Berjalan perlahan, hingga mata ini memanas melihat sepasang suami istri di depannya. Dada kembali sesak saat melihat mereka. Ingin balik badan, tapi mereka sudah terlanjur melihat keberadaanku. Bagaimana ini?"Aisyah..." ucap Jesica sambil meletakkan pakaian bayi berwarna pink di tempatnya.Jesica mulai mendekat, sedang Mas Adam hanya diam mematung sambil terus memindaiku dari atas ke bawah. Apa yang salah dengan penampilanku?"Bagaimana kabarmu Ais?" tanyanya ramah."Baik, seperti yang kamu lihat sekarang."jawabku datar."Alhamdulillah, mau membeli perlengkapan bayi ya?""Iya."Apakah Jesica sudah hamil? tapi perutnya masih terlihat datar. Mungkin usia kehamilannya baru beberapa minggu saja, jadi belum terlihat. Ah, itu bukan urusanku lagi. Tidak penting memikirkan orang yang tidak memperdulikan orang lain."Kamu sendirian Ais? Kasihan ya." ucap Mas Adam mengejek.Astagfirullah...Aku beristighfar dalam hati. Ya Allah, kenapa ada lelaki seperti itu? Sudah tak mau mengakui buah hatiny
Tok ... Tok ... Tok....Segera ku sambar hijab dan memakainya. Berjalan perlahan untuk membuka pintu. Perut yang semakin membesar membuat langkahku seperti siput.Senyum mengembang Daniel saat pintu telah ku buka. Tanpa dikomando Daniel duduk di kursi yang ada di teras. Ya, memang disinilah kursi kebesaran Daniel saat bertamu ke rumahku. Akan menimbulkan fitnah jika Daniel masuk ke dalam rumah."Kamu duduk, akan aku ambilkan piring beserta sendok dan gelasnya." ucap Daniel ketika aku putar badan."Tapi Dan,""Gak usah protes, bumilku gak boleh capek bukan?" Daniel melangkah menuju dapur yang letaknya di belakang.Duduk berjejer dengan sekat meja kecil diantara kursi. Dengan cepat Daniel membuka bungkus sate dan meletakkannya di piring. Jeruk hangat juga sudah berpindah tempat. Selalu Daniel melakukan itu, membuatku merasakan kenyamanan saat bersamanya."Di makan sayang, jangan cuman dilihatin." lagi pipi memerah karena ucapannya.Ku alihkan pandangan ke lontong dan sate, Pura-pura mul
Aisyah berjalan tertatih masuk ke dalam masjid. Sesekali tangannya mengelus perut yang terasa mulas.Dia merasakan mulas seperti ingin buang air besar, padahal sudah tadi pagi dia mengeluarkan isi perutnya."Kamu kenapa Ais?" tanya Bella sedikit khawatir melihat wajah calon adik iparnya yang sedikit pucat."Gak apa-apa mbak, sedikit mulas karena tadi pagi terlalu banyak makan sambal." terang Aisyah sedikit menghilangkan khawatir Bella."Apa mungkin sudah waktunya melahirkan?" gumam Bella dalam hati."Kalau mulasnya terasa lebih sering bilang mbak ya Ais, jangan di tahan." nasihat Bella."Iya mbak. Makasih sudah perduli dengan keadaanku." tanpa terasa bulir bening mengalir dari sudut netranya. Aisyah merasa terharu melihat kebaikan dan ketulusan yang diberikan Bella kepadanya. Dia merasa memiliki seorang kakak yang sangat memperdulikannya."Sudah jangan menangis, Daniel sudah menunggu di dalam." dengan lembut Bella menghapus air mata Aisyah. Bella tak ingin melihat Aisyah menangis di ha
Aisyah duduk di kursi belakang menutup mata karena menahan sakit, tangannya tak henti mengelus perut yang membukit."Sabar sayang, kita akan berjuang bersama, kalian pasti kuat." gumamnya sambil mengelus-elus perut.Berkali-kali Daniel melirik cintanya dari balik kaca spion. Melihat Aisyah memejamkan mata menahan rasa sakit membuat hatinya takut tak menentu."Ya Allah beri kemudahan Aisyah saat melahirkan buah hati kami." doanya dalam hati.Dengan kecepatan sedang Daniel melajukan mobil. Beberapa kali bunyi klakson keluar dari kendaraan roda empatnya.Membuat pendengaran lain menggerutu kesal. Tapi Daniel tak memperdulikannya, yang dia tahu Aisyah harus segera tiba di rumah sakit.Mobil sport berwarna merah berhenti sembarangan di halaman rumah sakit. Tertatih Daniel membopong tubuh Aisyah masuk ke ruang IGD. Menidurkannya perlahan di atas brankar."Istri saya mau melahirkan Sus."teriak Daniel. Bahkan lelaki berkulit putih itu tak menyadari jika dia salah menyebut Aisyah dengan sebutan
Pov DanielAku duduk di depan ruang rawat inap Aisyah. Kupijat-pijat pelipis yang terasa berdenyut. Ucapan Mbak Bella kembali terngiang-ngiang di telinga.Adam memang ayah kandung duo jagoan Aisyah, tapi dengan tindakannya yang tak mengakui anak-anaknya membuatnya tak berhak menyandang status ayah bahkan untuk mengazani pun dia tak layak."Sudah cari mangsa baru kamu Ais? Dulu aku, sekarang Daniel?"Hinaan Adam kembali terngiang di telingaku. Apa sebenarnya salah Aisyah pada Adam,hingga dia begitu membenci Aisyah."Dan...," panggilan Mas Sofiyan menyentakku dari lamunan."Kamu kenapa?" tanyanya lagi."Tolong adzani kedua putra Aisyah Mas,"ucapku penuh harap."Apa Adam...?" Mas Sofiyan memotong ucapannya. Tanpa bertanya lagi Mas Sofiyan menganggukkan kepala."Andai aku sudah hafal adzan, pasti aku yang akan mengazaninya," terangku.Mas Sofiyan tersenyum, membuat diriku tersipu malu. Cinta memang kadang sedikit gila, seperti halnya diriku saat ini. Hanya Aisyah yang selalu ada dipikiran
Pov AdamEntah kenapa perasaanku sedari tadi tak tenang. Seperti akan terjadi sesuatu, padahal Umi, abi dan Jesica dalam keadaan baik-baik saja. Tapi tetap saja perasaanku tak enak.TingDua pesan masuk, ku buka aplikasi berwarna hijau ini. Mbak Bella? aku tak salah baca kan? Ada angin apa hingga membuat kakak mantan sahabatku itu menghubungiku.[Adam, Aisyah telah melahirkan dua putra kalian.][Apa kamu tak ingin melihat kedua putramu Dam?]Aisyah sudah melahirkan bayi kembar, aku saja baru tahu kalau dia hamil anak kembar. Pantas saja perutnya lebih besar dari yang lain. Apa mungkin ini penyebab perasaanku tak enak sedari tadi? Ah, tidak, tidak, ini tidak mungkin. Aku tak mencintai Aisyah, mana mungkin ada ikatan batin antara kami.Pesan Mbak Bella masih kubiarkan begitu saja. Aku bingung mau membalas apa karena sejujurnya aku tak tahu harus bahagia atau biasa saja.Aku memang menginginkan hadirnya seorang bayi, tapi itu dari rahim Jesica bukan dari Aisyah."Sayang..." panggilan Jes
Dua malam setelah mendengar kabar Aisyah melahirkan aku justru tak bisa tidur. Pikiran selalu bergerilya entah kemana.Jarum jam sudah menunjukkan angka sepuluh malam. Dan lagi mata ini terasa susah untuk terlelap. Aku tak tahu kenapa aku seperti ini. Ingin membangunkan Jesica untuk menemaniku tapi dia sudah terlelap. Tak tega jika harus menganggu tidur indahnya.Iseng ku ambil ponsel, ku lihat status di aplikasi berwarna hijau ini. Banyak status teman dan rekan kerja bermunculan. Hingga mata ini memanas saat melihat status dari Daniel. Sebuah foto bersama Aisyah dan kedua putraku dengan caption Terimakasih Cinta.Apa maksud status Daniel ini?Kenapa aku tak suka?Sama-sama terdengar muadzin mengumandangkan adzan subuh, rasanya baru sebentar aku terlelap. Tapi sudah adzan subuh saja.Status Daniel semalam kembali terbayang dalam ingatanku. Foto bayi mungil dengan wajah masih merah seperti tersenyum padaku. Melambai-lambai padaku.Astaga, perasaan apa ini? Kenapa bayang wajah si kembar
Hari adalah hari ulang tahun pernikahanku dan Jesica, namun sampai detik ini belum ada tanda-tanda Jesica berbadan dua. Sepertinya aku harus segera ikut program hamil. Bagaimanapun caranya Jesica harus mau ikut promil, toh dulu dia berjanji akan program hamil setelah anniversary pernikahan kami."Sudah bangun sayang? Selamat hati ulang tahun pernikahan kita yang pertama sayang, semoga kita selalu bersama sampai maut memisahkan." ucapnya kemudian menciumku."Aamiin semoga kita selalu bahagia, dan segera mendapatkan momongan." ucapku penuh harap.Tanpa ku sadari, air bening telah membasahi pipi belahan jiwaku. Apa aku salah bicara? Kenapa lagi-lagi aku membuat Jesica menangis."Kamu kenapa sayang?"Jesica masih membisu, bahkan menoleh padaku pun tak mau. Dia masih tenggelam bersama tangisannya."Maafkan aku, belum bisa memberikan keturunan untukmu Dam." lirih dia berucap."Anak itu anugerah dari Allah, kita tak bisa memaksa Allah untuk segera memberikan kita seorang anak. Yang perlu kit
Tok ... Tok ... Tok.... Kuketuk pintu rumah Jesica dengan hati berdebar tak menentu. Semoga saja niat baikku disambut baik oleh Jesica dan keluarganya."Assalamu'alaikum...." ucapku."Waalaikumsalam" jawaban dari dalam rumah. Suara yang dulu sangat kurindu. Dialah wanita yang mati-matian ku perjuangkan meski akhirnya kulukai hatinya perlahan.Pintu di buka dari dalam, Jesica terlihat terkejut saat melihat diriku berdiri tepat di depan pintu. Menatapnya dengan rasa rindu.Rindu ingin memeluknya, meski kutahu dia tak akan mau ku sentuh. Mungkin dia jijik dengan diriku. Lelaki yang tega melukai hatinya. Menggoreskan luka di sanubarinya.Dengan penuh amarah dia berusaha menutup pintu. Namun terganjal kakiku. Sakit saat kaki beradu dengan pintu. Tapi akhirnya tahu tak sesakit hati Jesica."Jesica, tolong buka pintunya. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan dan meminta maaf padamu." ucapku mengiba."Untuk apa kamu kemari?" tanyanya ketus sambil perlahan membuka pintu.Alhamdulillah, akhirn
Pov AdamTiga puluh menit menatap gedung yang penuh kenangan. Perusahaan yang susah payah ku bangun kini hilang begitu saja. Kenapa hidupku menderita seperti ini?Mengambil ponsel dari saku celana. Memesan taxi dari aplikasi online. Tujuanku saat ini adalah rumah masa kecilku dulu. Semoga Abi mengizinkanku tinggal di sana. Bukankah aku anak kandungnya, pasti beliau akan menerimaku meski aku telah mengecewakannya.Sebuah mobil berhenti tepat di hadapanku.Mobil dengan warna putih dan plat yang sama seperti di aplikasi."Dengan Pak Adam?" tanya driver itu."Iya Pak, sesuai aplikasi ya!" ku masukkan koper ke dalam mobil dan menjatuhkan bobot di atas kursi belakang kemudi."Baik Pak."Kendaraan roda empat yang ku tumpangi melaju dengan kecepatan sedang membelah padatnya kemacetan ibu kota. Mobil berwarna putih ini berhenti saat lampu merah menyala. Pandanganku tertuju pada segerombolan pengamen dan pengemis di trotoar jalan.Ya Allah, apa nasibku akan sama seperti mereka?Tak punya tempat t
Pov Adam"Maaf Dam, Abi sudah tak memiliki apapun. Semua harta benda bukan lagi milik Abi."Ucapan Abi bagai halilintar di siang bolong. Bagaimana mungkin harta benda Abi hilang begitu saja? Atau ini hanya akal-akalan Abi saja?Astaga, aku harus bagaimana?Kupijit pelipis yang terasa berdenyut.Menyambar kunci mobil di atas meja. Berjalan sedikit berlari menuju mobil yang terparkir. Aku harus ke rumah Abi, memastikan apa yang barusan kudengar hanya omong kosong belaka. Abi pasti hanya bercanda padaku.Melajukan kendaraan roda empatku dengan kecepatan tinggi. Kuterjang semua yang ada di hadapanku.Tak perduli klakson kendaraan lain berbunyi seperti tengah memprotesku.Yang aku ingin segera sampai di rumah Abi.Keluar dari mobil disambut terik mentari yang menusuk kulit. Melangkahkan kaki masuk kedalam rumah yang tak dikunci. Sepi, sunyi tak ada lagi kehangatan yang selalu kurasakan saat berada di rumahku. Yang terasa hanya kenangan pahit saat kehilangan wanita yang sangat ku cintai, Umi.
Aku duduk di teras rumah seorang diri, tak ada lagi istri apalagi anak. Hidupku kini terasa begitu sunyi.Kemana hilangnya kebahagiaan yang dulu kurasakan?Baru kemarin kurasakan hidupku begitu sempurna. Dan kini berbalik seratus delapan puluh derajat. Kesepian dan sengsara.Apa ini benar sebuah karma? atau hanya cobaan dari Sang Pencipta.Ku pijat pelipis yang terasa berdenyut. Memikirkan nasib perusahaan dan pernikahan yang sedang diujung tanduk.Para investor mulai mencabut kucuran dananya hanya karena sebuah video. Padahal sudah pernah ku jelaskan. Namun nyatanya semua sia-sia belaka.Mereka pikir aku adalah lelaki yang tak bertanggung jawab karena menelantarkan anak dan istri. Bahkan tega meninggalkan Jesica yang tengah sakit. Mereka tak pernah melihat dari sudut pandang ku. Andai mereka jadi sepertiku, mungkin akan bertindak sama seperti yang kulakukan."Ini tehnya Pak." Bibi meletakkan secangkir teh di atas meja."Terima kasih,Bi," Kuseruput teh hangat. Sedikit memberi ketenanga
Aku duduk di ruang tunggu bersama Daniel. Menunggu seorang suster memanggil namaku. Sudah dua puluh menit kami menunggu. Hingga membuatku merasa bosan. "Nyonya Tiara Aisyah Kurniawan." panggil seorang suster. Berjalan memasuki ruang periksa dokter dengan tangan digandeng Daniel. "Selamat siang Dok...." sapaku kepada dokter Asih, dokter yang menangani ku saat hamil si kembar dulu. "Selamat siang, Bu Aisyah apa kabar?Bagaimana keadaan si kembar?" tanyanya basa-basi. Mungkin dia masih ingat kalau aku pasiennya dulu. "Alhamdulillah sehat dok.""Nah, gitu dong Pak. Kalau istrinya periksa kandungan di temani. Jangan seperti dulu. Kasihan istrinya." ucap dokter Asih membuatku dan Daniel saling pandang. Mungkin wanita di hadapanku ini mengira jika dulu ayah si kembar adalah Daniel. Daniel hanya mengangguk. Menjelaskan secara rinci juga tak mungkin. "Saya belum tahu istri saya hamil atau tidak dok. Tapi sudah telat satu minggu." ucap Daniel. "Baik Pak, biar saya periksa terlebih dahul
Aku duduk di teras sambil menyuapi Mukhlas dan Mukhlis. Ya, sekarang mereka sudah bisa makan bubur saring karena usia mereka sudah delapan bulan. Kedua buah hatiku dengan lahap memakan bubur saring dengan hati ayam dan brokoli. Mereka menyukai bubur buatan sendiri dibandingkan bubur kemasan. Ini membuat PR untukku agar lebih kreatif dalam membuat makanan agar mereka tak bosan. "Suapan terakhir sayang," ucapku pada Mukhlas.Mukhlas menutup mulut rapat-rapat sama seperti Mukhlis. Mungkin keduanya sudah kenyang. Karena hanya satu sendok yang tersisa. Suara mobil berhenti di depan rumah. Lelaki yang kini menemani hari-hariku keluar dari mobil dengan wajah sumringah. "Mbak Sari, tolong bersihkan bekas makan yang menempel di pipi ya." Mbak Sari mengangguk lalu mendorong stroller masuk ke dalam rumah. Meninggalkan diriku di teras rumah. "Assalamu'alaikum,Sayang." Daniel mendekat. Bau terasi terdeteksi oleh indera penciuman. Semakin lama semakin mendekat. Kenapa Daniel baunya seperti ini
Aku menata pakaian ke dalam koper. Tak terasa sudah tiga hari kami menghabiskan waktu untuk berbulan madu. Rasa rindu pada si kembar kian menggebu. Meski setiap hari melakukan videocall namun rinduku masih belum terobati kalau belum bertemu."Sudah selesai sayang?" tanya Daniel yang baru keluar dari kamar mandi. Handuk hanya melilit bagian pinggangnya.Ku tatap suamiku yang masih bertelanjang dada. Ada debaran tak menentu saat melihat Daniel seperti itu.Lelaki yang sudah sah menjadi imamku berjalan mendekat. Dan lagi desiran hangat memenuhi sekujur tubuh. Degup jantung kian berdetak kencang."Kenapa lihatin seperti itu?Mau?" wajahnya kini hanya berjarak beberapa senti dari wajahku.CUPSatu kecupan mendarat di bibir. Ah, Daniel selalu seperti itu.Membuatku melayang ke angkasa."Aku baru selesai mandi lho,Yang, rambut juga masih basah," ucapku manja."Ih, kamu pikiranya ke situ terus. Mau lagi ya?" mengerlingkan mata, menggoda."Apaan sih?" Kututup wajah ini yang mulai bersemu merah.D
Jarum jam sudah menunjukkan angka empat. Ku matikan laptop dan segera berjalan menuju pintu."Pak." panggilan Luna menghentikan langkahku."Ada apa?""Kita ada meeting sebentar lagi."Ya Allah, aku sampai lupa kalau akan meeting. Bagaimana ini? Kalau aku tak datang Papi akan marah besar."Tolong atur jadwal lagi, saya ada keperluan mendesak." ucapku lalu meninggalkannya begitu saja.Aku berjalan menuju lift,netra melihat setiap sudut kantor.Karyawan masih banyak yang berlalu lalang. Dan tersenyum saat aku melewatinya.Bagaimana jika perusahaan ini bangkrut? Mereka akan kerja dimana untuk menghidupi keluarganya? Ya Allah, isi semua karena aku tak fokus hingga investor terbesar membatalkan kerjasamanya.Ya Allah, kenapa ujian bertubi-tubi menimpaku?Apa karena aku kurang bersedekah?Atau karena aku tega menyakiti hati Aisyah?"Pak..." panggilan seseorang menyentakku dari lamunan."I-iya." ucapku terbata."Maaf Pak, apakah ada yang bisa saya bantu? Saya lihat dari tadi Bapak berdiri di
Pov AdamAda nyeri di sanubari saat melihat Aisyah duduk di pelaminan bersanding dengan Daniel. Sesak dada untuk bernafas pun rasanya susah. Harusnya aku yang ada di sana bukan Daniel. Persis lagu yang barusan aku nyanyikan.Berjalan mendekat, bukan untuk memberi selamat tapi untuk melihat Aisyah lebih dekat. Pandangan tak suka nampak jelas terlihat di wajah Om Bram, ayah sahabatku."Santai saja Om, aku hanya ingin melihat ibu dari anak-anakku lebih dekat," batinku.Semakin dekat dengan Aisyah,entah kenapa jantung kian berdetak kencang. Dengan perasaan yang sulit ku artikan.Kenapa aku justru merasakan benih cinta mulai mekar saat bunga itu telah tumbuh subuh di halaman rumah orang lain?Kenapa cinta ini terlambat? Saat dia telah pergi aku baru menyadari dia begitu berarti.Kutatap wajah ibu dari kedua anakku. Dia sungguh cantik mempesona. Dan kenapa aku baru menyadarinya? Kemana saja diriku selama ini?"Selamat ya, jaga Aisyah baik-baik. Sebelum aku mengambilnya kembali," ucapku pela