"Maaf Sayang jika Mas harus pergi keluar kota, Mas janji akan cepat kembali," ucap Hanan sembari mengeratkan pelukannya pada Naya sang istri. Naya pun membalas pelukan Hanan dengan erat juga. Setelah puas memeluk istrinya perlahan Hanan melepas pelukannya dan mengecup kening Naya sebelum dia beranjak pergi.
Naya dan juga Hanan pasangan suami istri yang sudah menikah selama sepuluh tahun, tetapi mereka belum juga dikaruniai keturunan.
Segala macam pengobatan sudah mereka tempuh, tapi tak kunjung membuahkan hasil. Mungkin memang belum saatnya mereka mendapat keturunan.
Sepuluh tahun berumah tangga, Hanan begitu mencintai Naya, tak pernah dipermasalahkan jika mereka belum mempunyai keturunan. Hanya Ratih, ibu Hanan yang selalu mendesak untuk diberikan cucu.
Pernah Ratih mencaci Naya karena dia tak kunjung juga hamil.***
"Sampai kapan Ibu harus menunggu kau hamil, Nay? Ibu sudah ingin menimang cucu?" tanya Ratih dengan suara sedikit meninggi.
"Maafkan aku, Bu. Kami sudah berusaha semampu kami, Bu, tapi memang Allah belum menitipkan anak untuk kami." Mata Naya berkaca-kaca menjawab sang mertua.
"Memang dasar kamu yang mandul, tidak becus menjadi istri, seharusnya Hanan tidak menikah denganmu, kamu istri tidak berguna!" maki Ratih sembari melangkah pergi meninggalkan Naya yang sedang bersedih.
***
Air mata Naya kembali menetes mengingat perlakuan sang mertua yang selalu menyalahkannya.
Naya melepas kepergian Hanan dengan mata berkaca-kaca, entah kenapa hatinya berat untuk melepas suaminya kali ini, padahal biasanya Hanan sudah sering pergi ke luar kota. Naya berdoa semoga saja Hanan kembali secepat mungkin agar hatinya tenang.Tak terasa sudah satu minggu sejak Hanan pergi, Naya berencana mengunjungi rumah sang mertua. Entah kenapa hatinya tergerak ingin ke sana.
Walaupun enggan Naya pun pergi ke rumah mertuanya itu. Ratih memang tak begitu menyukai Naya. Akan tetapi Naya yakin suatu hari nanti Ratih akan luluh dan membuka hati untuknya. Naya sadar, dia memang belum bisa memberikan cucu selama sepuluh tahun pernikahannya dengan Hanan, sehingga Ratih tidak suka padanya.
Setelah tiga puluh menit perjalanan Naya pun tiba, saat akan membuka pintu mobil, Naya melihat rumah ibu mertuanya nampak begitu ramai, penasaran Naya pun segera keluar dari mobil dan melangkah menuju pintu rumah.
"Saya terima nikah dan kawinnya Melisa binti Imran dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
Deg.
Naya mendengar suara yang sangat dihafalnya, suara Hanan, suami yang sangat dicintainya.Naya mematung, membeku. Hatinya serasa dihujam belati. Dunia seakan runtuh menimpanya, penglihatannya pun mengabur seiring menetes air mata di pipinya.Naya tidak bisa menahan air mata melihat suaminya menikah lagi tanpa sepengetahuannya. Tak sanggup menyaksikan terlalu lama, Naya pun pergi meninggalkan rumah tersebut.
Air mata Naya semakin luruh, sesak dadanya menahan perih, tidak menyangka suaminya tega menghianatinya seperti itu. Dia segera memacu mobil dengan kecepatan tinggi, sampai di rumah Naya menuju kamar. Dia menangis sejadi-jadinya seiring badannya jatuh ke lantai, Naya meringkuk meratapi penghianatan Hanan.
"Apa salahku padamu Mas, hingga tega kau mencurangiku?" Naya menangis tergugu, kecewa dan terluka. Hancur rasanya dunia tempatnya berpijak.
Perlahan Naya berdiri mengambil potret pernikahan mereka, dia memeluk erat dan dibawanya potret tersebut berbaring di ranjang dengan air mata yang semakin deras.
Suara adzan terdengar sayup-sayup di telinga Naya, tak terasa dia tertidur setelah lelah menangis. Naya bangun dengan mata sembab dan segera melangkah lemas ke kamar mandi, mengambil air wudhu. Dia menunaikan kewajibannya sebagai muslimah, Naya kembali tersedu mengadu kepada Allah.
"Ya Allah tabahkanlah hatiku, iklaskan hatiku jika memang ini takdir yang telah Engkau tentukan, Ya Allah, bimbinglah hamba senantiasa berada di jalanMu Ya Allah." Air matanya tumpah, tak mampu menahan sesak di dadanya.
Mata Naya semakin sembab, kepalanya pening karena terlalu lama menangis. Dia melirik ponsel yang berdering, ada panggilan dari Hanan. Tak ada niat sama sekali untuk menjawab panggilan dari suaminya tersebut, Naya membiarkan ponselnya terus berdering. Banyak panggilan telfon dan pesan dari Hanan, untuk apa Hanan mengingat Naya jika hari ini adalah hari bahagianya dengan istri barunya. Apakah ingin menorehkan luka yang semakin dalam dan menganga?
Ponsel Naya terus saja berbunyi, dia jengah sekali mendengarnya. Segera dia mengambil ponsel tersebut.
[Sayang kenapa panggilan Mas tidak dijawab? Kamu baik-baik saja kan?] Naya membuka satu pesan dari Hanan.
[Nikmatilah hari bahagiamu, Mas. Jangan mengingatku lagi, jika di sampingmu sudah ada yang lain lagi.] Naya membalas dengan jemari bergetar, rasanya dia sudah tak sanggup untuk meneruskan lagi.
Ponsel Naya kembali berdering karena panggilan Hanan, Naya merasa tak kuasa menerima panggilan telfon dari Hanan. Bibirnya terasa kelu tak mampu berkata-kata.
[Sayang Mas akan jelaskan, percayalah Mas masih sangat mencintaimu, di hati Mas hanya ada kamu, tunggu Mas pulang Sayang.] Naya membuka kembali pesan Hanan.
[Jika memang mencintai kenapa menyakiti Mas?]
Naya langsung mematikan ponselnya tanpa menunggu balasan Hanan.Naya merasa kecewa dan terluka, jika Hanan mencintainya tidak mungkin dia tega menghianatinya dengan menikahi wanita lain. "Aku sakit Mas, sakit hatiku terlalu dalam. Tidak sanggup rasanya aku berbagi dengan yang lain."
Tubuh Naya letih, dia lelah menangis. Ingin rasanya dia memejamkan mata kembali.
Naya berjalan gontai menuju pembaringan, dia merebahkan tubuhnya di ranjang mencoba memejamkan mata, berharap semua hanya mimpi belaka.
Naya kembali terbangun kala mendengar suara adzan Subuh, dia beranjak dari kasur dan melangkah masuk kamar mandi. Dihidupkannya sower untuk mengguyur tubuhnya tanpa melepas pakaian. Kembali dia terisak mengingat Hanan, sakit hatinya sangat dalam hingga tak mampu lagi dia tahan air matanya.
Selang beberapa menit Naya mengakhiri mandi dan mengambil air wudhu, bergegas dia tunaikan sholat Subuh. Selesai sholat Naya meringkuk di atas sajadah, air matanya luruh kembali mengadu.
Setelah puas mengadu Naya beranjak mengambil ponsel, dihidupkan kembali ponsel tersebut. Ada banyak panggilan dan pesan masuk, sebagian banyak dari Hanan. Namun ada satu pesan yang membuatnya tertarik dari nomer yang tak dikenal.
[Mbak bisa kita bertemu? Ada yang ingin aku bicarakan.] Naya tak tahu siapa yang mengirim pesan tersebut. Tak dihiraukannya pesan itu.
[Tolong Mbak, kita butuh bicara tentang suami kita!] Kembali satu pesan masuk dari nomer yang sama, kini dia tau siapa pengirim pesan itu.
[Baiklah, temui aku di cafe nanti siang.] Naya membalas dengan enggan. Sungguh hatinya belum siap jika harus bertemu dengan wanita itu, tapi Naya hanya ingin tahu wanita seperti apa yang telah merusak rumah tangganya.
Naya keluar kamar menuju dapur, dia membuat sarapan dengan malas. Naya tidak tahu apakah dia bisa menelan sarapannya kali ini. Tapi Naya harus punya tenaga untuk bertemu wanita yang menjadi duri dalam rumah tangganya.
Naya tidak mau terlihat lemah di mata wanita itu. Dia tidak akan kalah dengannya apapun yang terjadi. Naya bertekad tidak akan meneteskan air matanya di depan wanita tersebut.
Naya ingin tahu kenapa wanita itu tega menghancurkan rumah tangganya. Menjadi duri dalam pernikahannya dengan Hanan.
Masih tersisa banyak waktu sebelum pertemuan mereka. Naya menyibukkan diri dengan bersih-bersih. Dia mencoba menenangkan hatinya sebelum pertemuan tersebut. Naya memutuskan harus tenang untuk menghadapinya.
Waktu menunjukan pukul sebelas, Naya mengirimkan pesan pada Melisa. Wanita itu bernama Melisa, Naya mengingat saat Hanan menyebutnya saat pernikahan mereka.
[Aku tunggu pukul satu di cafe sebrang.]
[Baiklah Mbak, terima kasih Mbak mau bertemu denganku.] Balas Melisa. Naya enggan sekali untuk membalas pesan dari Melisa. Dia pun membiarkan pesan tersebut tanpa membalasnya.
Waktu sudah menunjukan pukul satu siang, Naya pun segera bersiap menuju cafe tempatnya bertemu dengan Melisa.Naya memasuki cafe dengan hati berdebar setelah sampai, kakinya melangkah menuju tempat duduk di dekat jendela. Naya duduk sambil bermain ponsel sembari menunggu Melisa datang.Naya jengah, Melisa belum juga datang. Netranya memandang suasana cafe yang nampak masih sepi. Untunglah suasana sepi, Naya tidak terlalu nyaman jika tempat tersebut ramai di saat hatinya sedang gundah.Selang sepuluh menit seorang wanita masuk dan berjalan menuju ke arah Naya. Dia tak yakin apakah yang berjalan ke arahnya adalah Melisa atau bukan, karena Naya belum pernah bertemu dengan Melisa."Maaf Mbak, membuat Mbak menunggu lama," ucap Melisa menggeser kursi yang berhadapan dengan Naya.Naya terdiam memandangi Melisa dari atas sampai bawah, Melisa mengenakan gamis senada dengan hijab panjangnya. Naya akui Melisa cantik dan terlihat anggun. Naya pun bertanya-tany
Netra Naya seakan enggan sekali memejam, dilihatnya jam di atas nangkas sudah menunjukan pukul dua malam.Naya bangkit dari pembaringan, dilangkahkan kakinya menuju balkon. Dia duduk di kursi memandang gelapnya malam. Angin berhembus menerpa wajahnya, dingin terasa menusuk tulangnya.Naya termenung terngiang ucapan Melisa tentang ibu mertuanya. Tidak dia sangka mertuanya tega kepadanya, kurang apa Naya sebagai menantu. Tak pernah dia melawan apapun ucapan Ratih. Jika Ratih meminta sesuatu pun Naya akan selalu mengabulkannya tanpa mengeluh sedikit pun.Awal Naya menikah dengan Hanan, Ratih sangat baik padanya, tapi semua berubah setelah Naya tak kunjung juga hamil. Ratih berubah tidak menyukainya, bahkan Ratih sering sekali memaki ataupun menghina Naya.Udara dingin semakin menusuk, Naya memutuskan masuk kembali ke kamar. Dia berbaring di pembaringan, mencoba memejamkan matanya walaupun sulit.Adzan Subuh kembali membangunkan Naya, hanya satu jam di
Naya terbangun dan berlari menuju kamar mandi, dia merasakan perutnya bergejolak, mual ingin mengeluarkan isi di dalam perutnya, akan tetapi tak ada yang keluar saat dimuntahkan.Badannya terasa lemas tak bertenaga, dia mengingat kemarin hanya sempat sarapan sebelum Hanan datang, setelahnya tak dapat dia menelan apapun.Naya melangkah dengan lemas ke dapur dan membuat teh untuk menghangatkan perutnya. Setelah selesai dia menyesap teh hangat tersebut, dia sedikit lega mualnya berangsur berkurang.Malam semakin larut, ternyata dia tertidur setelah menangis sejak mengusir Hanan siang tadi. Matanya masih berat, ingin kembali memejam.Setelah mualnya mereda, Naya kembali ke kamar. Direbahkan kembali tubuhnya di ranjang, mungkin dengan beristirahat kembali mual yang dirasakannya akan menghilang dengan sendirinya.Namun menjelang Subuh mual yang dirasakannya semakin menjadi, bertambah lemas pula tubuhnya dan tak bertenaga. Naya pun memutuskan untuk
Hanan pulang dengan langkah gontai, setelah diusir oleh Naya. Hanan tahu kesalahannya tak bisa dimaafkan, tapi Hanan masih sangat mencintai Naya. Dia tidak mau kehilangan Naya apapun yang terjadi.Baktinya kepada Ratih sang Ibu membawa luka mendalam pada Naya, Hanan bingung harus bagaimana meminta maaf pada Naya.Hanan pun tahu semenjak dahulu Ibunya tak begitu suka pada istrinya itu, tapi Hanan tidak bisa meninggalkan Naya. Nayalah wanita pilihan Hanan, dia tidak ingin rumah tangganya dengan Naya berakhir.Dering ponsel Hanan menyadarkannya dari lamunan, dilihatnya ponsel tersebut. Lidahnya berdecak kala melihat siapa yang telah menelfonnya. Ternyata panggilan telfon tersebut dari Melisa. Hanan pun menjawab panggilan tersebut dengan malas."Assalamu'alaikum Melisa, ada apa?""Wa'alaikum salam Mas, kapan Mas pulang?" tanya Melisa dari ujung telfon."Aku belum tahu, aku sedang ingin sendiri," jawab Hanan sedikit jengah dengan pertanyaan Melis
Hanan terbangun setelah mendengar panggilan Ratih, dia beranjak turun dari pembaringan menuju pintu, dilihatnya sang ibu sedang resah di samping pintu."Ada apa, Bu?" tanya Hanan."Apakah Melisa ada di dalam kamar, Han?" Ratih balik bertanya tak menjawab pertanyaan Hanan."Tidak, Bu." Hanan mengernyitkan kening. Dia langsung tertidur begitu Melisa meninggalkannya. Tubuhnya yang lelah tidak memikirkan kepergian Melisa dari kamarnya."Kamu tahu Melisa pergi ke mana? Sudah larut malam dia belum juga pulang," tanya Ratih dengan gelisah."Aku tidak tahu, Bu. Aku baru saja tertidur tadi. Apakah Melisa tidak memberitahu Ibu dia pergi kemana?" jawab Hanan."Melisa tidak memberitahu Ibu akan pergi kemana, Ibu pikir dia hanya pergi ke supermarket sebentar, tapi hingga sekarang dia belum kembali. Cepat hubungi dia, Ibu takut Melisa kenapa-napa," desak Ratih mulai khawatir dengan Melisa."Baiklah, Bu." Hanan kembali masuk ke kamar mengambil ponselnya. Dicarinya nomer kontak Melisa, dan ditekannya
Semenjak mengetahui kehamilannya, Naya berusaha melupakan pengkhianatan Hanan padanya. Dia memutuskan harus kuat menghadapi masalah apapun demi calon bayinya.Naya kembali memulai aktivitasnya. Dia mencoba keluar dari keterpurukannya, bangkit dari rasa sakitnya, karena sekarang dia tidak hidup untuk dirinya sendiri ada calon bayi yang dikandungnya.Untungnya kehamilan Naya tidak banyak merepotkan, setelah pulang dari rumah sakit Naya tidak pernah mual lagi. Hanya porsi makannya saja yang semakin bertambah. Badannya pun menjadi semakin berisi sekarang.Naya selalu rutin cek kandungan untuk melihat perkembangan janinnya. Terkadang ada rasa sedih di hatinya saat melihat pasangan yang sedang mengantri memeriksakan kandungan istrinya. Ada sedikit rasa iri dihatinya melihat itu, dia juga sangat ingin memberitahu Hanan tentang kehamilannya.Dulu terbayang bagaimana bahagia harinya jika di kehamilannya yang pertama Naya akan selalu dimanja oleh Hanan. Dan setiap pergi untuk memeriksakan kandu
Tak terasa sudah hampir dua minggu sejak Naya mengusir Hanan, akan tapi Hanan tidak berusaha menemui Naya kembali. Naya berpikir mungkin Hanan sudah tidak ingin mempertahankannya lagi sekarang.Bukan Naya merindukan Hanan, tapi terkadang ada rasa ingin melihat sang suami, mungkin itu juga pengaruh dari kehamilannya. Naya tidak bisa mengontrol hatinya untuk tidak merindukan Hanan.Pesan masih sering dikirimkan oleh Hanan, tapi tak satu pun Naya membalasnya. Dia tak terlalu memikirkan kenapa sang suami tak kunjung menemuinya, dalam pikirannya entah hati Hanan sudah sepenuhnya dimiliki oleh Melisa atau belum.Cinta bisa datang karena terbiasa bersama, Naya tak mau menyalahkan Hanan jika memang dia sudah mencintai Melisa. Mungkin memang sudah takdir pernikahannya seperti ini.Naya mencoba ikhlas melepaskan beban di hatinya, dia cukup fokus pada kehamilannya saja sekarang.Hari cukup cerah saat Naya menunggu Dinda menjemputnya, karena sekarang Dinda yang selalu menjemput dan mengantarnya p
"Bu, ada yang ingin bertemu dengan Ibu." Dinda memasuki ruang kerja Naya setelah mengetuk pintu."Siapa, Din?" Naya mengernyitkan kening heran, siapa yang ingin bertemu dengannya."Seorang wanita yang tadi duduk di belakang Ibu," jawab Dinda."Melisa?" gumam Naya heran kenapa Melisa ingin bertemu dengannya. Apa lagi yang Melisa inginkan darinya, Naya benar-benar malas bertemu dengan Melisa lagi. Dari tadi Naya sudah menahan diri mendengar obrolan Melisa dan temannya. Kini Naya tak yakin bisa menahan dirinya jika bertemu dengan Melisa lagi."Bu, bagaimana? Apa Ibu ingin menemuinya atau tidak?" Pertanyaan Dinda menyadarkan Naya dari lamunannya."Bilang saja aku sedang sibuk dan tidak bisa digangu ya, Din. Aku capek ingin istirahat sebentar." Naya pun memutuskan untuk tidak menemui Melisa untuk sekarang."Baik, Bu." Dinda beranjak menuju pintu."Tunggu, Din! Kalau dia tetap ingin bertemu, sampaikan padanya jangan menggangguku." "Baik Bu, saya permisi." Dinda pun berlalu menemui Melisa.
Pov Naya"Bagaimana, Mbak? Apakah Mbak masih mengharapkan laki-laki yang sudah membuatmu menderita? Apakah Mbak masih saja terjebak dalam masa lalu, hingga tidak berani memberi kesempatan pada Pak Alan? Apakah terlalu sulit menghilangkan bayang-bayang masa lalu yang menyedihkan?" tanya Dinda bertubi-tubi semakin membuatku kalut.Tanganku meremas satu sama lain, pertanyaan Dinda menusuk hatiku. Sedikit banyak apa yang Dinda tanyakan memanglah benar. Aku memang belum bisa melupakan bayang-bayang masa lalu.Bukan aku ingin kembali pada Mas Hanan, akan tetapi perasaan takut dan trauma selalu menghantuiku.Kurasakan tangan Dinda meremas tanganku dengan lembut, aku pun menatap mata Dinda dalam."Mbak juga berhak untuk bahagia, jangan terlalu tenggelam dalam masa lalu, Mbak. Kami semua juga ingin melihat Mbak Naya bahagia dengan pasangan baru Mbak Naya. Janganlah takut untuk memulai kembali, mungkin saja Pak Alan adalah jodoh terakhir untukmu, Mbak," ucap Dinda sembari tersenyum lembut.Aku
Naya bergegas kembali ke dalam restoran saat tak menemukan sosok Hanan. Dia berjalan menunduk kembali merasakan perasaan sedih karena teringat Hanan.Naya berjalan sembari mengusap air mata yang tak bisa dia tahan."Bruk—." Naya terjatuh karena tidak sengaja menabrak seseorang di depannya.Naya meringis saat sikunya terbentur lantai dengan keras. Dia masih menunduk mengusap-usap sikunya dengan telapak tangannya."Maaf, saya tidak sengaja," ucap seseorang yang telah menabrak Naya."Tidak apa-apa," sahut Naya sembari mendongakkan kepala.Netra Naya membulat ketika melihat siapa yang telah menabraknya, perlahan dia melebarkan senyum melihat sosok tersebut."Ibu Naya?" tanya sosok tersebut juga ikut terkejut.Naya pun bangkit dari posisinya terjatuh dan berdiri di depan sosok tersebut."Iya, Pak Alan. Ini saya," jawab Naya sembari tersenyum.Alan mengembangkan senyumnya dan bertanya, "Apa kabar, Bu? Sudah lama sekali saya tidak pernah melihat Ibu Naya?""Alhamdulillah, baik. Bagaimana d
"Sudah sampai, Bu," ucap sopir pada Naya yang sedang melamun sembari mengelus-ngelus puncak kepala Aryan—anak semata wayangnya."Oh iya, Pak." Naya pun beranjak turun dari mobil sembari menggendong Aryan.Netra Naya memandang restorannya yang sudah banyak berubah semenjak dia meninggalkannya, sudah hampir dua tahun Naya meninggalkannya untuk diurus Dinda.Perlahan Naya melangkahkan kaki masuk ke dalam restoran, nampak suasana ramai menyambut kedatangannya kembali.Di ambang pintu sudah ada Dinda dan Arya, sekarang mereka telah menjadi sepasang suami istri. Tidak menyangka dokter yang dulu pernah menaruh hati pada Naya sudah menemukan jodohnya.Naya mengulum senyum membayangkan bagaimana dulu mereka dekat hingga akhirnya berakhir menjadi sahabat.Arya sempat menyatakan perasaannya kepada Naya tapi dia tentu tidak bisa membohongi perasaannya dengan menerima Arya.Naya sungguh merasa tidak pantas bersanding dengan Arya mengingat status yang telah dia sandang. Lebih baik mereka menjadi sa
Pov Hanan Dua tahun masa hukumanku akan segera berakhir, aku tidak sabar keluar dari sini dan mencari keberadaan Naya. Aku ingin melihat wajah anakku seperti apa, apakah dia akan seperti Naya atau sepertiku.Bolehkah aku berharap untuk kembali bersama Naya lagi? Merajut rumah tangga bahagia seperti dulu lagi. Apalagi aku sudah sepenuhnya berpisah dari Melisa.Tidak akan ada yang akan menghalangi kebahagiaan kami lagi. Apakah Naya mau menerimaku kembali menjadi suaminya jika aku keluar dari sini? Aku sungguh berharap bisa bersatu kembali dengan Naya.Semoga saja aku masih diberi kesempatam untuk memperbaiki semua kesalahanku pada Naya. Aku janji, akan memperlakukan Naya lebih baik lagi, jika dia mau kembali padaku. Aku tidak akan menyakitinya lagi, aku akan selalu membahagiakannya.Aku mencoba memejamkan mata, berharap hari esok cepat datang, dan aku akan segera keluar dari sini.***Hari yang aku tunggu pun datang, aku sudah bebas hari ini. Aku berada di pinggir jalan, menanti ibu da
Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat, Naya melalui hari-hari damainya di rumah Irham. Di rumah Irham terdiri dari tiga anggota keluarga, ada Irham, Alina dan juga Alisa–gadis kecil buah hati mereka.Untunglah Naya tidak terlalu kesepian karena ada mereka. Apalagi Alisa sangat menggemaskan. Di usianya yang baru menginjak lima tahun, Alisa tumbuh dengan baik. Tidak kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuanya.Sejenak Naya merasa iri dengan kehidupan Alisa, dalam benaknya Naya bertanya-tanya, akankah anaknya kelak akan tumbuh ceria seperti Alisa di saat hanya ada ibunya yang membesarkannya.Ketakutan akan ketidak mampuannya membesarkan anaknya kelak, selalu menghantui Naya.Apalagi jika kelak dia ditanya oleh anaknya di mana ayahnya berada, mau bagaimana Naya menjawabnya? Tidak mungkin Naya menceritakan semua pada anaknya. Naya takut akhirnya anaknya akan membenci ayahnya sendiri.Apakah Naya sanggup menghadapi pertanyaan-pertanyaan anaknya tentang ayah kandungnya? Naya menghela
Pov Hanan Netraku mulai meneteskan air mata begitu mendengar ketukan palu dari Hakim pertanda berakhirnya sidang perceraianku dengan Naya.Dengan begitu, berakhir pula pernikahan yang sudah sepuluh tahun aku bina dengan Naya. Pernikahan yang membuatku menjadi lelaki paling bahagia karena bisa mendapatkan istri seperti Naya.Setiap yang ada pada diri Naya adalah dambaan semua lelaki. Seharusnya aku merasa beruntung memiliki Naya, bukan malah menyakitinya begitu saja.Apalagi sekarang Naya sedang mengandung anakku, darah dagingku. Seharusnya pernikahanku dengan Naya dipenuhi dengan kebahagiaan menanti kehadiran anak pertama kami.Aku tidak akan bisa melihat kelahiran anak pertamaku yang begitu aku tunggu-tunggu. Karena masa hukumanku yang masih lama. Saat anakku lahir, aku masih berada di dalam penjara.Entah Naya kelak mengijinkan aku untuk bertemu dengan anakku sendiri atau tidak. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan.Sesungguhnya aku sangat berharap Naya mau memberikan
Pov NayaSetelah Melisa pergi aku bergegas masuk ke dalam ruanganku untuk beristirahat. Kurebahkan tubuh di sofa begitu sampai.Sejujurnya aku tidaklah lelah. Aku hanya ingin sendiri hari ini. Bagaimanapun, berakhirnya pernikahanku dengan Mas Hanan, sedikit banyak membuat nyeri di hatiku.Aku hanya ingin mencoba menata hati dengan status baruku. Status janda yang baru saja aku sandang beberapa jam yang lalu, membuat hatiku sedikit sakit. Tidak pernah terbayangkan aku akan menyandang status tersebut.Biarlah hari ini aku merenungi setiap jalan hidupku, serta merasakan kesedihan yang telah aku lalui. Jika esok datang aku harus bisa bangkit dan memulai hidup baru.Aku akan pergi mengikuti Bang Irham di mana dia tinggal. Biar urusan restoran aku serahkan pada Dinda kembali. Kelak jika aku sudah siap kembali lagi ke sini, aku pasti akan kembali. Untuk sekarang aku harus fokus pada kehamilanku, apalagi beberapa bulan lagi aku akan melahirkan. Aku akan segera bertemu dengan anakku. Aku tida
Naya berjalan diiringi Dinda di belakangnya menuju parkiran. Di sana Irham sudah menunggunya dari tadi."Mbak Naya, tunggu!"Naya menghentikan langkahnya begitu mendengar suara yang dikenalinya memanggil. Naya menolehkan kepala sembari mengernyitkan keningnya. Memastikan apakah benar suara Melisa yang didengarnya.Seingatnya dari kabar yang dia dengar, Melisa sedang berada di luar kota mengikuti kedua orangtuanya."Mbak, bisa aku meminta waktumu sebentar?" tanya Melisa begitu sampai di depan Naya."Ada apa lagi, Mel?" Naya bertanya pada Melisa tanpa menjawab pertanyaan Melisa."Aku mohon, Mbak. Aku hanya ingin berbicara sebentar saja, aku janji tidak akan lama," jawab Melisa memelas.Naya nampak menimbang-nimbang akankah dia memberi kesempatan Melisa untuk berbicara atau tidak. Sejujurnya dia heran ada urusan apa lagi Melisa meminta waktu untuk bicara. Bukankah sekarang Melisa sudah bisa memiliki Hanan sepenuhnya? Bukankah sekarang Melisa juga bisa menjadi satu-satunya istri Hanan ta
Tak terasa waktu sudah berlalu dengan cepatnya, persidangan perceraian Naya dengan Hanan hari ini adalah yang terakhir.Naya sudah tidak sabar menunggu datangnya hari ini. Setelah perceraiannya berakhir, Naya akan pergi dan memulai hidup baru bersama anaknya. Dia ingin hidup dengan tenang tanpa diganggu oleh siapapun.Kini kehamilan Naya sudah memasuki trimester ke kedua, dia sudah kepayahan jika terlalu banyak beraktivitas.Sekarang hidup Naya sudah lumayan tenang, Ratih sudah tidak pernah menemuinya lagi semenjak Dinda mendonorkan darahnya untuk Melisa.Keadaan Melisa pun sudah berangsur membaik, sejak sadar dari koma dia tinggal bersama kedua orangtuanya. Tapi kini Melisa menjadi sosok yang pendiam, dia tidak mau keluar rumah untuk beraktivitas.Melisa pun ingin mengajukan perceraian dari Hanan, namun orangtua Melisa melarangnya. "Yah, Bu. Aku ingin bercerai saja dari Mas Hanan," ucap Melisa sendu saat mereka sedang bercakap-cakap setelah beberapa minggu Melisa sadar dari koma."K