"Dek!" Mas Bima mulai membuka suara.
Istri dihina-hina dia berubah jadi putra malu. Lah, giliran istri membela diri sendiri, dia langsung berubah jadi UltraMen. Nasib … nasib!"Firda tau kok, Mas. Tapi kamu dengar sendiri kan, apa yang dikatain keluarga Mas barusan ke Firda!" timpalku ketika melihat Mas Bima berdiri dan mendekat ke arahku."Hallah, kamu aja yang baperan. Nggak salah kan Tante Tika nanya kapan punya anak?" cibir mertuaku."Nggak salah selagi Tante Tika bertanya dengan sopan, dan Ibu tidak menyudutkan Firda!" kataku mulai meninggi."Kan emang jelas kalau keturunan kami itu subur-subur. Ibu, gitu nikah langsung dapat Yana. Tante Tika langsung dapat Viona karena suaminya keturunan dari Ibu. Yana juga langsung dapat Dini. Terus masih bisa kami katakan kalau yang bermasalah Bima? Nyadar kamu Fiiir." Ucapan Ibu mertua sudah benar-benar keterlaluan."Kalau soal Ibu dan Tante cepat dapat keturunan, Firda emang nggak tau. Tapi kalau Mbak Yana, Firda tauuuu banget."Sengaja kutekankan kata 'tahu', karena semua orang di sini juga tahu kalau Mbak Yana menikah baru lima bulan, Si Dini sudah lahir."Tutup mulut kamu, Firda! Kalau nggak karena Bima maksa-maksa Ibu agar nikahin kamu kami ogah beri restu, apalagi dengan wanita kering seperti kamu!" Mbak Yana juga mulai menyulutkan api diantara kami semua."Diam kamu Fir! Nggak sopan kamu ngomong begitu ke Mbak Yana?" bentak Mas Bima kepadaku yang tak pernah dilakukannya semenjak kami menikah."Terus ... ngomong yang sopaan itu gimana, Mas? Coba kasih contoh dulu!" emosiku tak terkendali lagi."Intinya, Bima jelas-jelas tak mandul!" Ibu mertua melotot kepadaku."Tapi itu juga tidak menjamin kalau Firda yang bermasalah, Bu. Jika memang Mas Bima tak bermasalah kenapa nggak pernah mau kalau diajak periksa?" balasku lagi tak mau kalah."Karena dia memang subur!" tegas mertuaku sambil melotot."Baik jika begitu, minggu depan Firda dan Mas Bima periksa ke rumah sakit. Tante, Ibu, Mbak Yana dan kamu Viona bisa ikut untuk melihat langsung hasil pemeriksaan dokter. Gimana?" tantangku pasti.Mereka semua terdiam, termasuk Mas Bima yang garuk-garuk kepala yang kurasa tak gatal.Kesempurnaan wanita adalah punya anak, Firda!" Mertuaku lagi-lagi berkata yang menyakitkan."Dan kesempurnaan wanita adalah punya akhlak, Bu!" balasku tak mau kalah."Kalau sudah lama nggak punya anak, seharusnya kamu berobat sana!" Tante Tika haredang."Kalau sudah lama nggak punya akhlak, seharusnya belajar tobat sana!" Lancarnya mulutku men-skakmat keluarga ini."Diam! Dengar ocehanmu, lama-lama bisa mati aku." Ibu mertua benar-benar sudah naik pitam.Suasana seketika menjadi hening. Tak ada yang berbicara. Semua mata menatap tajam ke arahku....."Kumenangiiiisss … membayangkan …" lanjutku tiba-tiba dengan bernyanyi dan keluar dari rumah. Eits … tak lupa tiga bungkus martabak telur kubawa pulang."Firdaaaaaa!"*********Aku terbangun, kembali alarm tahajjudku berbunyi. Aku lupa men-silent karena masih libur salat. Kuperbaiki letak selimut karena mau lanjut tidur. Tapi mataku tertuju kepada seseorang yang berbaring di sebelah. Viona? Kenapa kami tidur satu ranjang? Kemana Mas Bima? Otakku belum sinkron karena mendadak terjaga. Setelah semalam berdebat panas di rumah Mbak Yana, aku pulang sendiri tanpa Mas Bima. Aku tak tahu, pulang jam berapa suamiku dari rumah kakaknya. Aku tidur cepat karena otak dan tubuh yang lelah.Aku keluar kamar untuk memastikan Mas Bima. Di sofa ruang tamu tak kutemukan keberadaannya. Kuperiksa kamar sebelah, rupanya Mas Bima tertidur di sana.Jika Viona mau menginap di rumahku, seharusnya dia yang di kamar tamu. Bukan malah tuan rumah yang digusur. Memang sekilo kurang ini cewek.Aku kembali ke kamar utama. Karena aku masih marah dengan Mas Bima, tak sudi satu ranjang dengannya malam ini. Pun aku tak bisa tidur jika tak menggunakan AC. Karena hanya kamar utama saja yang kami pasangi AC.******Kubuat sarapan untukku dan Mas Bima. Nasi goreng ayam ungkep. Ayam tingal goreng saja karena masih ada sisa ayam ungkep kemarin di freezerku."Wangi amat, Mbak Firda." Viona menyapaku ketika keluar dari kamar mandi."Heg ehm …" Malas-malasan aku menjawab."Mbak, nanti Viona ikut Mas Bima ya, Mbak Sekar naik gojek saja!"Kulirik gadis dua puluh lima tahun itu. Dia duduk di meja makan sambil memperhatikan aku yang sedang membuat sarapan pagi."Boleh kan, Mbak!" Dia bertanya, memastikan jawabanku."Mbak mau kerja juga Viona. Kalau kamu ada keperluan, kamu saja yang naik gojek kenapa mesti Mbak?" Aku membalas, tak suka."Viona ada urusan Mbak, di kantor Mas Bima.""Itu urusan kamu, bukan urusan Mbak. Mas … sarapan sudah siap. Mari makan!" teriakku keras, sengaja meluapkan kekesalanku terhadap Viona. Mas Bima keluar dari kamar sudah terlihat rapi dan wangi."Mas Bim, Yona ganti baju dulu di rumah Mbak Yana! Semalam bajunya nggak dibawa kemari." Viona segera berlalu, mungkin menuju rumah Mbak Yana. Aku tak perduli. Sementara suamiku hanya mengangguk."Tumben Mas, jam segini sudah siapan? Firda aja belum siap," tanyaku heran."Dek, nanti kamu naik gojek dulu ya. Mas mau antar Viona. Hari ini dia mau interview di kantor Mas.""Kok Mas bilangnya tiba-tiba?""Semalam Mas mau bilang sama kamu. Tapi kamu keburu tidur." Mas Bima meyeruput teh yang telah kusediakan."Dek … jangan nggak sopan gitu lagi dong sama tanteku, Ibu dan Mbak Yana. Mas malu Dek, dikira nggak bisa ngajarin istri sopan santun." Dia melanjutkan perkataannya.Weleh-weleh. Semakin hari sifat Mas Bima semakin menjengkelkan saja."Oh, jadi kelakuan Firda semalam menurut kamu nggak sopan, Mas?""Iya dong Dek, masak kamu berlawanan terus sih ama keluargaku.""Karena keluargamu menghinaku Mas. Dan kamu, sebagai suami seharusnya menjadi pelindung istrinya, ini malah diam saja seperti batu malin kundang yang kenak kutuk." makiku kasar."Ya, kamu sabar aja dong, Dek. Namanya orang tua. Harap di maklumi.""Hahaha … dimaklumi katamu, Mas. Ck, hari ini aku semakin sadar, kebanyakan anak-anak sekarang dipaksa dewasa oleh lingkungan dan teknologi, begitupun sebaliknya, orang-orang tua yang belum juga dewasa, padahal ia sudah melewati masanya.Aku menarik nafas dalam-dalam. Agar kemarahanku bisa teredam walau hanya seujung kuku."Diam saja tak ada gunanya, Mas. Ketika terus-terusan dihina itu bukan sabar, tetapi tolol yang ditabung." Kembali aku berkata agar Mas Bima paham, betapa sakitnya aku."Nah, ini yang Mas nggak suka dari kamu. Akhir-akhir ini kamu taunya ngeyel saja. Dulu kamu nggak seperti ini, Dek. Selalu nurut apa perkataan Mas dan Ibu.""Nah, karena terlalu menurutnya aku padamu dan ibumu, sehingga kalian memperlakukan aku seperti ini, termasuk Mbak kamu yang tak pernah bisa menghargai aku sebagai iparnya!"Perdebatan kami sudah tak dapat dihindari. Bertengkar di pagi hari bisa menghambat rezeki, itu kata ibuku. Ah, aku jadi kangen pada Ibu di kampung. Sudah lama aku tak pulang. Terlalu fokus pada keluarga ini membuatku lupa bahagia.Kuhidangkan sarapan buat kami berdua di atas meja, kusantap sendiri punyaku tanpa memperdulikan Mas Bima. Mas Bima pun seperti diriku, cuek ketika memulai sarapannya.Ting!Suara sendok yang beradu dengan piring terasa nyaring tanpa ada candaan pagi seperti biasa."Mas Biiiiim, Yona dah siap nih!" Yona nongol disela-sela kekacauan kami pagi ini."Mas berangkat, kamu bisa sendiri, kan?!" tanyanya memecah kesunyian."Kalau aku bilang nggak bisa gimana, Mas?" tantangku."Ih, Mbak Firda. Kenapa sih dari semalam sensi terus bawaannya. Mbak lagi dapet ya?" Viona tiba-tiba memotong pertanyaanku."Ya, lagi dapet! Dapet musibah karena kalian!""Firda! Kurang ajar …" Tangan Mas Bima naik tetapi berhenti di udara.Aku terdiam dan menatap sinis lelaki yang ada di depanku ini. Mas Bima pun terkejut dengan apa yang barusan dilakukannya."Huh … nggak nyangka ya! Sudah, pergi lah. Kau tidak lupa kan, kalau aku pernah mandiri. Mungkin mulai saat ini, atau bahkan seterusnya." Tak kugunakan lagi kata 'Mas' dan Firda, yang ada 'kau dan aku'."Dek maaf, Mas—"Aku meninggalkan mereka dan menuju ke kamar. Kututup pintu sedikit membanting. Tubuhku bergetar air mataku tak bisa diajak kompromi, tanpa permisi dia mendesak keluar. Aku terluka melihat Mas Bima menaikkan tangannya untuk diriku. Tak pernah dia melakukan seperti itu, hingga pagi ini. Aku menarik nafas dalam-dalam dan mengusap air di ujung mata, berganti baju kantor dan menambah sedikit riasan. Jika tidak bergegas, aku pasti terlambat masuk kantor.Kucari aplikasi GO-JEK, dan memesannya.Jarum kecil dipergelangan tangan melewati waktu biasanya. Aku telat. Tergesa-gesa menuju kursi kerja, kulihat oppa berdiri di depan meja Arimbi yang tertunduk. Aku duduk perlahan. Kurasakan mata elang oppa tertuju ke arahku. Oooh Tuhan. "Kamu yang bernama Firda?" Oppa bertanya, begitu kakiku mendarat manja di lantai bawah meja kerja. "Iya, Pak!" jawabku pelan. "Suara yang cempreng, mata yang minus, ditambah suka terlambat! Apa masih ada yang lain?" sindirnya sinis. "Maaf, Pak!" Hanya kalimat itu yang bisa aku keluarkan dari bibir mungilku ini. "Saya minta laporan klien yang dari kota Magelang, itu bagian kamu, kan?""I—iya, Pak! Tapi ….""Kamu mau bilang kalau belum selesai?" selanya diantara kebingunganku. "Hari ini, kamu pulang tidak seperti jam biasa. Setelah jam pulang kantor, kamu keruangan saya." Oppa berjalan angkuh meninggalkan aku yang masih syok sambil terduduk. "Mampus deh!" sungutku frustasi. "Tenang! Jajanan nanti aku yang siapkan!" Arimbi menyambung perkataanku
Hampir sampai di belokan menuju toilet aku berpapasan dengan oppa. Sepertinya dia juga barusan nyetor dari sana. Pandangan mata kami saling bertemu. Aku bergeser ke arah kanan, begitu juga dirinya. Aku bergeser ke arah kiri, begitu pun dirinya. Tiga kali kami saling melakukan senam kaki seperti itu. "Aduuh maaf Pak, saya sudah nggak tahan, Bapak diem sebentar di tempat, boleh?!" Instruksiku yang terkesan tak sopan maen perintah-perintah bos. Tapi anehnya permintaanku itu dilaksanakan segera oleh oppa. Dia berdiri sebentar di depanku. Lalu badannya bergerak sedikit ke samping. Aku langsung menerobos. "Terima kasih Pak," kataku sekilas. Aku langsung berlari masuk ke toilet wanita. Menumpahkan segala rasa yang ada.Tapi eh tapi mulesnya nggak mau udahan. Padahal rapat sudah mau dimulai. Walau masih mules, aku membersihkan diri. Keder juga jika oppa marah lagi. Aku berjalan cepat ke meja kerjaku. Arimbi sudah tidak ada. Map laporan kutarik asal dari meja, aku berlari kecil ke ruang rap
"Emang kamu tadi makan apa sih?""Nggak makan apa-apa pak. Nggak spesial juga. Cuma bakso mercon dua mangkok kecil," jawabku pasti dengan mimik yang biasa saja. "Heeh Satiyem, renyah banget omongan kamu ya! Bakso mercon dua mangkok kamu bilang nggak makan apa apa?" "Firda Pak, bukan Satiyem!" jawabku cepat. Dreet … dreeetGawaiku berdering. 'Sohib dunia' memanggil. Aku mau mengangkat tapi nggak enak di dengar Pak Alex. Aku diamin saja panggilan itu. "Kok nggak diangkat?" tanyanya memecah kesunyian begitu suara gawai mati. "Gak papa, Pak. Salah sambung," jawabku asal. Gawaiku berdering kembali. Masih, sohib dunia memanggil. "Angkat saja. Saya pura-pura nggak mendengar," katanya lagi yang membuatku jadi salah tingkah. Kutekan gambar warna hijau. Sambungan di sana langsung meracau. "Lu ke mana tadi, Fir? Gue tungguin nggak keluar-keluar dari kantor?" "Gue tadi sakit perut, diare! jawabku sambil berbisik-bisik menghadap ke kiri berusaha menjauhi sumber suara dari Pak supir, eh Pak
Aku melirik Mas Bima untuk mendapat jawaban dari mulutnya sendiri. Yang dilirik sadar dan mulai pasang tampang menghanyutkan. "Iya, Dek. Tante Tika dan Viona, Mas ajak untuk tinggal di sini dengan kita. Kasihan, rumah mereka di kampung sudah dijual, tidak ada lagi tempat mereka untuk bernaung.""Terus, untuk masalah ini, kamu sudah berunding dulu dengan istri kamu, Mas?" "Ngapain berunding-berunding dengan kamu segala, ini rumah juga rumah Bima, dia kepala rumah tangganya." Mertuaku tak senang aku berkata demikian. "Ck, Bu … Bu … yang namanya pernikahan itu, di dalamnya harus bisa berbagi suka dan duka. Semua keputusan untuk kebaikan dalam berumah tangga diambil secara bersama dan saling sukarela. Jika mas Bima seorang suami yang bisa menghargai istri, pasti dia akan membicarakan hal sepenting ini terlebih dahulu, bukan mengambil keputusan secara sepihak." Kembali aku melirik Mas Bima. "Mas tadi mau ngomong Dek, tapi kamunya masih tidur. Magrib-magrib kok tidur!""Firda nggak tidu
Aku memandang tak suka ke arah Mas Bima yang tiba-tiba sudah masuk ke dalam kamar sambil marah-marah nggak jelas. "Mengadu? Apa maksud kamu, Mas?" tanyaku memastikan perkataannya. "Bukannya kamu menelepon ibumu dan mengadukan masalah kita sambil nangis-nangis? Begitu, kan?" ujar Mas Bima tak senang. "Mas… Mas … Firda ini anak perantauan, Mas. Masih punya orang tua yang kapan saja pengen ngelepas rindu. Salah orang telponan dengan Ayah ibunya sendiri? Nggak, kan? Terus, salahnya di mana kalau orang tua Firda tau masalah anaknya? Lucu!" Aku berjalan ke tempat tidur, mengambil gawai kembali dan mulai berselancar di dunia maya. "Masalah rumah tangga jangan suka diumbar umbar, Fir! Kamu itu sudah dewasa. Malu!" "Diumbar?" Aku mengenyitkan alis. "Ya, diumbar-umbar sama orang lain. Apa salahnya jika kita bicarakan baik-baik masalah rumah tangga kita ini, Deeek!" "Dengar ya Mas Bima! Pertama, yang barusan telepon Firda bukan orang lain, dia ibuku! Mertua kamu! Yang kedua, bukan level F
Aku berjalan ke kamar mandi, sambil mengangkat tangan kiriku tinggi-tinggi. Itu kulakukan sebagai tanda bahwa dia harus menutup mulutnya, karena aku tak ingin mendengarkan cerocosannya terkait hasil karya tangan dia dengan mamanya. Baguslah, setidaknya pagi ini aku tak kelelahan membuat sarapan diriku dan Mas Bima. Aku membersihkan badan jauh lebih lama dari biasanya. Lulur pagi yang tak pernah sempat, hari ini kulakukan. Keramas manja dengan memijat-mijat kulit kepala juga kulakukan. Karena biasanya sampoan langsung dibilas agar cepat selesai karena diburu waktu. Brak … brak. "Mbak, cepetan dikit dong! Ini hari pertama Viona masuk kerja. Nanti Viona telat kalau Mbak nggak siap-siap di kamar mandinya," keluh Viona. Kudengar suara pintu digedor-gedor dari luar. Bodo amat. Aku masih asik menggosokkan badanku dengan lulur yang sudah sedikit mengering. Sempurna. Senang deh dengan kulitku ini. Brak … brak … Kembali suara gedoran kudengar. Ha ha ha. Panik nggak, panik nggak, panik ngg
Serasa ingin aku makan alat pel yang dipegang Pak Giman. Tak ingin berlama-lama aku berniat pamit kepadanya. "Yuk Pak, saya masuk dulu!" kataku permisi. "Nambah apa, Mbak? Cuan? Lah, kalau Mbak beneran mau ikut kerja kayak saya, nanti saya banyak saingan dong! Lebih baik mbaknya ngantor aja deh. Ha ha ha," ujarnya lagi. Setiap berbicara tak pernah lupa selalu diakhiri tawa khasnya. Bola mataku naik ke atas, ke bawah muter lagi ke samping kanan lalu ke samping kiri, lalu kembali lagi melihat Pak Giman. Aku membuang nafas berat. Huuuff"Matanya kenapa, Mbak Fir? Seram, ah, kayak gitu. Nanti matanya nggak kembali ke tempatnya lagi gimana?" katanya benar-benar polos. "Nggak papa, Paaak! Matanya cuma senam pagi. Hik hik hik." "Loh loh loh, Mbak Firda kok mewek? Saya salah ngomong. Maafin saya Mbak. Saya nggak bermaksud begitu, tapi kalau Mbak mau ikut bersih-bersih bantu saya, nanti saya usulkan sama Pak Amran. Gaji bagi dua gak papa deh. Cius!" timpalnya serius. Ealah dallaaah. Kutu
"Lu jadi ngecek gudang sekarang, Fir?" Arimbi bertanya ketika kami sedang istirahat makan siang. "Ya jadi lah, Mbi. Kalau nggak, mati gue kena maki ama itu bos," balasku sambil mengaduk aduk malas makanan di depanku. "Yoda gak papa, biar cepat kelarnya. Eh denger-denger malam minggu nanti kantor ngadain acara di aula," sambungnya lagi. "Acara buat apaan?" tanyaku penasaran. "Katanya sih acara penyambutan Pak oppa gitu. Emang kayaknya bener deh, dia akan ngantiin Pak Amran di kantor," jelas Arimbi. "Masak?" selaku. "Di dapur," sosornya. "Ck, sialan lo. Gue malas banget sendirian Mbi, seram gue kalau ke gudang nggak ada temennya," alasanku agar dia mau menemani sukarela. "Hallah, jadi cewek itu harus pemberani dan tangguh!" sarannya yang membuatku sedikit terkikik. "Sok Marcopolo banget si lu!" cetusku. "Iss, coba sini gue mo liat dompet lu," perintah Arimbi. Aku mengeluarkan dompet di dalam tasku dan menyerahkan kepadanya. "Mau apa sih?" tanyaku penasaran. "Lu apa nggak ka
Gimana? Gimana? Udah lebam belom, Oppa?" Masih mau membrendelku dengan candaan mematikan? Sook. Hayyuk. Aku jabanin. Pintu terbuka. Lin Lin tampak berjalan sembari mengelus perut ratanya. Di tunggu dari tadi, nggak dateng-dateng. Masih asyik terapi sepupunya, dia malah nongol. Nggak seru kalau ada mata lain yang melihat. "Hallo. We kalamaan, ya? Bersihin perut ampe cling tadi, jadi lama. Oia, gimana kalau kita makan siang bareng sambil bahas ini di kantin, Kakak-kakak!" ajaknya masih berdiri di samping sofa memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Maaf, Lin. Sepertinya perut Kakak udah nggak sanggup dimasukin makanan lagi," balasku berusaha tenang dengan ikut mengelus perut seperti Lin Lin tadi. "Loh, kenapa? Bukannya belum makan siang ya, Kak?" Dia berjalan dan duduk di tangan sofa di sebelah sepupunya. "Kenyang minum ini," tunjukku pada gelas milk shake. "Minum gituan aja masak kenyang sih, Kak?" protes Lin Lin tak percaya. Memang sih, aku berkata kenyang karena ada satu
Garis lengkungan tertarik di bibirku. Sebuah balasan akhirnya masuk. Sebuah stiker. Aku cepat mengunduh stiker itu. 'Percuma dihapus, malaikat sudah mencatatnya'Hah? Hahahaha. Aku tertawa keras membaca balasan lucu darinya. Benar kan! Ia selalu dapat membuatku mati gaya dalam segala hal yang kulakukan. Baik itu disengaja maupun tak disengaja, dan itu lah yang membuatku selalu merindui kekonyolannya. Tak ingin kalah, aku kembali membalas pesan darinya. Sebuah stiker balasan ku kirim. 'Aku read aja biar kamu sakit hati'Tak berselang lama ia terlihat mengetik sesuatu. Aku menunggu dengan harap, kekonyolan apa lagi yang akan membuatku tertawa oleh tingkahnya. [Share lokasi, ribut kita.]Buahahahahaha. Ya Allah. Katanya ia mau cari ribut? Buahahahahaha. Tuhan ... sesenang ini aku menerima pesan darinya yang ngajak ribut. Jangankan ribut, Nona. Tawuran pun aku mau, asal bersama kamu. Hahaha. Selucu inikah rasanya jatuh cinta? Poying ... ah ... utung saja kamu jauh di sana, Nona. Jika
"Koko nggak keren loh, Kak. Buncit! Lagian ... wajahnya kurang menjual kalau di photo. Hahahaha." Lin Lin mengibaskan tangannya di udara dan malah tertawa ngakak karena sudah menghina koko-nya sendiri. Dasar! "Sama! We juga buncit!" balasku membusungkan perut yang six-pack. Kacau! Walau sudah digembungkan, tetap saja ia tak mau membuncit sempurna seperti miliknya Alex. Shit! "Nggak usah dipaksain. Nggak bakalan sama. We udah kroscek. Hahaha." Lin Lin menekan-nekan perutku dengan jari telunjuknya sembari tertawa lucu. Entah apa yang lucu di sana. "Terserah deh ... siapa yang mau Kakak jadiin pasangan. We nggak paksa dari agen we. Yang penting Kakak mau aja. Ya ya ya," sambungnya kembali dan terus saja membujukku. Lin Lin merampas kotak susu yang ada di tangan, karena aku berniat akan menuangkannya lagi ke dalam gelas. Ia menuangkan susu itu ke dalam gelas yang sudah aku gunakan karena terlalu malas untuk mengambil gelasnya sendiri. Huh, untung saja ia sepupu sendiri. Jika tidak, gel
"Ayo yooo ... siapa yang mau ngelamar siapa niiih?"Aku kaget dan menoleh ke sumber suara. Lin Lin? Kapan dia datang? Kenapa aku tak mendengar dia masuk ke ruangan ini? Perempuan berkulit putih dan bersih itu berjalan anggun mendekati sofa yang kami duduki. Sederhana namun terlihat berkelas. Baju kemeja yang dimasukkan ke dalam celana kembang dengan sepatu bertumit. Rambutnya digulung seperti gulungan siput. Wanita ini begitu berkelas. "Alo kak Poyiiing. Pa kabar, Luuu?"Lin Lin semakin mendekat. Aku yang masih ngebug hanya duduk saja di sofa. Pantatku juga ikutan ngebug. Dia lengket tak mau berpindah, padahal Lin Lin sudah di hadapan dengan membuka tangannya untuk memelukku. Namun aku tak juga berdiri untuk menyambut wanita cantik itu. Lin Lin mengalah, ia gegas menjatuhkan bobot tubuhnya di sampingku yang masih menatapnya dalam diam. "Kangen deh ama kak Poying." Akhirnya ia yang duluan memelukku dalam duduk. Lin Lin juga mengelus punggung. Seperti tersadar, aku pun baru membalas
Jadi pasangan? Aku? Maksudnya? Sebentar ... sebentar. Ngebug—ngebleng—ngelag. Semua itu ada padaku gegara ucapan yang keluar dari mulut si ultrasound, prodak luar ini. Tugas dari Tuhan saja, kadang aku lalai. Laah, sekarang malah makhluk-Nya yang menambah-nambahi tugas, MIKIR KERAS! Tok tok tok! Suara ketukan di pintu kaca menyelamatkan diri sesaat dari pikiran berat. "Masuk," jawab Oppa mengalihkan pandangnya dari diriku. Pintu kaca itu bergerak pelan. Seseorang masuk, dan aku lihat itu adalah Jessica. "Maaf, Pak. Ini ...." Perkataan Jessica menggantung dan langkahnya mendadak terhenti. Ia mematung masih di dekat pintu. Wanita cantik itu memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Emm maaf, jika saya datang pada saat yang tidak tepat. Saya bisa datang lagi nanti, Pak," lanjutnya kemudian setelah diam beberapa detik. Sekretaris Oppa itu gegas memutar badannya hendak berlalu menuju pintu kembali, namun langkahnya lagi-lagi terhenti karena pria di depanku ini cepat menyapanya. "
"Buat apa kamu minta dia untuk tetap tinggal lagi di sini sih, Bim. Aneh kamu tuh! Biar aja dong dia pindah, kamu mau ibu sama mbak-mu dijadikannya babu terus di rumah kita sendiri? Udah ... cepetan diselesaikan sidang kalian, bener katanya kamu nggak usah datang, biar urusannya cepat kelar! Siap itu kamu bisa bebas, segera menikah dengan Susi.""Bener! Jauh Susi kemana-mana lah, Bim, dari kan perempuan ini! Kamu liat kan! Lelaki yang dikenalkan Susi sama Mbak! Nggak main-main," celetuk Mbak Yana menimpali ucapan ibunya. . . . "Aamiin, Mbak. Ibu do'ain semoga semuanya lancar, selancar jalan tol, bebas hambatan. Asal nggak nyungsep gegara licin. Hehehe," timpal bu Asih yang membawaku kembali dari ingatan seminggu yang lalu bersama mantan suami dan keluarganya. Kami terus bercanda di teras rumah, hingga hampir memasuki waktu azan magrib. Kami berempat gegas masuk ke dalam rumah. Aku berniat menutup pagar besi namun dari kejauhan aku melihat sesosok lelaki berkaca mata hitam dan ber
"Mana sisa uang gaji, Bima, Fir?" Ibu mas Bima seketika menodong ku ketika baru saja aku membawa tubuh ini keluar dari dalam kamar, setelah selesai salat subuh. "Ya, ampun. Masih pagi juga, Bu. Uang-uang aja sih yang di pikirin!" desis ku kesal pada wanita paruh baya di depan ku ini. "Suka-suka saya dong! Duit-duit saya.""Oh, suka-suka ibu, ya! Oke, sekarang saya pun mau suka-suka. Enyah dari rumah kontrakan ini. Angkatin semua barang-barang itu. Sekarang!"Bu Marni terpaku dan terdiam di tempatnya. Dia hanya melengos dan segera berlalu dari hadapanku. Cemen. Aku tak jadi keluar. Segera masuk lagi ke dalam kamar dan gegas menelepon orang yang akan membantu kami untuk pindahan. "Bang, sekarang bisa? Eneg aku udah di sini, Bang!" "Oke, Siap-siap aja-nya aku, Kak. Dua orang ku bawak kan?""Iya, bawak aja berapa yang ada pasukan Abang! Gampang itu, yang penting ongkang-ongkang kaki aja kami lagi. Terima bersih," pintaku pada bang Turnip. Selain menerima jual beli barang seken, ternya
"Tante Firda, itu mamanya Dini, kan?" Tiba-tiba Rara berkata sambil menunjuk seseorang di depan kami. Aku mengikuti arah telunjuk gadis kecil itu. Dan benar saja dari kejauhan aku melihat mbak Yana sedang bergandengan mesra dengan seorang lelaki tua yang cocok dipanggil kakek oleh anaknya. "Iya, Dek. Itu mamanya Dini," sambung Rahmat membenarkan ucapan adiknya. "Itu bukan papanya Dini kan, Tan?" kata Rahmat lagi kepadaku. Aku hanya berpandangan sesaat dengan bu Asih. Kemudian mengajak mereka terus saja berjalan tanpa memperdulikan wanita yang sudah berbelok masuk ke dalam gerai pakaian dalam itu. Mbak Yana dengan lelaki tua, sedangkan kemarin suaminya ada affair dengan wanita tua. Ck. Dini, please jangan copas kehidupan mama dan papa kamu ya. Batinku miris. Aku selesai makan. Pilihan kami jatuh pada gerai K*C. Semua menu yang disukai anak-anak ku pesan. Foya-foya sedikit tak apalah, mana tahu besok-besok oppa berkenan memberikan uangnya lagi dengan cuma-cuma buat anak-anak ini. H
Kursi yang sedang ku putar-putar ter-jungkang ke belakang karena keseimbangan ku goyah. Tak sampai disitu, map yang berada di atas meja ikutan jatuh dan menimpuk dahi, hingga ku lihat beribu bintang di kepala Arimbi yang menatap datar kepadaku. Aji gile. Serasa bumi tak berputar selama 5 detik. Hahahaha. Suara tawa menyusul dari berbagai penjuru mata angin. Suara insiden barusan mampu menghipnotis panca indra mereka untuk menyaksikan keadaanku yang menyedihkan ini. Syalan. Malunya saat ini pasti bakalan selalu teringat pas p*p, dan skincare-an. "Petakilan!" ucap Arimbi tanpa berniat membantuku. Padahal terjadinya kecelakaan beruntun ini, diakibatkan telingaku menangkap sebait kalimat pamungkas dari mulut mbak bestie. Sakit.Aku mencoba berdiri tanpa bantuan. Begitu melihat teman-teman yang masih terbahak menertawai keberuntunganku barusan, aku pun ikatan ngakak sambil melengos. Kedua tangan saling mengusap bokong dan dahiku secara bersamaan. Aku kembali teringat perkataan mbak best