Pov DanielAku duduk di depan ruang rawat inap Aisyah. Kupijat-pijat pelipis yang terasa berdenyut. Ucapan Mbak Bella kembali terngiang-ngiang di telinga.Adam memang ayah kandung duo jagoan Aisyah, tapi dengan tindakannya yang tak mengakui anak-anaknya membuatnya tak berhak menyandang status ayah bahkan untuk mengazani pun dia tak layak."Sudah cari mangsa baru kamu Ais? Dulu aku, sekarang Daniel?"Hinaan Adam kembali terngiang di telingaku. Apa sebenarnya salah Aisyah pada Adam,hingga dia begitu membenci Aisyah."Dan...," panggilan Mas Sofiyan menyentakku dari lamunan."Kamu kenapa?" tanyanya lagi."Tolong adzani kedua putra Aisyah Mas,"ucapku penuh harap."Apa Adam...?" Mas Sofiyan memotong ucapannya. Tanpa bertanya lagi Mas Sofiyan menganggukkan kepala."Andai aku sudah hafal adzan, pasti aku yang akan mengazaninya," terangku.Mas Sofiyan tersenyum, membuat diriku tersipu malu. Cinta memang kadang sedikit gila, seperti halnya diriku saat ini. Hanya Aisyah yang selalu ada dipikiran
Pov AdamEntah kenapa perasaanku sedari tadi tak tenang. Seperti akan terjadi sesuatu, padahal Umi, abi dan Jesica dalam keadaan baik-baik saja. Tapi tetap saja perasaanku tak enak.TingDua pesan masuk, ku buka aplikasi berwarna hijau ini. Mbak Bella? aku tak salah baca kan? Ada angin apa hingga membuat kakak mantan sahabatku itu menghubungiku.[Adam, Aisyah telah melahirkan dua putra kalian.][Apa kamu tak ingin melihat kedua putramu Dam?]Aisyah sudah melahirkan bayi kembar, aku saja baru tahu kalau dia hamil anak kembar. Pantas saja perutnya lebih besar dari yang lain. Apa mungkin ini penyebab perasaanku tak enak sedari tadi? Ah, tidak, tidak, ini tidak mungkin. Aku tak mencintai Aisyah, mana mungkin ada ikatan batin antara kami.Pesan Mbak Bella masih kubiarkan begitu saja. Aku bingung mau membalas apa karena sejujurnya aku tak tahu harus bahagia atau biasa saja.Aku memang menginginkan hadirnya seorang bayi, tapi itu dari rahim Jesica bukan dari Aisyah."Sayang..." panggilan Jes
Dua malam setelah mendengar kabar Aisyah melahirkan aku justru tak bisa tidur. Pikiran selalu bergerilya entah kemana.Jarum jam sudah menunjukkan angka sepuluh malam. Dan lagi mata ini terasa susah untuk terlelap. Aku tak tahu kenapa aku seperti ini. Ingin membangunkan Jesica untuk menemaniku tapi dia sudah terlelap. Tak tega jika harus menganggu tidur indahnya.Iseng ku ambil ponsel, ku lihat status di aplikasi berwarna hijau ini. Banyak status teman dan rekan kerja bermunculan. Hingga mata ini memanas saat melihat status dari Daniel. Sebuah foto bersama Aisyah dan kedua putraku dengan caption Terimakasih Cinta.Apa maksud status Daniel ini?Kenapa aku tak suka?Sama-sama terdengar muadzin mengumandangkan adzan subuh, rasanya baru sebentar aku terlelap. Tapi sudah adzan subuh saja.Status Daniel semalam kembali terbayang dalam ingatanku. Foto bayi mungil dengan wajah masih merah seperti tersenyum padaku. Melambai-lambai padaku.Astaga, perasaan apa ini? Kenapa bayang wajah si kembar
Hari adalah hari ulang tahun pernikahanku dan Jesica, namun sampai detik ini belum ada tanda-tanda Jesica berbadan dua. Sepertinya aku harus segera ikut program hamil. Bagaimanapun caranya Jesica harus mau ikut promil, toh dulu dia berjanji akan program hamil setelah anniversary pernikahan kami."Sudah bangun sayang? Selamat hati ulang tahun pernikahan kita yang pertama sayang, semoga kita selalu bersama sampai maut memisahkan." ucapnya kemudian menciumku."Aamiin semoga kita selalu bahagia, dan segera mendapatkan momongan." ucapku penuh harap.Tanpa ku sadari, air bening telah membasahi pipi belahan jiwaku. Apa aku salah bicara? Kenapa lagi-lagi aku membuat Jesica menangis."Kamu kenapa sayang?"Jesica masih membisu, bahkan menoleh padaku pun tak mau. Dia masih tenggelam bersama tangisannya."Maafkan aku, belum bisa memberikan keturunan untukmu Dam." lirih dia berucap."Anak itu anugerah dari Allah, kita tak bisa memaksa Allah untuk segera memberikan kita seorang anak. Yang perlu kit
"Aisyah..." Aku terkejut saat suara seorang wanita yang sangat aku hafal memanggilku. Sontak aku dan Daniel menoleh ke samping. Hingga tak sengaja netraku bertemu dengan netra Mas Adam. Segera aku alihkan pandangan.Jujur, setiap kali melihat wajah ayah kandung Mukhlas dan Mukhlis membuat sesak di dalam dada. Teringat kembali saat dengan jumawa dia mengusir dan tidak mengakui buah hatinya. Sakit, benci, marah dan itulah rasa yang masih jelas tersimpan untuknya.Aku tahu tak baik menyimpan dendam di dalam hati. Tapi untuk memaafkan dan berdamai dengan keadaan, aku belum sanggup."Dan, kita langsung ke apotik saja yuk," ajakku pada Daniel. Lebih baik pergi dari pada harus meladeni Mas Adam yang akhirnya akan membuat sakit hati."Anak kamu kenapa Ais?"tanya Jesica yang mulai berjalan mendekat ke arah kami."Semalam Mukhlas demam tapi sebelum subuh Mukhlis ikut demam," ucapku datar."Cepat sembuh ya sayang, kasihan bunda kalau kalian sakit." Jesica memegang mukhlas dan mukhlis bergantian.
Tok... Tok... TokSuara ketukan pintu membangunkanku yang baru sebentar terlelap setelah menidurkan si kembar. Sambil mengucek kedua mata, kulangkahkan kaki menuju pintu depan.Seorang kurir berdiri tegak saat ku buka pintu."Ada paket mbak." dengan senyum ramah dia memberikanku sebuah kotak berwarna maron kepadaku."Paket dari siapa Pak? Perasaan saya tidak membeli barang dari aplikasi online." kubolak balikkan kotak, nihil tak ada nama pengirimnya."Saya kurang tahu mbak, saya hanya mengirimkan paket saja.Tolong di tanda tangani ya mbak."Segera kutanda tangani dan membawa masuk kotak berwarna maron. Rasa penasaran membuatku segera membuka kotak itu.Sebuah gamis dengan warna navy dan dua pakaian untuk si kembar berwarna senada dengan gamisnya. Tak ada kartu ucapan atau alamat pengirim. Dari mana ini?KriiinnggPonsel di kasur menjerit-jerit, segera ku angkat. Takut si kembar terbangun karena mendengar nada dering ponselku."Assalamu'alaikum...""Wa'alaikumsalam sayang.Paketnya suda
Seminggu sudah aku menghindari Daniel. Apakah aku sakit? Jangan tanya, rasanya sungguh menyiksa. Harus menahan rindu karena semua terhalang restu.Setiap hari lebih dari tiga puluh Panggilan tak terjawab dari Daniel.Ya,karena panggilan teleponnya selalu ku abaikan. Pesan hanya ku baca tanpa pernah ku balas.Apakah aku egois Ya Rabb?Memilih menghindar dari lelaki yang sangat kucinta. Mencoba meyakinkan diri, apakah diriku pantas bersanding dengannya?Apakah upik abu bisa menjadi Cinderella seperti dongeng semasa aku kecil?Teringat kembali perkataan papa Daniel padaku. Menimbulkan sesak di dalam dada. Aku sering mendengar cibiran dan hinaan orang. Tapi rasanya tak sesakit ini.Ah, dunia ini terlalu kejam untukku. Benar perkataan orang bahwa harta dan jabatan akan dinilai pertama kali di mata orang lain. Sebaik apapun orang, tak akan berarti jika tidak memiliki uang. Menyakitkan memang tapi itu lah kenyataan di masyarakat.Samar-samar terdengar adzan isya berkumandang segera kulangkahk
Tok ... Tok ... Tok. Kembali pintu diketuk, Mas Adam seperti tak mengerti kata-kata yang ku ucapkan. Apa perlu kupanggil tetangga untuk menyeretnya pergi dari sini.Kubiarkan saja, pasti dia akan lelah dan pergi dengan sendirinya. Ternyata dugaanku salah, pintu lagi-lagi di ketuk. Justru suaranya semakin keras. Bisa terbangun anak-anakku jika Mas Adam terus saja mengetuk pintu.Dengan emosi berjalan cepat menuju pintu. Sepertinya Mas Adam harus diberi pelajaran agar dia tahu adab bertamu seperti apa!"Mau kamu ap..." mulut ini diam seketika saat kulihat orang yang berada di hadapanku bukanlah Mas Adam."Silahkan duduk di teras Om, maaf tidak bisa masuk ke dalam karena sudah malam takut menimbulkan fitnah." ucapku tak enak hati.Om Bram duduk di teras, netranya memindai setiap sudut rumah. Aku tahu apa yang ada di pikirannya. Pasti semakin tak setuju putra satu-satunya mencintai wanita seperti diriku ini.Kutinggalkan Om Bram di teras, berjalan masuk ke dalam untuk membuatkan minum. E