"Lho, Nona, kita mau ke mana? Kenapa Nona membawa saya pergi??"
Sandi terlihat panik, saat mobil taksi itu melaju pergi dari masjid. Bahkan mobil Sandi yang berada di masjid pun ikut tertinggal.Sopir taksi yang masih belum tahu tujuan penumpangnya pun lantas bertanya, "Kita mau ke mana, Nona?""Lurus saja dulu, Pak, nanti aku kasih tau," jawab Naya."Nona Naya, kita mau ke mana sebenarnya? Saya nggak bisa ikut Nona." Sandi penasaran dan cemas, apalagi pertanyaannya sebelumnya belum dijawab.Naya menatap Sandi dengan kening yang mengerut, lalu bertanya balik dengan nada sedikit kesal, "Abang kok panggil aku Nona? Panggil Naya saja, Bang. Aku lebih suka dipanggil Naya."Sandi masih bingung, "Tapi Nona, kita mau ke mana?""Aahh, Abang ini! Susah banget sih dibilanginnya!" kesal Naya. Dia langsung bersedekap dan mencebik bibirnya menoleh ke arah lain. "Pokoknya kalau Abang masih memanggilku dengan sebutan Nona ... aku ngg'Jadi selama ini Nona Naya masih mengharapkan Om Yunus? Tapi kenapa sikapnya aneh? Kenapa dia menganggapku sebagai Om Yunus? Aneh ... perasaan wajahku nggak mirip dengan Om Yunus deh,' batin Sandi dengan penuh kebingungan.Tiba-tiba, Naya merasakan sakit yang hebat di kepalanya dan dengan cepat menjerit sambil memegang kepalanya. "Aaadduuhhh ... kepalaku sakit, Baaannngg!!"Tubuhnya mulai tidak terkendali dan Sandi khawatir dia akan jatuh. Tanpa ragu, Sandi segera mengangkat tubuh Naya. Bunda Noni terkejut melihat kejadian tersebut. "Ya Allah, Naya!" serunya. "Bawa Naya ke kamarnya, San! Cepat!" perintahnya kepada Sandi. Sandi heran dan bertanya, "Kenapa ke kamar, Bu? Kenapa nggak langsung dibawa ke rumah sakit saja?" Namun, dia tetap mengikuti langkah Bunda Noni yang sudah berjalan menuju anak tangga. "Aku akan menelepon pihak rumah sakitnya dulu, San. Karena sepertinya Naya sudah kabur.""Kabur??" Sandi mengerutkan dahi. "Ja
Tubuh Sandi membeku saat mendengar permintaan tersebut. Rasanya sulit untuk memahami dan menerima permintaan yang begitu berat dan tidak masuk akal.Namun, meskipun begitu, dia merasa iba dan simpati terhadap Bunda Noni. Dengan lembut, Sandi menarik tangan Bunda Noni dan memintanya untuk berdiri. "Apakah ini berarti saya harus menikahi Nona Naya juga, Bu?" tanya Sandi dengan kebingungan. Bunda Noni menggelengkan kepala dan mengusap air mata yang masih mengalir di pipinya. "Enggak, San. Kamu hanya perlu menemani Naya dan memberikan semangat agar dia bisa sembuh." Sandi merasa lega mendengar jawaban tersebut. "Tapi Nona Naya sendiri mengatakan bahwa dia ingin menikah dengan Om Yunus. Dan masalahnya saya nggak mau menikahi Nona Naya, Bu, apalagi berpura-pura menjadi Om Yunus." Sandi merasa bahwa dia memiliki hak untuk memilih apa yang terbaik baginya. Selain itu, dia juga tidak memiliki perasaan khusus terhadap Naya, dan mungkin Naya pun
Yumna tersenyum. "Aku memang sudah kenyang, Mas. Tapi aku penasaran dengan jajanan di sini. Aku ingin mencoba jajanan khasnya, yang pasti ada makanan yang unik dan nggak ada di Jakarta, kan?" Ustad Yunus tertawa kecil. Dia senang melihat semangat Yumna untuk mencoba kuliner baru, tapi makan terlalu berlebihan tentu tidak dianjurkan dalam Islam. Apalagi jika kondisi perut sudah kenyang."Nyari jajanannya besok lagi saja, Dek. Sekarang kita cari penginapan di daerah sini, ya? Kamu pasti capek, kita butuh istirahat.""Tapi masa kita makan nggak ada cuci mulutnya sih, Mas?" Yumna terlihat enggan untuk beristirahat, karena kalau sudah berada dikamar pasti akan lama dan tidak akan memikirkan soal makanan."Cuci mulutnya buah aja, ya?" bujuk Ustad Yunus dengan lembut. "Nanti dijalan kita beli jeruk atau apel. Kamu suka jeruk sama apel, kan?" "Suka." Yumna mengangguk. "Tapi sekarang 'kan lagi musim rambutan, Mas. Bagaimana kalau cuci mulutnya b
"Yaaa." Mbah Ratu mengangguk cepat."Memangnya mau untuk apa nanti, Mbah?" tanya Tora penasaran."Aku akan membuatkan ramuan khusus dengan menggunakan bulu itu.""Tapi kenapa harus bulu j*mbutnya Yunus, Mbah? Kenapa nggak bulu j*mbutnya Pak Cakra saja?" Menurut Tora, itu adalah tindakan yang sulit. Rasanya tidak mungkin juga dia asal cabut begitu saja, karena pastinya Ustad Yunus tak akan terima."Yang mau dipelet 'kan si Yunus awalnya, gimana sih kamu!" Mbah Ratu berdecak kesal. Dia pun melangkah keluar dari dapur, tetapi Tora segera menyusulnya."Tapi, Mbah ... gimana cara saya mencabut bulu j*mbutnya?" Tora meminta saran, karena jujur dia bingung."Ya tinggal cabut aja. Tapi jangan sampai patah, karena aku membutuhkannya sampai akar.""Masa saya asal cabut, Mbah, bisa-bisa marah dong dia.""Ya, pikirkan sendiri lah caranya, supaya dia nggak marah! Masa begitu saja kamu nggak ngerti, sih?" omel Mbah Ratu
"Lho ... saya nggak tau." Ustad Yunus menggeleng. "Saya 'kan laki-laki, Dek. Mungkin mual-mual kali.""Tapi aku nggak ngerasa mual, Mas. Malah aku laper." Yumna ikut menyentuh perutnya sendiri."Laper karena perut kamu kosong, Dek. Kan belum sarapan." Ustad Yunus terkekeh. "Tapi memang nggak ada salahnya nanti kita cek, ya? Kita beli tespack.""Iya, Mas." Yumna mengangguk. "Oh ya ... katanya Mas mau ngajakin aku renang. Jadi apa nggak? Tapi aku nggak bawa baju renang.""Jadi. Nanti habis kita sarapan. Katanya kamu juga mau nyari jajanan khas di sini, kan?"Yumna mengangguk. "Tapi baju renangnya gimana?""Kita beli dadakan saja nanti. Sekarang kamu pakai hijab dulu. Saya keluar sebentar, ya, Dek... Buat panasin mobil," pamit Ustad Yunus, lalu kembali mengecup dahi Yumna."Iya, Mas." Yumna membalas mencium pipi kanan suaminya sambil berjinjit. Lalu menatap Ustad Yunus yang menghilang dari balik pintu apartemen.Semalam, setelah berhasil bercinta satu ronde di dalam mobil, mereka langsun
Sandi terkejut dan terbelalak saat merasakan kecupan di pipinya. Meskipun hanya sebuah kecupan yang ringan, namun itu merupakan kecupan pertama baginya, sebagai seseorang yang selama ini menjalani kehidupan menjomblo.Wajah Sandi langsung memerah, dan jantungnya berdetak kencang. Dia merasa campur aduk antara gugup, terkejut, dan ada rasa senang yang muncul tanpa alasan yang jelas.Sandi berusaha menyembunyikan rasa malu dan kegugupannya, namun sulit untuk menahannya. Dia merasa kebingungan dan menjadi salah tingkah karena kejadian ini begitu tiba-tiba."Naya, apa yang kamu lakukan??" Bunda Noni pun sama kagetnya, melihat apa yang dilakukan putri semata wayangnya itu. "Kamu nggak boleh kayak gitu, Nay, kamu sama Sandi itu bukan muhrim," ucapnya dengan nada khawatir.Naya mendengus dan bertanya, "Kok Sandi lagi? Ini kan Bang Yunus, Bun. Lagian Sandi itu siapa, sih?" Meskipun begitu, Naya memperhatikan wajah Sandi yang memerah dan tiba-tiba mengeluarkan darah dari hidungnya. Naya khawat
"Kita menikahnya nanti, Nay, setelah kamu sembuh." Seperti apa yang kemarin Bunda Noni katakan, sekarang Sandi pun menjawabnya sesuai permintaannya. "Sembuh??" Jawaban itu terdengar ambigu menurut Naya. Pasalnya dia merasa tidak sakit. "Memangnya siapa yang sakit? Aku nggak sakit kok." "Kamu sakit." "Sakit apa? Kepalaku nggak pusing, aku nggak pilek, batuk, sakit perut dan ...." Naya langsung menarik tangan Sandi, lalu menempelkannya ke area dahi, supaya dia merasakan jika tubuhnya tak panas. "Rasakan ini, Bang. Badanku bahkan nggak panas, kan?" "Kamu bukan sakit itu, Nay." Sandi menggelengkan kepalanya. "Lalu?" Naya menatap penasaran, dahinya berkerut. "Kamu itu sakit pada kejiwa ...." Ucapan Sandi seketika menggantung, karena merasa ragu. Takut jika nantinya apa yang dia sampaikan membuat Naya sakit hati. Dan setahu Sandi, orang gila pasti tidak akan mengakui dirinya gila. Malah bisa saja nantinya Naya marah. "Kejiwa apa, Bang?" tanya Naya sema
"Oohh ... jadi karena itu." Ustad Yunus tertawa kecil mendengarnya. Segera, mengajak Yumna untuk duduk bersama di salah satu kursi yang kosong dekat kolam. Dia akan memberikan Yumna pemahaman, supaya tak salah paham dengan niat hati Ustad Yunus melakukan hal itu. "Maafin saya, Dek. Bukan saya nggak mau membelikanmu baju renang ... tapi baju renang 'kan ketat. Sedangkan ini kolam renang umum. Nggak mau lah saya, Dek.""Nggak maunya kenapa?" tanya Yumna yang tampak bingung."Nanti tubuhmu dilihat oleh pria lain. Itu dosa hukumnya, Dek.""Tapi Mas coba lihat deh ...." Yumna menatap sekitar, pada beberapa perempuan yang bahkan ada yang memakai bikinii. Tapi Ustad Yunus sama sekali tak menatap ke sana, sedari masuk sampai sekarang dia hanya fokus menatap kolam dan istrinya saja. "Semua perempuan di sini rata-rata pakai baju renang, Mas. Dan memang baju renang udah begitu dari modelnya, ketat. Kan namanya mau nyebur ke air.""Biarkan saja perempuan lain pakai baju ranang. Tapi kamu jangan,
Yumna menahan rasa sakit dan mencoba menjelaskan, "Bukan, Umi. Ini bukan karena habis jatuh. Aku merasakan sakit perut yang luar biasa dan ada darah. Aku takut ada yang nggak beres dengan bayiku." Umi Mae merasa jantungnya berdebar kencang mendengar penjelasan Yumna. Dia segera memegang tangan Yumna dengan penuh kasih sayang. "Tenang, Nak. Kita akan segera sampai ke rumah sakit dan mereka akan merawatmu dengan baik. Semuanya akan baik-baik saja," Umi Mae mencoba memberikan dukungan dan ketenangan pada Yumna. Dalam perjalanan yang penuh kekhawatiran, Ustad Yunus mengemudikan mobil dengan hati-hati dan cepat. Dia berusaha tetap tenang dan fokus pada tujuan mereka, yaitu membawa Yumna ke rumah sakit dengan segera. Dalam hati, Ustad Yunus berdoa dengan penuh harap agar Yumna dan bayi mereka dalam keadaan yang aman. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan selalu berada di samping Yumna, memberikan dukungan dan cinta yang tak terbatas. * * Sampai di rumah sakit, mereka
"Iya, Nay. Bunda malah punya buktinya kalau memang kamu nggak percaya," kata Bunda Noni dengan nada sedih. "Bukti aku memperk*sa Sandi, Bun?" "Iya." Bunda Noni merogoh tasnya dan mengeluarkan ponselnya. Dengan hati yang berat, dia membuka rekaman CCTV yang masih dia simpan. "Ini adalah rekaman CCTV digudang rumah sakit, Nay." "Gudang rumah sakit?" Naya menatap layar ponsel itu dengan campuran kecemasan dan penasaran. Rekaman dimulai dengan suasana yang biasa di dalam gudang rumah sakit. Namun, ketika adegan yang menggambarkan tindakan tidak senonoh yang dilakukan oleh Naya kepada Sandi muncul di layar, Naya merasa dunianya hancur. Tidak! Dia tidak bisa percaya apa yang dia lihat. Tidak mungkin dia melakukan hal semengerikan itu. Dia merasa mual dan ingin menolak kenyataan yang ada di hadapannya. Namun, bukti yang jelas dan tak terbantahkan memperkuat semua yang Bunda Noni katakan. Naya merasa terjebak dalam kebenaran yang tidak bisa dia pungkiri. "Menjijikkan, Bun! Itu menjijikk
Setelah mendengar penjelasan dari Soni, Yumna Akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah. Dalam lubuk hatinya yang terdalam, dia benar-benar merasa tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Soni. Namun, Yumna sendiri tak memiliki bukti yang kuat jika benar pria itu berbohong. Apalagi Ustad Yunus pun ikut meyakinkannya kalau semua ucapan sang kakak ipar adalah benar. Jadi mau tidak mau, mungkin Yumna akan mencoba untuk menerima meskipun hanya sepenuh hati. *** Di tempat berbeda. Setelah menghubungi pihak rumah sakit, Bunda Noni diminta untuk membawa Naya ke sana, supaya bisa diperiksa secara jelas tentang kondisinya. Sandi sendiri memilih tidak ikut bersama mereka, karena memang itu atas permintaan Bunda Noni. Dia tidak mau Naya histeris lagi dan berefek pada kondisi mentalnya. Bunda Noni ingin yang terbaik untuk anaknya, ingin melihatnya sembuh. Setelah setengah jam diperiksa dan berkonsultasi kepada Dokternya Naya, akhirnya dokter itu memiliki jawaban yang akan dijelaskanny
"Bunda ... Bunda kenapa bawa dia ke sini??" Naya terkejut melihat kedatangan Sandi bersama Bunda Noni. Dia merasa ketakutan dan dengan refleks, dia membanting pintu. Braakkk!! "Astaghfirullahallazim, Nay! Apa yang terjadi?" Bunda Noni bingung dengan kejadian tersebut. Dia mencoba membuka pintu, namun pintu itu sudah dikunci dari dalam. "Pria asing itu... kenapa Bunda membawanya ke sini? Seharusnya Bunda membawanya langsung ke kantor polisi!" Naya mengungkapkan kekhawatirannya. Mendengar perkataan Naya, Bunda Noni menoleh ke arah Sandi, dan keduanya saling memandang. "Apa jangan-jangan yang dimaksud pria asing itu kamu, San? Tapi kenapa?" Bunda Noni bertanya bingung. "Aku nggak tau, Bun." Sandi menggelengkan kepala, juga bingung. "Tapi masa Naya nggak mengenalku?" "Itu dia masalahnya, San." Bunda Noni menghela napas, lalu mengetuk pintu kamarnya. "Naya sayang... Pria asing yang kamu maksud bukanlah orang jahat, tapi dia adalah suamimu, Yunus." "Bunda, ini aneh. Bunda pikir aku n
Meski diawal Sandi tak menginginkan hal ini terjadi, dan sempat berusaha untuk menolak. Tapi pada akhirnya, sebagai pria normal, dia berhasil luluh.Hasrat itu muncul saat terus menerus digoda, Sandi tak kuasa untuk menahan.**Keesokan harinya.Setelah melalui malam panjang penuh gairah, dengan perlahan-lahan Naya membuka matanya lalu menatap sekeliling ruangan.Sorot matanya pun berhenti pada Sandi yang tertidur pulas dengan bertelanjang dada di sampingnya, dan sontak membuat Naya membulatkan matanya, merasa terkejut."Kamu siapa? Kenapa kamu ada dikamarku?!" teriaknya yang langsung beranjak dari tempat tidur. Namun, kembali dia merasa terkejut mana kala melihat tubuhnya sendiri polos tanpa busana. "Astaghfirullahallazim!!""Ada apa, Nay? Kenapa kamu berisik sekali?" Sandi membuka matanya yang terasa berat, lalu menguceknya beberapa kali sembari menatap Naya. Perempuan itu terlihat panik, dia langsung berlari keluar kamar sambil menarik selimut yang menutupi tubuh Sandi.Braakkkk!
"Eemmm ... mereka ada kok, Nak," jawab Umi Mae, tapi tampak ragu-ragu."Di mana, Umi?""Di rumah Mbaknya Yunus.""Maksud Umi di rumahnya Mbak Sari?""Iya, ada di sana.""Lho kok bisa mereka ada di sana? Memangnya mereka sempat kabur dari rumah, ya?""Bukan kabur dari rumah, tapi mereka sengaja Umi titipin. Karena 'kan waktu itu Yunus sakit, kamu nggak fokus sama mereka. Umi juga 'kan ikut nemenin kamu di rumah sakit," jelas Umi sedikit gugup."Oohh begitu. Syukurlah ...." Yumna merasa lega. "Aku sampai berpikir mereka digoreng sama Umi, buat dijadikan lauk.""Mana mungkin Umi tega seperti itu. Lagi pula mereka 'kan ayam-ayam kesayanganmu.""Umi benar. Terima kasih ya, Umi ...." Yumna langsung memeluk wanita tua itu dengan penuh kasih sayang. "Udah bantu ngurusin Cia dan Cio. Maaf juga, kalau aku sempat su'uzon bahwa Umi menggoreng mereka.""Enggak masalah, Nak. Umi mengerti kok, kekhawatiranmu." Umi Mae mengusap pipi Yumna dengan lembut dan tersenyum."Ya udah, sekarang aku mau pergi
"Nggak boleh su'uzon, Dek. Nanti kita pulang langsung tanya aja ke Umi. Biar kamu nggak kepikiran yang enggak-enggak." Ustad Yunus menasehati. "Iya, iya." Yumna mengangguk. Setelah selesai makan siang, mereka langsung mencari kue bakpia yang Yumna inginkan. Menyelusuri setiap toko dan akhirnya membeli satu kotak yang berisi 12 buah rasa keju. "Bagaimana rasanya? Enak?" tanya Ustad Yunus, saat melihat istrinya baru saja mengunyah satu bakpia di tangannya. Mereka berdua kini sudah masuk lagi di dalam mobil. "Enggak, Mas." Yumna menggeleng, lalu memberikan kotak bakpia kepada Ustad Yunus. "Masa sih nggak enak? Terus kenapa itu kamu telan?" Merasa penasaran, Ustad Yunus pun mencobanya satu. "Ya jelas aku telan, orang udah ada dimulut. Nanti kalau dibuang Mas bilang mubazir." "Ya kalau memang kamu nggak suka banget, nggak usah dipaksa, Dek. Nggak apa-apa. Tapi menurut saya sih ini enak." Ustad Yunus mengunyah sambil meneliti rasanya, sebelum akhirnya dia telan. "Enggak ah, kejunya a
"Ya udah, biar nanti aku pikirkan dulu sekalian meminta izin sama bos. Kalau begitu aku pamit, assalamualaikum." "Walaikum salam," jawab Bunda Noni dan Naya berbarengan. Menatap Sandi yang keluar dari kamar. "Bunda tinggal dulu sebentar ya, Sayang. Bunda mau—" "Tunggu dulu sebentar, Bun!" Naya langsung menyentuh tangan Bunda Noni yang baru saja mengelus pucuk rambutnya, hendak pergi. "Kenapa?" "Setauku ... Bang Yunus itu kerja jadi marbot masjid deh, Bun." "Memang iya, terus kenapa?" Bunda Noni menatap bingung. Tak mengerti maksud Naya. "Tadi Bang Yunus ngomong mau minta izin. Memangnya orang kerja di masjid itu ada bos yang mengawasi ya, Bun? Setauku enggak deh." Naya menggeleng dengan raut bingung. Agak membingungkan menurutnya, dengan apa yang Sandi ucapkan tadi. "Oohh ... mungkin maksud Yunus bos itu pemilik masjidnya." Bunda Noni seakan memiliki banyak ide, untuk bisa menjawab pertanyaan dari sang anak. "Iya ... jadi 'kan sama saja, dia perlu meminta izin, Nay." "Iya kali
Keesokan harinya.Di meja makan, Yumna, Ustad Yunus dan Umi Mae tengah menyantap nasi uduk.Wajah Yumna dan Ustad Yunus tampak segar sekali, Yumna juga begitu ceria hari ini seperti sedang bahagia."Mas mau nambah telor nggak? Biar aku ambilin," tawar Yumna dengan lembut menunjuk telor balado."Boleh, Dek." Ustad Yunus mengangguk, segera Yumna mengambilkan untuknya. "Terima kasih, ya, Dek.""Sama-sama Mas sayang," jawab Yumna. Perlahan, tangan Ustad Yunus terulur, lalu menyentuh pipinya dengan lembut dan mesra."Umi seneng deh, lihat kalian harmonis. Semoga seterusnya seperti ini, ya?" Melihat mereka berbahagia, tentulah Umi Mae ikut bahagia juga.Bahkan disetiap do'anya sehabis sholat, dia tak pernah absen untuk mendo'akan keutuhan rumah tangga Ustad Yunus dan Yumna, yang selalu diterpa banyak cobaan.Umi Mae yakin, cobaan itu pasti akan segera berlalu."Amin, Umi," sahut keduanya sembari tersenyum dengan saling memandang."Oh ya, Umi. Hari ini rencananya Mas Boy mau ngajakin aku cek