"Ayo cepetan naik! Saya nggak mau tanggung jawab kalau ada apa-apa dengan karyawan saya selagi masih di lokasi kerja. Paham kamu? Jadi, jangan berpikiran yang macam-macam!" sindirnya sambil melipat tangan di dada. "Ya Pak, baiklah." Aku berusaha berjalan tetapi kakiku masih terasa sakit. Sepertinya keseleo akibat terjatuh tadi. "Sstt …" Erangku sedikit dan pelan. "Kamu bisa jalan nggak?" "Bisa Pak, bisa!" sambutku cepat. Pelan-pelan aku mencoba berjalan. TapAku terlonjak kaget. Pak oppa tiba-tiba merangkul pundakku dan menuntunku masuk ke dalam mobilnya. "Mari saya bantu! Kalau nungguin kamu jalan seperti itu, bisa-bisa saya nginap di gudang ini." keluhnya sepenuh hati. Pak oppa membantuku berjalan menuju mobilnya. Dia membukakan pintu dan membantuku naik hingga duduk di bangku depan mobilnya. Dia berputar dan menuju ke kursi kemudi. Melajukan mobil dengan pelan menuju gudang kembali. "Kamu tunggu di sini, saya ke dalam sebentar!" perintahnya kepadaku seperti anak kecil. Pa
Pak … Pak, kesel gua kan ... jangan sampe Hp-Bapak kubunting eh banting. Makiku dalam hati. Sabar Fir, menghadapi bos seperti ini seperti main arisan odong-odong. Awalnya memuaskan pas akhir kok mengenaskan. "Ya maaf Pak. Habis Bapak bilangnya makan, mandi, tidur, maunya sama Bapak saja, apa saya nggak mikir kalau itu Istri Bapak," selaku membela diri. "Otak kamu aja yang ngeresponnya cepat banget kesana. Dasar mesum!"Busyeeed. Otakku dibilang mesum. Minta reset akhlak ke settingan pabrik ni orang. "Sudah selesai belum? Masak saya harus nungguin kamu mata-matain orang sih?" "Eh ehm … sudah, Pak!" Aku menyerahkan gawai ke pemiliknya dengan malu-malu buaya. "Makasih banyak, Pak. Tapi … jangan dihapus dulu … bisa kan, Pak? Karena besok saya minta videonya dikirimkan ke Hp saya?" pintaku polos. Losss, lah! Terlanjur basah, sekalian menyelam dan minum airnya. "Huff!" Hanya itu yang kudengar dari mulut Pak oppa, selebihnya kami kembali terdiam dalam pikiran masing-masing. Tak menung
"Aauuu … hiks hiks hiks …." jeritku keras. "Kenapa lagi Mbak, Fir?" tanya Bu RT panik. "Saya masih nggak bisa jalan, Bu RT. Kaki saya bener-bener nggak bisa digerakkan. Hiks hiks hiks. "Ya ampuuun, kalau begitu digendong saja, Jeng. Nggak jauh-jauh amat kok lagi rumahnya." Bu Fatma ikutan panik. Kena kau parasit! Ini yang aku inginkan. "Digendong, Bu?" tanya Viona kaget. "Iya. Gendong belakang saja," lanjut Bu Fatma lagi. "Iya bener. Gendong belakang saja. Lebih enak dari gendong di depan gitu." Bu RT menimpali. "Saya mana kuat ibu-ibu. Saya kan sudah tua. Lihat saja badannya Firda, semok gitu, yang ada urat-urat saya putus semua." protes Tante Tika menolak. "Iya juga sih ya," kata Bu RT mulai terprovokasi. Wah jangan sampai deh, bisa-bisa gagal rencana aku buat ngerjain kedua parasit ini. "Kalau begitu, Viona saja yang gendong deh, dia kan muda, pasti tenaganya juga masih kuat!" Tiba-tiba Bu Kokom nyeletuk sehabis kembali dari warung Bu Ratna untuk mengantarkan belanjaan p
"Darimana saja kamu?" bentak Mas Bima begitu ia masuk ke dalam kamar sambil membanting pintu. "Kerja!" sahutku lalu meliriknya sekilas. "Kerja sampai jam segini?" cecarnya lagi. "Iya!" "Kerja apaan?" ucapnya sedikit ada penekanan. "Mas tau Firda kerjanya apa. Kenapa hari ini pake nanya segala? Apa Mas tiba-tiba amnesia?" pungkasku. "Nggak biasanya kamu lembur pulangnya sampai jam segini, Fir!" cetusnya lagi seperti ada nada menyelidik. "Emang nggak biasanya Mas, karena Firda tadi lemburnya di gudang produksi," jawabku apa adanya. "Terus kamu pulang dengan siapa?" tambahnya lagi. "Dengan orang baik yang mau nganterin Firda sampai ke rumah!" celetukku sambil nyindir tipis-tipis. "Kamu selingkuh ya Fir!" tukasnya langsung to the point. "Nggak!" Masih jawaban santai yang kuberikan atas pertanyaan-pertanyaannya. "Terus siapa tadi yang nganterin kamu naik mobil?" jeritnya setengah tertahan. "Ooh … sudah ada yang ngadu ke kamu ya Mas, kalau tadi Firda ada yang nganterin pakai m
Pagi-pagi kok udah pada ribut aja, sih!?" Tante Tika nimbrung begitu keluar dari kamarnya. Awal-awalnya saja mereka begitu rajin cari muka di depan suami dan mertuaku, tapi lama kelamaan inilah wujud asli mereka. "Bukan ribut, Ma. cuma nasehatin Mbak Firda agar jangan keterlaluan banget sama suami dan keluarganya. Eeeh … Mbak Firdanya nggak terima." Viona menjelaskan kepada mamanya yang semakin membuatku muak. "Benar apa kata Viona, Fir! Mertua itu bukan musuh, hormati dan sayangi dia sebagaimana kamu menyayangi Ibu kandungmu sendiri. Karena bagaimanapun dia yang telah mengandung dan membesarkan suamimu." Pintarnya Tante Tika menasehatiku. "Tante sayaang, orang bijak itu pasti akan merasa malu jika kata-katanya lebih baik daripada tindakannya. Tapi ya … tidak apa-apa juga sih jika kalian tidak menyukaiku, karena tidak semua orang memiliki selera yang bagus," balasku cuek. Brem … suara sepeda motor Mas Bima kedengaran. Dia sudah pulang dari membeli sarapan. "Assalamu'alaikum," "
Kudengar suara ribut ribut. Tak perlu dilihat, dengungannya sudah terlintas di dalam kepala. Aku sudah duduk manis di kamar. Entah mengapa mataku mau diajak bermain drama. Dia beneran mau mengeluarkan kristal-kristal beningnya. "Dek …." Mas Bima menjerit memanggilku. Aku diam saja. Biarkan dia yang menemuiku disini. "Dek … dimana sih?" gerutunya kesal. Aku masih diam saja dan masih mengeksperikan kesedihan, agar kristal bening nggak mogok buat keluar. Kreet"Dek … loh, kamu kenapa?" tanyanya, begitu diri ini tampak di matanya. Aku pun pura-pura sedang mengurut kaki yang bengkak sambil mengeluarkan tangisan memilukan. Sebenarnya sakitnya emang beneran, tapi air mata ini bohong-bohongan. Mas Bima melihatku iba, lalu mendatangiku dan mengecup kening ini. Ooh … serasa kembali kedua tahun yang lalu ketika kami baru menikah. "Kamu kenapa? Sakit sekali ya?" tanyanya terdengar sangat khawatir. Mungkin! "Iya Mas, hiks. Tiba-tiba ngilu dan berdenyut gitu, hiks. Firda nggak kuat, hiks.
Pukul sepuluh lebih sepuluh menit tukang urut datang ke rumahku. Dia seorang wanita paruh baya, persis seperti ibuku. Namanya Bu Lilis. Wajahnya teduh dan selalu dihiasi senyuman. Dia datang dengan diantar seorang remaja pria yang wajahnya juga hampir mirip dengan ibu tersebut. Raka namanya, dia cucunya Bu Lilis. "Ini Bu, Istri saya yang mau di urut. Kakinya keseleo hingga bengkak begini." Mas Bima mengenalkan aku pada Bu Lilis. "Oh ini ya istrinya Mas Bima. Cantik dan manis ya, semua di borong," pujinya ramah. "Ha ha Ibu ini bisa aja," balasku malu-malu keong. "Iya beneran loh Mbak. He he. Oia, dimana mbaknya mau diurut?" tanya Bu Lilis. Suaranya benar-benar buat candu, seperti suara putri keraton. Lemah lembut ngangenin. "Disini saja Bu. Ibu bisa ngurut seluruh badan juga?" tanyaku penasaran. Karena sepertinya badanku protes minta diolah juga. "InshaAllah, bisa Mbak. Apa mau badannya diurut juga?""Iya Bu, boleh. Saya sudah lama nggak urut badan. Pegal pegal nih." "Boleh, tap
Bu lilis sudah permisi pulang. Badan dan kakiku pun sudah kembali ting ting. Aku berjanji bila ada waktu senggang akan ke rumahnya untuk main, sekalian pengen berkenalan dan bersahabat dengan ketiga putri kembar Bu Lilis, yang usianya tidak terlalu jauh dariku. Badanku benar-benar terasa segar. Ah, seketika aku ingin memanjakan diri ini? Pengen nyalon, shoping. Aku pun tak ingat kapan terakhir kali aku melakukan itu semua. Rumah terasa hening. Kemana para parasit pergi? Pasti perginya juga dengan para benalu. Oia, aku mau telepon Bu Kokom aja deh. "Halo, Bu kokom," sapaku ramah. "Halo Mbak Firda, ada apa ya?" tanyanya juga dengan keramahan. "Saya mau nanya ni Bu, apa Suami saya ada keperluan dengan ibu?" Nggak mau bertele-tele, aku langsung bertanya perihal Mas Bima. "Oh, Mas Bima? Iya ada Mbak. Biasalah mau pinjam uang. Kenapa Mbak? Apa Mbak Firdanya mau nambah?" sambungnya lagi. "Nambah? Saya malah nggak tahu menahu kalau soal itu, cuma tadi saya ada dengar sedikit kalau Sua
Gimana? Gimana? Udah lebam belom, Oppa?" Masih mau membrendelku dengan candaan mematikan? Sook. Hayyuk. Aku jabanin. Pintu terbuka. Lin Lin tampak berjalan sembari mengelus perut ratanya. Di tunggu dari tadi, nggak dateng-dateng. Masih asyik terapi sepupunya, dia malah nongol. Nggak seru kalau ada mata lain yang melihat. "Hallo. We kalamaan, ya? Bersihin perut ampe cling tadi, jadi lama. Oia, gimana kalau kita makan siang bareng sambil bahas ini di kantin, Kakak-kakak!" ajaknya masih berdiri di samping sofa memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Maaf, Lin. Sepertinya perut Kakak udah nggak sanggup dimasukin makanan lagi," balasku berusaha tenang dengan ikut mengelus perut seperti Lin Lin tadi. "Loh, kenapa? Bukannya belum makan siang ya, Kak?" Dia berjalan dan duduk di tangan sofa di sebelah sepupunya. "Kenyang minum ini," tunjukku pada gelas milk shake. "Minum gituan aja masak kenyang sih, Kak?" protes Lin Lin tak percaya. Memang sih, aku berkata kenyang karena ada satu
Garis lengkungan tertarik di bibirku. Sebuah balasan akhirnya masuk. Sebuah stiker. Aku cepat mengunduh stiker itu. 'Percuma dihapus, malaikat sudah mencatatnya'Hah? Hahahaha. Aku tertawa keras membaca balasan lucu darinya. Benar kan! Ia selalu dapat membuatku mati gaya dalam segala hal yang kulakukan. Baik itu disengaja maupun tak disengaja, dan itu lah yang membuatku selalu merindui kekonyolannya. Tak ingin kalah, aku kembali membalas pesan darinya. Sebuah stiker balasan ku kirim. 'Aku read aja biar kamu sakit hati'Tak berselang lama ia terlihat mengetik sesuatu. Aku menunggu dengan harap, kekonyolan apa lagi yang akan membuatku tertawa oleh tingkahnya. [Share lokasi, ribut kita.]Buahahahahaha. Ya Allah. Katanya ia mau cari ribut? Buahahahahaha. Tuhan ... sesenang ini aku menerima pesan darinya yang ngajak ribut. Jangankan ribut, Nona. Tawuran pun aku mau, asal bersama kamu. Hahaha. Selucu inikah rasanya jatuh cinta? Poying ... ah ... utung saja kamu jauh di sana, Nona. Jika
"Koko nggak keren loh, Kak. Buncit! Lagian ... wajahnya kurang menjual kalau di photo. Hahahaha." Lin Lin mengibaskan tangannya di udara dan malah tertawa ngakak karena sudah menghina koko-nya sendiri. Dasar! "Sama! We juga buncit!" balasku membusungkan perut yang six-pack. Kacau! Walau sudah digembungkan, tetap saja ia tak mau membuncit sempurna seperti miliknya Alex. Shit! "Nggak usah dipaksain. Nggak bakalan sama. We udah kroscek. Hahaha." Lin Lin menekan-nekan perutku dengan jari telunjuknya sembari tertawa lucu. Entah apa yang lucu di sana. "Terserah deh ... siapa yang mau Kakak jadiin pasangan. We nggak paksa dari agen we. Yang penting Kakak mau aja. Ya ya ya," sambungnya kembali dan terus saja membujukku. Lin Lin merampas kotak susu yang ada di tangan, karena aku berniat akan menuangkannya lagi ke dalam gelas. Ia menuangkan susu itu ke dalam gelas yang sudah aku gunakan karena terlalu malas untuk mengambil gelasnya sendiri. Huh, untung saja ia sepupu sendiri. Jika tidak, gel
"Ayo yooo ... siapa yang mau ngelamar siapa niiih?"Aku kaget dan menoleh ke sumber suara. Lin Lin? Kapan dia datang? Kenapa aku tak mendengar dia masuk ke ruangan ini? Perempuan berkulit putih dan bersih itu berjalan anggun mendekati sofa yang kami duduki. Sederhana namun terlihat berkelas. Baju kemeja yang dimasukkan ke dalam celana kembang dengan sepatu bertumit. Rambutnya digulung seperti gulungan siput. Wanita ini begitu berkelas. "Alo kak Poyiiing. Pa kabar, Luuu?"Lin Lin semakin mendekat. Aku yang masih ngebug hanya duduk saja di sofa. Pantatku juga ikutan ngebug. Dia lengket tak mau berpindah, padahal Lin Lin sudah di hadapan dengan membuka tangannya untuk memelukku. Namun aku tak juga berdiri untuk menyambut wanita cantik itu. Lin Lin mengalah, ia gegas menjatuhkan bobot tubuhnya di sampingku yang masih menatapnya dalam diam. "Kangen deh ama kak Poying." Akhirnya ia yang duluan memelukku dalam duduk. Lin Lin juga mengelus punggung. Seperti tersadar, aku pun baru membalas
Jadi pasangan? Aku? Maksudnya? Sebentar ... sebentar. Ngebug—ngebleng—ngelag. Semua itu ada padaku gegara ucapan yang keluar dari mulut si ultrasound, prodak luar ini. Tugas dari Tuhan saja, kadang aku lalai. Laah, sekarang malah makhluk-Nya yang menambah-nambahi tugas, MIKIR KERAS! Tok tok tok! Suara ketukan di pintu kaca menyelamatkan diri sesaat dari pikiran berat. "Masuk," jawab Oppa mengalihkan pandangnya dari diriku. Pintu kaca itu bergerak pelan. Seseorang masuk, dan aku lihat itu adalah Jessica. "Maaf, Pak. Ini ...." Perkataan Jessica menggantung dan langkahnya mendadak terhenti. Ia mematung masih di dekat pintu. Wanita cantik itu memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Emm maaf, jika saya datang pada saat yang tidak tepat. Saya bisa datang lagi nanti, Pak," lanjutnya kemudian setelah diam beberapa detik. Sekretaris Oppa itu gegas memutar badannya hendak berlalu menuju pintu kembali, namun langkahnya lagi-lagi terhenti karena pria di depanku ini cepat menyapanya. "
"Buat apa kamu minta dia untuk tetap tinggal lagi di sini sih, Bim. Aneh kamu tuh! Biar aja dong dia pindah, kamu mau ibu sama mbak-mu dijadikannya babu terus di rumah kita sendiri? Udah ... cepetan diselesaikan sidang kalian, bener katanya kamu nggak usah datang, biar urusannya cepat kelar! Siap itu kamu bisa bebas, segera menikah dengan Susi.""Bener! Jauh Susi kemana-mana lah, Bim, dari kan perempuan ini! Kamu liat kan! Lelaki yang dikenalkan Susi sama Mbak! Nggak main-main," celetuk Mbak Yana menimpali ucapan ibunya. . . . "Aamiin, Mbak. Ibu do'ain semoga semuanya lancar, selancar jalan tol, bebas hambatan. Asal nggak nyungsep gegara licin. Hehehe," timpal bu Asih yang membawaku kembali dari ingatan seminggu yang lalu bersama mantan suami dan keluarganya. Kami terus bercanda di teras rumah, hingga hampir memasuki waktu azan magrib. Kami berempat gegas masuk ke dalam rumah. Aku berniat menutup pagar besi namun dari kejauhan aku melihat sesosok lelaki berkaca mata hitam dan ber
"Mana sisa uang gaji, Bima, Fir?" Ibu mas Bima seketika menodong ku ketika baru saja aku membawa tubuh ini keluar dari dalam kamar, setelah selesai salat subuh. "Ya, ampun. Masih pagi juga, Bu. Uang-uang aja sih yang di pikirin!" desis ku kesal pada wanita paruh baya di depan ku ini. "Suka-suka saya dong! Duit-duit saya.""Oh, suka-suka ibu, ya! Oke, sekarang saya pun mau suka-suka. Enyah dari rumah kontrakan ini. Angkatin semua barang-barang itu. Sekarang!"Bu Marni terpaku dan terdiam di tempatnya. Dia hanya melengos dan segera berlalu dari hadapanku. Cemen. Aku tak jadi keluar. Segera masuk lagi ke dalam kamar dan gegas menelepon orang yang akan membantu kami untuk pindahan. "Bang, sekarang bisa? Eneg aku udah di sini, Bang!" "Oke, Siap-siap aja-nya aku, Kak. Dua orang ku bawak kan?""Iya, bawak aja berapa yang ada pasukan Abang! Gampang itu, yang penting ongkang-ongkang kaki aja kami lagi. Terima bersih," pintaku pada bang Turnip. Selain menerima jual beli barang seken, ternya
"Tante Firda, itu mamanya Dini, kan?" Tiba-tiba Rara berkata sambil menunjuk seseorang di depan kami. Aku mengikuti arah telunjuk gadis kecil itu. Dan benar saja dari kejauhan aku melihat mbak Yana sedang bergandengan mesra dengan seorang lelaki tua yang cocok dipanggil kakek oleh anaknya. "Iya, Dek. Itu mamanya Dini," sambung Rahmat membenarkan ucapan adiknya. "Itu bukan papanya Dini kan, Tan?" kata Rahmat lagi kepadaku. Aku hanya berpandangan sesaat dengan bu Asih. Kemudian mengajak mereka terus saja berjalan tanpa memperdulikan wanita yang sudah berbelok masuk ke dalam gerai pakaian dalam itu. Mbak Yana dengan lelaki tua, sedangkan kemarin suaminya ada affair dengan wanita tua. Ck. Dini, please jangan copas kehidupan mama dan papa kamu ya. Batinku miris. Aku selesai makan. Pilihan kami jatuh pada gerai K*C. Semua menu yang disukai anak-anak ku pesan. Foya-foya sedikit tak apalah, mana tahu besok-besok oppa berkenan memberikan uangnya lagi dengan cuma-cuma buat anak-anak ini. H
Kursi yang sedang ku putar-putar ter-jungkang ke belakang karena keseimbangan ku goyah. Tak sampai disitu, map yang berada di atas meja ikutan jatuh dan menimpuk dahi, hingga ku lihat beribu bintang di kepala Arimbi yang menatap datar kepadaku. Aji gile. Serasa bumi tak berputar selama 5 detik. Hahahaha. Suara tawa menyusul dari berbagai penjuru mata angin. Suara insiden barusan mampu menghipnotis panca indra mereka untuk menyaksikan keadaanku yang menyedihkan ini. Syalan. Malunya saat ini pasti bakalan selalu teringat pas p*p, dan skincare-an. "Petakilan!" ucap Arimbi tanpa berniat membantuku. Padahal terjadinya kecelakaan beruntun ini, diakibatkan telingaku menangkap sebait kalimat pamungkas dari mulut mbak bestie. Sakit.Aku mencoba berdiri tanpa bantuan. Begitu melihat teman-teman yang masih terbahak menertawai keberuntunganku barusan, aku pun ikatan ngakak sambil melengos. Kedua tangan saling mengusap bokong dan dahiku secara bersamaan. Aku kembali teringat perkataan mbak best