Hanan pulang dengan langkah gontai, setelah diusir oleh Naya. Hanan tahu kesalahannya tak bisa dimaafkan, tapi Hanan masih sangat mencintai Naya. Dia tidak mau kehilangan Naya apapun yang terjadi.
Baktinya kepada Ratih sang Ibu membawa luka mendalam pada Naya, Hanan bingung harus bagaimana meminta maaf pada Naya.
Hanan pun tahu semenjak dahulu Ibunya tak begitu suka pada istrinya itu, tapi Hanan tidak bisa meninggalkan Naya. Nayalah wanita pilihan Hanan, dia tidak ingin rumah tangganya dengan Naya berakhir.
Dering ponsel Hanan menyadarkannya dari lamunan, dilihatnya ponsel tersebut. Lidahnya berdecak kala melihat siapa yang telah menelfonnya. Ternyata panggilan telfon tersebut dari Melisa. Hanan pun menjawab panggilan tersebut dengan malas.
"Assalamu'alaikum Melisa, ada apa?"
"W*'alaikum salam Mas, kapan Mas pulang?" tanya Melisa dari ujung telfon.
"Aku belum tahu, aku sedang ingin sendiri," jawab Hanan sedikit jengah dengan pertanyaan Melisa.
"Kenapa, Mas? Pokoknya aku tidak mau tahu, Mas harus segera pulang sekarang!" Melisa menuntut Hanan untuk segera pulang.
"Jangan paksa aku jika aku belum mau pulang!" balas Hanan dengan dingin.
"Mas pasti ada di rumah Mbak Naya 'kan? Aku tahu Mas pasti ke sana. Aku juga istrimu Mas, aku juga berhak atas waktumu!" tegas Melisa lalu dia pun mematikan sambungan telfon secara sepihak.
Hanan merasa kesal atas ucapan Melisa, dia tidak sopan sekali mematikan sambungan telfon tanpa mendengar jawaban darinya.
Hanan memutar kemudi menuju rumah Ibunya, setelah Hanan menikah dengan Melisa, Ratih menginginkan mereka tinggal di rumahnya. Ratih ingin agar mereka segera memberikan cucu.
Terkadang Hanan merasa iri akan kedekatan Ibunya dan Melisa. Kenapa Ibunya tidak bisa sedekat itu dengan Naya, padahal Naya tidak pernah melawan apapun permintaan Ratih. Naya menantu yang baik, di saat gaji Hanan sebagian besarnya diminta Ratih pun Naya tidak pernah mengeluh ataupun marah.
Naya istri yang mandiri, Hanan tidak pernah tahu Naya menpunyai usaha di bidang apa. Yang Hanan tahu terkadang Naya sibuk mengurus bisnisnya. Hanan sangat bangga sekali mendapatkan Naya menjadi istri.
Selang dua puluh menit Hanan telah sampai, mobil Hanan pun memasuki halaman rumah Ratih, dia beranjak turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam rumah.
"Assalamu'alaikum, Bu," salam Hanan begitu melihat Ratih.
"W*'alaikum salam Han, sudah pulang kamu? Dari mana saja kamu? Dari tadi Melisa mencarimu?" Ratih sudah memberondong Hanan dengan banyak pertanyaan begitu dia masuk.
"Aku pulang ke rumah Naya, Bu," jawab Hanan dengan santai.
"Untuk apa kamu pergi ke sana? Di sini sudah ada Melisa yang mengurusmu, jadi tidak perlu kamu sering ke rumah Naya," ucap Ratih membuat Hanan sedikit jengah.
"Tidak bisa Bu, Naya juga istriku. Aku akan tetap menemuinya."
"Untuk apa kamu pertahankan istri tidak berguna dan mandul seperti dia?" maki Ratih. Hanan menggeram, dia sudah tidak bisa mendengar Ibu selalu menghina istrinya.
"Cukup, Bu! Aku sudah menuruti semua permintaan Ibu, bahkan untuk mengkhianati Naya, jadi jangan larang aku menemui istriku sendiri." Hanan tidak menyangka Ibunya bisa berbicara seperti itu tentang Naya, Hanan tidak rela jika Ibunya terus menghina Naya seperti itu.
Hanan memilih pergi ke kamar daripada bertengkar melawan Ibunya. Di dalam kamar Hanan tak mendapati Melisa, Hanan berpikir Melisa sedang berada di dapur. Akhirnya dia memutuskan mandi untuk menyegarkan badannya.
Selesai Hanan mandi ternyata Melisa sudah ada di kamar, padahal Hanan berpikir ingin beristirahat sejenak tanpa kehadiran Melisa. Hanan merasa lelah tubuh dan pikirannya.
Melihat Melisa, Hanan hanya diam, enggan menyapanya. Hanan pun masih merasa kesal dengan ucapan Melisa.
Hanan melangkah menuju pembaringan dengan diam, dia merebahkan tubuhnya membelakangi Melisa. Hanan ingin tidur barang sejenak untuk melepas penat.
"Mas kenapa diam saja?" tanya Melisa membuat Hanan kembali membuka mata.
"Aku capek Mel, aku ingin istirahat sebentar," ucap Hanan tanpa menoleh ke arah Melisa.
"Mas, kenapa Mas begitu dingin padaku?" Kembali Melisa bertanya hal yang membuat Hanan muak.
"Sudahlah Mel, aku tidak kenapa-kenapa. Aku cuma ingin istirahat sebentar. Aku capek sekali." Hanan jengah sekali dengan sikap Melisa yang kekanak-kanakan.
"Tidak, ini pasti karena Mas baru pulang dari rumah Mbak Naya 'kan?"
"Ini tidak ada hubungannya dengan Naya, jangan membawa Naya dalam perdebatan kita."
"Lalu aku harus bagaimana, Mas? Tidak biasakah Mas membagi sedikit saja cinta untukku?" tanya Melisa dengan mata berkaca-kaca. Dia sangat mengharapkan balasan cinta dari Hanan.
"Aku sudah pernah menegaskan kepadamu sebelum kita menikah, aku sangat mencintai Naya. Dan kamu tidak keberatan akan itu!" Hanan mulai geram dengan Melisa, dia terlalu banyak menuntut.
"Tapi aku hanya meminta sedikit saja cintamu untukku Mas, aku juga istrimu!"
"Aku tahu, aku tahu kamu juga istriku. Maka dari itu aku tetap pulang kerumah Ibu untukmu. Jangan meminta lebih lagi, karena pernikahan ini bukan keinginanku," tegas Hanan.
"Tapi Mas juga setuju menikah denganku. Mas juga menginginkan keturunan yang tidak bisa Mbak Naya berikan. Jadi jangan hanya menyalahkanku, Mas." Melisa masih belum merasa puas dengan jawaban Hanan.
"Sudah aku bilang jangan bawa Naya dalam pertengkaran kita!"
"Memang semua salah Mbak Naya, Mas. Dia tidak bisa menerima pernikahan kita tapi dia juga tidak bisa memberikan Mas keturunan."
"Diam! jangan menyalahkan Naya atas semuanya!" Suara Hanan mulai meninggi, emosinya kembali naik.
Melisa terkejut karena Hanan membentaknya, lelah tubuh dan pikiran Hanan membuat emosinya tak terkendali. Melisa pun tidak bisa menahan rasa kecewanya, dia menangis melangkah pergi meninggalkan kamar.
Hanan memijit keningnya, dia merasakan pening di kepalanya. Sejak pagi Hanan sudah bertengkar dengan semua orang. Ternyata keputusannya untuk menuruti keinginan sang ibu berubah menjadi bumerang untuknya sendiri.
Hanan menyesal mengikuti perintah Ibunya, hidupnya jadi tak karuan setelah menikah dengan Melisa. Hanan kira Melisa wanita yang lembut dan penyabar, tapi ternyata dia suka menuntut dan posesif.
Hanan berfikir harus bisa meluluhkan hati Naya kembali, Hanan tidak mau Naya meninggalkannya. Nayalah satu-satunya wanita yang sangat Hanan cintai.
Hanan akan mencoba membujuk Naya untuk memaafkannya. Hanan sungguh sangat merindukan Nayanya yang dulu, yang selalu mencintainya. Memperlakukannya menjadi suami paling bahagia memiliki istri sepertinya.
Hanan berdoa semoga Naya bisa memaafkannya dan menerimanya kembali. Hanan akan meninggalkan Melisa jika Naya memintanya untuk memilih.
Hanan terbangun setelah mendengar panggilan Ratih, dia beranjak turun dari pembaringan menuju pintu, dilihatnya sang ibu sedang resah di samping pintu."Ada apa, Bu?" tanya Hanan."Apakah Melisa ada di dalam kamar, Han?" Ratih balik bertanya tak menjawab pertanyaan Hanan."Tidak, Bu." Hanan mengernyitkan kening. Dia langsung tertidur begitu Melisa meninggalkannya. Tubuhnya yang lelah tidak memikirkan kepergian Melisa dari kamarnya."Kamu tahu Melisa pergi ke mana? Sudah larut malam dia belum juga pulang," tanya Ratih dengan gelisah."Aku tidak tahu, Bu. Aku baru saja tertidur tadi. Apakah Melisa tidak memberitahu Ibu dia pergi kemana?" jawab Hanan."Melisa tidak memberitahu Ibu akan pergi kemana, Ibu pikir dia hanya pergi ke supermarket sebentar, tapi hingga sekarang dia belum kembali. Cepat hubungi dia, Ibu takut Melisa kenapa-napa," desak Ratih mulai khawatir dengan Melisa."Baiklah, Bu." Hanan kembali masuk ke kamar mengambil ponselnya. Dicarinya nomer kontak Melisa, dan ditekannya
Semenjak mengetahui kehamilannya, Naya berusaha melupakan pengkhianatan Hanan padanya. Dia memutuskan harus kuat menghadapi masalah apapun demi calon bayinya.Naya kembali memulai aktivitasnya. Dia mencoba keluar dari keterpurukannya, bangkit dari rasa sakitnya, karena sekarang dia tidak hidup untuk dirinya sendiri ada calon bayi yang dikandungnya.Untungnya kehamilan Naya tidak banyak merepotkan, setelah pulang dari rumah sakit Naya tidak pernah mual lagi. Hanya porsi makannya saja yang semakin bertambah. Badannya pun menjadi semakin berisi sekarang.Naya selalu rutin cek kandungan untuk melihat perkembangan janinnya. Terkadang ada rasa sedih di hatinya saat melihat pasangan yang sedang mengantri memeriksakan kandungan istrinya. Ada sedikit rasa iri dihatinya melihat itu, dia juga sangat ingin memberitahu Hanan tentang kehamilannya.Dulu terbayang bagaimana bahagia harinya jika di kehamilannya yang pertama Naya akan selalu dimanja oleh Hanan. Dan setiap pergi untuk memeriksakan kandu
Tak terasa sudah hampir dua minggu sejak Naya mengusir Hanan, akan tapi Hanan tidak berusaha menemui Naya kembali. Naya berpikir mungkin Hanan sudah tidak ingin mempertahankannya lagi sekarang.Bukan Naya merindukan Hanan, tapi terkadang ada rasa ingin melihat sang suami, mungkin itu juga pengaruh dari kehamilannya. Naya tidak bisa mengontrol hatinya untuk tidak merindukan Hanan.Pesan masih sering dikirimkan oleh Hanan, tapi tak satu pun Naya membalasnya. Dia tak terlalu memikirkan kenapa sang suami tak kunjung menemuinya, dalam pikirannya entah hati Hanan sudah sepenuhnya dimiliki oleh Melisa atau belum.Cinta bisa datang karena terbiasa bersama, Naya tak mau menyalahkan Hanan jika memang dia sudah mencintai Melisa. Mungkin memang sudah takdir pernikahannya seperti ini.Naya mencoba ikhlas melepaskan beban di hatinya, dia cukup fokus pada kehamilannya saja sekarang.Hari cukup cerah saat Naya menunggu Dinda menjemputnya, karena sekarang Dinda yang selalu menjemput dan mengantarnya p
"Bu, ada yang ingin bertemu dengan Ibu." Dinda memasuki ruang kerja Naya setelah mengetuk pintu."Siapa, Din?" Naya mengernyitkan kening heran, siapa yang ingin bertemu dengannya."Seorang wanita yang tadi duduk di belakang Ibu," jawab Dinda."Melisa?" gumam Naya heran kenapa Melisa ingin bertemu dengannya. Apa lagi yang Melisa inginkan darinya, Naya benar-benar malas bertemu dengan Melisa lagi. Dari tadi Naya sudah menahan diri mendengar obrolan Melisa dan temannya. Kini Naya tak yakin bisa menahan dirinya jika bertemu dengan Melisa lagi."Bu, bagaimana? Apa Ibu ingin menemuinya atau tidak?" Pertanyaan Dinda menyadarkan Naya dari lamunannya."Bilang saja aku sedang sibuk dan tidak bisa digangu ya, Din. Aku capek ingin istirahat sebentar." Naya pun memutuskan untuk tidak menemui Melisa untuk sekarang."Baik, Bu." Dinda beranjak menuju pintu."Tunggu, Din! Kalau dia tetap ingin bertemu, sampaikan padanya jangan menggangguku." "Baik Bu, saya permisi." Dinda pun berlalu menemui Melisa.
Mentari pagi telah menampakkan diri. Naya pun beranjak bangun dari tempat tidur. Setelah sholat Subuh tadi Naya kembali tertidur, dia sedikit merasa malas untuk bangun karena cuaca sedang dingin sekali.Jika tidak ingat dengan janjinya pada Melisa, tentu Naya lebih memilih bermalas-malasan di rumah. Sebelum memulai aktivitas Naya pun mandi terlebih dahulu. Selesai mandi dia bergegas untuk membuat sarapan, tenaganya harus terisi penuh jika harus bertemu dengan Hanan.Naya juga harus kuat untuk menghadapi Hanan, belum nanti jika ada ibu mertuanya di sana. Dia harus menyiapkan hati dengan ucapan Ratih yang menusuk hati.Selesai sarapan Naya mengambil ponsel, dicarinya kontak Dinda dan menelfonnya. Naya lupa belum memberitahu Dinda jika dia akan pergi untuk menjenguk Hanan."Assalamu'alaikum Bu," sapa Dinda begitu panggilan telfon tersambung."Wa'alaikum salam, Din. Maaf ganggu kamu pagi-pagi begini.""Tidak apa-apa, Bu. Kalau boleh tahu, ada apa Ibu menelfon saya pagi-pagi?" tanya Dind
Setelah membantu Hanan kembali berbaring di ranjang Naya berniat untuk pergi. Naya takut jika terlalu lama di dekat Hanan, dia tidak bisa menahan diri lebih lama lagi."Istirahatlah, Mas," ucap Naya pada Hanan yang sedang berbaring."Mas tidak mau, Mas masih ingin melihatmu, sayang. Nanti jika Mas tidur kamu akan pergi dari sisi Mas lagi," rengek Hanan."Jika Mas tidak istirahat bagaimana bisa sembuh?""Apakah jika Mas sudah sembuh, Mas boleh pulang ke rumah kita?" tanya Hanan berharap.Naya terdiam mendengar permintaan Hanan. Berat untuknya mengabulkan permohonan Hanan, luka hatinya masih menganga belum mengering sama sekali."Boleh, Mas," ucap Naya tidak tega melihat kondisi Hanan. Untuk sementara Naya pun mengikuti apa yang Hanan mau agar dia bisa cepat pergi."Terima kasih, sayang. Mas akan segera sembuh agar kita bisa cepat berkumpul kembali," ucap Hanan mulai memejamkan mata.Setelah Hanan tertidur Naya pun beranjak pergi. Dia melangkah menuju pintu, tapi betapa terkejutnya dia
"Maaf Mas, aku tidak akan mengulangi kesalahanku lagi. Aku mohon bangunlah, Mas." Melisa menangis tergugu di samping ranjang Hanan. Dia tidak menyangka sikapnya yang kekanak-kanakan malah membuat Hanan sang suami terbaring di rumah sakit.Melisa menggenggam erat tangan Hanan yang tidak terpasang infus, dikecupnya pelan punggung tangan Hanan."Sudahlah, Mel. Jangan menangis terus menerus, keadaan Hanan pasti akan segera membaik. Dokter sudah memberikan perawatan yang baik pada Hanan." Ratih menepuk pundak Melisa pelan, dia juga sedih melihat sang putra terbaring di rumah sakit. Namun Ratih masih bisa menghibur Melisa."Tapi semua salahku, Bu. Jika saja aku tidak meminta Mas Hanan untuk segera pulang, tentu Mas Hanan tidak akan mengalami, kecelakaan," sahut Melisa dengan air mata yang bercucuran.Ratih terdiam, apa yang diucapkan Melisa memang benar, jika saja menantunya itu tidak menyuruh sang putra pulang, tentu sekarang Hanan masih sehat. Tapi Ratih tidak bisa menyalahkan Melisa sepe
Pov Naya."Jadi saya tidak perlu menjemput Ibu hari ini?" tanya Dinda melalui sambungan telfon."Tidak perlu, Din. Aku ingin di rumah saja hari ini," balasku sembari menyiapkan menu sarapan."Baik Bu, jika perlu apapun silahkan menghubungi saya.""Tentu Din, memang hanya kamu yang selalu mau aku repotkan," candaku."Sudah tugas saya, Bu.""Baiklah, aku tutup dulu telfonnya." Aku pun mengakhiri panggilan telfon dan bergegas menyantap sarapan yang telah kubuat.Entah kenapa rasanya aku sedang ingin bermalas-malasan hari ini, rasanya aku tidak ingin pergi keluar rumah. Mungkin semua karena efek kehamilanku, walau begitu aku sangat bahagia sekali.Aku merasakan ada kehidupan lain di dalam rahimku, sungguh rasanya menakjubkan di kala mendapatkan anugrah terindah yang selalu aku nantikan setelah sekian lama.Tanganku mengelus perut yang masih rata, karena memang usia kandunganku masih berusia sembilan minggu. Walau begitu punggungku terkadang terasa nyeri saat aku kelelahan.Tidak bisa aku
Pov Naya"Bagaimana, Mbak? Apakah Mbak masih mengharapkan laki-laki yang sudah membuatmu menderita? Apakah Mbak masih saja terjebak dalam masa lalu, hingga tidak berani memberi kesempatan pada Pak Alan? Apakah terlalu sulit menghilangkan bayang-bayang masa lalu yang menyedihkan?" tanya Dinda bertubi-tubi semakin membuatku kalut.Tanganku meremas satu sama lain, pertanyaan Dinda menusuk hatiku. Sedikit banyak apa yang Dinda tanyakan memanglah benar. Aku memang belum bisa melupakan bayang-bayang masa lalu.Bukan aku ingin kembali pada Mas Hanan, akan tetapi perasaan takut dan trauma selalu menghantuiku.Kurasakan tangan Dinda meremas tanganku dengan lembut, aku pun menatap mata Dinda dalam."Mbak juga berhak untuk bahagia, jangan terlalu tenggelam dalam masa lalu, Mbak. Kami semua juga ingin melihat Mbak Naya bahagia dengan pasangan baru Mbak Naya. Janganlah takut untuk memulai kembali, mungkin saja Pak Alan adalah jodoh terakhir untukmu, Mbak," ucap Dinda sembari tersenyum lembut.Aku
Naya bergegas kembali ke dalam restoran saat tak menemukan sosok Hanan. Dia berjalan menunduk kembali merasakan perasaan sedih karena teringat Hanan.Naya berjalan sembari mengusap air mata yang tak bisa dia tahan."Bruk—." Naya terjatuh karena tidak sengaja menabrak seseorang di depannya.Naya meringis saat sikunya terbentur lantai dengan keras. Dia masih menunduk mengusap-usap sikunya dengan telapak tangannya."Maaf, saya tidak sengaja," ucap seseorang yang telah menabrak Naya."Tidak apa-apa," sahut Naya sembari mendongakkan kepala.Netra Naya membulat ketika melihat siapa yang telah menabraknya, perlahan dia melebarkan senyum melihat sosok tersebut."Ibu Naya?" tanya sosok tersebut juga ikut terkejut.Naya pun bangkit dari posisinya terjatuh dan berdiri di depan sosok tersebut."Iya, Pak Alan. Ini saya," jawab Naya sembari tersenyum.Alan mengembangkan senyumnya dan bertanya, "Apa kabar, Bu? Sudah lama sekali saya tidak pernah melihat Ibu Naya?""Alhamdulillah, baik. Bagaimana d
"Sudah sampai, Bu," ucap sopir pada Naya yang sedang melamun sembari mengelus-ngelus puncak kepala Aryan—anak semata wayangnya."Oh iya, Pak." Naya pun beranjak turun dari mobil sembari menggendong Aryan.Netra Naya memandang restorannya yang sudah banyak berubah semenjak dia meninggalkannya, sudah hampir dua tahun Naya meninggalkannya untuk diurus Dinda.Perlahan Naya melangkahkan kaki masuk ke dalam restoran, nampak suasana ramai menyambut kedatangannya kembali.Di ambang pintu sudah ada Dinda dan Arya, sekarang mereka telah menjadi sepasang suami istri. Tidak menyangka dokter yang dulu pernah menaruh hati pada Naya sudah menemukan jodohnya.Naya mengulum senyum membayangkan bagaimana dulu mereka dekat hingga akhirnya berakhir menjadi sahabat.Arya sempat menyatakan perasaannya kepada Naya tapi dia tentu tidak bisa membohongi perasaannya dengan menerima Arya.Naya sungguh merasa tidak pantas bersanding dengan Arya mengingat status yang telah dia sandang. Lebih baik mereka menjadi sa
Pov Hanan Dua tahun masa hukumanku akan segera berakhir, aku tidak sabar keluar dari sini dan mencari keberadaan Naya. Aku ingin melihat wajah anakku seperti apa, apakah dia akan seperti Naya atau sepertiku.Bolehkah aku berharap untuk kembali bersama Naya lagi? Merajut rumah tangga bahagia seperti dulu lagi. Apalagi aku sudah sepenuhnya berpisah dari Melisa.Tidak akan ada yang akan menghalangi kebahagiaan kami lagi. Apakah Naya mau menerimaku kembali menjadi suaminya jika aku keluar dari sini? Aku sungguh berharap bisa bersatu kembali dengan Naya.Semoga saja aku masih diberi kesempatam untuk memperbaiki semua kesalahanku pada Naya. Aku janji, akan memperlakukan Naya lebih baik lagi, jika dia mau kembali padaku. Aku tidak akan menyakitinya lagi, aku akan selalu membahagiakannya.Aku mencoba memejamkan mata, berharap hari esok cepat datang, dan aku akan segera keluar dari sini.***Hari yang aku tunggu pun datang, aku sudah bebas hari ini. Aku berada di pinggir jalan, menanti ibu da
Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat, Naya melalui hari-hari damainya di rumah Irham. Di rumah Irham terdiri dari tiga anggota keluarga, ada Irham, Alina dan juga Alisa–gadis kecil buah hati mereka.Untunglah Naya tidak terlalu kesepian karena ada mereka. Apalagi Alisa sangat menggemaskan. Di usianya yang baru menginjak lima tahun, Alisa tumbuh dengan baik. Tidak kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuanya.Sejenak Naya merasa iri dengan kehidupan Alisa, dalam benaknya Naya bertanya-tanya, akankah anaknya kelak akan tumbuh ceria seperti Alisa di saat hanya ada ibunya yang membesarkannya.Ketakutan akan ketidak mampuannya membesarkan anaknya kelak, selalu menghantui Naya.Apalagi jika kelak dia ditanya oleh anaknya di mana ayahnya berada, mau bagaimana Naya menjawabnya? Tidak mungkin Naya menceritakan semua pada anaknya. Naya takut akhirnya anaknya akan membenci ayahnya sendiri.Apakah Naya sanggup menghadapi pertanyaan-pertanyaan anaknya tentang ayah kandungnya? Naya menghela
Pov Hanan Netraku mulai meneteskan air mata begitu mendengar ketukan palu dari Hakim pertanda berakhirnya sidang perceraianku dengan Naya.Dengan begitu, berakhir pula pernikahan yang sudah sepuluh tahun aku bina dengan Naya. Pernikahan yang membuatku menjadi lelaki paling bahagia karena bisa mendapatkan istri seperti Naya.Setiap yang ada pada diri Naya adalah dambaan semua lelaki. Seharusnya aku merasa beruntung memiliki Naya, bukan malah menyakitinya begitu saja.Apalagi sekarang Naya sedang mengandung anakku, darah dagingku. Seharusnya pernikahanku dengan Naya dipenuhi dengan kebahagiaan menanti kehadiran anak pertama kami.Aku tidak akan bisa melihat kelahiran anak pertamaku yang begitu aku tunggu-tunggu. Karena masa hukumanku yang masih lama. Saat anakku lahir, aku masih berada di dalam penjara.Entah Naya kelak mengijinkan aku untuk bertemu dengan anakku sendiri atau tidak. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan.Sesungguhnya aku sangat berharap Naya mau memberikan
Pov NayaSetelah Melisa pergi aku bergegas masuk ke dalam ruanganku untuk beristirahat. Kurebahkan tubuh di sofa begitu sampai.Sejujurnya aku tidaklah lelah. Aku hanya ingin sendiri hari ini. Bagaimanapun, berakhirnya pernikahanku dengan Mas Hanan, sedikit banyak membuat nyeri di hatiku.Aku hanya ingin mencoba menata hati dengan status baruku. Status janda yang baru saja aku sandang beberapa jam yang lalu, membuat hatiku sedikit sakit. Tidak pernah terbayangkan aku akan menyandang status tersebut.Biarlah hari ini aku merenungi setiap jalan hidupku, serta merasakan kesedihan yang telah aku lalui. Jika esok datang aku harus bisa bangkit dan memulai hidup baru.Aku akan pergi mengikuti Bang Irham di mana dia tinggal. Biar urusan restoran aku serahkan pada Dinda kembali. Kelak jika aku sudah siap kembali lagi ke sini, aku pasti akan kembali. Untuk sekarang aku harus fokus pada kehamilanku, apalagi beberapa bulan lagi aku akan melahirkan. Aku akan segera bertemu dengan anakku. Aku tida
Naya berjalan diiringi Dinda di belakangnya menuju parkiran. Di sana Irham sudah menunggunya dari tadi."Mbak Naya, tunggu!"Naya menghentikan langkahnya begitu mendengar suara yang dikenalinya memanggil. Naya menolehkan kepala sembari mengernyitkan keningnya. Memastikan apakah benar suara Melisa yang didengarnya.Seingatnya dari kabar yang dia dengar, Melisa sedang berada di luar kota mengikuti kedua orangtuanya."Mbak, bisa aku meminta waktumu sebentar?" tanya Melisa begitu sampai di depan Naya."Ada apa lagi, Mel?" Naya bertanya pada Melisa tanpa menjawab pertanyaan Melisa."Aku mohon, Mbak. Aku hanya ingin berbicara sebentar saja, aku janji tidak akan lama," jawab Melisa memelas.Naya nampak menimbang-nimbang akankah dia memberi kesempatan Melisa untuk berbicara atau tidak. Sejujurnya dia heran ada urusan apa lagi Melisa meminta waktu untuk bicara. Bukankah sekarang Melisa sudah bisa memiliki Hanan sepenuhnya? Bukankah sekarang Melisa juga bisa menjadi satu-satunya istri Hanan ta
Tak terasa waktu sudah berlalu dengan cepatnya, persidangan perceraian Naya dengan Hanan hari ini adalah yang terakhir.Naya sudah tidak sabar menunggu datangnya hari ini. Setelah perceraiannya berakhir, Naya akan pergi dan memulai hidup baru bersama anaknya. Dia ingin hidup dengan tenang tanpa diganggu oleh siapapun.Kini kehamilan Naya sudah memasuki trimester ke kedua, dia sudah kepayahan jika terlalu banyak beraktivitas.Sekarang hidup Naya sudah lumayan tenang, Ratih sudah tidak pernah menemuinya lagi semenjak Dinda mendonorkan darahnya untuk Melisa.Keadaan Melisa pun sudah berangsur membaik, sejak sadar dari koma dia tinggal bersama kedua orangtuanya. Tapi kini Melisa menjadi sosok yang pendiam, dia tidak mau keluar rumah untuk beraktivitas.Melisa pun ingin mengajukan perceraian dari Hanan, namun orangtua Melisa melarangnya. "Yah, Bu. Aku ingin bercerai saja dari Mas Hanan," ucap Melisa sendu saat mereka sedang bercakap-cakap setelah beberapa minggu Melisa sadar dari koma."K