"Apa maksudmu Ayyara?"
"Kamu tadi sudah melihatnya, bukan? Bagas marah denganku. Pasti kamu sangat senang 'kan? Kamu senang jika aku dan Bagas bertengkar seperti tadi. Iya kan?""Aku tidak tahu, jika kalian bertengkar," dusta Kieran.Tentu Kieran akan tetap berpura-pura tak melihatnya saja. Daripada Ayyara nanti menuduhnya yang tidak-tidak."Lagi pula, jika memang kalian tadi bertengkar. Itu tidak ada hubungannya denganku. Aku tidak tahu apa permasalahan kalian, dan aku juga tidak akan ikut campur."Ayyara memutar matanya, nyaris tak percaya dengan apa yang Kieran katakan barusan. Dia kemudian tersenyum sinis."Kamu tahu, apa yang membuat Bagas marah padaku? Itu gara-gara kamu, mas! Dan kamu bisa-bisanya mengatakan jika tidak tahu apa-apa tentang ini, dan tidak ingin ikut campur?"Kieran menghela nafas kesal. Dia memang benar-benar tidak tahu apa yang telah membuat Ayyara dan Bagas bertengkar. Tapi kenapa Ayyara selalSebuah dering ponsel, akhirnya berhasil membuyarkan lamunan seorang laki-laki yang sejak tadi tengah termenung di meja makan.Dia tersadar, sudah berapa jam dia berada di sana? Niatnya dia tadi ingin sarapan sebelum berangkat kerja, namun nafsu makannya mendadak hilang saat pikirannya justru teringat dengan kejadian tadi malam.Kieran mengarahkan pandangannya pada ponsel yang masih berdering di atas meja di hadapannya. Dia kemudian segera mengangkatnya, saat mengetahui ternyata itu panggilan dari sang mama."Halo, ma."'Ran, kamu masih di rumah?"Kieran mengangguk mengiyakan. Tumben sekali mamanya itu menanyakan keberadaannya sepagi ini. "Memangnya ada apa, ma?"'Ah, tidak apa-apa. Mama hanya ingin menyampaikan sesuatu padamu.'Kieran mengernyit penasaran. Membuatnya jadi berpikir, apa ada hal penting yang terjadi hingga Daria menelponnya pagi-pagi seperti ini? "Katakan saja, ma."'Nanti malam, mama in
Tak jadi sarapan, Kieran memutuskan untuk berdiri, lalu mencari Ayyara. Lagipula jika sedang ada masalah seperti ini, nafsu makan Kieran juga hilang. Hingga sampai di depan teras rumah, akhirnya Kieran menemukan keberadaan sang istri. Perempuan itu terlihat berjalan bolak-balik, sambil mengotak-atik benda pipih yang ada di genggamannya. Sesaat, perempuan itu menempelkan ponsel tersebut ke telinga.Kieran tahu pasti Ayyara sedang berusaha menelpon seseorang."Bagas, kenapa kamu tak menjawab panggilanku?" kesal Ayyara yang sudah beberapa kali menghubungi laki-laki itu, namun belum juga mendapat jawaban.Sejak tadi malam, ayyara tak bisa berpikir tenang. Dia benar-benar takut, bagaimana jika Bagas tak mau lagi menemuinya?Kieran yang mendengar ucapan Ayyara barusan. Hanya bisa menghela nafas pelan, menguatkan hatinya yang saat ini benar-benar terluka. Dia kemudian menghampiri.Ayyara menoleh, saat menyadari Kieran ternyata ada di d
Mobil Kieran terhenti, tepat di depan halaman rumah Raymond. Tak langsung keluar, Kieran lebih dulu menatap sang istri sesaat. Perempuan itu juga tak segera keluar dari mobil, sebelum Kieran keluar lebih dulu. Sejak tadi wajah Ayyara masih sangat datar, membuat Kieran khawatir. Apa Ayyara tidak akan mengikuti apa yang dia minta tadi pagi?"Ayyara -""Aku akan berusaha," potong Ayyara cepat. Dia sudah bisa menebak, apa yang akan dikatakan laki-laki itu. Ayyara kemudian menatap Kieran, masih dengan sorot dingin. "Aku akan berpura-pura terlihat baik-baik saja. Agar mama dan papa tidak akan curiga dengan apa yang terjadi pada kita."Kieran kembali merapatkan bibirnya, lalu mengangguk percaya. Walaupun ucapan Ayyara tidak begitu meyakinkan, Kieran harap tak akan terjadi hal yang dia tak inginkan nantinya."Aku melakukan semua ini bukan untukmu. Tapi, aku hanya ingin menjaga hati mama dan papa. Bagaimanapun, aku tidak boleh kurang aj
Ayyara hanya diam, saat melihat perlakuan wanita berambut sebahu itu pada Kieran. Membuatnya jadi menyadari satu hal, ternyata benar, Kieran sangat di sayangi oleh mamanya. Kieran tersenyum, lalu membalas pelukan wanita itu. Luka di hatinya perlahan memudar, hanya karena pelukan sang mama. "Kieran juga sangat merindukan mama."Daria melepaskan pelukannya, lalu menatap wajah putranya sekali lagi. Dia kemudian mengalihkan pandangannya pada sang menantu yang masih berdiri di samping Kieran. Daria menghampiri. "Ayyara."Ayyara tersenyum menyapa. Wanita itu kini berganti memeluknya, membuat Ayyara tertegun dengan perlakuan Daria tersebut. Jika bertemu ibunya sendiri saja, Ayyara sangat jarang berpelukan seperti ini. Membuat Ayyara bisa merasakan hangatnya kasih sayang yang diberikan Daria padanya. Sangat berbeda dengan Mira. Ayyara rasa, Kieran terlalu beruntung bisa memiliki mama seperti Daria."Mama juga kangen dengan kamu, Ayyara." Daria kemudian m
"Ma, Pa. kalau begitu Kieran dan Ayyara pamit pulang dulu ya," ucap Kieran meminta izin pada kedua orang tuanya, setelah mereka sudah menyelesaikan makan malam mereka. Daria menatap putranya dengan sorot tidak terima. Padahal dia ingin berada di dekat putranya lebih lama lagi. Tapi, kenapa Kieran terlihat sangat terburu-buru ingin meninggalkan rumahnya? "Ran, kenapa tidak nanti saja. Kita baru selesai makan malam, kenapa tidak mengobrol dulu dengan papa dan mama?" tanya Daria yang tak terima jika anaknya itu akan pulang saat ini juga. "Tapi, ini sudah malam ma. Jika pulang nanti, takutnya sampai rumah lewat tengah malam. Kasihan Ayyara, besok kami juga harus bekerja kembali."Melihat sang istri yang sepertinya masih tak rela jika sang putra pulang. Raymond kemudian memberi saran. "Bagaimana jika kalian malam ini menginap di sini saja?""Ah betul juga. Ini sudah malam, kasihan Ayyara jika kamu membawanya pulang saat ini juga. Lebih baik
"Bagaimana jika meminjam baju mama? Aku akan meminjamkannya jika kamu mau."Ayyara berpikir sejenak. Dia tidak terlalu suka jika memakai baju orang lain, walaupun itu adalah baju mama mertuanya sendiri. Entah kenapa, menurut Ayyara itu tidak nyaman untuknya. "Sepertinya tidak apa-apa, aku pakai baju ini saja. Lagi pula, nanti pagi kita langsung pulang 'kan?"Kieran mengangguk, mengiyakan. Namun tetap saja, dia merasa Ayyara pasti akan sulit tidur menggunakan mini dress seperti itu. Pandangan Kieran kini terarah pada lemari bajunya. Seingatnya dia masih meninggalkan beberapa baju di lemari itu. Bajunya yang sudah tidak muat lagi untuknya, menurut Kieran mungkin itu tetap muat di tubuh sang istri. Dia kemudian menghampiri, dan membuka lemari baju itu.Ayyara yang penasaran, akhirnya memutuskan untuk ikut menghampiri sang suami. "Apa yang kamu cari, mas?"Laki-laki itu kemudian menyodorkan sebuah kaos berwarna putih pada
Kelopak mata Kieran kembali terbuka, dia lalu terduduk. Kesal karena sejak tadi dia tidak bisa tidur juga. Tidak seperti biasanya Kieran sulit tidur. Ayyara saja sudah terlelap di sampingnya. Dia mengambil ponselnya yang berada di atas nakas tak jauh dari tempat tidurnya, untuk melihat jam di sana. Ternyata sudah menunjukan pukul dua belas lewat. Kieran menghela nafas. "Sudah jam segini kenapa aku tidak mengantuk juga?"Pandangannya kembali menatap sang istri yang sudah tertidur nyenyak. Perempuan itu memakai piyama berwarna hijau tua milik mamanya. Walau tetap kebesaran, setidaknya Ayyara nyaman menggunakannya. Kieran tersenyum melihat wajah tenang sang istri. Dia lalu membelai pucuk kepala perempuan itu dengan perlahan, berharap tak akan mengusik tidurnya. "Kamu cantik sekali Ayyara. Bahkan saat tertidur saja, kecantikanmu tidak pernah berkurang. Bagaimana bisa aku tidak semakin mencintaimu?" Kieran mencium singkat kening perempuan itu. Lalu
Langkah Kieran terhenti, tepat saat dirinya baru sampai di ruang tengah. Pandangannya mengarah pada seorang wanita yang duduk di sofa, menatapnya bingung. "Mama? Mama belum tidur?""Seharusnya mama yang tanya, kenapa kamu belum tidur? Katamu, kamu ingin segera istirahat. Kenapa jam segini belum tidur juga?"Kieran berjalan menghampiri sang mama. Lalu duduk di samping wanita itu. Kieran hanya tersenyum, berusaha menutupi apa yang tengah mengganggu pikirannya sejak tadi kepada sang mama. "Entahlah ma, Kieran tiba-tiba tidak bisa tidur. Ayyara sudah tidur lebih dulu, jadi Kieran keluar sebentar dari kamar. Mungkin dengan berjalan-jalan sebentar di rumah ini, Kieran pikir nanti akan membuat Kieran bisa mengantuk."Daria menatap wajah tampan putranya dengan seksama. Entah kenapa, Daria seakan melihat luka di senyum laki-laki itu. Itu hanya perasaannya, atau memang benar kenyataannya seperti itu. Tapi, luka apa yang telah disembunyikan sang p
Pemakaman selesai, seorang perempuan berpakaian serba hitam masih setia duduk di samping makam tersebut. Tangannya tak berhenti mengusap pelan nisan yang bertulis nama Kieran Bimantara.Kini Ayyara tak bisa melihat suaminya lagi, kini Ayyara tak bisa memeluk tubuh Kieran lagi. Terakhir dia melihat Kieran hanya di rumah sakit, setelah dibawa pulang dia tak diijinkan lagi melihat jasad suaminya. Proses pemakaman pun juga terlaksana cukup tertutup, tak ada yang bisa melihat wajah Kieran terakhir kalinya kecuali Raymond dan beberapa orang suruhan Raymond. Entah kenapa, Ayyara juga tak paham. "Ayyara. Ayo kita pulang," bisik Daria yang sejak tadi masih berada di samping sang menantu tersebut. Namun Ayyara menggeleng pelan, menandakan bahwa dirinya tak mau pergi dari sana."Ayyara ingin tetap di sini ma." Mata sembabnya kini menatap gundukan tanah yang masih basah di hadapannya, dia lalu tersenyum sedih. "Dulu, mas Kieran pernah berjanji pada Ayyara.
Di depan sebuah ruang IGD, seorang perempuan terisak. Dia berjongkok sambil memeluk seorang anak laki-laki. Rasa bersalah dan takut bercampur menjadi satu. Bara yang sejak tadi berada di pelukan sang mama hanya bisa diam, tak peduli bau amis darah begitu menusuk ke penciumannya dan akan ikut mengotori seragam sekolahnya. Dia tak bisa menenangkan tangisan sang mama.Jujur, Bara sendiri juga masih shock melihat papanya tertabrak di hadapannya. Tapi dia tak bisa menangis, dia hanya bisa menahan rasa khawatir di pelukan mamanya. "Papa enggak apa-apa kan ma?"Akhirnya Bara bersuara, namun Ayyara tak sanggup untuk menjawabnya."Ayyara!"Bara menoleh, dari arah kejauhan sepasang suami istri menghampiri keberadaan Ayyara dan Bara. Mereka adalah Raymond dan Daria. Tampak jelas kekhawatiran di raut keduanya. Daria langsung berjongkok di hadapan sang menantu, memegang bahu Ayyara. Menyadarkan Ayyara bahwa mereka sudah datang.
Setelah Bagas dan Viona melangkah pergi, mata Ayyara mulai menggenang. Hatinya benar-benar sakit dan hancur, Bagas tidak seperti dulu lagi. Ayyara telah kehilangan laki-laki yang dia cintai.Dia terpaksa menikah dengan laki-laki yang tak dia cintai, melahirkan anak dari laki-laki yang dia benci, ibunya kini meninggal, dan sekarang Ayyara benar-benar dilupakan oleh seseorang yang sangat dia sayangi. Sepahit itukah kehidupannya? Kenapa takdir begitu sangat kejam?"Jika tidak ada kebahagiaan dalam hidupku, kenapa aku harus dilahirkan?" Satu tetes air mata akhirnya terjatuh. Ayyara mulai berjalan gontai memasuki mobilnya kembali, dengan air mata yang semakin mengalir deras. Mobil berwarna merah itu mulai melaju kencang, menyusuri jalanan yang ramai. Ayyara seakan tak peduli dengan keselamatannya maupun sekitarnya. Tatapannya kosong, pikirannya kembali mengingat rantai kehidupannya sejak pertama dia menikah dengan Kieran. Dia sudah tak mempunyai kebahagiaan, bahkan tak tau lagi tujuan unt
Kieran yang masih menemani anaknya bermain di ruang tengah, sejak tadi tak bisa tenang setelah tahu istrinya ternyata meninggalkan rumah secara diam-diam. Apalagi berita tentang dirinya dan Ayyara terus saja semakin menyebar. Kieran takut akan terjadi sesuatu pada sang istri di luar sana.Namun tak beberapa lama, terdengar suara pintu utama terbuka. Kieran segera beringsut berdiri tanpa mempedulikan anaknya, dan langsung menghampiri ke arah pintu utama. Melihat Ayyara berjalan gontai sambil menghapus bekas air mata di pipinya yang masih basah, membuat Kieran seketika khawatir. "Apa yang terjadi padamu Ayyara?"Langkah Ayyara terhenti, tepat di samping Kieran. Pertanyaan laki-laki itu justru membuat air matanya mengalir deras, Ayyara mulai terisak.Kieran semakin bingung, istrinya sedikit pun tak mau menjelaskan. Dia ingin memeluk tubuh Ayyara untuk memberi ketenangan, namun tertunda saat Bara datang dan langung menggenggam salah satu ta
Saat ini Bagas tertunduk, merasa frustasi dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Dia berada di sebuah kafe, bersama Kieran dan juga Nasya. Bagas sudah menceritakan semuanya apa yang terjadi pada Kieran maupun Nasya. Karena Bagas tak punya siapa-siapa lagi untuk meminta bantuan selain pada mereka. "Sebenarnya saya tidak masalah jika harus menikahi Viona, walau karena kesalahpahaman ini. Tapi masalahnya, ayah Viona meminta saya untuk melunasi hutangnya pada pak Raymond sebelum pernikahan berlangsung. Jika saya tidak mau melunasi dan tidak mau melunasi hutangnya, ayah Viona akan melaporkan saya ke polisi karena telah melecehkan Viona. Saya yakin polisi juga tidak akan menyalahkan saya karena tidak ada bukti yang kuat jika saya telah melecehkan Viona, tapi Viona bilang jika saya tidak mengikuti keinginan ayahnya kemungkinan Viona yang akan dalam masalah."Nasya mengangguk paham. "Walau hanya melihatnya sekali saja, tapi saya tahu bagaimana sifat ayah Viona. Saya s
Seminggu setelah pemakaman Mira. Ayyara tak pernah lagi bertemu ataupun berniat untuk menemui sang kakak, Ayuma. Agra, yang saat ini sudah masuk di bangku SMP, Kieran yang membiayai sekolahnya di luar kota. Sesuai permintaan Ayyara, yang tak mau jika sang adik sampai diurus oleh sang kakak. Sampai saat ini kematian Mira membuat Ayyara berpikiran buruk pada sang kakak. Dari sifatnya Ayyara sudah tau, mana mungkin Ayuma mau mengurus adiknya. Bahkan Ayyara masih berpikiran, mungkin saja penyakit ibunya semakin parah hingga menyebabkan kematian pasti karena Ayuma yang tak merawat ibunya dengan baik.Sebenarnya Ayyara ingin menginterogasi Ayuma atas kematian ibunya, namun dicegah oleh Kieran. Dengan alasan, tak mau Ayyara semakin mendapat masalah di saat masalahnya bersama Kieran kini belum juga usai."Apa yang dikatakan mas Kieran memang benar. Kak Ayuma bisa saja balik menuduhku, menyalahkanku karena sudah sangat tak menjenguk ibu. Tapi aku kan mel
Pagi itu, Kieran akhirnya membawa istri dan anaknya ke rumah Mira. Namun sampai sana rumah ibu mertuanya itu terlihat sangat sepi, padahal yang Ayyara katakan Ayuma juga berada di sana."Sepertinya tidak ada orang?" ucap Ayyara menebak. Tapi dia juga tak yakin, mengingat ibunya itu tidak suka meninggalkan rumah terlalu lama. "Tapi kita tunggu di teras saja, mungkin ibu sedang keluar ke suatu tempat dan akan segera pulang."Kieran mengangguk mengikuti saran sang istri. Mereka kemudian keluar dari mobil, Kieran menuntun Bara dan mengikuti Ayyara yang mulai berjalan menuju teras rumah Mira.Karena penasaran apakah di rumah benar tidak ada orang, Ayyara akhirnya memutuskan untuk membuka pintu utama tersebut. Dan anehnya pintu ternyata tidak dikunci, membuat Ayyara mengernyit bingung. "Jika di dalam rumah tidak ada orang, kenapa pintunya tidak dikunci?" Firasat Ayyara berubah buruk. Dia memutuskan untuk masuk ke rumah itu begitu saja, Kieran yang masi
Pukul lima pagi, Kieran terbangun dari tidurnya. Dia mengedipkan matanya sesaat lalu mengedarkan pandangannya. Dia sadar saat ini telah tertidur di sofa karena Ayyara mengusirnya dari kamar tadi malam. Padahal di rumahnya juga masih banyak kamar yang tidak terpakai, namun Kieran memilih untuk tidur di sana saja.Dia mulai beringsut duduk, membuat selimut tebal berwarna cokelat yang tadinya menutupi tubuhnya kini merosot turun. Kieran mengernyit bingung. "Seingatku, tadi malam aku tidak membawa selimut. Apa Ayyara yang memakaikannya padaku?""Bibi yang memakaikan selimut itu untuk tuan," sahut seorang wanita dari kejauhan yang sudah sadar jika sang tuan telah bangun. Kieran kini menatap ke arahnya, tampak kecewa dengan ucapan wanita itu barusan, namun Kieran menutupinya dengan senyuman tipis. Bi Sarah mulai menghampiri. "Terimakasih bi.""Tuan kenapa tidur di sini? Apa nyonya yang menyuruh tuan untuk tidur di sini?" Bi Sarah memasang raut khawatir
"Sebenarnya aku tidak apa-apa, maaf telah merepotkan kalian. Seharusnya kalian tidak perlu mendengarkan perkataan ayahku." Viona menunduk bersalah. Melihat hal itu Bagas tak tega. "Tidak Viona, ini sama sekali tidak merepotkan kami." Bagas kemudian menoleh ke arah Nasya yang juga masih bersama mereka. "Benarkan Nasya?"Nasya mengangguk menyetujui pertanyaan Bagas "Benar Viona, tidak perlu terlalu dipikirkan seperti itu."Viona tersenyum, setidaknya dia harus bersyukur karena bertemu dengan orang sebaik Bagas dan Nasya. Andai orang lain yang akan menabraknya tadi, pasti tentu akan marah saat Darka memintanya pertanggung jawaban padahal Viona nyaris tertabrak karena ulah ayahnya sendiri."Oh ya Bagas, Viona. Kalian tunggu di sini sebentar ya, biar aku yang menebus obatnya di apotek."Bagas dan Viona mengangguk mengizinkan, Nasya kemudian melangkah pergi meninggalkan mereka yang masih duduk di kursi tunggu yang ada di rumah sakit itu.