Home / Rumah Tangga / Aku Tak Bodoh / Jangan Pancing Kemarahan ku

Share

Jangan Pancing Kemarahan ku

Author: CheRy
last update Last Updated: 2022-06-26 08:35:13

"Firdaaa!"

Kudengar suara Mas Bima berteriak memanggil namaku. Aku tidak perduli. Rasa lapar dan amarah digodok menjadi satu kesatuan yang utuh, dan inilah hasilnya. Bisa-bisanya Mas Bima tak membaca pesan dariku, tapi dia bisa membaca pesan Mbak Yana. 

Apa pesanku dari kutub selatan, sedangkan pesan dari kakaknya itu dari kutub utara? Atau jangan-jangan dia punya dua Hp? Otakku benar-benar kram memikirkannya. Jika marah, warung yang biasa jauh mengapa tiba-tiba terasa di depan rumah? 

"Mie Goreng sed*pnya, Bu!" pintaku kepada Bu Ratna yang sedang tersenyum-senyum genit sambil mengotak-atik gawainya. 

"Bu Ratnaaa ... beli mie goreng sed*pnya, Buu!" kataku lagi mengulang permintaan. Bu Ratna kaget begitu melihatku berdiri di depan warungnya sambil melipat tangan di dada. 

"Loh Mbak Firda? Mau beli kok diam-diam aja sih?" tanyanya lugu. 

Hagh! Diam-diam saja katanya? Ck. Seketika uban-uban di rambutku bermunculan.

Mau dilayan aku lapar. Nggak dilayan kok ngajak gelud. 

"Firda baru datang kok Bu," jawabku akhirnya. 

"Mau beli apa Mbak Fir?" tanyanya lagi, tapi matanya tak lepas dari gawai. 

"Mie sed*p goreng nya, Bu!" jawabku singkat. 

"Mau berapa bungkus, Mbak?"

"Tiga aja, Bu. Telurnya juga tiga butir, sawi manis kasih dua ribu aja ya Bu, bisa kan?" Tak tanggung-tanggung kubeli tiga bungkus porsi yang jumbo buat dimakan sendiri, sedangkan untuk bumbu-bumbunya yang lain, masih lengkap di dapurku.

"Bisa Mbak Firda, semuanya tujuh belas ribu." Terlihat begitu kesusahan, Bu Ratna meletakkan gawainya di sembarang tempat dan mulai memasukkan semua pesananku ke dalam kantong plastik. 

"Awas bertambah ke samping, Mbak. Ha ha ha," tambahnya lagi begitu dia selesai menerima uang dan aku hendak berlalu dari warungnya tersebut. 

"Tambah apa ya, Bu?" tanyaku tak paham. 

"Tambah begini!" Dia memperagakan badannya seperti pemain sumo yang hendak menerkam lawannya. Tak lupa menggembungkan mulutnya agar terlihat lebih mirip sesuatu. 

"Ha ha ha. Mirip banget ih ibunya," kataku lucu. 

"Mirip apa?" balasnya ikut bingung. 

"Mirip Kingkong. Ha ha ha," jawabku asal sambil tertawa lagi. 

"Yee ... dikasih tau juga malah ngatain orang begitu. Ntar lakik melirik rumput tetangga, mbaknya mewek," nyinyirnya. 

Huh. Netas lagi demit tetangga. Tak tau dia kalau aku lagi emosi dan gampang tersinggung. Bisa jadi 'senggol nampol' kulakukan, karena aku tak punya celurit. Ku tinggalkan warung Bu Ratna tanpa menanggapinya lagi. Masih kudengar dia meracau karena tak menemukan gawai yang di pegangnya tadi. Emang enak!

Aku menderapkan langkah kembali ke rumah dengan cepat. Amarah masih merajai hati. Kalau sudah urusan perut jangan main-main, apalagi aku yang sedang datang bulan menambah hormon setan stadium empat. Waspadalah! 

"Assalamu'alaikum," salam tetap kuucapkan. 

"W*'alaikum salam. Darimana, Dek?" tanya suamiku. Tak kujawab pertanyaannya. Aku hanya diam dan melewatinya tanpa melihat sedikitpun.

"Dek, maaf. Pesan kamu baru Mas lihat. Ayo kita keluar, Mas juga lapar belum makan. Tapi pakai duit kamu dulu, ya?"

Tak kuhiraukan ajakan Mas Bima. Aku tetap asik merebus mie dan menyiapkan segala bumbu pendukung. Kucoba bernyanyi syahdu agar otak tetap waras, tapi tetap saja yang keluar suara cempreng sehingga kewarasanku baru mencapai di angka empat puluh persen. 

Lima menit kemudian, mie goreng telur selesai. Wanginya ngajak gelud cacing-cacing di perut. Tak perlu menambahkan nasi lagi, mie goreng tiga bungkus dicampur telur tiga butir sudah mencukupi nutrisi otak dan kalbuku malam ini. Tak ada niat untuk menawari Mas Bima. Jika kaum deterjen eeh netizen bilang aku istri durhaka, bodo amat! 

"Dek, kok dimakan sendiri? Buat Mas, mana?" tanyanya begitu melihat aku memakan olahan mie goreng tanpa menawarinya. 

Sekali lagi, aku hanya diam saja tak menanggapi. Bukannya marah butuh tenaga? Yup! Makanya, tenaga kuisi terlebih dahulu biar bisa menghadapi kicauan Mas Bima. Kusetel musik di gawai dengan mode volume full. Cakep. Serasa makan di cafe dah ah.

"Dek, kamu kok jadi pelit dan nggak perhatian sih, sama Suami sendiri?"

Serasa tuli, aku diam saja menikmati makanan ini. Tiga bungkus serasa masih kurang, ck ck. Ternyata perutku pintar mendemo juga. 

"Dek, kamu itu dengerin nggak sih, Suami ngomong juga, dicuekin. Mau jadi istri durhaka kamu, Dek?" sungutnya. 

"Heeeeeg." Aku Bersendawa dengan keras. Kubereskan piring dan gelas bekas makan. Segera kubasuh peralatan masak dan makan malam ini. Alhamdulillah, bisa sendawa juga walau dengan mie goreng. 

"Dek, Mas makan apa ini? Mas lapar!" Kulihat dia sudah mulai terpancing emosi. 

"Lapar? Mau makan?" tanyaku. 

"Iya, Dek. Mas lapar. Dari tadi juga Mas bilang lapar. Kamu malah makan sendiri," keluhnya. 

"Yaudah, yuk ikut!" ajakku santai

"Kemana?" balasnya cepat. 

"Udah ikut aja, nanti tau sendiri!" tambahku lagi. 

"Naik motor, Dek?" 

"Nggak usah jalan aja, dekat kok!"

Aku berjalan santai karena sedikit kekenyangan. Mas Bima ngikut di sampingku.

"Loh, kok arah rumah Mbak Yana, Dek?"

"Emang!"

"Mau apa kesana?"

"Ikut aja! Ih, Mas Bima bising amat dari tadi!"

Kami sudah sampai di depan rumah Mbak Yana. Mertuaku juga ikut tinggal di rumahnya setelah Bapak mertua berpulang. 

Tok tok tok! 

"Assalamualaikum."

"W*'alaikum salam." Terdengar jawaban dari dalam. Pintu terbuka. Dini, anak Mbak Yana keluar sambil mengunyah. Kulihat di tangannya masih ada tusuk sate ayam pemberian suamiku.

"Siapa, Din?" 

"Om Bima dan Tante Firda, Ma," jawabnya sambil terus mengunyah. 

"Ada apa Bim, tumben!" Mbak Yana keluar sambil bertanya bingung. 

"Ini Mbak, Mas Bima katanya lapar. Jadi Firda bawa kemari. Ayo Mas, masuk!" Aku yang menjawab dan mengajak suamiku masuk dengan santai. 

"Loh loh loh. Maksudnya apa ini, Dek?" tanya Mas Bima bingung. 

"Kamu lapar kan, Mas? Nah, minta makan sama Ibu kamu di sini. Kan, uang jatah belanja udah Firda kasih tadi siang sama Ibu. Ya berarti makannya harus di rumah Ibu dong, Mas."

Mbak Yana melipat kening, "Enak saja. Makan kok mintanya kemari?" cibirnya tak suka. 

"Loh Mbak Yana sendiri, jajan kok mintanya ke Suami aku?" Aku membalas perkataannya sambil melipat tangan di dada. 

"Wajar dong. Dia kan adik aku!" selanya cepat. 

"Nah itu tau, wajar juga dong, Mas Bima makan di sini, kan dia Adik Mbak!" balasku cepat dan mulai sedikit meninggi. 

"Nggak bisa! Kalian pulang deh, Mbak mau tidur," ujarnya cepat sambil hendak menutup pintu. 

"Nggak mau! Suami aku mau makan di sini!"

"Eeeh … ini ada apaan sih ribut-ribut dari tadi? Bikin orang nggak bisa istirahat!" Tiba-tiba Ibu mertua muncul dari dalam kamar. 

"Ini Bu, masa Firda suruh Bima makan di sini. Jadi istri kok nggak becus amat!" cicit Mbak Yana sewot. 

"Emang Firda nggak masak, Bim?" Ibu mertua kelihatan sekali tidak suka jika anak lelakinya makan di rumah Mbak Yana. 

"Nggak Bu, Firda lagi demam dan—"

"Dan uangnya juga sudah nggak ada, Bu, buat beli bahan masakan!" Aku ikut menimpali perkataan suamiku. 

"Udah Dek, ayo kita pulang. Mas malu, hanya gara-gara makan saja jadi ribut begini." Mas Bima berusaha menarik tanganku untuk diajak pulang. 

"Terserah Mas Bima aja. Kalau Firda sih nggak peduli. Firda udah makan, jadi udah kenyang. Tapi, jika Mas Bima udah nggak lapar lagi, ayo kita pulang!" celetukku. 

Mas Bima diam sebentar. Aku tau dia tidak bisa menahan lapar. Apalagi hingga besok pagi. Pasti bakalan tak nyenyak tidurnya. 

"Gimana? Pulang atau mau makan di sini?" tanyaku memastikan. 

"Mbak, Bima makan di sini deh, Bima lapar!" 

Mas Bima masuk kerumah tanpa menunggu dipersilahkan. Aku ikut masuk dan tersenyum penuh kemenangan. Kulayani Mas Bima selayaknya di rumah sendiri. Ku ambil piring di rak lemari, lalu menuju cosmos dan menyendokkan nasi. Kubuka tudung saji di meja makan yang menampilkan beraneka ragam masakan enak. Ck, begini banyaknya makanan masih juga jajan di luar. Kalau pake duit sendiri sih bodo amat, Tapi ini … pake duit suami orang. 

Kuisi penuh piring Mas Bima dan aku ikut menemaninya makan. Sementara itu, Mbak Yana dan Ibu hanya bisa melihat Mas Bima makan dengan lahap. 

Seketika aku punya ide. Tanpa pikir panjang kuambil rantang susun empat di rak piring Mbak Yana. Rantang pertama kuisi ayam dan gurame goreng beberapa potong. 

"Apa yang kau lakukan dengan makanan-makananku, Firda?" tanya Mbak Yana mulai panik. 

Aku tak menjawab dan tak perduli dengan pertanyaan Mbak Yana. Sambal udang asam manis kupindahkan ke dalam rantang kedua hingga penuh. Sayur gulai gori cincang tak luput dari pandangan, kuisi di rantang yang ketiga. Sikat habis. Tinggal satu rantang yang belum terisi. Isi apa lagi ya? Sayang sekali jika rantang ini kosong. Mubazir. Kulihat ke arah cosmos, lalu membuka tutupnya. Kusendokkan kembali nasi hingga memenuhi rantang. Selesai. Kulihat Mas Bima juga telah selesai makan. Dia terlihat malas menanggapi perdebatan kami. 

"Letakkan Firda! Kau ingin mencuri di rumah iparmu sendiri?" katanya sok suci. 

"Mencuri? Tidak, Mbak! Firda nggak mencuri, cuma mengambil makanan siap saji di rumah Mbak. Kan, Firda udah bilang tadi pagi uangnya udah Firda kasih sama Ibu," kataku mantap.

"Hei menantu tak tau diri. Nggak punya sopan santun kamu hagh?! Uang itu buat aku berobat. Berani-beraninya ngambil makanan di rumah anak saya? Kamu fikir rumah kami panti sosial?" 

"Emang! Masak Ibu baru nyadar sih," jawabku santai

"Panti sosial ilegal, yang tiap hari taunya minta sumbangan terus ke saudara dan ipar," sambungku sambil melirik Mbak Yana dan kembali melihat Ibu mertua. 

"Wajar dong, Mbak Minta sama adik sendiri," belanya tak tahu malu. 

"Wajar! Wajar sekali malah, tapi itu jika Mbak Yana seorang janda. Nggak minta-minta pun pasti Firda beri. Lah, ini suami masih sehat kok ya mintanya terus-terusan." Sengaja aku berkata begitu biar Mbak Yana mikir. 

"Lancang sekali mulutmu, Firda!" Mbak Yana terlihat mulai emosi. 

"Sebodo! Ayo Mas, kita pulang. Firda juga udah selesai." Aku melangkah keluar dengan membawa rantang yang sudah penuh di tangan. 

"Kembalikan Firda!" teriak Mbak Yana  sambil mendekatiku, kulihat Ibu mertua juga mendekatiku. Oh sepertinya mereka memang mau bermain-main denganku. Baiklah kujabanin. 

Related chapters

  • Aku Tak Bodoh   Main Cantik

    Rantang kuamankan terlebih dahulu. Aku mengambil gawai di kantong celana. Kutekan nomor seseorang. Tak perlu mengotori tangan jika ada yang bisa melakukannya. "Halo … Bu, ni orangnya sedang di rumah. Kemari aja, Bu!" Aku mendengar suara dari seberang sana sebentar setelahnya gawai kumatikan. "Apa yang kau lakukan?" tanya Ibu mertua penasaran. "Nggak lakuin apa-apa Bu, cuma niat menolong Ibu aja," jawabku senang. Marniii ... Marniiii ....” Tiba-tiba terdengar suara merdu nan syahdu di telinga memanggil-manggil nama Ibu mertua. Mertuaku pun panik mencari tempat bersembunyi, karena dia kenal itu suara siapa. "Bu Kokom!" katanya panik. Aku semakin terhibur melihat ekspresi paniknya. “Yana, bilang Ibu nggak ada, awas kalau sampai ketahuan!” “Bu, bukannya berbohong itu dosa, ya?” kataku berbisik. “Diam kau, Firda! Ini pasti ulah mu kan! Awas ya, Ibu nggak akan tinggal diam.” Mertuaku cepat berlari masuk ke kamar tidur sambil mengancam. “Assalamu’alaikum!” salam Bu Kokom terdengar

    Last Updated : 2022-06-26
  • Aku Tak Bodoh   Lelaki Sok Cool

    "Paaaagi Firda, Sayaaang!" Sahabat sejatiku menyapa. Mood booster jika aku sudah di kantor. Aura positif selalu diberikannya buatku."Paaaagi, honey bunny sweety." Kami cipika cipiki, tos kepalan tangan, lalu saling meradukan pinggul. Akai kami jika sudah bertemu di kantor."Hullu … hullu. Gini nih kalau wanita-wanita kreak dah ketemu." Rima, teman sekantorku yang lain mengomentari aksi bocah yang kami lakuin."Iri … bilang bos … ha ha ha. Papale … papale ... palele ..." Kami berteriak bersama-sama lalu ketawa cekikian. Tak tahu tempat, yang penting kami heppi. Seluruh karyawan kantor cuma bisa geleng-geleng kepala dan ikut cekikian melihat tingkah kami berdua."Mumpung bos belum datang, Rima Sayaang," kataku lagi.Inilah suasana kantorku. Baru sehari saja tak masuk kantor, serasa seminggu ada yang kurang di dalam hidup. Lucu ya. Orang lain rasa saudara. Lah, saudara sendiri rasa orang lain.Sudah pernah sih Mas Bima menyuruhku agar tak usah bekerja lagi, agar aku bisa fokus di rumah

    Last Updated : 2022-06-26
  • Aku Tak Bodoh   Mulut-mulut Dajjal

    Sepeda motor melaju dengan santai. Itu memang mauku kepada Mas Bima, agar sampai ke rumah tidak terlalu cepat. Ingin bermanja-manja dan mesra-mesraan selama di atas motor. Padahal itu alasanku saja, karena aku malas berjumpa dengan Mak Lampir sesion kedua. "Mas, singgah sebentar yuk ke Indoapril!" ajakku. "Mau beli apa sih, Dek? Nanti malam aja kan bisa! Mas udah nggak sabar mau jumpa Tante Tika. Dah ada kali, setahun nggak ketemu," tolaknya kasar. "Pembalut Adek dah habis, Mas. Emang mau kececeran di mana-mana, gitu?" Alasanku kuat karena memang tadi pagi kuperlihatkan bungkus pembalutku kepadanya yang sudah kosong dan minta dibelikan lagi. "Ck, yodalah. Ayo!" jawabnya seperti kesal. Motor diputarkan kembali oleh Mas Bima karena sewaktu kuajak dia menolak, dia melewatinya dengan sengaja. Kami sampai di depan Indoapril. Aku segera turun. Kulihat Mas Bima masih nangkring di atas motor tak mau turun. "Ayo, Mas!" ajakku setengah memaksa. "Kamu aja deh, Mas tunggu di sini," katanya

    Last Updated : 2022-06-26
  • Aku Tak Bodoh   Pertengkaran Memanas

    "Dek!" Mas Bima mulai membuka suara. Istri dihina-hina dia berubah jadi putra malu. Lah, giliran istri membela diri sendiri, dia langsung berubah jadi UltraMen. Nasib … nasib! "Firda tau kok, Mas. Tapi kamu dengar sendiri kan, apa yang dikatain keluarga Mas barusan ke Firda!" timpalku ketika melihat Mas Bima berdiri dan mendekat ke arahku. "Hallah, kamu aja yang baperan. Nggak salah kan Tante Tika nanya kapan punya anak?" cibir mertuaku. "Nggak salah selagi Tante Tika bertanya dengan sopan, dan Ibu tidak menyudutkan Firda!" kataku mulai meninggi. "Kan emang jelas kalau keturunan kami itu subur-subur. Ibu, gitu nikah langsung dapat Yana. Tante Tika langsung dapat Viona karena suaminya keturunan dari Ibu. Yana juga langsung dapat Dini. Terus masih bisa kami katakan kalau yang bermasalah Bima? Nyadar kamu Fiiir." Ucapan Ibu mertua sudah benar-benar keterlaluan. "Kalau soal Ibu dan Tante cepat dapat keturunan, Firda emang nggak tau. Tapi kalau Mbak Yana, Firda tauuuu banget." Senga

    Last Updated : 2023-08-31
  • Aku Tak Bodoh   Gagal Lembur

    Jarum kecil dipergelangan tangan melewati waktu biasanya. Aku telat. Tergesa-gesa menuju kursi kerja, kulihat oppa berdiri di depan meja Arimbi yang tertunduk. Aku duduk perlahan. Kurasakan mata elang oppa tertuju ke arahku. Oooh Tuhan. "Kamu yang bernama Firda?" Oppa bertanya, begitu kakiku mendarat manja di lantai bawah meja kerja. "Iya, Pak!" jawabku pelan. "Suara yang cempreng, mata yang minus, ditambah suka terlambat! Apa masih ada yang lain?" sindirnya sinis. "Maaf, Pak!" Hanya kalimat itu yang bisa aku keluarkan dari bibir mungilku ini. "Saya minta laporan klien yang dari kota Magelang, itu bagian kamu, kan?""I—iya, Pak! Tapi ….""Kamu mau bilang kalau belum selesai?" selanya diantara kebingunganku. "Hari ini, kamu pulang tidak seperti jam biasa. Setelah jam pulang kantor, kamu keruangan saya." Oppa berjalan angkuh meninggalkan aku yang masih syok sambil terduduk. "Mampus deh!" sungutku frustasi. "Tenang! Jajanan nanti aku yang siapkan!" Arimbi menyambung perkataanku

    Last Updated : 2023-08-31
  • Aku Tak Bodoh   Diantar Pulang

    Hampir sampai di belokan menuju toilet aku berpapasan dengan oppa. Sepertinya dia juga barusan nyetor dari sana. Pandangan mata kami saling bertemu. Aku bergeser ke arah kanan, begitu juga dirinya. Aku bergeser ke arah kiri, begitu pun dirinya. Tiga kali kami saling melakukan senam kaki seperti itu. "Aduuh maaf Pak, saya sudah nggak tahan, Bapak diem sebentar di tempat, boleh?!" Instruksiku yang terkesan tak sopan maen perintah-perintah bos. Tapi anehnya permintaanku itu dilaksanakan segera oleh oppa. Dia berdiri sebentar di depanku. Lalu badannya bergerak sedikit ke samping. Aku langsung menerobos. "Terima kasih Pak," kataku sekilas. Aku langsung berlari masuk ke toilet wanita. Menumpahkan segala rasa yang ada.Tapi eh tapi mulesnya nggak mau udahan. Padahal rapat sudah mau dimulai. Walau masih mules, aku membersihkan diri. Keder juga jika oppa marah lagi. Aku berjalan cepat ke meja kerjaku. Arimbi sudah tidak ada. Map laporan kutarik asal dari meja, aku berlari kecil ke ruang rap

    Last Updated : 2023-08-31
  • Aku Tak Bodoh   Part 9

    "Emang kamu tadi makan apa sih?""Nggak makan apa-apa pak. Nggak spesial juga. Cuma bakso mercon dua mangkok kecil," jawabku pasti dengan mimik yang biasa saja. "Heeh Satiyem, renyah banget omongan kamu ya! Bakso mercon dua mangkok kamu bilang nggak makan apa apa?" "Firda Pak, bukan Satiyem!" jawabku cepat. Dreet … dreeetGawaiku berdering. 'Sohib dunia' memanggil. Aku mau mengangkat tapi nggak enak di dengar Pak Alex. Aku diamin saja panggilan itu. "Kok nggak diangkat?" tanyanya memecah kesunyian begitu suara gawai mati. "Gak papa, Pak. Salah sambung," jawabku asal. Gawaiku berdering kembali. Masih, sohib dunia memanggil. "Angkat saja. Saya pura-pura nggak mendengar," katanya lagi yang membuatku jadi salah tingkah. Kutekan gambar warna hijau. Sambungan di sana langsung meracau. "Lu ke mana tadi, Fir? Gue tungguin nggak keluar-keluar dari kantor?" "Gue tadi sakit perut, diare! jawabku sambil berbisik-bisik menghadap ke kiri berusaha menjauhi sumber suara dari Pak supir, eh Pak

    Last Updated : 2023-09-01
  • Aku Tak Bodoh   Part 10

    Aku melirik Mas Bima untuk mendapat jawaban dari mulutnya sendiri. Yang dilirik sadar dan mulai pasang tampang menghanyutkan. "Iya, Dek. Tante Tika dan Viona, Mas ajak untuk tinggal di sini dengan kita. Kasihan, rumah mereka di kampung sudah dijual, tidak ada lagi tempat mereka untuk bernaung.""Terus, untuk masalah ini, kamu sudah berunding dulu dengan istri kamu, Mas?" "Ngapain berunding-berunding dengan kamu segala, ini rumah juga rumah Bima, dia kepala rumah tangganya." Mertuaku tak senang aku berkata demikian. "Ck, Bu … Bu … yang namanya pernikahan itu, di dalamnya harus bisa berbagi suka dan duka. Semua keputusan untuk kebaikan dalam berumah tangga diambil secara bersama dan saling sukarela. Jika mas Bima seorang suami yang bisa menghargai istri, pasti dia akan membicarakan hal sepenting ini terlebih dahulu, bukan mengambil keputusan secara sepihak." Kembali aku melirik Mas Bima. "Mas tadi mau ngomong Dek, tapi kamunya masih tidur. Magrib-magrib kok tidur!""Firda nggak tidu

    Last Updated : 2023-09-01

Latest chapter

  • Aku Tak Bodoh   Part 150

    Gimana? Gimana? Udah lebam belom, Oppa?" Masih mau membrendelku dengan candaan mematikan? Sook. Hayyuk. Aku jabanin. Pintu terbuka. Lin Lin tampak berjalan sembari mengelus perut ratanya. Di tunggu dari tadi, nggak dateng-dateng. Masih asyik terapi sepupunya, dia malah nongol. Nggak seru kalau ada mata lain yang melihat. "Hallo. We kalamaan, ya? Bersihin perut ampe cling tadi, jadi lama. Oia, gimana kalau kita makan siang bareng sambil bahas ini di kantin, Kakak-kakak!" ajaknya masih berdiri di samping sofa memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Maaf, Lin. Sepertinya perut Kakak udah nggak sanggup dimasukin makanan lagi," balasku berusaha tenang dengan ikut mengelus perut seperti Lin Lin tadi. "Loh, kenapa? Bukannya belum makan siang ya, Kak?" Dia berjalan dan duduk di tangan sofa di sebelah sepupunya. "Kenyang minum ini," tunjukku pada gelas milk shake. "Minum gituan aja masak kenyang sih, Kak?" protes Lin Lin tak percaya. Memang sih, aku berkata kenyang karena ada satu

  • Aku Tak Bodoh   Part 149

    Garis lengkungan tertarik di bibirku. Sebuah balasan akhirnya masuk. Sebuah stiker. Aku cepat mengunduh stiker itu. 'Percuma dihapus, malaikat sudah mencatatnya'Hah? Hahahaha. Aku tertawa keras membaca balasan lucu darinya. Benar kan! Ia selalu dapat membuatku mati gaya dalam segala hal yang kulakukan. Baik itu disengaja maupun tak disengaja, dan itu lah yang membuatku selalu merindui kekonyolannya. Tak ingin kalah, aku kembali membalas pesan darinya. Sebuah stiker balasan ku kirim. 'Aku read aja biar kamu sakit hati'Tak berselang lama ia terlihat mengetik sesuatu. Aku menunggu dengan harap, kekonyolan apa lagi yang akan membuatku tertawa oleh tingkahnya. [Share lokasi, ribut kita.]Buahahahahaha. Ya Allah. Katanya ia mau cari ribut? Buahahahahaha. Tuhan ... sesenang ini aku menerima pesan darinya yang ngajak ribut. Jangankan ribut, Nona. Tawuran pun aku mau, asal bersama kamu. Hahaha. Selucu inikah rasanya jatuh cinta? Poying ... ah ... utung saja kamu jauh di sana, Nona. Jika

  • Aku Tak Bodoh   Part 148

    "Koko nggak keren loh, Kak. Buncit! Lagian ... wajahnya kurang menjual kalau di photo. Hahahaha." Lin Lin mengibaskan tangannya di udara dan malah tertawa ngakak karena sudah menghina koko-nya sendiri. Dasar! "Sama! We juga buncit!" balasku membusungkan perut yang six-pack. Kacau! Walau sudah digembungkan, tetap saja ia tak mau membuncit sempurna seperti miliknya Alex. Shit! "Nggak usah dipaksain. Nggak bakalan sama. We udah kroscek. Hahaha." Lin Lin menekan-nekan perutku dengan jari telunjuknya sembari tertawa lucu. Entah apa yang lucu di sana. "Terserah deh ... siapa yang mau Kakak jadiin pasangan. We nggak paksa dari agen we. Yang penting Kakak mau aja. Ya ya ya," sambungnya kembali dan terus saja membujukku. Lin Lin merampas kotak susu yang ada di tangan, karena aku berniat akan menuangkannya lagi ke dalam gelas. Ia menuangkan susu itu ke dalam gelas yang sudah aku gunakan karena terlalu malas untuk mengambil gelasnya sendiri. Huh, untung saja ia sepupu sendiri. Jika tidak, gel

  • Aku Tak Bodoh   Part 147

    "Ayo yooo ... siapa yang mau ngelamar siapa niiih?"Aku kaget dan menoleh ke sumber suara. Lin Lin? Kapan dia datang? Kenapa aku tak mendengar dia masuk ke ruangan ini? Perempuan berkulit putih dan bersih itu berjalan anggun mendekati sofa yang kami duduki. Sederhana namun terlihat berkelas. Baju kemeja yang dimasukkan ke dalam celana kembang dengan sepatu bertumit. Rambutnya digulung seperti gulungan siput. Wanita ini begitu berkelas. "Alo kak Poyiiing. Pa kabar, Luuu?"Lin Lin semakin mendekat. Aku yang masih ngebug hanya duduk saja di sofa. Pantatku juga ikutan ngebug. Dia lengket tak mau berpindah, padahal Lin Lin sudah di hadapan dengan membuka tangannya untuk memelukku. Namun aku tak juga berdiri untuk menyambut wanita cantik itu. Lin Lin mengalah, ia gegas menjatuhkan bobot tubuhnya di sampingku yang masih menatapnya dalam diam. "Kangen deh ama kak Poying." Akhirnya ia yang duluan memelukku dalam duduk. Lin Lin juga mengelus punggung. Seperti tersadar, aku pun baru membalas

  • Aku Tak Bodoh   Part 146

    Jadi pasangan? Aku? Maksudnya? Sebentar ... sebentar. Ngebug—ngebleng—ngelag. Semua itu ada padaku gegara ucapan yang keluar dari mulut si ultrasound, prodak luar ini. Tugas dari Tuhan saja, kadang aku lalai. Laah, sekarang malah makhluk-Nya yang menambah-nambahi tugas, MIKIR KERAS! Tok tok tok! Suara ketukan di pintu kaca menyelamatkan diri sesaat dari pikiran berat. "Masuk," jawab Oppa mengalihkan pandangnya dari diriku. Pintu kaca itu bergerak pelan. Seseorang masuk, dan aku lihat itu adalah Jessica. "Maaf, Pak. Ini ...." Perkataan Jessica menggantung dan langkahnya mendadak terhenti. Ia mematung masih di dekat pintu. Wanita cantik itu memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Emm maaf, jika saya datang pada saat yang tidak tepat. Saya bisa datang lagi nanti, Pak," lanjutnya kemudian setelah diam beberapa detik. Sekretaris Oppa itu gegas memutar badannya hendak berlalu menuju pintu kembali, namun langkahnya lagi-lagi terhenti karena pria di depanku ini cepat menyapanya. "

  • Aku Tak Bodoh   Part 145

    "Buat apa kamu minta dia untuk tetap tinggal lagi di sini sih, Bim. Aneh kamu tuh! Biar aja dong dia pindah, kamu mau ibu sama mbak-mu dijadikannya babu terus di rumah kita sendiri? Udah ... cepetan diselesaikan sidang kalian, bener katanya kamu nggak usah datang, biar urusannya cepat kelar! Siap itu kamu bisa bebas, segera menikah dengan Susi.""Bener! Jauh Susi kemana-mana lah, Bim, dari kan perempuan ini! Kamu liat kan! Lelaki yang dikenalkan Susi sama Mbak! Nggak main-main," celetuk Mbak Yana menimpali ucapan ibunya. . . . "Aamiin, Mbak. Ibu do'ain semoga semuanya lancar, selancar jalan tol, bebas hambatan. Asal nggak nyungsep gegara licin. Hehehe," timpal bu Asih yang membawaku kembali dari ingatan seminggu yang lalu bersama mantan suami dan keluarganya. Kami terus bercanda di teras rumah, hingga hampir memasuki waktu azan magrib. Kami berempat gegas masuk ke dalam rumah. Aku berniat menutup pagar besi namun dari kejauhan aku melihat sesosok lelaki berkaca mata hitam dan ber

  • Aku Tak Bodoh   Part 144

    "Mana sisa uang gaji, Bima, Fir?" Ibu mas Bima seketika menodong ku ketika baru saja aku membawa tubuh ini keluar dari dalam kamar, setelah selesai salat subuh. "Ya, ampun. Masih pagi juga, Bu. Uang-uang aja sih yang di pikirin!" desis ku kesal pada wanita paruh baya di depan ku ini. "Suka-suka saya dong! Duit-duit saya.""Oh, suka-suka ibu, ya! Oke, sekarang saya pun mau suka-suka. Enyah dari rumah kontrakan ini. Angkatin semua barang-barang itu. Sekarang!"Bu Marni terpaku dan terdiam di tempatnya. Dia hanya melengos dan segera berlalu dari hadapanku. Cemen. Aku tak jadi keluar. Segera masuk lagi ke dalam kamar dan gegas menelepon orang yang akan membantu kami untuk pindahan. "Bang, sekarang bisa? Eneg aku udah di sini, Bang!" "Oke, Siap-siap aja-nya aku, Kak. Dua orang ku bawak kan?""Iya, bawak aja berapa yang ada pasukan Abang! Gampang itu, yang penting ongkang-ongkang kaki aja kami lagi. Terima bersih," pintaku pada bang Turnip. Selain menerima jual beli barang seken, ternya

  • Aku Tak Bodoh   Part 143

    "Tante Firda, itu mamanya Dini, kan?" Tiba-tiba Rara berkata sambil menunjuk seseorang di depan kami. Aku mengikuti arah telunjuk gadis kecil itu. Dan benar saja dari kejauhan aku melihat mbak Yana sedang bergandengan mesra dengan seorang lelaki tua yang cocok dipanggil kakek oleh anaknya. "Iya, Dek. Itu mamanya Dini," sambung Rahmat membenarkan ucapan adiknya. "Itu bukan papanya Dini kan, Tan?" kata Rahmat lagi kepadaku. Aku hanya berpandangan sesaat dengan bu Asih. Kemudian mengajak mereka terus saja berjalan tanpa memperdulikan wanita yang sudah berbelok masuk ke dalam gerai pakaian dalam itu. Mbak Yana dengan lelaki tua, sedangkan kemarin suaminya ada affair dengan wanita tua. Ck. Dini, please jangan copas kehidupan mama dan papa kamu ya. Batinku miris. Aku selesai makan. Pilihan kami jatuh pada gerai K*C. Semua menu yang disukai anak-anak ku pesan. Foya-foya sedikit tak apalah, mana tahu besok-besok oppa berkenan memberikan uangnya lagi dengan cuma-cuma buat anak-anak ini. H

  • Aku Tak Bodoh   Part 142

    Kursi yang sedang ku putar-putar ter-jungkang ke belakang karena keseimbangan ku goyah. Tak sampai disitu, map yang berada di atas meja ikutan jatuh dan menimpuk dahi, hingga ku lihat beribu bintang di kepala Arimbi yang menatap datar kepadaku. Aji gile. Serasa bumi tak berputar selama 5 detik. Hahahaha. Suara tawa menyusul dari berbagai penjuru mata angin. Suara insiden barusan mampu menghipnotis panca indra mereka untuk menyaksikan keadaanku yang menyedihkan ini. Syalan. Malunya saat ini pasti bakalan selalu teringat pas p*p, dan skincare-an. "Petakilan!" ucap Arimbi tanpa berniat membantuku. Padahal terjadinya kecelakaan beruntun ini, diakibatkan telingaku menangkap sebait kalimat pamungkas dari mulut mbak bestie. Sakit.Aku mencoba berdiri tanpa bantuan. Begitu melihat teman-teman yang masih terbahak menertawai keberuntunganku barusan, aku pun ikatan ngakak sambil melengos. Kedua tangan saling mengusap bokong dan dahiku secara bersamaan. Aku kembali teringat perkataan mbak best

DMCA.com Protection Status