Bu lilis sudah permisi pulang. Badan dan kakiku pun sudah kembali ting ting. Aku berjanji bila ada waktu senggang akan ke rumahnya untuk main, sekalian pengen berkenalan dan bersahabat dengan ketiga putri kembar Bu Lilis, yang usianya tidak terlalu jauh dariku. Badanku benar-benar terasa segar. Ah, seketika aku ingin memanjakan diri ini? Pengen nyalon, shoping. Aku pun tak ingat kapan terakhir kali aku melakukan itu semua. Rumah terasa hening. Kemana para parasit pergi? Pasti perginya juga dengan para benalu. Oia, aku mau telepon Bu Kokom aja deh. "Halo, Bu kokom," sapaku ramah. "Halo Mbak Firda, ada apa ya?" tanyanya juga dengan keramahan. "Saya mau nanya ni Bu, apa Suami saya ada keperluan dengan ibu?" Nggak mau bertele-tele, aku langsung bertanya perihal Mas Bima. "Oh, Mas Bima? Iya ada Mbak. Biasalah mau pinjam uang. Kenapa Mbak? Apa Mbak Firdanya mau nambah?" sambungnya lagi. "Nambah? Saya malah nggak tahu menahu kalau soal itu, cuma tadi saya ada dengar sedikit kalau Sua
Waktu magrib telah berlalu. Sebentar lagi hari akan menjelang malam, tetapi dua parasit belum juga kembali pulang. Bukan aku merindui mereka, hanya saja jika tak pulang-pulang lagi kemari kan aku jadi jelas. Lebih baik kamar yang dipakai mereka kusewakan sama anak kos. Dapat uang hati damai. Aku berniat mengajak Mas Bima pergi shoping ke Ra*a*an* plaza. Niat hati mau mencari onderdil. Karena kemarin sempat aku melihat beberapa onderdilku terpampang manis di dalam kamar mandi, padahal aku sama sekaki tak menggunakannya. Lancang sekali memang. Entah Viona entah Tante Tika yang sudah menggunakan nya. Yang jelas aku jadi gelay … jijai bajai. Hiiiii. "Mas temenin Firda shoping, yuk!" ajakku bersemangat. "Mau kemana?" "Ke Ra*a*an* plaza aja, mau cari onderdil buat Firda.""Daleman?" "Heg ehg. Yuk!""Tapi kamu masih sakit loh, Dek.""Iya gak papa Mas, kalau sudah shoping pasti cepat sembuhnya. Percaya deh. Yuk!" Mas Bima tak banyak bicara lagi. Dia segera beranjak dari duduknya dan kam
Akhirnya pilihan kami jatuh pada angkringan. Perutku begah karena kekenyangan. Tak tanggung tanggung aku memesan semua menu di angkringan ini. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, dari yang dalam sampai yang luar khusus malam ini ku manjakan mereka. "Sudah setengah sebelas malam, Mas. Kita pulang?" ajak ku ketika menyadari hari semakin larut. "Ayo! Mas juga sudah lelah. Dari tadi muter muter nemenin kamu, yang ada Mas malah nggak dibelikan apa-apa!" protes Mas Bima sambil merokok. "Muter cuma cari makanan aja kok lelah Mas. Mas lelah karena kebanyakan main di pusat permainan tadi, wong Firda shopping muter muter sendiri, kok. Pun seharusnya kamu dong Mas yang belanjain Firda. Ini kok malah nuntut Firda buat beliin kamu barang. Lucu tau Mas," protes ku tak terima. "Ya nggak salah juga sih Dek, istri belanjain barang buat suaminya. Apalagi istrinya kerja banyak duit," kelit Mas Bima, terdengar sangat bijak jika suamiku ini berbicara. "Mas Bima, Firda kerja banyak duitnya juga buat
"Tapi tadi Viona sudah kasih tau Mbak Firda, kalau kami mau keluar juga. Masa harus ngulang kasih tau lagi sih!" sambung Viona tak suka disalah salahi. "Kasih tau mau pergi tapi belum jadi, lain halnya dengan permisi yang sudah mau pergi!" Paham kamu Viona? Kalau belum paham mari kita selesaikan di dalam saja. Mbak sudah lelah. Mas, tolong dong buka pintu rumahnya, masa dari tadi cuma dengerin perempuan debat mulut!" protesku kesal melihat Mas Bima diam saja sambil memainkankan gawainya. Pasti ML lagi, hingga lupa diri. Mas Bima langsung berlalu begitu mendengar instruksi dariku. Dia membuka kan pintu rumah. Aku langsung nyelonong masuk kedalam rumah sambil meninting semua belanjaan yang ada di tangan, menuju kamarku. Para benalu dan parasit juga ikutan berlomba lomba masuk. Suara desisan mengigil dari mulut mereka menandakan kalau mereka sudah kelamaan menunggu di luar hingga kedinginan. "Bim, tolongin Ibu gendong Dini ke dalam dong!" pinta Ibu mertua kepada Mas Bima. "Ya, Bu!"
Hei … apa ini? Aku merasakan sesuatu di kantong celana Mas Bima yang digunakannya tadi malam ketika kami jalan. Aku menarik benda itu dan … tralala trilili, aku menemukan kertas berwarna merah sebanyak lima lembar. Uang biru tujuh lembar, selebihnya warna hijau dan abu abu. Beneran minta disleding ni lakik. Yang begini ini katanya nggak punya uang? Terus ini apa namanya? Buku mantra? Hah, aku mengucap syukur. Ternyata rezekiku harus dengan jalan seperti ini. Ha ha ha. Kesal dengan suami tapi tetap melaksanakan kewajiban istri di atas kasur, langsung tunai di balas sang Pencipta. Walau kuyakin bakalan ada drama setelah penemuan ini. Semua kain kotor sudah kurendam sebentar, lanjut memasukkannya ke mesin cuci, beres. Tinggal menunggu mesin mati sendiri. Lanjut mengelap barang-barang furniture yang ada di rumah. Barang-barang besar kepunyaan Mbak Yana masih tetap berada di tempat yang semalam. Posisinya belum berubah. Belum pulangkah? Aku menuju kamar Viona dan segera membuka pintun
Aku telah sampai di rumah kontrakan. Suara musik terdengar seperti suara peluncuran pesawat luar angkasa. Hingga sistem pencernaanku seketika mati rasa. Dimulai dari mulut, kerongkongan, lambung, usus dua belas jari, usus halus, usus besar, rektum, dan anus, serasa akan terburai burai. Oh Tuhan, hentikan siksaan ini, di rumahku sendiri. Kantong plastik belanjaanku juga terasa bergetar. Aku mengintip ke dalamnya siapa tahu ikan-ikan di sana ternyata hidup kembali, demi mendengar suara memekakkan telinga ini. Aku memasuki rumah dengan hati yang mendongkol. Bagaimana tidak, ketika rumah kutinggalkan dalam keadaan bersih kini setelah kembali, bentuknya berubah jadi acak kadut. Kotak elektronik beserta plastik putih untuk dalamannya berserakan. Gabus penahan di dalam kotak sedang diprintilin oleh Dini dengan kuku-kuku yang kotor nan tajam buat mainan, hingga serpihannya beterbangan kesana kemari, dan itu dilakukannya di atas sofaku. Price tag dari baju baru para benalu dan parasit juga t
Plek! Plek. Tiba-tiba kami dikejutkan dengan sebuah suara teriakan, berbarengan dengan lemparan sepasang sandal swal**w buluk yang melayang sendiri masuk ke dalam rumahku. Kami semua kaget dan melihat dari mana asal sandal yang terbang itu. "Apa itu?" tanya Tante Tika kaget. "Woi! Ziapa yang putar muzik zeperti kezetan itu, hagh!" Aku keluar menuju pintu rumah. Ternyata Pak Parlindungan, tetanggaku yang rumahnya hanya berselang tiga pintu dari rumah kontrakan. Ia sudah berada di depan teras rumah. Kanan kiri pipinya terlihat koyo cabe. Pak Parlindungan juga orang perantauan dari Sumatera Utara sama sepertiku, bedanya dia dari Medan, sedangkan aku dari Pematang Siantar. "Ya, Pak? Ada apa ya?" tanyaku ramah, karena melihat raut wajahnya yang begitu kesal. "Ziapa yang kezurupan di rumah mu ini Pirda?" terangnya begitu menerima pertanyaanku. "Kesurupan? Siapa yang kesurupan Pak Palin?" tanya Ibu Mertuaku bingung. Ia juga ikut melihat keluar. "Eeeh … Palin-Palin kau bilang, Mak. Ka
"Sam-bal apa ini? Hah. Ini na-manya bu-kan maka-nan, sst hah, tapi ra-cun. Pedas am-mat!" ucap Tante Tika setelah makanan habis di piringnya. Aku diam tak menanggapi. Meja kubersihkan. Piring kotor ditinggalkan begitu saja oleh mereka. Tak apa, ada kejutan yang menunggu kalian. Lima belas menit kemudian … "Mbakyu, cepet gantian. Aku nggak tahan lagi nih!" jerit Tante Tika. "Ya sabar toh, Jeung! Mbak juga masih muleees," balas Ibu mertua dari arah kamar mandi. "Viona juga sudah nggak tahan, mau keluar ni Wak," ujar Viona sambil muter-muter di dapurku. "Keluar dulu Mbak, nanti sambung lagi. Hiks," rintih Tante TikaIbu mertua keluar dari persembunyiannya dari bilik temenung, ia disambut tubrukan serta dorongan oleh Tante Tika dan Viona, yang sama-sama tak mau mengalah. "Isss, Mama, Viona dulu dong! Mules banget ini. Aaahh ….""Nggak, Mama dulu, Yon! Sepertinya Mama sudah kincrit di celana!""Aduuuh, Mama …."Brooot! Brut tut tut tut … "Kan, Mamaaaa, aaaah …."Iyyuuuuh … menjijik
Gimana? Gimana? Udah lebam belom, Oppa?" Masih mau membrendelku dengan candaan mematikan? Sook. Hayyuk. Aku jabanin. Pintu terbuka. Lin Lin tampak berjalan sembari mengelus perut ratanya. Di tunggu dari tadi, nggak dateng-dateng. Masih asyik terapi sepupunya, dia malah nongol. Nggak seru kalau ada mata lain yang melihat. "Hallo. We kalamaan, ya? Bersihin perut ampe cling tadi, jadi lama. Oia, gimana kalau kita makan siang bareng sambil bahas ini di kantin, Kakak-kakak!" ajaknya masih berdiri di samping sofa memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Maaf, Lin. Sepertinya perut Kakak udah nggak sanggup dimasukin makanan lagi," balasku berusaha tenang dengan ikut mengelus perut seperti Lin Lin tadi. "Loh, kenapa? Bukannya belum makan siang ya, Kak?" Dia berjalan dan duduk di tangan sofa di sebelah sepupunya. "Kenyang minum ini," tunjukku pada gelas milk shake. "Minum gituan aja masak kenyang sih, Kak?" protes Lin Lin tak percaya. Memang sih, aku berkata kenyang karena ada satu
Garis lengkungan tertarik di bibirku. Sebuah balasan akhirnya masuk. Sebuah stiker. Aku cepat mengunduh stiker itu. 'Percuma dihapus, malaikat sudah mencatatnya'Hah? Hahahaha. Aku tertawa keras membaca balasan lucu darinya. Benar kan! Ia selalu dapat membuatku mati gaya dalam segala hal yang kulakukan. Baik itu disengaja maupun tak disengaja, dan itu lah yang membuatku selalu merindui kekonyolannya. Tak ingin kalah, aku kembali membalas pesan darinya. Sebuah stiker balasan ku kirim. 'Aku read aja biar kamu sakit hati'Tak berselang lama ia terlihat mengetik sesuatu. Aku menunggu dengan harap, kekonyolan apa lagi yang akan membuatku tertawa oleh tingkahnya. [Share lokasi, ribut kita.]Buahahahahaha. Ya Allah. Katanya ia mau cari ribut? Buahahahahaha. Tuhan ... sesenang ini aku menerima pesan darinya yang ngajak ribut. Jangankan ribut, Nona. Tawuran pun aku mau, asal bersama kamu. Hahaha. Selucu inikah rasanya jatuh cinta? Poying ... ah ... utung saja kamu jauh di sana, Nona. Jika
"Koko nggak keren loh, Kak. Buncit! Lagian ... wajahnya kurang menjual kalau di photo. Hahahaha." Lin Lin mengibaskan tangannya di udara dan malah tertawa ngakak karena sudah menghina koko-nya sendiri. Dasar! "Sama! We juga buncit!" balasku membusungkan perut yang six-pack. Kacau! Walau sudah digembungkan, tetap saja ia tak mau membuncit sempurna seperti miliknya Alex. Shit! "Nggak usah dipaksain. Nggak bakalan sama. We udah kroscek. Hahaha." Lin Lin menekan-nekan perutku dengan jari telunjuknya sembari tertawa lucu. Entah apa yang lucu di sana. "Terserah deh ... siapa yang mau Kakak jadiin pasangan. We nggak paksa dari agen we. Yang penting Kakak mau aja. Ya ya ya," sambungnya kembali dan terus saja membujukku. Lin Lin merampas kotak susu yang ada di tangan, karena aku berniat akan menuangkannya lagi ke dalam gelas. Ia menuangkan susu itu ke dalam gelas yang sudah aku gunakan karena terlalu malas untuk mengambil gelasnya sendiri. Huh, untung saja ia sepupu sendiri. Jika tidak, gel
"Ayo yooo ... siapa yang mau ngelamar siapa niiih?"Aku kaget dan menoleh ke sumber suara. Lin Lin? Kapan dia datang? Kenapa aku tak mendengar dia masuk ke ruangan ini? Perempuan berkulit putih dan bersih itu berjalan anggun mendekati sofa yang kami duduki. Sederhana namun terlihat berkelas. Baju kemeja yang dimasukkan ke dalam celana kembang dengan sepatu bertumit. Rambutnya digulung seperti gulungan siput. Wanita ini begitu berkelas. "Alo kak Poyiiing. Pa kabar, Luuu?"Lin Lin semakin mendekat. Aku yang masih ngebug hanya duduk saja di sofa. Pantatku juga ikutan ngebug. Dia lengket tak mau berpindah, padahal Lin Lin sudah di hadapan dengan membuka tangannya untuk memelukku. Namun aku tak juga berdiri untuk menyambut wanita cantik itu. Lin Lin mengalah, ia gegas menjatuhkan bobot tubuhnya di sampingku yang masih menatapnya dalam diam. "Kangen deh ama kak Poying." Akhirnya ia yang duluan memelukku dalam duduk. Lin Lin juga mengelus punggung. Seperti tersadar, aku pun baru membalas
Jadi pasangan? Aku? Maksudnya? Sebentar ... sebentar. Ngebug—ngebleng—ngelag. Semua itu ada padaku gegara ucapan yang keluar dari mulut si ultrasound, prodak luar ini. Tugas dari Tuhan saja, kadang aku lalai. Laah, sekarang malah makhluk-Nya yang menambah-nambahi tugas, MIKIR KERAS! Tok tok tok! Suara ketukan di pintu kaca menyelamatkan diri sesaat dari pikiran berat. "Masuk," jawab Oppa mengalihkan pandangnya dari diriku. Pintu kaca itu bergerak pelan. Seseorang masuk, dan aku lihat itu adalah Jessica. "Maaf, Pak. Ini ...." Perkataan Jessica menggantung dan langkahnya mendadak terhenti. Ia mematung masih di dekat pintu. Wanita cantik itu memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Emm maaf, jika saya datang pada saat yang tidak tepat. Saya bisa datang lagi nanti, Pak," lanjutnya kemudian setelah diam beberapa detik. Sekretaris Oppa itu gegas memutar badannya hendak berlalu menuju pintu kembali, namun langkahnya lagi-lagi terhenti karena pria di depanku ini cepat menyapanya. "
"Buat apa kamu minta dia untuk tetap tinggal lagi di sini sih, Bim. Aneh kamu tuh! Biar aja dong dia pindah, kamu mau ibu sama mbak-mu dijadikannya babu terus di rumah kita sendiri? Udah ... cepetan diselesaikan sidang kalian, bener katanya kamu nggak usah datang, biar urusannya cepat kelar! Siap itu kamu bisa bebas, segera menikah dengan Susi.""Bener! Jauh Susi kemana-mana lah, Bim, dari kan perempuan ini! Kamu liat kan! Lelaki yang dikenalkan Susi sama Mbak! Nggak main-main," celetuk Mbak Yana menimpali ucapan ibunya. . . . "Aamiin, Mbak. Ibu do'ain semoga semuanya lancar, selancar jalan tol, bebas hambatan. Asal nggak nyungsep gegara licin. Hehehe," timpal bu Asih yang membawaku kembali dari ingatan seminggu yang lalu bersama mantan suami dan keluarganya. Kami terus bercanda di teras rumah, hingga hampir memasuki waktu azan magrib. Kami berempat gegas masuk ke dalam rumah. Aku berniat menutup pagar besi namun dari kejauhan aku melihat sesosok lelaki berkaca mata hitam dan ber
"Mana sisa uang gaji, Bima, Fir?" Ibu mas Bima seketika menodong ku ketika baru saja aku membawa tubuh ini keluar dari dalam kamar, setelah selesai salat subuh. "Ya, ampun. Masih pagi juga, Bu. Uang-uang aja sih yang di pikirin!" desis ku kesal pada wanita paruh baya di depan ku ini. "Suka-suka saya dong! Duit-duit saya.""Oh, suka-suka ibu, ya! Oke, sekarang saya pun mau suka-suka. Enyah dari rumah kontrakan ini. Angkatin semua barang-barang itu. Sekarang!"Bu Marni terpaku dan terdiam di tempatnya. Dia hanya melengos dan segera berlalu dari hadapanku. Cemen. Aku tak jadi keluar. Segera masuk lagi ke dalam kamar dan gegas menelepon orang yang akan membantu kami untuk pindahan. "Bang, sekarang bisa? Eneg aku udah di sini, Bang!" "Oke, Siap-siap aja-nya aku, Kak. Dua orang ku bawak kan?""Iya, bawak aja berapa yang ada pasukan Abang! Gampang itu, yang penting ongkang-ongkang kaki aja kami lagi. Terima bersih," pintaku pada bang Turnip. Selain menerima jual beli barang seken, ternya
"Tante Firda, itu mamanya Dini, kan?" Tiba-tiba Rara berkata sambil menunjuk seseorang di depan kami. Aku mengikuti arah telunjuk gadis kecil itu. Dan benar saja dari kejauhan aku melihat mbak Yana sedang bergandengan mesra dengan seorang lelaki tua yang cocok dipanggil kakek oleh anaknya. "Iya, Dek. Itu mamanya Dini," sambung Rahmat membenarkan ucapan adiknya. "Itu bukan papanya Dini kan, Tan?" kata Rahmat lagi kepadaku. Aku hanya berpandangan sesaat dengan bu Asih. Kemudian mengajak mereka terus saja berjalan tanpa memperdulikan wanita yang sudah berbelok masuk ke dalam gerai pakaian dalam itu. Mbak Yana dengan lelaki tua, sedangkan kemarin suaminya ada affair dengan wanita tua. Ck. Dini, please jangan copas kehidupan mama dan papa kamu ya. Batinku miris. Aku selesai makan. Pilihan kami jatuh pada gerai K*C. Semua menu yang disukai anak-anak ku pesan. Foya-foya sedikit tak apalah, mana tahu besok-besok oppa berkenan memberikan uangnya lagi dengan cuma-cuma buat anak-anak ini. H
Kursi yang sedang ku putar-putar ter-jungkang ke belakang karena keseimbangan ku goyah. Tak sampai disitu, map yang berada di atas meja ikutan jatuh dan menimpuk dahi, hingga ku lihat beribu bintang di kepala Arimbi yang menatap datar kepadaku. Aji gile. Serasa bumi tak berputar selama 5 detik. Hahahaha. Suara tawa menyusul dari berbagai penjuru mata angin. Suara insiden barusan mampu menghipnotis panca indra mereka untuk menyaksikan keadaanku yang menyedihkan ini. Syalan. Malunya saat ini pasti bakalan selalu teringat pas p*p, dan skincare-an. "Petakilan!" ucap Arimbi tanpa berniat membantuku. Padahal terjadinya kecelakaan beruntun ini, diakibatkan telingaku menangkap sebait kalimat pamungkas dari mulut mbak bestie. Sakit.Aku mencoba berdiri tanpa bantuan. Begitu melihat teman-teman yang masih terbahak menertawai keberuntunganku barusan, aku pun ikatan ngakak sambil melengos. Kedua tangan saling mengusap bokong dan dahiku secara bersamaan. Aku kembali teringat perkataan mbak best