Beranda / Pernikahan / Aku Nyerah, Mas! Silahkan Ikuti Kemauan Ibumu / Bab 2 #Dijulidi tetangga dan ibu mertua

Share

Bab 2 #Dijulidi tetangga dan ibu mertua

Penulis: Teeyas
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Bab 2

Bersamaan dengan itu, Mbak Nung muncul dari pintu belakang yang menghubungkan antara rumahku, dan rumah ibu mertua. Sengaja dibuat pintu seperti itu, katanya supaya enak aksesnya.

"Ayam popnya enak enggak, Dik?" tanya Mbak Nung, dengan senyum yang tulus.

Seragam ASN sudah diganti dengan daster longgar. Ditangan kanannya menggelendot Fara, balita cantik yang menggemaskan itu.

"Enak banget, Mbak. Terima kasih, ya," ucapku. Saking enaknya, sampai aku lupa dengan kekesalanku terhadapnya.

"Syukurlah kalau enak, Dik. Bisa jadi langganan kalau gitu," katanya sambil duduk di sebelahku.

Tidak diipungkiri, Mbak Nung itu orangnya baik, ramah, cantik, dengan rambut hitam lurus sebahu.

"Iya, enak banget. Terasa bumbunya, beda dengan yang lain," balasku sambil menggerogoti sisa-sisa daging yang menempel di tulang.

"Ayuk Mbak, sekalian makan," ajak Mas Irfan.

"Tadi di kantor sudah makan, masih kenyang," balasnya.

"Fara sudah makan?" tanyaku selanjutnya setelah mencuci tangan. Balita cantik itu mengangguk.

Begitulah kehidupan kami setelah Mbak Nung pindah menjadi satu sepeninggal suaminya. Sehingga tidak heran kalau sewaktu-waktu dia seenaknya membangunkan, minta tolong supaya Mas Irfan mengantarkan ke rumah sakit, ketika bayi dalam kandungan kontraksi.

Aku sendiri tidak bisa marah, karena hanya Mas Irfan yang bisa dimintai tolong, entahlah antara kasihan dan sedih, pokoknya bercampur menjadi satu.

"Aih, jadi suami waspada." sindirku ketika Mas Irfan pulang tengah malam mengantar mbak Nung pergi ke dokter, jadwal periksa kandungan.

Mas Irfan memang irit bicara sehingga kalau aku ngomel kemana-mana, dia cuma diam, paling hanya tersenyum tipis. Membuat emosiku naik sampai ubun-ubun sehingga bikin gemes, aku ingin ada umpan balik, bukan diam seperti itu.

Kata Mas Irfan, lebih baik diam kalau aku sedang marah, supaya tidak memperuncing masalah. Itulah suamiku, laki-laki yang polos.

Kadang dia pergi ke teras belakang untuk menenangkan pikiran, hati dan juga menghindari omelanku.

Kalau sekiranya aku sudah tenang, Mas Irfan mendekatiku, kemudian kita bicara baik-baik. Memang benar, dengan begitu emosiku sudah reda.

Dan akhirnya kami rukun kembali, sehingga hampir tidak pernah ada pertengkaran hebat, kendati emosiku kadang memuncak.

***

Setiap pagi, aku membantu menjaga toko kelontong milik Ibu mertua. Dari pagi toko sudah ramai dikunjungi pembeli, selain dagangannya lengkap, harganya juga murah, sehingga mereka senang belanja di warung ibu mertua.

Tugas Mas Irfan setiap pagi mengantar Mbak Nung ke kantor sampai di terminal Jombor saja, setelah itu dilanjut naik trans Jogja ke menuju Timoho tempat Mbak Nung bekerja.

"Pinjam sebentar suamimu, ya, Dik," pamitnya setiap hari seperti itu.

"Iya, Mbak." jawabku juga seperti itu setiap hari, walaupun hati kecilku meronta.

Aku tersenyum masam, sambil melayani pembeli di toko. Walapun begitu ekor mataku mencuri pandang ke arah Mbak Nung, yang kulihat semakin hari semakin cantik saja.

Dibonceng naik motor dengan perut besar, walaupun tidak menempel Mas Irfan, setidaknya tubuh mereka saling bersentuhan. Duh, mereka bukan muhrimnya.

Aku menghela nafas kasar.

Kata orang, wanita hamil itu semakin seksi dan cantik. Banyak laki-laki yang suka melihatnya, entah kenapa tiba-tiba aku jadi cemburu, ya. Batinku sambil memgelus perutku yang masih rata.

"Sudah tiga tahun belum isi juga, Neng," kata Bu Ari, tetangga sebelah, ketika sedang belanja di warung ibu.

"Iya tuh, yang laen sudah momong anak, Dela belum juga hamil," sahut mertuaku yang duduk di meja kasir. Nyahut saja, seperti kompor meleduk.

"Nungky saja sudah mau dua," sahut Bu Ana, pembeli lain yang rumahnya masih satu RT.

"Banyakin minum jamu, biar subur rahimnya, gih," sahut salah Ibu yang aku tidak hafal namanya.

"Banyakin istighfar juga," kembali Ibu mertua nyolot.

Kemudian mereka tertawa. Pagi-pagi sudah membuat hatiku sedih. Mereka saling sahut menyahut menertawakan diriku yang belum punya momongan. Memangnya aku bisa apa? jawabku dalam hati.

Belanjaan mereka tidak banyak, hanya beli bayam seikat, ada yang beli tomat dua biji, juga hanya nanya-nanya doang, namun omongan mereka sangat menyakitkan.

Ibu mertua.juga kelihatan senang kalau ada yang mengolokku, bahkan ikut menyudutkan. Dengan begitu.jadi tahu isi hati Ibu mertuaku. Ibu mertua kelihatan senang kalau ada yang julid kepadaku, bahkan ikut tersulut emosinya.

Aku hanya bisa istighfar, diam seribu bahasa, pura-pura sibuk melayani tamu lainnya, padahal telingaku kupasang dengan baik, walupun terdengar menyakitkan.

Aku berharap Ibu mertua akan membelaku, kenyataannya ikut-ikutan menyerangku. Itu yang membuat sedih, hatiku hancur berkeping.

Ketika pulang dari jaga warung, aku dipojok kamar menangis sendirian. Mas Irfan pergi mengantar Fara ke dokter gigi setelah balita itu pulang sekolah, sehingga aku bebas mengeluarkan uneg-unegku.

***

"Kenapa, Yang?" Mas Irfan akhirnya menemukanku dipojok kamar.

"Kucari ke mana-mana tidak ada, rupanya disini."

Air mataku segera kususuti dengan ujung lengan blous warna abu.

"Kenapa? Pingin diantar kemana?" rajuknya.

Aku menggeleng. Ingin rasanya aku cerita tentang Ibunya yang julid, kalau bicara selalu menyakitkan. Terlebih kalau ada tetangga yang ngulik keadaanku, kesempatan Ibu mertua nyolot.

"Ayuk diantar kemana? Jangan sampai bilang kalau ngantar Mbak Nung saja sat set, kalau disuruh ngantar istri jawabanya ngeselin," sindir Mas Irfan

"Aku menangis bukan masalah itu," bisikku dalam hati

Mas Irfan meraih tanganku, "Kalau gitu kita makan bakmi diluar aja, yuk" ajaknya.

Aku mengangguk senang, bolehlah. Kayaknya enak menyeruput kuahnya yang panas dan pedas, sementara kesedihan ini aku tangguhkan.

Segera kuraih jaket untuk mengurangi rasa dingin, lalu gegas ke depan menyusul Mas Irfan yang sudah menunggu diatas motor. Ketika akan duduk diboncengan, Mbok Rah tergopoh-gopoh lari dari dalam rumah.

"Mas Irfan tolong! Ibu jatuh di kamar mandi!" teriaknya ketakutan. Mas Irfan langsung lari kedalam setelah motornya di standarkan.

Aku juga lari menyusul kedalam. Mas Irfan dengan cekatan membopong ibu dari kamar mandi langsung dibawa ke kamar tidur.

"Alhamdulillah, Ibu hanya terpeleset, tidak sampai fatal. Lain kali hati-hati, Bu," kata Mas Irfan.

Setelah itu Ibu tiduran di kamar, minta ditungguin anak bungsunya, juga menantu dan cucu kesayangan. Aku berusaha ikut bergabung sambil memijit kakinya, namun tidak berkenan.

"Gak usah. Aduh, sakit," katanya sambil beringsut. Aku seperti mati gaya, bingung, mau keluar kamar tidak ada alasan, kalau tetap di dalam susananya kaku. Mas Irfan hanya menunduk.

"Fara, tolong panggil Mbok Rah," titah Ibu mertua.

"Saya panggilkan saja, Bu," tanpa menunggu jawaban aku segera mengambil alih tugas Fara, kakiku gegas kuajak keluar.

Kesempatan untuk menghindar dari suasana yang kaku. Setelah di luar aku bisa bernafas lega, apalagi setelah sampai di kamar.

***

"Makan bakminya kita batalkan ya, Yang," rajuk Mas Irfan, setelah dari rumah Ibu. Aku menghela nafas panjang, sudah lupa tentang bakmi, sudah ngantuk berat, batinku.

Aku hanya mengangguk, supaya Mas Irfan senang.

"Yang, tadi sore kenapa menangis?" tanya Mas Irfan, rupanya masih penasaran dengan tangisku sore tadi.

Hmm, aku tidak langsung menjawab, kedua mataku sudah tidak bisa diajak kompromi.

"Masalah Mbak Nung?" tanyanya dengan lembut, sangat hati-hati.

Aku menggeleng. Mas Irfan meraih bahuku. Dikecup keningku, diusap lembut rambutku.

"Trus, apa yang membuat Sayang menagis?" desak Maa Irfan. Aku tidak mungkin berkata dengan jujur, kalau yang membuatku menangis itu ibunya.

"Kenapa aku belum juga hamil, ya, Mas?" akhirnya aku berani mengeluarkan isi hatiku, tiba-tiba rasa kantukku hilang seketika.

Laki-laki yang sudah menghalalkanku tiga tahun yang lalu itu menerawang keatas, sebenarnya aku tidak tega melihatnya. Bukan salah dia juga, seakan aku ikut memghakimi.

"Kita serahkan kepada sang pencipta, Yang. Terserah kapan mau diberi momongan anak. Kita selalu berdoa dan ihtiar. Hmm, bukannya kita sudah ada Fara, dan sebentar lagi adik Fara lahir." Suara tenang tanpa beban.

Mulanya aku senang mendengarkannya, namun ketika memyebutkan anaknya Mbak Nung, aku langsung il feel. Kalau itu aku tahu, Mas, gumamku.

Maksudnya kita belum diberi momongan, sementara orang pada nyinyir termasuuk Ibu kamu, bisikku dalam hati, aku sudah mulai kesal.

Dasar Mas Irfan orangnya baik, dan lugu, dia tidak paham apa yang aku maksudkan. Mau marah, tapi melihat wajahnya sangat santun jadinya tidak tega.

"Tetangga kita sudah mulai bisik-bisik" kataku, sedikit kutekan, menahan emosi.

"Kalau memikirkan omongan tetangga, kita tidak akan maju," jawabnya sambil duduk membelakangiku. Aku berusaha meredam emosi.

"Bukan hanya tetangga saja, Mas...," Aku sengaja menjeda kalimat karena tidak sanggup meneruskannya.

"Loh, siapa yang berani ngomong seperti itu." Mas Irfan langsung membalikkan badan, manik matanya menatapku tajam. Aku tidak tega melihatnya.

Tidak terasa mataku mengembun, aku berusaha menghalau, supaya tidak menangis. Namun, terlambat.

"Katakan pada Mas, siapa dia, sehingga membuatmu nangis."

Aku mengatur nafas dengan pelan ...

.

Bersambung.

Bab terkait

  • Aku Nyerah, Mas! Silahkan Ikuti Kemauan Ibumu   Bab 3 #Terpaksa berkata jujur.

    Bab 3"Siapa dia?" desaknya."Ibu ..." Suaraku seakan tercekat. Maaf Mas, terpaksa aku mengatakan dengan jujur, bisikku dalam hati. Setelah menyebut seseorang wanita yang melahirkannya, aku merasa bersalah. Seketika wajah Mas Irfan luruh, dia menunduk sedih. Pasti tidak menyangka kalau Ibunya sendiri yang ikut memojokkanku."Mungkin Ibu tidak bermaksud seperti itu, Yang. Kamu yang sabar, ya," rajuknya setelah sekian menit berlalu, sambil memeluk hangat.Tidak terasa air mataku menganak sungai. Aku membiarkan tubuhku dipeluk Mas Irfan sampai tangisku reda. Lalu kususuti air mata dengan jari."Maafkan Ibu ya, Yang." Mas Irfan melepaskan pelukannya, dipandangi wajahku dengan seksama.Akhirnya aku mengangguk. Mas Irfan tersenyum, senyumanya membuat hatiku tenang.***Selepas subuh aku sibuk di dapur akan membuat nasi goreng, pesanan mas Irfan. Kebetulan masih ada nasi sisa semalam. Sayang sekali kalau dikasihkan ayam, karena masih bisa dimanfaatkan, apalagi dibuat nasi goreng untuk sarap

  • Aku Nyerah, Mas! Silahkan Ikuti Kemauan Ibumu   Bab 4 #Menginap di Kaliurang

    Bab 4Menjelang mahgrib, kudengar mobil masuk halaman rumah. Aku gegas ke depan, mengintip dari balik cendela. Walaupun hati panas dingin, aku tetap ingin melihat mereka.Mas Irfan menggendong Fara yang sedang tidur pulas, Mbak Nung mengikuti dari belakang, tangannya membawa tas kresek warna putih. Kemudian disusul ibu mertua, mereka seperti keluarga yang bahagia, membuatku kian nelangsa.Sungguh, aku sangat cemburu. Aku seperti tidak ada artinya dihadapan mereka, merasa tersisihkan.Mertua yang julid, dan suka mencela. Suami yang selalu dipinjam tanpa memikirkan perasaan istrinya.Aku membuang nafas kasar. Aku sadar kalau aku mempunyai kekurangan, sebagai wanita aku belum sempurna. Kuelus perut yang masih rata, aku juga ingin seperti mbak Nung, mempunyai buah hati.Memang aku bisa apa? Semua ini karena kehendak Nya. Kami belum diizinkan, elum dipercaya mempunyai momongan. Dokter kandungan bilang, aku dan Mas Irfan sehat, tidak ada masalah. Itu yang membuat kami tenang.Rupanya ibu me

  • Aku Nyerah, Mas! Silahkan Ikuti Kemauan Ibumu   Bab 5 "Ditinggal sendiri.

    Bab 5Kulihat layar benda pipih, kedua netraku membulat sempurna. Muncul nama Ibu Kartini, Ibu mertuaku. Jantungku berdegup tidak seperti biasanya, kencang sekali. Sedetik aku terdiam, bingung harus diangkat apa tidak. Kalau tidak diangkat, dipastikan akan marah besar, bisa terjadi perang dunia kedua. Jika diangkat akan merusak acara yang sudah kami tunggu selama ini."Yang! berisik sekali, diangkat aja," titah suamiku dari dalam kamar mandi."I-iyaa.." jawabku. Sebenarnya ingin kukatakan kalau ada telepon dari Ibu. Namun Mas Irfan masih berada di dalam kamar mandi."Assalamualaikum," kuucapkan salam dengan nada bergetar."Walaikumssalam!" Nadanya seperti bariton, membuat hatiku ciut."Delaaa! Lama banget ngangkatnya. Mana bojomu!" teriaknya, membuat telingaku panas."Dikamar mandi, Bu. Seben...." belum sempat selesai kalimatnya sudah dipotong."Cepetaaan! Ini penting!" teriaknya."I-iya, Bu." Lututku terasa lemas, kugedor pintu kamar mandi. Mas Irfan membuka pintu lalu keluar dengan

  • Aku Nyerah, Mas! Silahkan Ikuti Kemauan Ibumu   Bab 6 #Berlatih Bersabar

    Kulihat layar benda pipih, kedua netraku membulat sempurna. Muncul nama Ibu Kartini, Ibu mertuaku. Jantungku berdegup tidak seperti biasanya, kencang sekali. Sedetik aku terdiam, bingung harus diangkat apa tidak. Kalau tidak diangkat, dipastikan akan marah besar, bisa terjadi perang dunia kedua. Jika diangkat akan merusak acara yang sudah kami tunggu selama ini."Yang! berisik sekali, diangkat aja," titah suamiku dari dalam kamar mandi."I-iyaa.." jawabku. Sebenarnya ingin kukatakan kalau ada telepon dari Ibu. Namun Mas Irfan masih berada di dalam kamar mandi."Assalamualaikum," kuucapkan salam dengan nada bergetar."Walaikumssalam!" Nadanya seperti bariton, membuat hatiku ciut."Delaaa! Lama banget ngangkatnya. Mana bojomu!" teriaknya, membuat telingaku panas."Dikamar mandi, Bu. Seben...." belum sempat selesai kalimatnya sudah dipotong."Cepetaaan! Ini penting!" teriaknya."I-iya, Bu." Lututku terasa lemas, kugedor pintu kamar mandi. Mas Irfan membuka pintu lalu keluar dengan tergop

  • Aku Nyerah, Mas! Silahkan Ikuti Kemauan Ibumu   Bab 7 # Ujian yang bertubi-tubi

    Bab 7Aku terbelalak, ketika barang yang aku susun di motor sudah setinggi gunung. Mbok Rah mengambil tali rafia untuk diikat ulang, takut kalau ditengah jalan jatuh berantakan."Pegangi dulu ya, Mbok. Aku ambil ponsel dulu, takut kenapa-napa di jalan," titahku. Kulihat Ibu mertua mengawasi dari jauh. Kuikat ulang seperti yang dianjurkan Mbok Rah, setelah rapi kugoyangkan, ternyata aman. Aku melangkah siap mengendarai. Betapa kagetnya masih ada barang yang belum terangkut. Satu tas kresek yang hampir ketinggalan, akhirnya nongkrong didepan, diatas tabung gas yang terletak di tempat bagian kaki."Hati-hati, ya, Neng Dela," bisik Mbok Rah memberi semangat."Ya, Mbok. terima kasih," Aku duduk agak maju karena terdesak barang yang tersusun meninggi. Sedang yang didepan, ada tabung gas, setumpuk tas kresek , sehingga aku harus mendongak kalau melihat jalan.Bissmillah...Sesampai di perempatan sebelum belok ke Masjid, motor tiba-tiba macet, untung lalu lintas tidak ramai, mesin mendadak

  • Aku Nyerah, Mas! Silahkan Ikuti Kemauan Ibumu   Bab 8 #Dibandingkan-bandingkan ibu mertua

    Bab 8Aku terbangun dari tidur siang, netraku masih sedikit kabur. Aku berusaha mengumpulkan ingatan, sambil mengerjapkan kedua netraku. Bayangan laki-laki yang sangat kukenal, duduk disampingku."Mas Irfan, sudah pulang?" tanyaku setelah ingatan dan pandanganku pulih.Laki-laki yang selama ini kukagumi itu mengangguk, duduknya beringsut lebih dekat, lalu memelukku. Kaki dan tanganku dipijat bergantian, sambil berkata dengan mimik yang lucu."Aduh kacian, pasti capek ya, cini dipijitin cama Papa, yuuuk," celotehnya dengan mimik yang lucu.Aku termenung, dalam hati kesal. Namun, setelah melihat wajahnya yang polos, dan bercandanya yang garing, aku berusaha memberikan senyum ala kadarnya supaya hatinya senang."Udah makan, Mas?" tanyaku, sambil mengingat kira-kira makan pagi apa siang, ya?Aku suka bingung, kalau bangun tidur mendadak seperti ini.Mas Irfan menggeleng."Pingin makan ditemani, Cayang," jawabnya."Oh, ayuk. Eh, ini makan siang, ya," cetusku, masih ragu-ragu."Sana! Basuh m

  • Aku Nyerah, Mas! Silahkan Ikuti Kemauan Ibumu   Bab 9 POV IRFAN: Ternyata Istriku Sering Menangis

    Bab 9 Aku menghela nafas panjang, lalu kuhembuskan pelan setelah menerima telepon dari belahan jiwaku. Mengabarkan kalau dia sedang mengalami hal yang tidak mengenakkan pagi ini. Setelah itu dia mengirim foto keadaan motor yang mengangkut barang dagangan yang dibeli pelanggan, minta diantar kerumahnya.Selintas terbersit wajah ayu, pendamping hidupku, Dela Padma. Aku sering merasa bersalah kepadanya. Disaat Dela membutuhkan bantuan, aku tidak ada disampingnya. Ada saja alasanku. Sedih melihat perjuangan yang tidak ada hentinya.Tidak lama kemudian, Dela mengirim foto kondisi motor yanģ mengalami ban kempes. Hari ini dia sedang banyak ujian, aku sedih melihatnya, dan tidak bisa hadir membantu kesulitannya. Hanya bisa mengarahkannya, aku yakin Dela wanita mandiri, sehingga ujian itu bisa dilewati.Dela sudah banyak berkorban untukku, kadang aku prihatin kalau mendengar cerita dari Mbok Rah. Ibu selelu memusuhinya, apa yang dilakukan selalu salah dimata Ibu. Aku mengenal sifat Ibu k

  • Aku Nyerah, Mas! Silahkan Ikuti Kemauan Ibumu   Bab 10 #Serba Salah di Depan Mertua

    Bab 10 "Bawa ini," kata ibu kepada Mbok Rah, sambil menyerahkan mangkok penuh isi sayur brongkos. Diambil juga telur asin dua butir, dan beberapa potong tempe goreng.Aku hanya bisa menelan salivaku, bingung mau bicara apa, ketika Ibu begitu kalap mengambil macam-macam tapi katanya masakanku tidak enak.Kulihat Mas Irfan membulatkan kedua matanya, mungkin takut kalau sayur itu akan dibuang. Aku menahan senyum. Tadi Ibu mengambil telur asin dan tempe goreng, aku yakin itu tidak akan dibuang. Semoga untuk pelengkap makan siangnya.Kutarik lengan Mas irfan ketika akan mengejar Ibu yang pulang tanpa pamit. Aku memberi sinyal menggelengkan kepala, dengan maksud supaya membiarkan saja."Kalau dibuang gimana, Yang." ada rasa kekawatiran di nada suamiku."Gak mungkin," aku menyela."Ibu orangnya nekad," bisiknya."Tadi membawa lauk lengkap, gak mungkin dibuang," jelasku.Mas Irfan mengernyitkan alis, seakan memikirkan sesuatu, lama sekali dia terdiam, setelahnya baru manggut-manggut."Oh iy

Bab terbaru

  • Aku Nyerah, Mas! Silahkan Ikuti Kemauan Ibumu   Bab 96 #Memilih Hidup Sendiri

    Bab 96 Tamat.Di dalam perjalanan menuju kantor, pikiranku mengingat kejadian kemaren, dimana aku dituduh selingkuh setelah Mas Irfan mendapat kiriman foto dari temannya.Foto-foto itu diambil dari status Andre, kemudian dikirim ke Mas Irfan, kemaren kudengar seperti itu, ketika ibunya bertanya.Aku membuang nafas kasar.Emang ada yang salah kalau kita foto-foto? Sesaat keningku berkerut, lalu menyalahkan Andre kenapa juga dia pasang status seperti itu.Aku tidak tahu kenapa Mas irfan tidak cerdas, hanya selembar foto akan dijadikan barang bukti perselingkuhan? Dimana selingkuhnya? Aku mengambil gawai lalu kulihat foto yang dikirim Mas Irfan. Kuamati satu-satu, sampai ku zoom. Di dalam foto posisiku duduk dipinggir, Diana di tengah, sedangkan Andre duduk disebelahnya Diana.Aku tersenyum tipis.Kamu lucu dan aneh, Mas. Dengan mencari-cari alasan yang tidak masuk akal kamu akan segera menceraikanku. Jangan khawatir Mas, sebelum kau cerai aku akan pergi dari kehidupanmu dan ibu, itu ka

  • Aku Nyerah, Mas! Silahkan Ikuti Kemauan Ibumu   Bab 95. #Difitnah Suami dan Mertua

    Bab 95 Tetap kutahan emosiku, harus sabar dan berlapang dada supaya bisa mendengar ocehan mereka selanjutnya.Tadi malam aku berdoa setelah salat istikaroh, andai aku masih diizinkan bersama Mas Irfan tunjukkan kebaikannya, sebaliknya kalau ada kejelekan dia, aku pasrah kalau harus berpisah.Kupingku kembali kupasang dengan seksama."Beruntung istrimu selingkuh ini kesempatan yang baik untuk segera kau ceraikan!" kata ibu mertua.Deg! Dadaku bergemuruh, ujung mataku langsung menghangat, tega sekali ibu mertua menuduhku seperti itu."Iya, Bu. Aku akan segera mendaftarkan perceraian di Pengadilan." Suara laki-laki halalku.Lututku tiba-tiba lemas, seakan tulang-tulangku lepas dari dagingnya. Dadaku bergemuruh lebih kencang."Bagus! Sehingga istrimu satu, menantu ibu hanya Nungky." Nada suaranya culas.Air mataku langsung mengalir deras dituduh seperti itu oleh ibu mertua, isakan tangisku kutahan."Tega sekali kalian menuduh seperti itu!" isakku dalam hati."Sebelum kau cerai, ibu ping

  • Aku Nyerah, Mas! Silahkan Ikuti Kemauan Ibumu   Bab 95. #Di Rumah Bersama Zaqi

    Bab 95Diana datang membawa cangkir isi kopi pahitpesanan Andre. Wanita inspirasiku itu merapatkan kening melihatku kemudian berganti melihat Andre."Kalian ngomongin apa kok serius banget," goda Diana sambil menyodorkan cangkir.Andre tertawa lepas, suasananya akrab membuatku kangen pada waktu kuliah dulu, walaupun masa laluku bersama Andre sudah kubuang jauh."Awas ya, jangan bikin bidadari mewek lagi." ketus Diana, dia biang keladinya yang membuat suasana selalu hidup."Apaan sih," Aku cemberut."Selama dua tahun ke depan aku bakal kangen kalian." Suara Andre lirih sambil menunduk, nampak sedih.Aku dan Diana saling menatap, ikut merasakan kesedihan Andre."Kita makan siang diluar, yuk," ajak Andre setelah sedetik hening."Maaf aku harus kembali ke kantor." Aku sengaja menolak, tidak enak setiap hari pergi bertiga.Ada tatapan kecewa dari Andre, Aku tidak mungkin pergi menuruti kemauannya. Diana langsung menangkap keberatanku."Tenang, kita makan disini saja, aku sudah suruhan ora

  • Aku Nyerah, Mas! Silahkan Ikuti Kemauan Ibumu   Bab 93 # Bertemu Mantan

    Bab 93 Aku sudah berada di dalam mobil bersama Pak Wiryo, dalam perjalanan kami hanya ngobrol basa-basi. Kutatap bayi gembulku yang ada di gendongan, wajah tanpa dosa itu sedang terlelap. Hatiku trenyuh, bagaimana tidak? Tidak lama lagi aku akan memisahkan dia dari Ayahnya.Apakah aku egois? Hanya mementingkan perasaanku sendiri tetapi tidak memikirkan hati anakku yang nantinya akan terluka? Dia akan menjadi korban perpisahan kami, betapa sedihnya kau, Nak.Namun, tidak mungkin juga aku menerima permintaan Mas Irfan untuk dimadu. Harus berbagi suami, berbagi kasih sayang dan perhatian.Apa Mas Irfan bisa adil? Selama Ibu mertua masih ikut campur, dipastikan hatiku akan semakin hancur. Sekarang saja sudah terlihat, betapa tidak adilnya ibu mertua. Terlebih Mbak Nung menantu kesayangan ibu dan aku menantu yang tidak dikehendaki. Demikian dengan cucu, Ibu lebih sayang kepada Fara dan Ilham dibanding Zaqi. "Apa salah anakku sehingga ikut kau benci? Itu juga cucumu, Bu." Aku menggerun

  • Aku Nyerah, Mas! Silahkan Ikuti Kemauan Ibumu   Bab 92. #Hatiku Sakit Sekali

    Bab 92"Siapa kamu!" Suara yang sangat kuhafal.Langkah kaki itu semakin dekat, lalu menghidupkan lampu. Ruangan jadi terang benderang, aku tidak sempat lari menyelamatkan diri."Kamu!" bentaknya, matanya membulat sempurna.Aku menunduk, entah bagaimana ekpresi wajahku. Ibu mertua mendatangiku sambil membawa sapu."Kukira maling, ngapain, kamu!" Wanita itu membentakku, aku masih shock belum sempat menjawab.Dari arah kamar Mbak Nung, keluarlah dua sosok manusia yang hanya memakai baju seadanya.Aku menatap mata pemilik nama Irfan sebagai biang keladinya. Nafasku memburu, rasanya ingin kuterkam dan kutelan laki-laki itu. Aku benci melihat laki-laki yang menyakiti hatiku."Heh, ngapain kamu disitu!" Teriak Ibu mertua ketika aku tidak kunjung menjawab. Sedetik otakku berputar mencari alasan yang tepat, jangan sampai aku kena mental malu."Mencari Mas Irfan, Bu. Badan Zaqi panas minta tolong diantar ke dokter," jawabku akhirnya walaupun berbohong.Aku segera Istighfar, harus mengorbanka

  • Aku Nyerah, Mas! Silahkan Ikuti Kemauan Ibumu   Bab 91 # Ketahuan

    "Lalu apa!""Kereta Zaqi terguling, Bu." Aku menekan suara menahan marah.Sontak ibu mertua terkejut, tapi mimiknya berubah menjadi culas, bibirnya mencebik."Nangisnya karena terkejut, bukan karena anakmu luka! Fara dan Ilham masih kecil, jangan kau salahkan!" tukasnya membela diri, tidak mau disalahkan."Maaf, Bu. Saya tidak menyalahkan." Aku membela diri."Sana, bawa pulang anakmu! Di sini bikin ribut saja! Seharusnya dipegangi, jangan dilepaskan!" Omelnya.Tanpa pamit, Zaqi kubawa pulang. Tanpa kuindahkan juga laki-laki yang disebut suami, aku muak semuanya.Langkahku buru-buru, aku sudah tidak kuat menahan air mataku yang mulai bergulir. Sampai kamar tangisku pecah."Kenapa ibu juga memusuhi Zaqi? Kalau tidak suka denganku, aku ihklas, Bu. Jangan kau musuhi anakku juga, kasihan Zaqi, itu juga cucu ibu seperti halnya Fara dan Ilham, Ibu tidak adil." Aku menggerundel dalam hati.Kutenangkan anakku dengan cara memberi ASI, aku duduk di sofa sambil menahan nafasku yang memburu. Aku se

  • Aku Nyerah, Mas! Silahkan Ikuti Kemauan Ibumu   Bab 90. # Status Mereka Sudah Sah

    Bab 90 Menjelang tidur, aku iseng membuka ponselku, kutekan atas nama Mas Irfan. Benar juga, pesan darinya berderet-deret, misscall, videocall.Aku tersenyum sinis. Pasti dia kelabakan merasa bersalah telah menunjukkan kemesraannya di hadapanku lewat video call bersama keluarga cemara di kamar hotel.Tentu saja aku marah, istri mana yang tidak cemburu melihat wanita lain ikut memeluk suamiku, walau terhalang tubuh kedua anaknya.Wajar ponsel langsung kumatikan. Perasaanmu dimana, Mas? Aku masih istri sahmu, istri yang selalu menyelipkan namamu saat berdoa kepada Nya."Tega sekali kamu!" rutukku.Sejak dulu ibu memang tidak suka kepadaku, berusaha memisahkan kita, dan menyuruhmu menikahi menantu kesayangannya itu. "Tidak heran kalau nanti kita harus berpisah, itu yang dikehendaki ibumu,'kan?" Aku berbicara sendiri, berandai-andai. Akhirnya aku tertidur ditengah hatiku yang sedang galau, gundah gulana, capai, letih dan lelah. Tetapi aku berjanji tidak akan menangis lagi, walaupun uj

  • Aku Nyerah, Mas! Silahkan Ikuti Kemauan Ibumu   Bab 89. #Tidak Disangka Bertemu Andre

    bab 89"Andre!" Aku dan Diana teriak hampir bersamaan.Kami saling menatap, aku sungguh kaget, kenapa harus bertemu dengan Andre di tempat ini. Kok Andre bisa tahu aku ada disini, eh jangan gede rasa dulu."Ini sesuatu kebetulan atau gimana?" Laki-laki yang pernah mengisi hatiku mengangķat tangan dan mengendikkan bahu, menunjukkan kalau dia sendiri juga bingung."Ini boss saya, Bu," ucap dua laki-laki muda itu memperkenalkan Andre.Andre mengulurkan tangan menyalami satu persatu, setelah itu dia berbincang dengan dua stafnya. Aku menatap lekat Diana dengan penuh curiga, jangan-jangan dia biang keroknya."Kamu mbocorin, ya," bisikku."Enggaklah, mana aku tahu jasa ekterior ini miliknya." Diana mengangkat kedua bahunya."Ternyata dunia ini sempit," gumamku."Ini perusahaanmu, Ndre?" tanya Diana, setelah Andre selesai menemui dua anak buahnya, lalu mendatangi kami."Ini bagian dari anak perusahaan, ngomong-ngomong ini rumah siapa?" Andre memandangku lalu menatap Diana bergantian.Diana

  • Aku Nyerah, Mas! Silahkan Ikuti Kemauan Ibumu   Bab 88. # Mengunjungi Rumah Baru

    Bab 88Bu Erna berjanji, besok akan mengirim tukang cat yang akan segera meng-eksekusi Rumah Melati. Semua kuserahkan kepada Diana yang menjadi mandornya, beruntung dia bersedia.Aku juga sempat browsing jasa membuat eksterior di internet, Alhamdulillah langsung dapat. Katanya besok akan dilihat lokasinya, lalu segera ku sharelok sekalian."Pulangnya aku antar, ya, Del," Diana menawarkan diri, ketika aku sibuk memesan taksi online."Enggaklah, Di. Aku sudah banyak merepotkan kamu, lagian besok kamu masih punya tugas menjadi mandor. Aku tidak tega kalau terus merepoti.""Halah, aku kan sudah pengalaman ngurusi kaya gini. Ok, kamu hati-hati, ya." katanya."Terima kasih, Di. Sampai besok, ya."Sebelumnya Bu Erna memperkenalkanku kepada Satpam Perumahan yang bernama Pak Didik, karena pemilik rumah sudah berubah dengan namaku.Taksi yang kupesan sudah datang, kunci segera kuserahkan kepada Diana. Besok dia yang harus membukakan pintu untuk tukang cat yang dikirim Bu Erna.***Sampai rumah

DMCA.com Protection Status