Keesokan paginya, saat akan bersiap berangkat kerja, Mba Nina memanggil-manggil namaku dengan panik."Bu.. Bu.., Bu Aruni...!"Katanya sambil tergopoh berlari."Ada apa Mba Nina?" Aku tak mau ikut panik lagi."Semalem Pak Arjuna, mantan suami Ibu di gerebek sama keamanan komplek!""Dia dan teman-temannya mabuk-mabukan di rumahnya, sampai jam 1 malam masih berisik saja. Sepertinya ada yang melaporkan. Dan akhirnya Pak Arjuna di gerebek deh." Lanjut Mba Nina lagi.Ternyata benar dugaan Bapak, Mas Juna semalam mabuk bersama teman-temannya. Untung lah Pak Anton segera bertindak."Terus gimana Mba? Dibawa ke polisi?" Tanyaku penasaran. "Engga Bu, di selsaikan kekeluargaan saja. Dikasih kesempatan sekali lagi supaya tidak membuat keributan lagi."Ah ..., sayang sekali. Padahal aku akan sangat senang jika dia dibawa ke kantor polisi. ***Saat berangkat kerja, karena ada sesuatu yang ingin kubeli terlebih dahulu, aku memilih jalan memutar dari komplek. Yang kebetulan melewati rumah Dio.Sa
Apa semua yang di katakan Ismi sungguh-sungguh? Tidakkah dia hanya membual agar aku bersimpati padanya?"Oh ya, bagaimana hubunganmu dengan Ibu?"Tanyaku lagi. Mencoba tetap senetral mungkin."Ibu baik, tapi ia tak begitu suka pada anak-anakku. Padahal Ibulah yang memaksa agar kami segera menikah waktu itu.""Ibu tahu soal pekerjaan Mas Juna sekarang?""Sepertinya Ibu juga tak tahu. Ia hanya peduli untuk membeli perhiasan dan hidup dengan mewah kini."Rumah tangga macam apa yang di jalani Ismi? Semuanya nampak hanya sebagai formalitas semata."Oh ya... A-aku pun, minta maaf soal gosip yang beredar tentangmu di komplek."Ah ..., akhirnya dia mengakuinya."Kenapa kau melakukannya?""Aku, merasa terancam, karena Mas Juna terus saja mengungkit-ungkit tentangmu. Aku berharap Mba Aruni bisa pindah dari perumahan ini. Dan menjauh dari hidup Mas Juna."Aneh orang ini, kenapa tidak dia saja dan keluarganya yang pindah, padahal jelas akulah yang pertama tinggal di perumahan ini."Harusnya aku y
Sepagian ini, rasanya aku sangat malas bekerja. Hanya ingin rebahan dan main bersama Arsy.Entah kenapa pembicaraan bersama Ismi kemarin sore masih terngiang-ngiang. Membuatku jadi berpikir apa salah karena terlalu berambisi sehingga memilih merelakan waktuku dengan Arsy demi pekerjaan?Apa seorang ibu seharusnya memang seperti Ismi yang membaktikan seluruh hidupnya untuk membersamai anak-anaknya?Rasanya aku begitu merasa bersalah pada Arsy yang semenjak kecil selalu ktinggalkan demi bisnis.Kuciumi Arsy bertubi-tubi, merasa begitu gemas, juga merasa bersalah padanya."Maafkan Mama ya Nak, belum bisa jadi Ibu yang baik!" Kataku padanya, yang entah dipahami atau tidak olehnya. Ia hanya terus tertawa dan mengajak bercanda lagi, sepertinya Arsy juga tak ingin aku berangkat kerja pagi ini.Ah.. andai Mama bisa Nak!***Saat di mobil Om Satyo menghubungi, ia memberi tahu bahwa ia ada di kotaku dan ingin bertemu. Betapa aku senang akan kehadirannya. Rasamya sudah lama sekali tak bertemu d
Kudengar di belakang sana orang-orang memanggil namaku. Melarangku untuk masuk ke dalam. Beberapa bahkan menarik tanganku, sekuat tenaga mencegahku agar tidak bersikeras masuk. Tapi aku berhasil melepaskannya dan tetap menerjang kobaran api di depan sana.Aku mencoba mencari jalan agar bisa masuk ke dalam restoran yang sudah hampir setengahnya di lahap api itu demi berusaha menemukan Om Satyo.Sayup-sayup kudengar suara sirine ambulans. Aku berharap mereka bisa segera memadamkan api dan aku bisa bertemu dengan Om Satyo dalam keadaan selamat."Om Satyooo...""Om....."Kupanggil-panggil namanya. Mencari diseluruh sudut dan ruang yang belum tersentuh api. Namun nihil tak kutemukan keberadaannya sama sekali.Dapur, hanya itu satu-satunya tempat yang belum kucari. Tempat di mana terakhir kali aku berpisah dengannya. Juga tempat dimana api itu berasal.Aku melihat ada sedikit celah diantara kobaran api untukku bisa masuk ke dalam dapur. Dengan mengucapkan bismillah aku menerjang semua asap
Dio mendorong kursi rodaku dengan perlahan kami akan menuju ruangan Om Satyo di rawat. Setelah seharian kemarin terbaring saja di kasur rumah sakit, akhirnya aku bisa beranjak juga dan menemui Om Satyo.Om Satyo nampak lemah, kondisinya tak jauh beda denganku. Ada beberapa luka di kaki dan tangannya. Selebihnya Om Satyo terlihat baik.Di menyambutku dengan senyuman hangat."Hai Aruni, bagaimana kondisimu?" Tanyanya ramah, seperti biasanya."Baik Om, bagaimana dengan Om?""Tak jauh beda denganmu. Haha....""Aku sangat khawatir akan kondisi Om! Maafkan aku ya Om, karena aku Om jadi seperti ini." Aku tak bisa menahan tangisku. Masih benar-benar merasa bersalah atas semua yang terjadi padanya."Hei ..., ini bukan salahmu! Semua ini memang ujian Allah. Sudah jangan kau seperti itu!" Kata Om Satyo menenangkanku.Ya, memang semua ini ujian dari Allah padaku. Bersyukur sama sekali tak ada korban jiwa saat itu. Hanya kerugian materil saja yang harus kutanggung."Bagaimana sekarang kondisi res
Aku cukup terkejut akan kehadiran mereka di sini. Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehku bahwa mereka mau repot-repot menjengukku."Hai Aruni, bagaimana keadaanmu?" Tanya Ibu Mas Juna menyapaku."Alhamdulillah sudah membaik Bu!""Kami mendengar restoranmu kebakaran. Dan kau dirawat karena kebakaran itu. Makanya kami datang menjenguk." Terang Kak Tari kini."Iya kak, beginilah kondisiku sekarang. Alhamdulillah tak ada sesuatu yang serius."Jawabku."Syukurlah... bagaimana juga kondisi lelaki yang kau selamatkan itu? Kudengar kau masuk lagi kedalam kobaran api untuk menyelamatkan laki-laki lain ya?" Tanya Kak Bulan kini nampak sangat antusias.Laki-laki lain? Apa maksudnya Om Satyo? Tahu dari mana dia berita ini? Apakah orang-orang diluar sana membicarakanku lagi?Aku jadi penasaran apalagi yang beredar di luar sana tentangku sampai-sampai keluarga mantanku ini mau repot-repot datang untuk sekedar menanyakan hal ini."Dia baik, sangat baik. Kami tak kurang satu apa pun!" Jawabku
Hari-hari di rumah sakit adalah hal yang paling membosankan. Apalagi tanpa kehadiran Arsy dan kegiatan lainnya.Dio pun sama sekali tak mengizinkan aku bekerja walau itu hanya memeriksa beberapa file di gawaiku. Ia memintaku hanya fokus pada kesembuhan. Padahal bekerja adalah salah satu cara untuk menambah imunku.Jadilah saat ini aku menonton acara infotainment di televisi. Yang rasanya sudah bertahun-tahun tak pernah kulakukan lagi.Tiba-tiba suara getaran terdengar dari nakas sebelah tempat tidur. Bergegas kuambil gawai tersebut, khawatir ada hal penting. Namun ternyata bukan dari gawaiku suara itu berasal. Melainkan dari gawai milik Dio.Ismi calling.Dengan jelas tertera disana nama itu. Seketika menimbulkan sedikit rasa sakit di hati ini yang entah kenapa.Apa mereka masih berhubungan?Tak lama Dio kembali dari kamar mandi. Aku berpura-pura tak mengetahui apapun, tetap fokus pada acara di televisi.Gawai itu masih terus bergetar tanpa henti. Membuatku sangat kesal, sepenting apa
Aku dan Om Satyo sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Kami dinyatakan sudah sehat. Om Satyo langsung terbang kembali ke kalimantan bersama Istri dan anaknya.Betapa aku sangat merindukan rumah, dan tentu saja pada Arsy. Empat hari tak bertemu dengannya membuatku tak tahan lagi ingin segera bertemu.Ketika sampai di rumah, ternyata ada sebuah pesta penyambutan kecil-kecilan yang dibuat oleh keluarga dan sebagian karyawanku.Balon-balon, kue dan makanan sudah siap tersaji. Melihatku datang, semua pun bergegas mendekati dan satu-persatu memberikanku selamat karena sudah kembali sehat dan selamat. Aku sangat terharu akan semua perhatian mereka padaku. Rasanya bersyukur sekali masih diberi kesempatan hidup setelah apa yang terjadi sebelumnya. Dan juga di beri keluarga dan teman-teman yang tulus menyayangiku.Arsy terus menempel padaku. Ia sama rindunya denganku. Lagi-lagi aku bersyukur masih bisa memeluk gadis kecilku ini."Mama... Asy sayang mamaaa..!" Katanya dengan gaya bayinya yang me
Setelah 10 hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Dio diperbolehkan pulang. Tapi dengan catatan ia masih harus beristirahat dan tidak boleh banyak beraktivitas.Ayah dan Ibunya Dio telah menunggu kepulangan kami di rumah. Mereka sengaja menunggu Dio benar-benar pulih dulu baru datang ke Indonesia untuk menjenguk anaknya yang pernah hampir kehilangan nyawa itu.Saat pertama bertemu, Ayah dan Ibu seketika menghambur memeluk Dio juga aku diiringi dengan tangisan. Mereka begitu bersyukur karena kami masih diberi keselamatan dan umur yang panjang."Erlang itu memang keterlaluan! Sudah kubilang berkali-kali, membalas dendam hanya akan membuat kehancuran saja. Dan sekarang dia menanggung semuanya, kan?" ujar Ibunya Dio yang juga dengan penuh penyesalan. Ibunya Dio adalah adik dari Om Erlang yang juga merupakan kakak langsung dari Tante Astri. Menurut Ibu, ia juga begitu terluka akan kepergian adiknya. Bahkan Ibu sampai harus mengkonsumsi obat penenang selama satu tahun karena belum bisa mene
"Bagaimana kabar Dio?" tanyaku entah untuk yang ke berapa kalinya pada Fania sepupu Dio yang sedang menemaniku di rumah sakit.Sudah dua hari ini aku dan Dio mendapatkan perawatan setelah kejadian penyanderaan malam itu. Beruntung aku hanya kelelahan dan dehidrasi saja. Juga mendapatkan perawatan atas luka bakar yang diberikan Om Erlang di pahaku. Sedangkan Dio pagi tadi harus menjalani opersi besar karena livernya terluka akibat serangan yang ia terima saat menolongku."Dio masih belum sadar, tapi kata dokter kondisinya sudah stabil sekarang." Kabar dari Fania cukup membuat aku lega, sungguh yang aku takutkan saat ini adalah kehilangan Dio setelah semua yang terjadi pada kami."Tenang, Dio pasti akan baik-baik saja. Operasinya sudah berhasil. Dan Dio pasti akan pulih dengan cepat, Aruni." Sepertinya Fania melihat kegelisahanku. Sambil menggenggam tanganku, wanita yang memang selalu ceria di setiap suasana itu berusaha menenangkanku."Terima kasih, Fania. Terima kasih atas semua dukun
"Kamu tahu Aruni, sekian tahun aku memikirkan bagaimana cara terbaik untuk membalaskan dendamku ini. Sekian lama aku mencari siapa orang yang disayangi oleh Satyo, hingga akhirnya aku tahu tentangmu. Keponakan Satyo yang baru saja berkembang. Yang dijaga dan selalu diawasi Satyo. Aku mencari tahu tentangmu. Mencari cara bagaimana bisa mendekatimu. Sampai aku harus mendatangi mantan suamimu. Tapi semuanya nihil tidak berhasil!" lanjut Om Erlang lagi dengan menggebu-gebu. "Tapi ternyata takdir baik berpihak padaku. Tiba-tiba saja kudengar kamu menikah dengan Dio, keponakanku sendiri. Kamu seolah datang dan menyerahkan dirimu sendiri ke tanganku Aruni," Om Erlang kini membelai rambutku dengan lembut. Tapi seketika menimbulkan perasaan takut yang amat sangat pada diriku."Terima kasih Aruni! Terima kasih karena kau telah datang sendiri padaku!" ucap Om Erlang lagi dengan amat puas.Saat ini aku hanya bisa menangis. Puluhan rasa menjadi satu. Takut, bingung, sedih, marah kecewa semuanya k
Entah sudah berapa jam aku menunggu di dalam ruangan gelap dan pengap ini. Galang meninggalkanku begitu saja setelah ia mendapat telepon yang entah dari siapa tadi saat matahari masih cukup terang hingga kini sudah gelap gulita.Badanku kini terasa makin lemah aku teringat sejak pagi tadi belum mengkonsumsi apa pun karena memang tak nafsu. Belum lagi aku juga terus berusaha untuk melepaskan ikatan di badanku meski sama sekali tak ada perubahan apa pun.Sungguh rasanya aku hampir putus asa, sepertinya sebentar lagi aku akan menghadapi ajal dengan cara yang mengenaskan begini.Saat sedang meratapi nasib, tiba-tiba terdengar sebuah mobil mendekat. Aku terus berusaha untuk tetap waspada. Entah kali ini apa yang akan terjadi padaku.Tak lama pintu pun terbuka, kulihat Om Erlang yang kupastikan otak dari semua ini datang menghampiri.Dengan begitu tenang, seolah tak terjadi apa pun, lelaki itu tersenyum manis padaku. "Aruni ... bagaimana rasanya berada di sini dengan keadaan terikat begini
Sepulang dari pemakaman aku meminta waktu untuk beristirahat tanpa ingin diganggu siapa pun. Aku bahkan sudah meminta cuti untuk dua hari ke depan dari kantor karena rasanya saat ini aku tak bisa berpikir dengan baik.Dio menatapku penuh khawatir karena aku begitu murung dan lesu."Apa kamu sakit, Aruni? Kamu begitu lesu sejak kita pulang dari pemakaman tadi." Lelaki itu memegang keningku. Membandingkan suhu tubuhku dengannya. "Kamu gak demam, sepertinya kamu hanya kelelahan, Sayang! Kalau begitu istirahat, ya! Jangan terlalu banyak pikiran!" Dio mengusap kepalaku dan mengecupnya lembut. Lalu dengan penuh hati-hati lelaki yang belum setengah tahun menjadi suamiku itu menutupi tubuhku dengan selimut. Memastikan aku beristirahat dengan nyaman di kasur. Tak lama ia pun pamit pergi untuk kembali bekerja dan membiarkanku sendirian seperti yang aku minta sebelumnya.Dio memang baik, tapi bagiku saat ini kebaikannya hanya topeng untuk menutupi sesuatu yang besar yang sudah ia rencanakan yan
"Aruni ..." Suara Galang yang menyebut namaku menggoyahkan pertahananku. Entah mengapa dia bisa terlihat begitu mengintimidasi. Padahal aku tidak mengenalnya sama sekali. Jantungku makin berdebar kencang. Bahkan kurasa kakiku pun melemah saking ketakutannya. Sebisa mungkin aku menguatkan diri untuk menghadapi Galang, anak dari Om Erlang itu. Meski takut, aku ingin tahu apa yang akan dia lakukan kepadaku.Namun, tiba-tiba saja sebuah tangan memegang pundak belakangku, membuatku refleks melihat siapa itu. Ternyata Dio kini sudah ada tepat disampingku. Sebuah rasa lega seketika memenuhi jantungku. Aku sangat bersyukur Dio datang di saat yang tepat."Ayo, kita pulang. Aku sudah pamit pada Om Erlang dan lainnya tadi!" ucap Dio dengan amat tegas sambil menatap tajam Galang yang kini berdiri angkuh di hadapan kami dengan senyuman yang sekan merendahkan.Tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Galang, Dio menarik lenganku dan dengan cepat membawaku pergi meninggalkan lelaki demgan t
"Halo Aruni, perkenalkan saya Erlangga Putra Airlangga!" Suara bariton Om Erlang cukup membuatku terkesima saat pertama mendengarnya. Postur tubuhnya yang besar dan kekar sangat menampakkan sifat dominannya. Sekali lihat siapapun akan tahu bahwa dia adalah orang yang penuh kuasa.Om Erlang secara khusus menyambut kedatanganku dengan Dio. Ia menyunggingkan senyum yang tampak ramah saat menatapku. Meski jujur saja, senyumnya itu terlihat aneh terlukis di wajah sangarnya."Halo, Om... perkenalkan saya Aruni!" ucapku perlahan setelah Dio memberi isyarat agar aku membalas jabatan tangan dari Om Erlang."Kamu cantik sekali, Aruni!" puji Om Erlang yang masih tampak tersenyum menatapku."Terima kasih, Om!" Aku membalasnya dengan sebuah senyuman. Tapi entah mengapa aku merasa bahwa ucapannya bukanlah sebuah pujian."Maaf, ya, karena kami baru bisa menyambutmu menjadi keluarga sekarang, Aruni! Lagi pula Dio juga nih, menikah tanpa memberitahukan keluarga besar. Padahal kan seharusnya kamu mengu
"Sebenarnya acara apa itu, Dio?" tanyaku pada lelaki yang baru saja sampai dari tempat kerjanya saat ia juga ternyata menyampaikan undangan yang sama dari Om Erlang pada kami berdua.Aku benar-benar merasa curiga dengan undangan ini. Bukankah kemarin mereka masih mengibarkan bendera perang padaku, menuntut agar aku untuk meminta maaf atas kesalahan anaknya itu."Undangan biasa, kok, Sayang! Keluargaku kan memang suka mengadakan acara seperti ini. Sekalian katanya mereka ingin kenal denganmu!" terang Dio."Kamu yakin, Dio? Bukannya mereka kemarin masih menyindir-nyindir aku untuk meminta maaf pada Galuh, sekarang malah Galuh sendiri yang datang menemuiku untuk datang ke rumahnya. Seakan tak ada yang terjadi antara aku dan dia.""Mmmh... ya... pada dasarnya memang ini acara yang sering keluargaku adakan. Tapi.. acara besok memang sangat dadakan sekali. Bahkan semuanya baru dikabarkan sore tadi." Kini raut wajah Dio berubah serius. Ia pun mengernyitkan keningnya seakan berpikir keras."S
"Bagaimana kondisi Arjuna? Apa saja yang kamu bicarakan dengannya tadi, Sayang?" tanya Dio yang kini sedang fokus dibelakang kemudinya. Setelah mendengar apa yang dibicarakan Mas Juna tadi, aku tak banyak bicara. Kepalaku sakit bukan main. Rasanya terlalu banyak yang harus aku pikirkan. Rahasia Dio dan sepupunya Galuh, masalah dengan keluarga Galuh, tekanan dari Ibunya Mas Juna yang masih menyalahkanku atas kondisi anaknya saat ini, lalu kini ditambah lagi tentang apa yang dikatakan Mas Juna tentang Om Satyo dan lelaki bernama Hendro itu. Arghh.. semuanya benar-benar memusingkan.Aku tak segera menjawab pertanyaan Dio, rasanya malas untuk membuka mulut ini dan mengatakan sesuatu. Tiba-tiba saja pikiranku tersentak saat Dio menggenggam tanganku dengan sebelah tangannya, sementara sebelahnya lagi menggenggam setir. "Are you okay, Honey? Dari tadi kamu ngelamun. Mikirin apa, sih?" tanya Dio sambil sesekali menatapku penuh khawatir."I'm okey, Dio! Sorry, aku lagi ga enak badan kayakn