiranya suara-suara yang kudengar dari para warga yang kini mulai ramai memenuhi pelataran kantor RW.Tadi selepas aku menemui Shania dan membujuknya lagi agar tak melaporkanku pada polisi, aku kembali dibawa ke kantor RW, karena suasana di rumah mulai tidak kondusif. Warga sekitar mulai berdatangan mengerumuni rumahku dan juga rumah Haya. Nampaknya berita semalam sudah menyebar dan mereka ingin tahu tentang apa yang semalam terjadi.Bersama Haya, kini aku hanya terdiam menunggu instruksi atas apa yang akan mereka lakukan pada kami. Di dalam kantor RW ini aku hanha mendengarkan amukkan emosi warga pada perbuatan yang telah aku dan Haya lakukan. Sumpah serapah, dan juga nama-nama hewan terus terdengar bersahut-sahutan disebutkan untuk
"Hei ..., syukur-syukur aku hanya meludahimu! Seharusnya kamu kuhajar juga seperti aku melakukannya pada anakku!" jawab Papa tak kalah murka.Suara pintu diketuk tiba-tiba terdengar. Pak Dadang security yang menggerebekku semalam pun masuk."Lapor Pak, warga di luar tak terkendali. Mereka menuntut agar bisa mengarak Pak Dani dan Bu Haya keliling komplek perumahan terlebih dulu!" ucapnya lantang.Apa lagi ini? Mengarakku? Apa yang mereka inginkan sebenarnya? Tidakkah cukup bagi mereka telah menghinaku seperti binatang."Bagaimana, Pak? Mereka tidak akan membuka jalan sebelum permintaannya dituruti," lanjut Pak Dadang lagi.Pak RW dan Pak RT menatapku, seperti berpikir keras. Aku berharap dia bijak, dan tidak akan meluluskan permintaan tidak masuk akal para warga tersebut."Kita coba saja terobos. Semoga mereka mau memberi jalan. Kita harus segera berangkat ke kantor polisi saat ini juga."Segera setelah itu aku diapit oleh beberapa bapak-bapak, begitu juga dengan Haya. Mereka pun memba
Tiga bulan kemudian.Aku baru saja pulang dari persidangan pembacaan hukuman untuk Haya dan mulai berkutik kembali dengan pekerjaanku yang cukup menumpuk karena selalu terpotong karena kasus Haya ini. Tapi, selama mengikuti persidangan Haya, aku jadi tahu bahwa setelah bebas dari penjara kemarin ternyata Haya dan Dani masih berhubungan, bahkan saat Dani telah menikah dengan Salsa pun mereka masih sering bertemu. Menjijikan sekali.Lalu ternyata saat hari percobaan pembunuhan itu Haya yang memasang GPS pada ponsel Dani mengikutinya sampai ke Bogor. Ia marah besar saat mengetahui Dani malah menikah dengan wanita lain dan bukannya menepati janji untuk menikah dengan dirinya. Akhirnya Haya pun mengatur rencana untuk membunuh Dani. Pada malam setelah pernikahan, Haya memberikan minuman berisi obat tidur pada semua orang yang ada di rumah tempat berlangsungnya pernikahan Dani. Lalu setelah semuanya terlelap dia pun menyerang Dani dengan berbekal pistol yang didapatn
Setelah melepas semua emosinya akhirnya Salsa tertidur di kursi ruang tengah. Kini Ibu dan Bapak yang menemaninya karena aku harus menyusui Dewa.Ibu dan Bapak sangat terluka ketika mengetahui ulah Dani. Lagi, mereka harus menerima anaknya disakiti oleh lelaki yang sama. Seharusnya Salsa mengikuti ucapan kami yang melarangnya menikah dengan lelaki berengs3k itu agar semua ini tak terjadi.Saat sedang menyusui, tiba-tiba kulihat ada panggilan telepon dari Emil. Gegas aku mengangkatnya."Shania, kau tahu Haya sudah tertangkap?" tanya Emil.Ah ..., aku hampir saja melupakan kasus Haya. Meninggalnya Kayla dan kabar Dani menikah lagi membuat aku melupakan masalah yang satu itu."Syukurlah kalau dia sudah tertangkap. Di mana memang dia sembunyi?" tanyaku penasaran."Di Bogor.""Wah ..., jauh juga ya dia melarikan diri. Syukurlah polisi bisa menemukan dia," ucapku merasa lega. Setidaknya satu persatu masalah selesai."Tapi, Shania ...," ucap Emil terput
POV ShaniaRumah kini kembali sepi setelah Kayla dimakamkan dan para pelayat pun berangsur pulang. Suasana duka masih terasa menyelimuti seisi rumah.Rasanya ada yang aneh, setelah sebelumnya kami selalu mendengar celoteh Kayla yang mulai terdengar, kini semua tinggallah hening.Sedangkan Salsa, sejak pulang dari rumah sakit terus mengurung diri di kamar. Ia bahkan tak ikut dalam prosesi pemakaman, lebih memilih berdiam diri dan meratapi semuanya.Sejujurnya aku khawatir pada kondisinya. Sungguh aku akan merasa lebih tenang jika Salsa mengungkapkan emosinya, menangis, meraung-raung atau apa pun itu. Bukannya hanya berdiam diri seperti saat ini.Berulang kali Bapak dan Ibu memintanya keluar dan berkumpul bersama kami. Tapi sama sekali tak ada respon darinya.[Kak, apa Tuhan sedang menghukumku?]Sebuah pesan tiba-tiba masuk ke ponselku saat aku tengah membereskan perlengkapan Dewa. Dari Salsa.[Tapi kenapa harus K
Sungguh aku tak habis pikir apa yang ada di benaknya hingga Haya bisa berpikir seperti itu. Ia terus saja menagih janjinya agar aku mau menikahinya.Seperti saat ini, aku hanya bisa menarik nafas panjang atas permintaannya ini. Tak mungkin kan aku menikahinya di saat aku sudah menikah dengan Salsa lalu sebentar lagi saja aku akan menikahi Mirna?Aku memang suka bersama wanita, tapi tidak untuk menjadikan mereka istriku semuanya.[Aku ..., mencintaimu, Dani. Aku melakukan ini semua agar bisa segera hidup denganmu] ucapnya lagi melalui pesan.Mama yang melihat aku terus sibuk dengan ponselku, seketika mengambilnya paksa dari tanganku."Kamu jangan sibuk dengan ponsel terus, Dani! Sebentar lagi kamu menikah! Biar Mama saja yang pegang ponselmu ini. Agar nanti Salsa atau siapa pun tak akan mengganggumu!" ujar Mama sambil memasukkan ponselku dalan tasnya.****Keesokan harinya prosesi akad nikah dan resepsi berjalan lancar. K
Kadang terbersit rasa bersalah pada Salsa jika ingat sebentar lagi aku akan menduakannya. Dia saja belum aku bahagiakan dengan baik. Aku masih belum mendapat pekerjaan yang layak, dan harus membuatnya terus bertengkar dengan Shania karena belum bisa memberikannya rumah yang layak.Ya ..., walau memang rumah yang ditempatinya kini pun masih bisa dibilang rumahku juga sih, karena aku membelinya berdua dengan Shania. Salahnya aku waktu itu malah membiarkan sertifikat rumah ini atas namanya. Tapi ... toh nasi sudah menjadi bubur. Yang penting aku masih bisa tinggal di sini bersama anak dan istriku.Saat menikah dengan Salsa aku sempat berjanji menjadikan ia wanita satu-satunya. Tapi ternyata terpaksa kini aku harus menarik janjiku sendiri. Semua itu kulakukan demi baktiku pada kedua orang tuaku. Juga demi ... Mirna, gadis manis yang polos itu.Sesaat sebelum aku berangkat, Kayla terus menangis. Segala cara sudah aku dan Salsa coba agar anak itu terdiam dan bis
POV Dani[Dani, jangan lupa hari Kamis nanti kita akan ke Bogor. Keluarga Mirna sudah mempersiapkan segala keperluan untuk pernikahan kalian!]Kubaca ulang pesan yang dikirimkan oleh Mama beberapa saat yang lalu dan segera menghapus isi pesan tersebut sebelum Salsa membacanya.Ya, Mama terus memaksaku untuk menikah dengan Mirna, anak dari salah satu kolega Ayah."Mumpung masih ada yang mau menjadi istrimu, Dani! Kau tahu sepak terjangmu sangat parah sekali. Untung saja orang tuanya percaya pada ayahmu. Jadi mau saja menjadikanmu menantunya!" terang Mama saat memberitahukan perihal pernikahan ini."Bapaknya Mirna itu punya perternakan sapi yang besar. Kamu kalau sudah menikah dengan Mirna yang akan mengurusnya. Hidupmu akan kembali seperti dulu lagi jika menikah dengannya!" terang Mama tanpa kuminta sedikit pun.Tentu saja aku menolak ide wanita yang telah melahirkanku itu dengan keras. Aku kan sudah bertekad untuk bertobat, hanya ing
Saat di kantor polisi drama pun terjadi. Fani, yang datang tak lama setelah diberitahu tentang kondisi Ardi tak terima atas pelaporan yang kubuat. Tapi ia juga tak dapat mengelak atas tuduhan teror dan rencana menghancurkan usahaku. Karena semua percakapan rencana mereka tersimpan dalam ponselnya.Sementara itu yang wanita yang paling ingin kutemui saat ini--Haya-- malah kabur ketika polisi memanggilnya untuk datang. Ia bahkan kini sama sekali tak bisa dihubungi. Entah kemana perginya wanita itu. Emil pun sudah berusaha menghubungi beberapa kerabat yang ia kenal untuk mencari keberadaannya. Tapi Nihil, semua mengatakan tidak bertemu dengan wanita itu."Aku melakukan semuanya atas perintah Haya!" ucap Fani, membela dirinya sendiri sambil menangis meratapi semua saat polisi meminta penjelasan atas semuanya."Tapi kamu yang merencanakan semuanya, kan? Menyuruh Ardi melamar di tempatku dan memintanya mengganti sepsifikasi kain!" bentakku penuh murka.
"Apa kau jujur? Apa semua ini tidak ada sangkut pautnya dengan Fani Ghaisani, kakakmu?" tanyaku to the point Sektika kulihat Ardi pun memucat. "Bu Shania tahu?""Tentu saja aku tahu. Kau tidak bisa menyembunyikan jati dirimu terus. Jadi, jujur padaku. Kau sengaja kan melakukannya? Apa Fani yang menyuruhmu?" selidikku. Menatapnya tajam."Tunggu, Fani Ghaisani. Sepertinya aku mengenalnya. Apa dia tinggal di perumahan Nirmala?" sela Emil tiba-tiba."Ya, yang kutahu dia tinggal di sana. Juga Ardi. Entah kalau dia sudah pindah atau memiliki rumah lainnya," jawabku, kesal."Apa kamu juga kenal dengan Haya, Ardi?" tanya Emil tiba-tiba. Membuatku mengernyitkan kening. Apa maksud pertanyaan Emil, sebenarnya?"A-aku ti-tidak mengenalnya, Pak," jawab Ardi tergagap. Siapa pun akan tahu jika dia berbohong.Seketika Emil mengambil paksa ponsel Ardi. "Apa, kata kuncinya?" todong Emil. Ardi makin memucat, keringat sebesa
"Gawat, Shania! Semua pelanggan komplain dengan produk yang mereka terima. Ternyata kain yang kita pakai mengkerut, sehingga dress yang mereka pesan tidak bisa dipakai lagi," ujar Emil melalui telepon.Kini aku seorang diri di rumah. Karena Kayla yang terkena pneumonia harus dirawat di rumah sakit, maka Salsa, Ibu dan Bapak menemaninya.Lalu berita buruk itu datang. Aku mengetahui komplen ini bukan hanya dari Emil, tapi sejak semalam ponselku pun tak henti berdering mendapat komplen dari para pelanggan. Mereka semua mengatakan kecewa akan produk kami."Sepertinya kita kecolongan kali ini. Aku sedang menganalisa di mana letak kesalahannya. Sejauh ini sepertinya dari pihak pabrik ada salah tanggap tentang bahan yang digunakan" terang Emil lagi.Sungguh aku kini tak bisa berpikir apa-apa. Ini kejadian pertama kali gagal produksi dengan kuntitas yang sangat banyak. Masalahnya lagi, ribuan picis sudah sampai pada pelanggan sehingga mereka benar-benar