Plek! Plek. Tiba-tiba kami dikejutkan dengan sebuah suara teriakan, berbarengan dengan lemparan sepasang sandal swal**w buluk yang melayang sendiri masuk ke dalam rumahku. Kami semua kaget dan melihat dari mana asal sandal yang terbang itu. "Apa itu?" tanya Tante Tika kaget. "Woi! Ziapa yang putar muzik zeperti kezetan itu, hagh!" Aku keluar menuju pintu rumah. Ternyata Pak Parlindungan, tetanggaku yang rumahnya hanya berselang tiga pintu dari rumah kontrakan. Ia sudah berada di depan teras rumah. Kanan kiri pipinya terlihat koyo cabe. Pak Parlindungan juga orang perantauan dari Sumatera Utara sama sepertiku, bedanya dia dari Medan, sedangkan aku dari Pematang Siantar. "Ya, Pak? Ada apa ya?" tanyaku ramah, karena melihat raut wajahnya yang begitu kesal. "Ziapa yang kezurupan di rumah mu ini Pirda?" terangnya begitu menerima pertanyaanku. "Kesurupan? Siapa yang kesurupan Pak Palin?" tanya Ibu Mertuaku bingung. Ia juga ikut melihat keluar. "Eeeh … Palin-Palin kau bilang, Mak. Ka
"Sam-bal apa ini? Hah. Ini na-manya bu-kan maka-nan, sst hah, tapi ra-cun. Pedas am-mat!" ucap Tante Tika setelah makanan habis di piringnya. Aku diam tak menanggapi. Meja kubersihkan. Piring kotor ditinggalkan begitu saja oleh mereka. Tak apa, ada kejutan yang menunggu kalian. Lima belas menit kemudian … "Mbakyu, cepet gantian. Aku nggak tahan lagi nih!" jerit Tante Tika. "Ya sabar toh, Jeung! Mbak juga masih muleees," balas Ibu mertua dari arah kamar mandi. "Viona juga sudah nggak tahan, mau keluar ni Wak," ujar Viona sambil muter-muter di dapurku. "Keluar dulu Mbak, nanti sambung lagi. Hiks," rintih Tante TikaIbu mertua keluar dari persembunyiannya dari bilik temenung, ia disambut tubrukan serta dorongan oleh Tante Tika dan Viona, yang sama-sama tak mau mengalah. "Isss, Mama, Viona dulu dong! Mules banget ini. Aaahh ….""Nggak, Mama dulu, Yon! Sepertinya Mama sudah kincrit di celana!""Aduuuh, Mama …."Brooot! Brut tut tut tut … "Kan, Mamaaaa, aaaah …."Iyyuuuuh … menjijik
"Kalau sampai sore ini dia belum pulang juga, pintu rumah kamu dobrak saja Bim!" usul ibu mertua terdengar pintar. "Ihhhh, jangan dong Bu, kalau rusak gimana? Jadi jelek dong rumah Yana!""Ya mau bagaimana lagi Yan, besok arisan di rumah kita! Masa, pintu rumah nggak bisa dibuka. Mau kemana kita?""Ya di rumah Bima kan, bisa Bu?" tawar Mas Bima enteng. "Ogah! Rumah jelek dibuat arisan, Yana! Malu dong sama para tetangga. Yana mau pamer barang-barang di rumah kita, Bu!""Ck, siapaaaa juga yang mau izinin Mbak Yana arisan di rumah Firda. Ogah!""Yee, Mbak juga ogah!""Yasudah Mas, pergi sana gih, dobrak pintu rumah Mbak Yana!""Fir, kamu kasih obat pencahar ya ke makanan kita?" Tiba-tiba Tante Tika berujar setelah kembali lagi dari kamar mandi. Kasihan juga WC-ku, dibombardir oleh para parasit. Tante Tika dan Viona sudah berada di depan kami, sembari meringis dan mengelus perut. Saat disandingkan seperti ini, wajah mereka terlihat kembar bagai pinang yang menyedihkan, pucat seperti
"Jorok amat sih lu. Parah!" sosor Arimbi sambil bergidik merasa geli. "Bukan gue yang jorok, Mbi!" belaku semangat. "Lah, kalau bukan elo yang jorok, terus guee gituh?" ejek Arimbi sewot. "Ya bukan juga," selaku kemudian. "Terus siapa?""Adek gue! Karena setiap nyokap nyuruh tu anak buat sisirin ternak di kepala gue pake sisir khusus, nggak pernah mau. Malah nangis-nangis nggak jelas. Geli katanya! Jorok-an adek gue, kan!? Padahal itu ternak kecil-kecil menggemaskan! Imut, mungil, dan cute. Sekali ngap pasti kenyang," tambahku bersemangat. Plek! Arimbi menoyor kepalaku dengan sedikit mewek. "Iya, hiks. Engkau benar Firda!" Arimbi berkata sambil berlogat seperti orang Medan. Plek! Plek! Toyoran kembali didaratkannya, masih dengan keadaan mewek. "Adek kau, kebangetan joroknya, hiks!" "Kalau ngomong, ngomong aja Nyet. Tangan lu jangan ikut-ikutan main!" protesku manyun sambil memgelus elus kepala yang diserang avatar berkali-kali. "Eh pokemon aer. Mandi kembang lu sono. Kali
"Huaaa … gile bener ni rumah," kataku spontan begitu melihat rumah megah ini. Bahkan, aku sampai melongo. "Fir, gue tau lu nggak cantik-cantik banget, tapi seharusnya lu punya ke-elegan-nan dan keanggunan dong! Masa mulut lu nggak bisa dikondisikan sih!" HapAku spontan menutup mulut karena emang mangapnya keterlaluan epribadeh. Seorang penjaga berseragam batik, sama seperti penjaga pintu di depan tadi kulihat sedang berbincang dengan Arimbi lalu dia mengajak sohibku itu untuk mengikutinya. Arimbi dan Mas Fadil berjalan bergandengan di depan. Aku malah ditinggal jalan sendirian. Ngejomblo mendadak itu sakit, sayang! Nyeseknya sudah sampai mau pindah alam. Aku berlari kecil mengejar Arimbi untuk bersisihan di sebelahnya. "Mbi, gue gandengan ma siapa kalau lu begituan," bisikku pelan sekali. "Lu mau gue cariin teman gandengan?" balasnya cepat. "Ah, nggak usah Mbi. Nggak jadi. Lu ngomong gitu kok gue yang ngeri. Buat jiwa raga gue tetiba nggak tenang," paparku berterus terang. "
"Kakak yang mangkoknya nomor 36?"Duar. Gadis ini lagi? Kenapa dia ada disini? Oh iya, bisa jadi dia kekasihnya Pak oppa. Dasar gagang sapu! Bisingin nomor kutangku lagi bakalan kujadikan pergedel kamu, batinku. "Jangan yang diingat nomor kutang dong, Mbak! Malu maluin kaum hawa aja!" protesku. "Oh … ha ha ha maaf, habis liat wajah kakak langsung keinget sama kutangnya yang waktu itu," balasnya sambil terkekeh kekeh. Padahal nggak ada yang lucu tuh. "Malu lah Mbak, kayak nggak pake aja!" sosorku kemudian. "Kakak sedang apa disitu? Pestanya di luar, kan?" tanyanya begitu aku terdiam. "Jangan mikir macam-macam, Mbak! Saya juga nggak mau ada disini sendiri!" jawabku dengan tenang. "Jadi, kenapa kakak ada disini sendirian sambil melototin tu foto?" Kembali ia bertanya perihal keberadaanku disini. "Saya tersesat Mbak, baru keluar dari WC eeeh … malah terdampar disini," paparku menyedihkan. "Tersesat? Masa bisa tersesat kalau hanya di dalam rumah, kak?" tanyanya lagi. "Makanya Mba
"Nah, sudah sampai di taman, Kak. Silahkan lanjutin lagi acaranya, Lin-lin mau temenin anak dulu!""Iya, makasih ya Lin.""Sama sama. Nanti kita ngobrol lagi ya buat ngelepas rindu!""Heg ehg!" jawabku cepat dan singkat. Aku berjalan menuju Arimbi dan Mas Fadil. Mereka berdua sedang menikmati makanan prasmanan yang disajikan. "Tega banget lu, ninggalin gue sendiri hingga tersesat," rajukku begitu sampai di hadapan mereka berdua. "Lah, gue kirain elu tidur di kamar mandi. Habis nggak keluar-keluar!" "Gue tersesat tauk!" "Sama! Asli, gue nggak akan mau tinggal di rumah sebesar gaban ini deh!""Kenapa? Seram ya?" "Bukan?" "Terus?" "Cicilan listriknya pasti besar banget. Nggak bakalan sanggup kita bedua!" jawabnya lugu. Plek. Aku menoyor jidat sohibku ini. "Aduh! Eh Fir, lu tau nggak!""Nggak!" jawabku cepat. "Yeee … sialan lu, ya nggak tau lah, namanya gue belom ngomong.""Yeee … ngapain lu sewot. Kalau mau ngomong ya ngomong aja kali, Mbi." "Ah udahan. Males gue.""Ih kan,
"Mas, tunggu sebentar ya, Arim temenin Firda dulu," pamit Arimbi kepada kekasihnya. "Iya Beb, nggak papa. Temani aja dulu, Firdanya!" balas Mas Fadil cepat. Kami berjalan dengan diikuti tatapan para tamu undangan, yang tak dapat kuartikan. Baik Arimbi maupun aku, tak ada yang saling berbicara lepas seperti biasanya. Mulut kami seolah olah terkunci oleh kejadian yang barusan menimpa diriku. Kami dibawa ke dalam sebuah kamar yang sangat luas dan mewah. Aku dan Arimbi hanya berdiri dengan diam sembari memperhatikan isi kamar yang penampakannya seperti di dalam film-film luar negeri. "Silahkan Nona!" ucap salah seorang pelayan dengan menyerahkan sebuah lipatan kain kepadaku. "Terima kasih, Mbak," kataku segan. Aku menerima lipatan kain itu dan membukanya. Stelan polos dengan potongan yang sederhana, tapi mampu membuatku tersenyum. Aku suka yang seperti ini. "Silahkan berganti pakaian di dalam, Nona! Saya tunggu disini." Pelayan itu menunjukkan sebuah pintu lagi di dalam kamar ini.
Gimana? Gimana? Udah lebam belom, Oppa?" Masih mau membrendelku dengan candaan mematikan? Sook. Hayyuk. Aku jabanin. Pintu terbuka. Lin Lin tampak berjalan sembari mengelus perut ratanya. Di tunggu dari tadi, nggak dateng-dateng. Masih asyik terapi sepupunya, dia malah nongol. Nggak seru kalau ada mata lain yang melihat. "Hallo. We kalamaan, ya? Bersihin perut ampe cling tadi, jadi lama. Oia, gimana kalau kita makan siang bareng sambil bahas ini di kantin, Kakak-kakak!" ajaknya masih berdiri di samping sofa memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Maaf, Lin. Sepertinya perut Kakak udah nggak sanggup dimasukin makanan lagi," balasku berusaha tenang dengan ikut mengelus perut seperti Lin Lin tadi. "Loh, kenapa? Bukannya belum makan siang ya, Kak?" Dia berjalan dan duduk di tangan sofa di sebelah sepupunya. "Kenyang minum ini," tunjukku pada gelas milk shake. "Minum gituan aja masak kenyang sih, Kak?" protes Lin Lin tak percaya. Memang sih, aku berkata kenyang karena ada satu
Garis lengkungan tertarik di bibirku. Sebuah balasan akhirnya masuk. Sebuah stiker. Aku cepat mengunduh stiker itu. 'Percuma dihapus, malaikat sudah mencatatnya'Hah? Hahahaha. Aku tertawa keras membaca balasan lucu darinya. Benar kan! Ia selalu dapat membuatku mati gaya dalam segala hal yang kulakukan. Baik itu disengaja maupun tak disengaja, dan itu lah yang membuatku selalu merindui kekonyolannya. Tak ingin kalah, aku kembali membalas pesan darinya. Sebuah stiker balasan ku kirim. 'Aku read aja biar kamu sakit hati'Tak berselang lama ia terlihat mengetik sesuatu. Aku menunggu dengan harap, kekonyolan apa lagi yang akan membuatku tertawa oleh tingkahnya. [Share lokasi, ribut kita.]Buahahahahaha. Ya Allah. Katanya ia mau cari ribut? Buahahahahaha. Tuhan ... sesenang ini aku menerima pesan darinya yang ngajak ribut. Jangankan ribut, Nona. Tawuran pun aku mau, asal bersama kamu. Hahaha. Selucu inikah rasanya jatuh cinta? Poying ... ah ... utung saja kamu jauh di sana, Nona. Jika
"Koko nggak keren loh, Kak. Buncit! Lagian ... wajahnya kurang menjual kalau di photo. Hahahaha." Lin Lin mengibaskan tangannya di udara dan malah tertawa ngakak karena sudah menghina koko-nya sendiri. Dasar! "Sama! We juga buncit!" balasku membusungkan perut yang six-pack. Kacau! Walau sudah digembungkan, tetap saja ia tak mau membuncit sempurna seperti miliknya Alex. Shit! "Nggak usah dipaksain. Nggak bakalan sama. We udah kroscek. Hahaha." Lin Lin menekan-nekan perutku dengan jari telunjuknya sembari tertawa lucu. Entah apa yang lucu di sana. "Terserah deh ... siapa yang mau Kakak jadiin pasangan. We nggak paksa dari agen we. Yang penting Kakak mau aja. Ya ya ya," sambungnya kembali dan terus saja membujukku. Lin Lin merampas kotak susu yang ada di tangan, karena aku berniat akan menuangkannya lagi ke dalam gelas. Ia menuangkan susu itu ke dalam gelas yang sudah aku gunakan karena terlalu malas untuk mengambil gelasnya sendiri. Huh, untung saja ia sepupu sendiri. Jika tidak, gel
"Ayo yooo ... siapa yang mau ngelamar siapa niiih?"Aku kaget dan menoleh ke sumber suara. Lin Lin? Kapan dia datang? Kenapa aku tak mendengar dia masuk ke ruangan ini? Perempuan berkulit putih dan bersih itu berjalan anggun mendekati sofa yang kami duduki. Sederhana namun terlihat berkelas. Baju kemeja yang dimasukkan ke dalam celana kembang dengan sepatu bertumit. Rambutnya digulung seperti gulungan siput. Wanita ini begitu berkelas. "Alo kak Poyiiing. Pa kabar, Luuu?"Lin Lin semakin mendekat. Aku yang masih ngebug hanya duduk saja di sofa. Pantatku juga ikutan ngebug. Dia lengket tak mau berpindah, padahal Lin Lin sudah di hadapan dengan membuka tangannya untuk memelukku. Namun aku tak juga berdiri untuk menyambut wanita cantik itu. Lin Lin mengalah, ia gegas menjatuhkan bobot tubuhnya di sampingku yang masih menatapnya dalam diam. "Kangen deh ama kak Poying." Akhirnya ia yang duluan memelukku dalam duduk. Lin Lin juga mengelus punggung. Seperti tersadar, aku pun baru membalas
Jadi pasangan? Aku? Maksudnya? Sebentar ... sebentar. Ngebug—ngebleng—ngelag. Semua itu ada padaku gegara ucapan yang keluar dari mulut si ultrasound, prodak luar ini. Tugas dari Tuhan saja, kadang aku lalai. Laah, sekarang malah makhluk-Nya yang menambah-nambahi tugas, MIKIR KERAS! Tok tok tok! Suara ketukan di pintu kaca menyelamatkan diri sesaat dari pikiran berat. "Masuk," jawab Oppa mengalihkan pandangnya dari diriku. Pintu kaca itu bergerak pelan. Seseorang masuk, dan aku lihat itu adalah Jessica. "Maaf, Pak. Ini ...." Perkataan Jessica menggantung dan langkahnya mendadak terhenti. Ia mematung masih di dekat pintu. Wanita cantik itu memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Emm maaf, jika saya datang pada saat yang tidak tepat. Saya bisa datang lagi nanti, Pak," lanjutnya kemudian setelah diam beberapa detik. Sekretaris Oppa itu gegas memutar badannya hendak berlalu menuju pintu kembali, namun langkahnya lagi-lagi terhenti karena pria di depanku ini cepat menyapanya. "
"Buat apa kamu minta dia untuk tetap tinggal lagi di sini sih, Bim. Aneh kamu tuh! Biar aja dong dia pindah, kamu mau ibu sama mbak-mu dijadikannya babu terus di rumah kita sendiri? Udah ... cepetan diselesaikan sidang kalian, bener katanya kamu nggak usah datang, biar urusannya cepat kelar! Siap itu kamu bisa bebas, segera menikah dengan Susi.""Bener! Jauh Susi kemana-mana lah, Bim, dari kan perempuan ini! Kamu liat kan! Lelaki yang dikenalkan Susi sama Mbak! Nggak main-main," celetuk Mbak Yana menimpali ucapan ibunya. . . . "Aamiin, Mbak. Ibu do'ain semoga semuanya lancar, selancar jalan tol, bebas hambatan. Asal nggak nyungsep gegara licin. Hehehe," timpal bu Asih yang membawaku kembali dari ingatan seminggu yang lalu bersama mantan suami dan keluarganya. Kami terus bercanda di teras rumah, hingga hampir memasuki waktu azan magrib. Kami berempat gegas masuk ke dalam rumah. Aku berniat menutup pagar besi namun dari kejauhan aku melihat sesosok lelaki berkaca mata hitam dan ber
"Mana sisa uang gaji, Bima, Fir?" Ibu mas Bima seketika menodong ku ketika baru saja aku membawa tubuh ini keluar dari dalam kamar, setelah selesai salat subuh. "Ya, ampun. Masih pagi juga, Bu. Uang-uang aja sih yang di pikirin!" desis ku kesal pada wanita paruh baya di depan ku ini. "Suka-suka saya dong! Duit-duit saya.""Oh, suka-suka ibu, ya! Oke, sekarang saya pun mau suka-suka. Enyah dari rumah kontrakan ini. Angkatin semua barang-barang itu. Sekarang!"Bu Marni terpaku dan terdiam di tempatnya. Dia hanya melengos dan segera berlalu dari hadapanku. Cemen. Aku tak jadi keluar. Segera masuk lagi ke dalam kamar dan gegas menelepon orang yang akan membantu kami untuk pindahan. "Bang, sekarang bisa? Eneg aku udah di sini, Bang!" "Oke, Siap-siap aja-nya aku, Kak. Dua orang ku bawak kan?""Iya, bawak aja berapa yang ada pasukan Abang! Gampang itu, yang penting ongkang-ongkang kaki aja kami lagi. Terima bersih," pintaku pada bang Turnip. Selain menerima jual beli barang seken, ternya
"Tante Firda, itu mamanya Dini, kan?" Tiba-tiba Rara berkata sambil menunjuk seseorang di depan kami. Aku mengikuti arah telunjuk gadis kecil itu. Dan benar saja dari kejauhan aku melihat mbak Yana sedang bergandengan mesra dengan seorang lelaki tua yang cocok dipanggil kakek oleh anaknya. "Iya, Dek. Itu mamanya Dini," sambung Rahmat membenarkan ucapan adiknya. "Itu bukan papanya Dini kan, Tan?" kata Rahmat lagi kepadaku. Aku hanya berpandangan sesaat dengan bu Asih. Kemudian mengajak mereka terus saja berjalan tanpa memperdulikan wanita yang sudah berbelok masuk ke dalam gerai pakaian dalam itu. Mbak Yana dengan lelaki tua, sedangkan kemarin suaminya ada affair dengan wanita tua. Ck. Dini, please jangan copas kehidupan mama dan papa kamu ya. Batinku miris. Aku selesai makan. Pilihan kami jatuh pada gerai K*C. Semua menu yang disukai anak-anak ku pesan. Foya-foya sedikit tak apalah, mana tahu besok-besok oppa berkenan memberikan uangnya lagi dengan cuma-cuma buat anak-anak ini. H
Kursi yang sedang ku putar-putar ter-jungkang ke belakang karena keseimbangan ku goyah. Tak sampai disitu, map yang berada di atas meja ikutan jatuh dan menimpuk dahi, hingga ku lihat beribu bintang di kepala Arimbi yang menatap datar kepadaku. Aji gile. Serasa bumi tak berputar selama 5 detik. Hahahaha. Suara tawa menyusul dari berbagai penjuru mata angin. Suara insiden barusan mampu menghipnotis panca indra mereka untuk menyaksikan keadaanku yang menyedihkan ini. Syalan. Malunya saat ini pasti bakalan selalu teringat pas p*p, dan skincare-an. "Petakilan!" ucap Arimbi tanpa berniat membantuku. Padahal terjadinya kecelakaan beruntun ini, diakibatkan telingaku menangkap sebait kalimat pamungkas dari mulut mbak bestie. Sakit.Aku mencoba berdiri tanpa bantuan. Begitu melihat teman-teman yang masih terbahak menertawai keberuntunganku barusan, aku pun ikatan ngakak sambil melengos. Kedua tangan saling mengusap bokong dan dahiku secara bersamaan. Aku kembali teringat perkataan mbak best