“Firdaaaaaa! Firdaaaaa!”
Brak … brak … brak!
Aku tersentak kaget dari tidur. Itu suara Ibu dan pintu rumah kontrakan yang digedor secara kasar. Ada apa?
"Firdaaaaa! Buka pintunya. Dasar pemalas!"
Suara Ibu mertua semakin nyaring di telinga. Aku bergegas beranjak dari pembaringan, dengan langkah malas menuju pintu. Pintu terlihat seakan-akan mau roboh. Sudah tahu begini, masih juga digedor dengan tenaga dalam. Rengsek dong.
Kreet ...
“Iy—”
“Lama amat sih buka pintunya! Sudah jam segini, masa baru bangun?” Belum sempat aku bertanya, Ibu sudah menyerangku dengan mulut pedasnya.
“Firda lagi demam Bu. Jadi, gitu Mas Bima berangkat kerja, Firda rebahan lagi. Ada apa Bu?” sahutku masih dengan suara lembut, maklum efek setengah sadar.
“Bagi duit! Ibu dikejar-kejar utang sama Bu Kokom,” perintahnya.
Mertuaku menadahkan tangan sambil bertolak pinggang. Kuputar bola mata malas melihat tingkahnya yang membosankan. Seperti nyonya besar saja, pikirku.
“Firda nggak punya duit lagi, Bu. Semalam buat bayar kontrakan, sudah habis!” jawabku menerangkan. Rasa ngilu-ngilu di badan lenyap seketika.
“Nggak ada gimana? Bukannya semalam Bima baru gajian? Kok sudah habis? Boros amat sih kamu jadi istri!” cemoohnya padaku dengan tatapan menyelidik.
“Ya kalau sudah habis, mau bagaimana lagi, Bu! Firda bayar kontrakannya sekalian tiga bulan. Takut, bulan selanjutnya payah bayar. Jadi, Firda rapel,” jawabku lagi mulai malas.
“Beg* amat sih kamu. Bayar kontrakan itu jangan sekaligus dong! Bayarnya per bulan aja. Kalau begini kan, Ibu yang susah!” Ibu mertua tak terima mendengar alasan dan penjelasanku.
Aneh! Duit-duit siapa, yang ngamuk-ngamuk siapa? Inilah mertuaku. Bisanya terus merongrong anak menantu.
“Ibu mertuaku yang cuantiiiik, bukannya Mas Bima sudah kasih gajinya setengah sama Ibu?” tanyaku masih dengan kelembutan yang dibuat-buat.
“Iya, tapi udah habis buat bayar arisan geng kreaks!” timpalnya tanpa ada beban.
“Lagian, Ibu minta duit Bima, bukan duit kamu!” sambungnya lagi yang membuatku semakin muak.
“Ya duit Mas Bima itu yang sudah habis, Bu! Firda udah nggak punya duit lagi buat bayarin utang Ibu sama Bu Kokom!” Kali ini aku harus tegas. Jika tidak, selamanya aku tak akan punya simpanan.
"Ahh, banyak alasan kamu. Kalau nggak, Ibu pinjem dulu lah," pintanya lagi dengan memaksa.
"Maaf, Bu. Memang sudah tidak ada lagi!" kataku mantap.
Aku berjalan menuju sofa untuk duduk sebentar. Badanku masih terasa lemas, efek kehujanan sewaktu pulang kerja semalam.
Ibu mertua masih memandangiku dengan kesal. Aku sih sudah tak perduli. Dua tahun berumah tangga, Ibu mertua semakin menjadi-jadi. Menikah dengan Mas Bima ternyata tak seindah hayalan. Aku ikhlas ikut bekerja banting tulang agar hidup semakin sejahtera. Namun, ternyata itu semua hanya isapan jempol belaka.
Aku tak mempermasalahkan jika Mas Bima memberi sedikit gajinya buat Ibu mertua. Karena aku tahu, surga suami ada pada ibunya. Tapi, jika sang Ibu menganggap bahwa segala kasih sayang yang diberikannya dari bayi hingga dewasa menjadi hutang budi, oh no no no itu yang aku tak suka. Belum lagi jika Mbak Yana, Kakak iparku meminjam uang. Katanya saja yang minjam. Tapi ujung-ujungnya menyakitkan. Jika pun dibalikkan, harus menunggu mulut si empunya berbusa-busa dulu untuk meminta uang kembali.
Brem … suara sepeda motor Mas Bima terdengar di telingaku. Kok jam segini, suamiku sudah pulang? Apa ada sesuatu?
"Assalamu'alaikum," salam Mas Bima terdengar di teras rumah.
"Waalaikum salam," jawab Ibu mertua cepat.
"Waalaikum salam Mas. Loh, kok sudah pulang? Apa ada yang ketinggalan?" tanyaku memastikan begitu ia sudah memasuki rumah.
"Enggak, Dek. Cuma tadi Ibu telepon katanya mau pinjem duit buat berobat," jawabnya lugu yang membuat mataku berkunang-kunang mendengarnya.
"Berobat?" tanyaku lagi memastikan.
"Bukannya tadi—"
"Iya, Bim. Ada duitnya? Ibu sudah nggak tahan lagi nih!" Ibu mertua memotong perkataanku dan menuju ke sofa. Dia duduk perlahan, pura-pura lemas di hadapan anak lelakinya.
"Bima cuma bisa minjam kantor satu juta, Bu. Karena kami masih punya bon." Mas Bima mengambil uang dari kantong celananya dan menyerahkan ke tangan Ibu mertuaku.
"Segini nggak cukup, Bim! Perlu sejuta lagi!" kata Ibu mertua sambil menadahkan tangannya kembali.
"Beneran, Bu. Bima sudah nggak pegang duit lagi. Jika masih ada, pasti Bima kasih saja ke Ibu." Wajah Mas Bima memelas melihat ibunya yang pura-pura lemas.
"Dek, pinjemin duit kamu dulu ya! Nanti Mas ganti kalau sudah gajian," pujuknya dengan memakai sedikit trik wajah memelas.
"Tapi, Mas—!"
"Udah, Dek. Pinjemin dulu ya. Nanti bulan depan, Mas tambahin lagi uang belanja kamu," tukasnya cepat sebelum aku menyelesaikan ucapan.
"Tapi uangnya sudah habis Mas buat bayar kontarakan kita. Trus, kalau kamu mau bayar pake uang gaji, uang gaji kamu saja sudah potong atas. Gimana bisa bayar, Firda?" protesku kesal.
"Pakai uang simpanan kamu dulu dong Firdaaaaa! Mas janji, nanti bulan depan Mas bayar sekalian gajian," terangnya lagi sedikit emosi.
Kulihat sekilas, Ibu mertua tersenyum mengejek kepadaku.
"Mas, Ibu kemari bilangnya minta duit sama Firda, bukan minjam. Lagian, uang itu dipakai bukan buat berobat melainkan bayar utang sama Bu Kokom, Iya kan Bu?" Aku lihat, Ibu mertua kaget dengan perkataanku. Dia jadi salah tingkah dan melotot nggak jelas.
"Lagian ya Mas, gajian semalam bukannya Mas udah kasih Ibu dua juta, ya? Ibu juga bilang kan, dua juta udah menutupi semua utang Ibu sama Bu Kokom. Terus ini utang yang mana lagi, Mas?"
Kulihat Mas Bima dan Ibu terdiam saling lirik. Ada yang mencurigakan dari tatapan mata mereka.
"Sudah lah Dek. Mungkin Ibu ada utang sama yang lain kali." Mas Bima terlihat gugup.
"Yasudah, kalau kamu nggak kasih uang kamu dulu, Mas utang kantor lagi aja. Toh, nggak papa tiap bulan gaji Mas dipotong atas langsung banyak!" Ancamnya seperti biasa, jika aku sudah menolak memberi tambahan jatah uang kepada ibunya.
"Ok baiklah Mas, kali ini aku mengalah lagi."
Aku berjalan malas menuju kamar tidur kami. Rasa sakitku seketika hilang, digantikan menjadi rasa amarah. Kita lihat Mas, apa yang bisa aku lakukan selanjutnya. Jangan kamu kira aku diam selama ini karena takut? Oh, tentu tidak. Aku diam karena malas berdebat dengan orang-orang tolol.
Kuberikan uang yang diminta ke tangan Mas Bima. Mas Bima langsung menyerahkan uang tersebut ke tangan Ibu mertua. Matanya seketika berbinar. Dia lupa, kalau tadi katanya dia sedang sakit. Kelihatan sekali jika Ibu mertuaku ini pandai bersandiwara.
Tanpa mau menunggu, aku langsung kembali langsung menuju kamar, meninggalkan mereka berdua di ruang tamu . Beberapa saat kemudian terdengar suara sepeda motor Mas Bima berlalu pergi meninggalkan rumah kontrakan kami ini.
Aku lelah, lelah terus-terusan menjadi kambing congek mereka.
***
Ku buka netra, melirik jam dinding di atas pintu kamar. Sudah pukul lima sore. Sepertinya tidurku nyenyak, efek obat yang kuminum tadi siang. Aku bangkit dari ranjang tidur. Segera memungut gawai di samping bantal yang kutiduri untuk mengetik pesan kepada Mas Bima.
[Mas, Firda masih demam, nggak masak. Mas nanti pulang belikan makanan ya, buat makan malam kita]
Send
Kulempar asal gawai di atas pembaringan lalu menuju kamar mandi untuk bersih-bersih. Hari ini aku lagi libur salat. Sesudahnya rumah dan halaman ku sapu bersih. Walau kondisi sedang tidak fit tapi untuk kebersihan rumah tetap kujaga, karena aku wanita pembersih. Ingat! Pem-ber-sih. Titik, nggak pake koma.
Waktu terus berlalu hingga senja menampakkan auroranya. Perut sudah minta diisi, tetapi Mas Bima belum pulang juga. Pasti lembur. Kuseduh air hangat manis, kucari simpanan roti gandum coklat. Ini teman yang cocok dikala kondisi darurat seperti saat ini. Kunyalakan televisi untuk mengusir kesendirian. Aku menonton siaran ikan terbang. Jalan ceritanya kebanyakan seperti jalan hidupku saat ini. Memompa adrenalin. Jika bukan mertua yang mengulah, ya menantu. Jika bukan suami yang selingkuh, ya istri. Jika … ah, banyak lagi lah. Itulah dinamika kehidupan.
Roti gandum dan teh manis hangat sudah habis kulahap, tapi mengapa masih lapar juga? Kucari kembali gawai di kamar, ingin menghubungi Mas Bima. Belum lagi nomor kontak kutekan, suara sepeda motornya sudah terdengar. Gegas kusambut dia di depan, mengharap makanan yang kupesan tadi sore, karena aku begitu lapar.
"Assalamu'alaikum," katanya lemah.
"Waalaikum salam," jawabku semangat.
Aku meraih punggung tangan dan menciumnya dengan takzim. Walau sekesal apapun aku terhadap Mas Bima, aku masih tetap menghormatinya sebagai imam dan kepala rumah tanggaku.
"Capek, Mas?" tanyaku manja.
"Iya Dek. Buatin Mas kopi susu, ya! Mas mau langsung mandi dulu. Gerah."
Dia berkata sembari berlalu menuju kamar. Aku mau menanyakan soal pesananku tadi, tapi kuurungkan. Biarlah kutunggu hingga Mas Bima selesai bersih-bersih. Apalagi dia baru pulang pasti capek sekali. Aku pun menuju dapur dan membuat kopi susu sesuai pesanannya tadi.
Sepuluh menit berlalu, kulihat Mas Bima sudah bersih dan wangi. Ia menuju sofa dan ikut duduk di sebelahku, lalu meraih kopi susu yang sudah terhidang manis di atas meja. Terlihat ia sangat menikmatinya.
"Mas, pesanan Firda mana? Ada kan?" tanyaku tak sabar.
"Pesanan apa, Dek?" jawabnya, membuat ginjalku langsung bergetar hebat.
"Pesanan apa katamu, Mas?" Suaraku sedikit meninggi melihat keluguan yang tidak pada tempatnya. Ya Allah, ciptaanmu yang satu ini sungguh kelewatan.
"Iya, pesanan apa Dek? Mas cuma baca pesan yang dikirim Ibu dari Hp Mbak Yana, yang minta dibelikan sate padang, itu saja."
Seketika darah kotorku naik ke ubun-ubun. Kutinggalkan Mas Bima sendiri di sofa. Aku keluar menuju warung Bu Ratna. Pintu kubanting.
Brak!
"Firdaaa!"Kudengar suara Mas Bima berteriak memanggil namaku. Aku tidak perduli. Rasa lapar dan amarah digodok menjadi satu kesatuan yang utuh, dan inilah hasilnya. Bisa-bisanya Mas Bima tak membaca pesan dariku, tapi dia bisa membaca pesan Mbak Yana. Apa pesanku dari kutub selatan, sedangkan pesan dari kakaknya itu dari kutub utara? Atau jangan-jangan dia punya dua Hp? Otakku benar-benar kram memikirkannya. Jika marah, warung yang biasa jauh mengapa tiba-tiba terasa di depan rumah? "Mie Goreng sed*pnya, Bu!" pintaku kepada Bu Ratna yang sedang tersenyum-senyum genit sambil mengotak-atik gawainya. "Bu Ratnaaa ... beli mie goreng sed*pnya, Buu!" kataku lagi mengulang permintaan. Bu Ratna kaget begitu melihatku berdiri di depan warungnya sambil melipat tangan di dada. "Loh Mbak Firda? Mau beli kok diam-diam aja sih?" tanyanya lugu. Hagh! Diam-diam saja katanya? Ck. Seketika uban-uban di rambutku bermunculan.Mau dilayan aku lapar. Nggak dilayan kok ngajak gelud. "Firda baru datan
Rantang kuamankan terlebih dahulu. Aku mengambil gawai di kantong celana. Kutekan nomor seseorang. Tak perlu mengotori tangan jika ada yang bisa melakukannya. "Halo … Bu, ni orangnya sedang di rumah. Kemari aja, Bu!" Aku mendengar suara dari seberang sana sebentar setelahnya gawai kumatikan. "Apa yang kau lakukan?" tanya Ibu mertua penasaran. "Nggak lakuin apa-apa Bu, cuma niat menolong Ibu aja," jawabku senang. Marniii ... Marniiii ....” Tiba-tiba terdengar suara merdu nan syahdu di telinga memanggil-manggil nama Ibu mertua. Mertuaku pun panik mencari tempat bersembunyi, karena dia kenal itu suara siapa. "Bu Kokom!" katanya panik. Aku semakin terhibur melihat ekspresi paniknya. “Yana, bilang Ibu nggak ada, awas kalau sampai ketahuan!” “Bu, bukannya berbohong itu dosa, ya?” kataku berbisik. “Diam kau, Firda! Ini pasti ulah mu kan! Awas ya, Ibu nggak akan tinggal diam.” Mertuaku cepat berlari masuk ke kamar tidur sambil mengancam. “Assalamu’alaikum!” salam Bu Kokom terdengar
"Paaaagi Firda, Sayaaang!" Sahabat sejatiku menyapa. Mood booster jika aku sudah di kantor. Aura positif selalu diberikannya buatku."Paaaagi, honey bunny sweety." Kami cipika cipiki, tos kepalan tangan, lalu saling meradukan pinggul. Akai kami jika sudah bertemu di kantor."Hullu … hullu. Gini nih kalau wanita-wanita kreak dah ketemu." Rima, teman sekantorku yang lain mengomentari aksi bocah yang kami lakuin."Iri … bilang bos … ha ha ha. Papale … papale ... palele ..." Kami berteriak bersama-sama lalu ketawa cekikian. Tak tahu tempat, yang penting kami heppi. Seluruh karyawan kantor cuma bisa geleng-geleng kepala dan ikut cekikian melihat tingkah kami berdua."Mumpung bos belum datang, Rima Sayaang," kataku lagi.Inilah suasana kantorku. Baru sehari saja tak masuk kantor, serasa seminggu ada yang kurang di dalam hidup. Lucu ya. Orang lain rasa saudara. Lah, saudara sendiri rasa orang lain.Sudah pernah sih Mas Bima menyuruhku agar tak usah bekerja lagi, agar aku bisa fokus di rumah
Sepeda motor melaju dengan santai. Itu memang mauku kepada Mas Bima, agar sampai ke rumah tidak terlalu cepat. Ingin bermanja-manja dan mesra-mesraan selama di atas motor. Padahal itu alasanku saja, karena aku malas berjumpa dengan Mak Lampir sesion kedua. "Mas, singgah sebentar yuk ke Indoapril!" ajakku. "Mau beli apa sih, Dek? Nanti malam aja kan bisa! Mas udah nggak sabar mau jumpa Tante Tika. Dah ada kali, setahun nggak ketemu," tolaknya kasar. "Pembalut Adek dah habis, Mas. Emang mau kececeran di mana-mana, gitu?" Alasanku kuat karena memang tadi pagi kuperlihatkan bungkus pembalutku kepadanya yang sudah kosong dan minta dibelikan lagi. "Ck, yodalah. Ayo!" jawabnya seperti kesal. Motor diputarkan kembali oleh Mas Bima karena sewaktu kuajak dia menolak, dia melewatinya dengan sengaja. Kami sampai di depan Indoapril. Aku segera turun. Kulihat Mas Bima masih nangkring di atas motor tak mau turun. "Ayo, Mas!" ajakku setengah memaksa. "Kamu aja deh, Mas tunggu di sini," katanya
"Dek!" Mas Bima mulai membuka suara. Istri dihina-hina dia berubah jadi putra malu. Lah, giliran istri membela diri sendiri, dia langsung berubah jadi UltraMen. Nasib … nasib! "Firda tau kok, Mas. Tapi kamu dengar sendiri kan, apa yang dikatain keluarga Mas barusan ke Firda!" timpalku ketika melihat Mas Bima berdiri dan mendekat ke arahku. "Hallah, kamu aja yang baperan. Nggak salah kan Tante Tika nanya kapan punya anak?" cibir mertuaku. "Nggak salah selagi Tante Tika bertanya dengan sopan, dan Ibu tidak menyudutkan Firda!" kataku mulai meninggi. "Kan emang jelas kalau keturunan kami itu subur-subur. Ibu, gitu nikah langsung dapat Yana. Tante Tika langsung dapat Viona karena suaminya keturunan dari Ibu. Yana juga langsung dapat Dini. Terus masih bisa kami katakan kalau yang bermasalah Bima? Nyadar kamu Fiiir." Ucapan Ibu mertua sudah benar-benar keterlaluan. "Kalau soal Ibu dan Tante cepat dapat keturunan, Firda emang nggak tau. Tapi kalau Mbak Yana, Firda tauuuu banget." Senga
Jarum kecil dipergelangan tangan melewati waktu biasanya. Aku telat. Tergesa-gesa menuju kursi kerja, kulihat oppa berdiri di depan meja Arimbi yang tertunduk. Aku duduk perlahan. Kurasakan mata elang oppa tertuju ke arahku. Oooh Tuhan. "Kamu yang bernama Firda?" Oppa bertanya, begitu kakiku mendarat manja di lantai bawah meja kerja. "Iya, Pak!" jawabku pelan. "Suara yang cempreng, mata yang minus, ditambah suka terlambat! Apa masih ada yang lain?" sindirnya sinis. "Maaf, Pak!" Hanya kalimat itu yang bisa aku keluarkan dari bibir mungilku ini. "Saya minta laporan klien yang dari kota Magelang, itu bagian kamu, kan?""I—iya, Pak! Tapi ….""Kamu mau bilang kalau belum selesai?" selanya diantara kebingunganku. "Hari ini, kamu pulang tidak seperti jam biasa. Setelah jam pulang kantor, kamu keruangan saya." Oppa berjalan angkuh meninggalkan aku yang masih syok sambil terduduk. "Mampus deh!" sungutku frustasi. "Tenang! Jajanan nanti aku yang siapkan!" Arimbi menyambung perkataanku
Hampir sampai di belokan menuju toilet aku berpapasan dengan oppa. Sepertinya dia juga barusan nyetor dari sana. Pandangan mata kami saling bertemu. Aku bergeser ke arah kanan, begitu juga dirinya. Aku bergeser ke arah kiri, begitu pun dirinya. Tiga kali kami saling melakukan senam kaki seperti itu. "Aduuh maaf Pak, saya sudah nggak tahan, Bapak diem sebentar di tempat, boleh?!" Instruksiku yang terkesan tak sopan maen perintah-perintah bos. Tapi anehnya permintaanku itu dilaksanakan segera oleh oppa. Dia berdiri sebentar di depanku. Lalu badannya bergerak sedikit ke samping. Aku langsung menerobos. "Terima kasih Pak," kataku sekilas. Aku langsung berlari masuk ke toilet wanita. Menumpahkan segala rasa yang ada.Tapi eh tapi mulesnya nggak mau udahan. Padahal rapat sudah mau dimulai. Walau masih mules, aku membersihkan diri. Keder juga jika oppa marah lagi. Aku berjalan cepat ke meja kerjaku. Arimbi sudah tidak ada. Map laporan kutarik asal dari meja, aku berlari kecil ke ruang rap
"Emang kamu tadi makan apa sih?""Nggak makan apa-apa pak. Nggak spesial juga. Cuma bakso mercon dua mangkok kecil," jawabku pasti dengan mimik yang biasa saja. "Heeh Satiyem, renyah banget omongan kamu ya! Bakso mercon dua mangkok kamu bilang nggak makan apa apa?" "Firda Pak, bukan Satiyem!" jawabku cepat. Dreet … dreeetGawaiku berdering. 'Sohib dunia' memanggil. Aku mau mengangkat tapi nggak enak di dengar Pak Alex. Aku diamin saja panggilan itu. "Kok nggak diangkat?" tanyanya memecah kesunyian begitu suara gawai mati. "Gak papa, Pak. Salah sambung," jawabku asal. Gawaiku berdering kembali. Masih, sohib dunia memanggil. "Angkat saja. Saya pura-pura nggak mendengar," katanya lagi yang membuatku jadi salah tingkah. Kutekan gambar warna hijau. Sambungan di sana langsung meracau. "Lu ke mana tadi, Fir? Gue tungguin nggak keluar-keluar dari kantor?" "Gue tadi sakit perut, diare! jawabku sambil berbisik-bisik menghadap ke kiri berusaha menjauhi sumber suara dari Pak supir, eh Pak
Gimana? Gimana? Udah lebam belom, Oppa?" Masih mau membrendelku dengan candaan mematikan? Sook. Hayyuk. Aku jabanin. Pintu terbuka. Lin Lin tampak berjalan sembari mengelus perut ratanya. Di tunggu dari tadi, nggak dateng-dateng. Masih asyik terapi sepupunya, dia malah nongol. Nggak seru kalau ada mata lain yang melihat. "Hallo. We kalamaan, ya? Bersihin perut ampe cling tadi, jadi lama. Oia, gimana kalau kita makan siang bareng sambil bahas ini di kantin, Kakak-kakak!" ajaknya masih berdiri di samping sofa memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Maaf, Lin. Sepertinya perut Kakak udah nggak sanggup dimasukin makanan lagi," balasku berusaha tenang dengan ikut mengelus perut seperti Lin Lin tadi. "Loh, kenapa? Bukannya belum makan siang ya, Kak?" Dia berjalan dan duduk di tangan sofa di sebelah sepupunya. "Kenyang minum ini," tunjukku pada gelas milk shake. "Minum gituan aja masak kenyang sih, Kak?" protes Lin Lin tak percaya. Memang sih, aku berkata kenyang karena ada satu
Garis lengkungan tertarik di bibirku. Sebuah balasan akhirnya masuk. Sebuah stiker. Aku cepat mengunduh stiker itu. 'Percuma dihapus, malaikat sudah mencatatnya'Hah? Hahahaha. Aku tertawa keras membaca balasan lucu darinya. Benar kan! Ia selalu dapat membuatku mati gaya dalam segala hal yang kulakukan. Baik itu disengaja maupun tak disengaja, dan itu lah yang membuatku selalu merindui kekonyolannya. Tak ingin kalah, aku kembali membalas pesan darinya. Sebuah stiker balasan ku kirim. 'Aku read aja biar kamu sakit hati'Tak berselang lama ia terlihat mengetik sesuatu. Aku menunggu dengan harap, kekonyolan apa lagi yang akan membuatku tertawa oleh tingkahnya. [Share lokasi, ribut kita.]Buahahahahaha. Ya Allah. Katanya ia mau cari ribut? Buahahahahaha. Tuhan ... sesenang ini aku menerima pesan darinya yang ngajak ribut. Jangankan ribut, Nona. Tawuran pun aku mau, asal bersama kamu. Hahaha. Selucu inikah rasanya jatuh cinta? Poying ... ah ... utung saja kamu jauh di sana, Nona. Jika
"Koko nggak keren loh, Kak. Buncit! Lagian ... wajahnya kurang menjual kalau di photo. Hahahaha." Lin Lin mengibaskan tangannya di udara dan malah tertawa ngakak karena sudah menghina koko-nya sendiri. Dasar! "Sama! We juga buncit!" balasku membusungkan perut yang six-pack. Kacau! Walau sudah digembungkan, tetap saja ia tak mau membuncit sempurna seperti miliknya Alex. Shit! "Nggak usah dipaksain. Nggak bakalan sama. We udah kroscek. Hahaha." Lin Lin menekan-nekan perutku dengan jari telunjuknya sembari tertawa lucu. Entah apa yang lucu di sana. "Terserah deh ... siapa yang mau Kakak jadiin pasangan. We nggak paksa dari agen we. Yang penting Kakak mau aja. Ya ya ya," sambungnya kembali dan terus saja membujukku. Lin Lin merampas kotak susu yang ada di tangan, karena aku berniat akan menuangkannya lagi ke dalam gelas. Ia menuangkan susu itu ke dalam gelas yang sudah aku gunakan karena terlalu malas untuk mengambil gelasnya sendiri. Huh, untung saja ia sepupu sendiri. Jika tidak, gel
"Ayo yooo ... siapa yang mau ngelamar siapa niiih?"Aku kaget dan menoleh ke sumber suara. Lin Lin? Kapan dia datang? Kenapa aku tak mendengar dia masuk ke ruangan ini? Perempuan berkulit putih dan bersih itu berjalan anggun mendekati sofa yang kami duduki. Sederhana namun terlihat berkelas. Baju kemeja yang dimasukkan ke dalam celana kembang dengan sepatu bertumit. Rambutnya digulung seperti gulungan siput. Wanita ini begitu berkelas. "Alo kak Poyiiing. Pa kabar, Luuu?"Lin Lin semakin mendekat. Aku yang masih ngebug hanya duduk saja di sofa. Pantatku juga ikutan ngebug. Dia lengket tak mau berpindah, padahal Lin Lin sudah di hadapan dengan membuka tangannya untuk memelukku. Namun aku tak juga berdiri untuk menyambut wanita cantik itu. Lin Lin mengalah, ia gegas menjatuhkan bobot tubuhnya di sampingku yang masih menatapnya dalam diam. "Kangen deh ama kak Poying." Akhirnya ia yang duluan memelukku dalam duduk. Lin Lin juga mengelus punggung. Seperti tersadar, aku pun baru membalas
Jadi pasangan? Aku? Maksudnya? Sebentar ... sebentar. Ngebug—ngebleng—ngelag. Semua itu ada padaku gegara ucapan yang keluar dari mulut si ultrasound, prodak luar ini. Tugas dari Tuhan saja, kadang aku lalai. Laah, sekarang malah makhluk-Nya yang menambah-nambahi tugas, MIKIR KERAS! Tok tok tok! Suara ketukan di pintu kaca menyelamatkan diri sesaat dari pikiran berat. "Masuk," jawab Oppa mengalihkan pandangnya dari diriku. Pintu kaca itu bergerak pelan. Seseorang masuk, dan aku lihat itu adalah Jessica. "Maaf, Pak. Ini ...." Perkataan Jessica menggantung dan langkahnya mendadak terhenti. Ia mematung masih di dekat pintu. Wanita cantik itu memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Emm maaf, jika saya datang pada saat yang tidak tepat. Saya bisa datang lagi nanti, Pak," lanjutnya kemudian setelah diam beberapa detik. Sekretaris Oppa itu gegas memutar badannya hendak berlalu menuju pintu kembali, namun langkahnya lagi-lagi terhenti karena pria di depanku ini cepat menyapanya. "
"Buat apa kamu minta dia untuk tetap tinggal lagi di sini sih, Bim. Aneh kamu tuh! Biar aja dong dia pindah, kamu mau ibu sama mbak-mu dijadikannya babu terus di rumah kita sendiri? Udah ... cepetan diselesaikan sidang kalian, bener katanya kamu nggak usah datang, biar urusannya cepat kelar! Siap itu kamu bisa bebas, segera menikah dengan Susi.""Bener! Jauh Susi kemana-mana lah, Bim, dari kan perempuan ini! Kamu liat kan! Lelaki yang dikenalkan Susi sama Mbak! Nggak main-main," celetuk Mbak Yana menimpali ucapan ibunya. . . . "Aamiin, Mbak. Ibu do'ain semoga semuanya lancar, selancar jalan tol, bebas hambatan. Asal nggak nyungsep gegara licin. Hehehe," timpal bu Asih yang membawaku kembali dari ingatan seminggu yang lalu bersama mantan suami dan keluarganya. Kami terus bercanda di teras rumah, hingga hampir memasuki waktu azan magrib. Kami berempat gegas masuk ke dalam rumah. Aku berniat menutup pagar besi namun dari kejauhan aku melihat sesosok lelaki berkaca mata hitam dan ber
"Mana sisa uang gaji, Bima, Fir?" Ibu mas Bima seketika menodong ku ketika baru saja aku membawa tubuh ini keluar dari dalam kamar, setelah selesai salat subuh. "Ya, ampun. Masih pagi juga, Bu. Uang-uang aja sih yang di pikirin!" desis ku kesal pada wanita paruh baya di depan ku ini. "Suka-suka saya dong! Duit-duit saya.""Oh, suka-suka ibu, ya! Oke, sekarang saya pun mau suka-suka. Enyah dari rumah kontrakan ini. Angkatin semua barang-barang itu. Sekarang!"Bu Marni terpaku dan terdiam di tempatnya. Dia hanya melengos dan segera berlalu dari hadapanku. Cemen. Aku tak jadi keluar. Segera masuk lagi ke dalam kamar dan gegas menelepon orang yang akan membantu kami untuk pindahan. "Bang, sekarang bisa? Eneg aku udah di sini, Bang!" "Oke, Siap-siap aja-nya aku, Kak. Dua orang ku bawak kan?""Iya, bawak aja berapa yang ada pasukan Abang! Gampang itu, yang penting ongkang-ongkang kaki aja kami lagi. Terima bersih," pintaku pada bang Turnip. Selain menerima jual beli barang seken, ternya
"Tante Firda, itu mamanya Dini, kan?" Tiba-tiba Rara berkata sambil menunjuk seseorang di depan kami. Aku mengikuti arah telunjuk gadis kecil itu. Dan benar saja dari kejauhan aku melihat mbak Yana sedang bergandengan mesra dengan seorang lelaki tua yang cocok dipanggil kakek oleh anaknya. "Iya, Dek. Itu mamanya Dini," sambung Rahmat membenarkan ucapan adiknya. "Itu bukan papanya Dini kan, Tan?" kata Rahmat lagi kepadaku. Aku hanya berpandangan sesaat dengan bu Asih. Kemudian mengajak mereka terus saja berjalan tanpa memperdulikan wanita yang sudah berbelok masuk ke dalam gerai pakaian dalam itu. Mbak Yana dengan lelaki tua, sedangkan kemarin suaminya ada affair dengan wanita tua. Ck. Dini, please jangan copas kehidupan mama dan papa kamu ya. Batinku miris. Aku selesai makan. Pilihan kami jatuh pada gerai K*C. Semua menu yang disukai anak-anak ku pesan. Foya-foya sedikit tak apalah, mana tahu besok-besok oppa berkenan memberikan uangnya lagi dengan cuma-cuma buat anak-anak ini. H
Kursi yang sedang ku putar-putar ter-jungkang ke belakang karena keseimbangan ku goyah. Tak sampai disitu, map yang berada di atas meja ikutan jatuh dan menimpuk dahi, hingga ku lihat beribu bintang di kepala Arimbi yang menatap datar kepadaku. Aji gile. Serasa bumi tak berputar selama 5 detik. Hahahaha. Suara tawa menyusul dari berbagai penjuru mata angin. Suara insiden barusan mampu menghipnotis panca indra mereka untuk menyaksikan keadaanku yang menyedihkan ini. Syalan. Malunya saat ini pasti bakalan selalu teringat pas p*p, dan skincare-an. "Petakilan!" ucap Arimbi tanpa berniat membantuku. Padahal terjadinya kecelakaan beruntun ini, diakibatkan telingaku menangkap sebait kalimat pamungkas dari mulut mbak bestie. Sakit.Aku mencoba berdiri tanpa bantuan. Begitu melihat teman-teman yang masih terbahak menertawai keberuntunganku barusan, aku pun ikatan ngakak sambil melengos. Kedua tangan saling mengusap bokong dan dahiku secara bersamaan. Aku kembali teringat perkataan mbak best