"Ibu?" Kieran membeo. Dia jadi berpikir, apa terlalu marah dengannya, Ayyara sampai ingin pulang ke rumah ibunya? Tapi anehnya, nada bicara perempuan itu tidak terdengar seperti orang marah. Tidak seperti saat Ayyara mengusirnya tadi.
"Iya mas. Baru saja Agra menelponku. Dia bilang ibu sakit, pasti darah tinggi ibu kambuh lagi. Aku tidak bisa membiarkan Agra menjaga ibu, dia masih anak-anak, jika terjadi apa-apa pada ibu, Agra pasti tidak paham harus melakukan apa."Kieran mengangguk, setuju. Di sisi lain, Kieran sedikit lega melihat istrinya yang tengah khawatir setelah mendengar bahwa ibunya sakit. Perempuan itu mendadak jadi lupa dengan amarahnya."Baiklah, aku akan mengantarkanmu ke sana, sekalian juga ingin melihat ibu.""Yasudah kalau begitu, ayo mas!"Ayyara nyaris melangkah, bersiap untuk pergi. Namun Kieran segera menghentikannya."Kenapa mas?""Ayyara, setidaknya kamu harus membersihkan dirimu lebih dulu. BMira terdiam mendengar pertanyaan Ayyara barusan. Memang, akhir-akhir ini dia sangat merindukan putri sulungnya yang sudah lama tidak pulang. Ayuma sudah dipersunting laki-laki kaya. Mira yakin setelah menikah dengan laki-laki itu, Ayuma akan membantu kebutuhan sang ibu. Namun Mira salah. Ayuma telah melupakan keluarganya, dan tidak pernah lagi memikirkan keadaanya saat ini. Tentu dia sangat kecewa, tapi bagaimanapun dia tetaplah seorang ibu yang melahirkan Ayuma. Mira masih memiliki rasa sayang pada Ayuma, dan ingin bertemu dengan sang putri sulung."Bu. Jangan pikirkan kak Ayuma lagi! Dia saja tidak memikirkan keadaan kita, lalu untuk apa ibu memikirkan kak Ayuma? Mau dia menderita atau bahagia di sana. Ibu tidak perlu peduli!""Kenapa kamu berbicara seperti itu Ayyara? Bagaimanapun, dia tetap kakakmu."Ayyara menghela nafas kesal. Mendengar nama sang kakak disebut saja, hati Ayyara sudah sangat geram. Walaupun perempuan itu adalah kakak kandun
"Ayyara, aku tahu maksudmu itu baik. Tapi coba kamu pikirkan sekali lagi. Kak Ayuma itu adalah anak ibu juga. Seandainya kamu yang ada di posisi ibu. Coba bayangkan, apa yang kamu lakukan jika kamu sudah sangat lama berpisah dengan anakmu? Saat ini, memang kamu belum bisa merasakan apa yang dirasakan ibu terhadap kak Ayuma. Karena kita belum memiliki anak. Tapi percayalah, sejahat-jahat apapun anak pada kita, kita tetap tidak bisa menghapusnya dari ingatan kita."Ayyara terdiam. Pandangannya kembali mengarah pada sang ibu yang masih menahan rasa sakit. Jujur, hari Ayyara semakin sakit mengetahui kondisi Mira saat ini. Melihat Ayyara yang masih terdiam. Kieran memutuskan untuk mendekati Mira. "Ibu, izinkan Kieran untuk menggendong ibu ya. Kieran akan bawa ibu ke rumah sakit."Mira menggeleng pelan, menolak tawaran sang menantu. "Tidak perlu nak Kieran. Ibu, baik-baik saja. Ibu juga sudah meminum obat yang dibelikan Agra di warung tadi. Sebentar lagi pasti
Mira sudah tertidur, mungkin karena pengaruh obat yang diminumnya. Hingga siang ini, Ayyara belum memutuskan untuk pulang dari rumah ibunya. Dia memilih untuk tetap di sana, menjaga Mira. Walau wanita itu berulang kali telah membuatnya kesal, tetap saja Ayyara tak tega meninggalkan Mira begitu saja, apalagi saat sakit seperti ini. Ayyara baru keluar dari kamar Mira. Berjalan lesu menuju ruang tengah, lalu duduk ke sofa. Menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa tersebut, berharap bisa menghilangkan lelahnya untuk sesaat. "Ternyata berdebat dengan orang tua itu melelahkan juga ya.""Kamu lelah?"Suara seorang laki-laki, berhasil membuat Ayyara tersentak kaget. Dia menatap ke asal suara barusan, membuat pandangannya kini bertemu dengan seorang laki-laki yang baru saja memasuki rumah Mira dengan membawa beberapa bungkus makanan.Tadi, Ayyara yang menyuruh suaminya untuk keluar mencari makan siang. Karena Ayyara sendiri sangat malas memasak
"Tidak, aku tidak akan mengizinkannya! Jangan lakukan itu!" bantah Ayyara tak setuju. "Seharusnya kamu membantuku untuk membuat ibu lupa dengan kak Ayuma, bukannya membuat ibu bertemu kak Ayuma. Karena sampai kapanpun, jika dari hati kak Ayuma sendiri ingin menjauh dari kami, walau kita berhasil menemukan kak Ayuma, dia pasti akan pergi lagi. Dan ibu akan sakit hati lagi. Aku tidak mau sampai itu terjadi."Kieran menghela nafas berat. "Sebenarnya membuat ibu lupa dengan kakakmu itu mudah. Hanya saja, mungkin itu sangat sulit untuk kamu kabulkan."Ayyara mengernyit, tak paham dengan apa yang Kieran katakan barusan. "Maksudnya?""Bukankah ibu tadi sudah mengatakan. Ibu akan melupakan kak Ayuma, jika kamu bisa memberinya cucu."Sorot Ayyara seketika berubah, menatap Kieran dengan sorot marah. Dia kemudian memberi peringatan. "Aku tidak mau hamil, selama masih menjadi istrimu. Jangan karena permintaan ibu barusan, kamu juga ikut be
Mobil terhenti. Ayyara menoleh ke sampingnya, menatap sang suami memberinya peringatan. "Kamu di sini saja. Jangan ikut keluar! Awas saja jika kamu sampai mengusikku bersama Bagas di sana, mas!"Tak perlu mendengar jawaban dari Kieran, Ayyara langsung keluar begitu saja dari mobil. Setuju tidak setuju, Kieran terpaksa menuruti apa yang Ayyara perintahkan barusan. Jika tidak, maka dia pasti akan dalam masalah baru. Kieran hanya pasrah. Berdiam diri, di dalam mobil sampai Ayyara kembali. Pandangannya masih mengikuti sang istri yang mulai memasuki cafe di hadapannya.Sesampai di dalam. Ayyara langsung mencari keberadaan laki-laki yang dicintainya. Hingga tak lama, seseorang tak jauh darinya melambaikan tangan, memberitahu keberadaannya pada Ayyara.Ayyara tersenyum, lalu segera menghampiri, dan duduk di kursi samping laki-laki itu."Maaf, pasti kamu lama menunggu."Bagas segera menggeleng. "Tidak masalah. Selama apapun, j
Ayyara diam sesaat. Dia mulai berpikir, mungkin apa yang Bagas katakan barusan ada benarnya juga. Tapi, itu juga bukan masalah besar bagi ayyara. Dia kemudian kembali mengukir senyum. "Tidak apa-apa. Aku tidak peduli, kita akan dikeluarkan di sana atau tidak. Yang terpenting, aku bisa bersamamu.""Tapi Ayyara, jika aku tidak bekerja di sana. Bagaimana caranya agar aku bisa menafkahimu nanti jika kamu menjadi istriku?""Tidak perlu bingung. Kita bisa mencari pekerjaan di tempat lain."Bagas menggeleng pelan. Dia rasa, apa yang terjadi nantinya tidak semudah dengan apa yang Ayyara katakan barusan. "Kamu tahu, jika perusahaan Bimantara group adalah perusahaan yang paling berpengaruh? Bahkan beberapa perusahaan besar di luar sana saja, banyak yang menjalin kerja sama dengan perusahaan Bimantara group. Saat ini, perusahaan itu sepenuhnya ada di tangan pak Kieran. Jika kita membuat pak kieran marah sampai dikeluarkan dari perusahaannya, apa k
Sejak tadi, Kieran terus meluruskan pandangannya ke arah pintu keluar kafe di hadapannya itu. Dia masih berada di dalam mobil, pikirannya mulai tidak tenang. "Lama sekali, memangnya apa yang mereka sedang lakukan di dalam sana?"Sesekali, Kieran melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah menunjukan pukul sebelas malam, Kieran hanya bisa menghela nafas kesal. Kafe itu juga sudah mulai sunyi, mungkin akan segera tutup. Atau mungkin buka dua puluh empat jam? "Apa aku harus ikut masuk ke dalam?" tanya Kieran pada dirinya sendiri. Namun dia masih ragu, bagaimana jika dia masuk ke sana Ayyara justru akan marah padanya? "Sepertinya aku harus tetap menunggu Ayyara di sini."Tak lama, seorang perempuan dan laki-laki keluar dari kafe itu, menyita perhatian Kieran. Kieran seketika menghela nafas lega. Akhirnya perempuan yang dia tunggu sejak tadi, keluar juga dari tempat itu.Namun setelah diperhatikan, sepertinya ada
"Apa maksudmu Ayyara?""Kamu tadi sudah melihatnya, bukan? Bagas marah denganku. Pasti kamu sangat senang 'kan? Kamu senang jika aku dan Bagas bertengkar seperti tadi. Iya kan?""Aku tidak tahu, jika kalian bertengkar," dusta Kieran. Tentu Kieran akan tetap berpura-pura tak melihatnya saja. Daripada Ayyara nanti menuduhnya yang tidak-tidak. "Lagi pula, jika memang kalian tadi bertengkar. Itu tidak ada hubungannya denganku. Aku tidak tahu apa permasalahan kalian, dan aku juga tidak akan ikut campur."Ayyara memutar matanya, nyaris tak percaya dengan apa yang Kieran katakan barusan. Dia kemudian tersenyum sinis. "Kamu tahu, apa yang membuat Bagas marah padaku? Itu gara-gara kamu, mas! Dan kamu bisa-bisanya mengatakan jika tidak tahu apa-apa tentang ini, dan tidak ingin ikut campur?"Kieran menghela nafas kesal. Dia memang benar-benar tidak tahu apa yang telah membuat Ayyara dan Bagas bertengkar. Tapi kenapa Ayyara selal
Pemakaman selesai, seorang perempuan berpakaian serba hitam masih setia duduk di samping makam tersebut. Tangannya tak berhenti mengusap pelan nisan yang bertulis nama Kieran Bimantara.Kini Ayyara tak bisa melihat suaminya lagi, kini Ayyara tak bisa memeluk tubuh Kieran lagi. Terakhir dia melihat Kieran hanya di rumah sakit, setelah dibawa pulang dia tak diijinkan lagi melihat jasad suaminya. Proses pemakaman pun juga terlaksana cukup tertutup, tak ada yang bisa melihat wajah Kieran terakhir kalinya kecuali Raymond dan beberapa orang suruhan Raymond. Entah kenapa, Ayyara juga tak paham. "Ayyara. Ayo kita pulang," bisik Daria yang sejak tadi masih berada di samping sang menantu tersebut. Namun Ayyara menggeleng pelan, menandakan bahwa dirinya tak mau pergi dari sana."Ayyara ingin tetap di sini ma." Mata sembabnya kini menatap gundukan tanah yang masih basah di hadapannya, dia lalu tersenyum sedih. "Dulu, mas Kieran pernah berjanji pada Ayyara.
Di depan sebuah ruang IGD, seorang perempuan terisak. Dia berjongkok sambil memeluk seorang anak laki-laki. Rasa bersalah dan takut bercampur menjadi satu. Bara yang sejak tadi berada di pelukan sang mama hanya bisa diam, tak peduli bau amis darah begitu menusuk ke penciumannya dan akan ikut mengotori seragam sekolahnya. Dia tak bisa menenangkan tangisan sang mama.Jujur, Bara sendiri juga masih shock melihat papanya tertabrak di hadapannya. Tapi dia tak bisa menangis, dia hanya bisa menahan rasa khawatir di pelukan mamanya. "Papa enggak apa-apa kan ma?"Akhirnya Bara bersuara, namun Ayyara tak sanggup untuk menjawabnya."Ayyara!"Bara menoleh, dari arah kejauhan sepasang suami istri menghampiri keberadaan Ayyara dan Bara. Mereka adalah Raymond dan Daria. Tampak jelas kekhawatiran di raut keduanya. Daria langsung berjongkok di hadapan sang menantu, memegang bahu Ayyara. Menyadarkan Ayyara bahwa mereka sudah datang.
Setelah Bagas dan Viona melangkah pergi, mata Ayyara mulai menggenang. Hatinya benar-benar sakit dan hancur, Bagas tidak seperti dulu lagi. Ayyara telah kehilangan laki-laki yang dia cintai.Dia terpaksa menikah dengan laki-laki yang tak dia cintai, melahirkan anak dari laki-laki yang dia benci, ibunya kini meninggal, dan sekarang Ayyara benar-benar dilupakan oleh seseorang yang sangat dia sayangi. Sepahit itukah kehidupannya? Kenapa takdir begitu sangat kejam?"Jika tidak ada kebahagiaan dalam hidupku, kenapa aku harus dilahirkan?" Satu tetes air mata akhirnya terjatuh. Ayyara mulai berjalan gontai memasuki mobilnya kembali, dengan air mata yang semakin mengalir deras. Mobil berwarna merah itu mulai melaju kencang, menyusuri jalanan yang ramai. Ayyara seakan tak peduli dengan keselamatannya maupun sekitarnya. Tatapannya kosong, pikirannya kembali mengingat rantai kehidupannya sejak pertama dia menikah dengan Kieran. Dia sudah tak mempunyai kebahagiaan, bahkan tak tau lagi tujuan unt
Kieran yang masih menemani anaknya bermain di ruang tengah, sejak tadi tak bisa tenang setelah tahu istrinya ternyata meninggalkan rumah secara diam-diam. Apalagi berita tentang dirinya dan Ayyara terus saja semakin menyebar. Kieran takut akan terjadi sesuatu pada sang istri di luar sana.Namun tak beberapa lama, terdengar suara pintu utama terbuka. Kieran segera beringsut berdiri tanpa mempedulikan anaknya, dan langsung menghampiri ke arah pintu utama. Melihat Ayyara berjalan gontai sambil menghapus bekas air mata di pipinya yang masih basah, membuat Kieran seketika khawatir. "Apa yang terjadi padamu Ayyara?"Langkah Ayyara terhenti, tepat di samping Kieran. Pertanyaan laki-laki itu justru membuat air matanya mengalir deras, Ayyara mulai terisak.Kieran semakin bingung, istrinya sedikit pun tak mau menjelaskan. Dia ingin memeluk tubuh Ayyara untuk memberi ketenangan, namun tertunda saat Bara datang dan langung menggenggam salah satu ta
Saat ini Bagas tertunduk, merasa frustasi dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Dia berada di sebuah kafe, bersama Kieran dan juga Nasya. Bagas sudah menceritakan semuanya apa yang terjadi pada Kieran maupun Nasya. Karena Bagas tak punya siapa-siapa lagi untuk meminta bantuan selain pada mereka. "Sebenarnya saya tidak masalah jika harus menikahi Viona, walau karena kesalahpahaman ini. Tapi masalahnya, ayah Viona meminta saya untuk melunasi hutangnya pada pak Raymond sebelum pernikahan berlangsung. Jika saya tidak mau melunasi dan tidak mau melunasi hutangnya, ayah Viona akan melaporkan saya ke polisi karena telah melecehkan Viona. Saya yakin polisi juga tidak akan menyalahkan saya karena tidak ada bukti yang kuat jika saya telah melecehkan Viona, tapi Viona bilang jika saya tidak mengikuti keinginan ayahnya kemungkinan Viona yang akan dalam masalah."Nasya mengangguk paham. "Walau hanya melihatnya sekali saja, tapi saya tahu bagaimana sifat ayah Viona. Saya s
Seminggu setelah pemakaman Mira. Ayyara tak pernah lagi bertemu ataupun berniat untuk menemui sang kakak, Ayuma. Agra, yang saat ini sudah masuk di bangku SMP, Kieran yang membiayai sekolahnya di luar kota. Sesuai permintaan Ayyara, yang tak mau jika sang adik sampai diurus oleh sang kakak. Sampai saat ini kematian Mira membuat Ayyara berpikiran buruk pada sang kakak. Dari sifatnya Ayyara sudah tau, mana mungkin Ayuma mau mengurus adiknya. Bahkan Ayyara masih berpikiran, mungkin saja penyakit ibunya semakin parah hingga menyebabkan kematian pasti karena Ayuma yang tak merawat ibunya dengan baik.Sebenarnya Ayyara ingin menginterogasi Ayuma atas kematian ibunya, namun dicegah oleh Kieran. Dengan alasan, tak mau Ayyara semakin mendapat masalah di saat masalahnya bersama Kieran kini belum juga usai."Apa yang dikatakan mas Kieran memang benar. Kak Ayuma bisa saja balik menuduhku, menyalahkanku karena sudah sangat tak menjenguk ibu. Tapi aku kan mel
Pagi itu, Kieran akhirnya membawa istri dan anaknya ke rumah Mira. Namun sampai sana rumah ibu mertuanya itu terlihat sangat sepi, padahal yang Ayyara katakan Ayuma juga berada di sana."Sepertinya tidak ada orang?" ucap Ayyara menebak. Tapi dia juga tak yakin, mengingat ibunya itu tidak suka meninggalkan rumah terlalu lama. "Tapi kita tunggu di teras saja, mungkin ibu sedang keluar ke suatu tempat dan akan segera pulang."Kieran mengangguk mengikuti saran sang istri. Mereka kemudian keluar dari mobil, Kieran menuntun Bara dan mengikuti Ayyara yang mulai berjalan menuju teras rumah Mira.Karena penasaran apakah di rumah benar tidak ada orang, Ayyara akhirnya memutuskan untuk membuka pintu utama tersebut. Dan anehnya pintu ternyata tidak dikunci, membuat Ayyara mengernyit bingung. "Jika di dalam rumah tidak ada orang, kenapa pintunya tidak dikunci?" Firasat Ayyara berubah buruk. Dia memutuskan untuk masuk ke rumah itu begitu saja, Kieran yang masi
Pukul lima pagi, Kieran terbangun dari tidurnya. Dia mengedipkan matanya sesaat lalu mengedarkan pandangannya. Dia sadar saat ini telah tertidur di sofa karena Ayyara mengusirnya dari kamar tadi malam. Padahal di rumahnya juga masih banyak kamar yang tidak terpakai, namun Kieran memilih untuk tidur di sana saja.Dia mulai beringsut duduk, membuat selimut tebal berwarna cokelat yang tadinya menutupi tubuhnya kini merosot turun. Kieran mengernyit bingung. "Seingatku, tadi malam aku tidak membawa selimut. Apa Ayyara yang memakaikannya padaku?""Bibi yang memakaikan selimut itu untuk tuan," sahut seorang wanita dari kejauhan yang sudah sadar jika sang tuan telah bangun. Kieran kini menatap ke arahnya, tampak kecewa dengan ucapan wanita itu barusan, namun Kieran menutupinya dengan senyuman tipis. Bi Sarah mulai menghampiri. "Terimakasih bi.""Tuan kenapa tidur di sini? Apa nyonya yang menyuruh tuan untuk tidur di sini?" Bi Sarah memasang raut khawatir
"Sebenarnya aku tidak apa-apa, maaf telah merepotkan kalian. Seharusnya kalian tidak perlu mendengarkan perkataan ayahku." Viona menunduk bersalah. Melihat hal itu Bagas tak tega. "Tidak Viona, ini sama sekali tidak merepotkan kami." Bagas kemudian menoleh ke arah Nasya yang juga masih bersama mereka. "Benarkan Nasya?"Nasya mengangguk menyetujui pertanyaan Bagas "Benar Viona, tidak perlu terlalu dipikirkan seperti itu."Viona tersenyum, setidaknya dia harus bersyukur karena bertemu dengan orang sebaik Bagas dan Nasya. Andai orang lain yang akan menabraknya tadi, pasti tentu akan marah saat Darka memintanya pertanggung jawaban padahal Viona nyaris tertabrak karena ulah ayahnya sendiri."Oh ya Bagas, Viona. Kalian tunggu di sini sebentar ya, biar aku yang menebus obatnya di apotek."Bagas dan Viona mengangguk mengizinkan, Nasya kemudian melangkah pergi meninggalkan mereka yang masih duduk di kursi tunggu yang ada di rumah sakit itu.