Hari adalah hari ulang tahun pernikahanku dan Jesica, namun sampai detik ini belum ada tanda-tanda Jesica berbadan dua. Sepertinya aku harus segera ikut program hamil. Bagaimanapun caranya Jesica harus mau ikut promil, toh dulu dia berjanji akan program hamil setelah anniversary pernikahan kami."Sudah bangun sayang? Selamat hati ulang tahun pernikahan kita yang pertama sayang, semoga kita selalu bersama sampai maut memisahkan." ucapnya kemudian menciumku."Aamiin semoga kita selalu bahagia, dan segera mendapatkan momongan." ucapku penuh harap.Tanpa ku sadari, air bening telah membasahi pipi belahan jiwaku. Apa aku salah bicara? Kenapa lagi-lagi aku membuat Jesica menangis."Kamu kenapa sayang?"Jesica masih membisu, bahkan menoleh padaku pun tak mau. Dia masih tenggelam bersama tangisannya."Maafkan aku, belum bisa memberikan keturunan untukmu Dam." lirih dia berucap."Anak itu anugerah dari Allah, kita tak bisa memaksa Allah untuk segera memberikan kita seorang anak. Yang perlu kit
"Aisyah..." Aku terkejut saat suara seorang wanita yang sangat aku hafal memanggilku. Sontak aku dan Daniel menoleh ke samping. Hingga tak sengaja netraku bertemu dengan netra Mas Adam. Segera aku alihkan pandangan.Jujur, setiap kali melihat wajah ayah kandung Mukhlas dan Mukhlis membuat sesak di dalam dada. Teringat kembali saat dengan jumawa dia mengusir dan tidak mengakui buah hatinya. Sakit, benci, marah dan itulah rasa yang masih jelas tersimpan untuknya.Aku tahu tak baik menyimpan dendam di dalam hati. Tapi untuk memaafkan dan berdamai dengan keadaan, aku belum sanggup."Dan, kita langsung ke apotik saja yuk," ajakku pada Daniel. Lebih baik pergi dari pada harus meladeni Mas Adam yang akhirnya akan membuat sakit hati."Anak kamu kenapa Ais?"tanya Jesica yang mulai berjalan mendekat ke arah kami."Semalam Mukhlas demam tapi sebelum subuh Mukhlis ikut demam," ucapku datar."Cepat sembuh ya sayang, kasihan bunda kalau kalian sakit." Jesica memegang mukhlas dan mukhlis bergantian.
Tok... Tok... TokSuara ketukan pintu membangunkanku yang baru sebentar terlelap setelah menidurkan si kembar. Sambil mengucek kedua mata, kulangkahkan kaki menuju pintu depan.Seorang kurir berdiri tegak saat ku buka pintu."Ada paket mbak." dengan senyum ramah dia memberikanku sebuah kotak berwarna maron kepadaku."Paket dari siapa Pak? Perasaan saya tidak membeli barang dari aplikasi online." kubolak balikkan kotak, nihil tak ada nama pengirimnya."Saya kurang tahu mbak, saya hanya mengirimkan paket saja.Tolong di tanda tangani ya mbak."Segera kutanda tangani dan membawa masuk kotak berwarna maron. Rasa penasaran membuatku segera membuka kotak itu.Sebuah gamis dengan warna navy dan dua pakaian untuk si kembar berwarna senada dengan gamisnya. Tak ada kartu ucapan atau alamat pengirim. Dari mana ini?KriiinnggPonsel di kasur menjerit-jerit, segera ku angkat. Takut si kembar terbangun karena mendengar nada dering ponselku."Assalamu'alaikum...""Wa'alaikumsalam sayang.Paketnya suda
Seminggu sudah aku menghindari Daniel. Apakah aku sakit? Jangan tanya, rasanya sungguh menyiksa. Harus menahan rindu karena semua terhalang restu.Setiap hari lebih dari tiga puluh Panggilan tak terjawab dari Daniel.Ya,karena panggilan teleponnya selalu ku abaikan. Pesan hanya ku baca tanpa pernah ku balas.Apakah aku egois Ya Rabb?Memilih menghindar dari lelaki yang sangat kucinta. Mencoba meyakinkan diri, apakah diriku pantas bersanding dengannya?Apakah upik abu bisa menjadi Cinderella seperti dongeng semasa aku kecil?Teringat kembali perkataan papa Daniel padaku. Menimbulkan sesak di dalam dada. Aku sering mendengar cibiran dan hinaan orang. Tapi rasanya tak sesakit ini.Ah, dunia ini terlalu kejam untukku. Benar perkataan orang bahwa harta dan jabatan akan dinilai pertama kali di mata orang lain. Sebaik apapun orang, tak akan berarti jika tidak memiliki uang. Menyakitkan memang tapi itu lah kenyataan di masyarakat.Samar-samar terdengar adzan isya berkumandang segera kulangkahk
Tok ... Tok ... Tok. Kembali pintu diketuk, Mas Adam seperti tak mengerti kata-kata yang ku ucapkan. Apa perlu kupanggil tetangga untuk menyeretnya pergi dari sini.Kubiarkan saja, pasti dia akan lelah dan pergi dengan sendirinya. Ternyata dugaanku salah, pintu lagi-lagi di ketuk. Justru suaranya semakin keras. Bisa terbangun anak-anakku jika Mas Adam terus saja mengetuk pintu.Dengan emosi berjalan cepat menuju pintu. Sepertinya Mas Adam harus diberi pelajaran agar dia tahu adab bertamu seperti apa!"Mau kamu ap..." mulut ini diam seketika saat kulihat orang yang berada di hadapanku bukanlah Mas Adam."Silahkan duduk di teras Om, maaf tidak bisa masuk ke dalam karena sudah malam takut menimbulkan fitnah." ucapku tak enak hati.Om Bram duduk di teras, netranya memindai setiap sudut rumah. Aku tahu apa yang ada di pikirannya. Pasti semakin tak setuju putra satu-satunya mencintai wanita seperti diriku ini.Kutinggalkan Om Bram di teras, berjalan masuk ke dalam untuk membuatkan minum. E
Pov AisyahSuara mobil berhenti di jalan, menyadarkanku dari pikiran yang melayang entah kemana. Seorang lelaki yang baru saja terlintas di pikiranku, kini hadir di hadapanku. Menerbitkan senyuman yang sudah satu minggu ini sangat ku rindukan. Namun ucapan Om Bram kembali terngiang di telinga.Apa yang harus aku lakukan Ya Robb?Apa yang harus ku katakan pada Daniel?Haruskah aku mundur?"Sayang..."panggilnya membuat jantungku kian berdetak. Getaran ini masih sama,justru semakin tak menentu."I-iya Dan." ucapku tergagap. Sejujurnya aku belum siap bertemu dengannya disaat seperti ini. Ingin menghilang detik ini juga, tapi mana bisa.Tanpa di minta Daniel berjalan dan duduk di kursi sebelahku. Kursi ternyamannya dengan meja sebagai pembatas di antara kursi."Anak-anak sudah tidur sayang?"tanyanya lembut.Pertanyakan itu yang selalu ditanyakan tiap kali berada di sini. Bagaimana aku bisa melepaskan lelaki sebaik Daniel. Lelaki yang tak hanya mencintaiku tapi juga mencintai kedua anakku.
Pov Adam"Dari mana saja kamu Dam?" tanya Jesika saat aku tiba di rumah.Tak ada senyum merekah, atau sekedar mencium tanganku. Ah, kenapa aku justru rindu saat Aisyah memperlakukan diriku dulu? Apa benar kata orang, baru terasa berharga seseorang itu setelah dia pergi meninggalkan kita? Betapa bodohnya diriku dulu."Suami pulang tidak di siapkan teh atau kopi tapi justru disambut dengan wajah masammu."ku jatuhkan bobot di atas ranjang. memijit pelipis yang terasa pusing."Kamu dari rumah Aisyah kan?" tanya Jesica dengan wajah memerah."Iya aku mau bertemu anak-anak, tapi tak diizinkan oleh Aisyah.""Ya jelas Aisyah tak mengizinkan, kemana saja kamu? Kalau aku jadi Aisyah pasti akan ku lakukan yang sama.""Jesica, tutup mulutmu. Kamu tidak lebih baik dari Aisyah. Harusnya kamu berfikir bagaimana caranya bisa hamil. Bukan hanya menyudutkanku saja!" ucapku geram.Jesica pergi sambil menitihkan air mata. Ya Allah, kenapa semua jadi kacau begini?Mengacak rambut, frustasi.KriiinggKriiin
Pov Adam"Em...itu bi, Jesica baru di rumah orang tuanya saat abi menelepon. Adam belum sempat memberitahunya."Abi terdiam,membuatku semakin bersalah. Bukankah aku yang harus marah karena mereka memaksaku menikahi anak temannya. Hingga semua berakhir seperti ini. Jadi ini bukan sepenuhnya salahku, tapi salah Abi dan Umi yang telah memaksaku menikahi Aisyah.Seorang lelaki paruh baya keluar dari ruang ICU. Dokter spesialis jantung bernama Husein menerbitkan senyum tipis pada kami. Membuat diri ini bernafas lega. Pasti dokter Husein memberikan kabar baik."Bagaimana keadaan istri saya dok?" tanya Abi."Alhamdulillah, istri bapak sudah melewati masa kritisnya. Tapi belum bisa ditemui, biarkan ibu istirahat terlebih dahulu.""Alhamdulillah,terima kasih Dok."ucap kami serempak."Dan saya mohon, untuk sementara waktu jangan memberi kabar buruk yang mengagetkan ibu sampai kondisi ibu benar-benar baik." ucap dokter Husein sebelum pergi meninggalkan kami."Kita makan dulu bi, abi belum makan
Tok ... Tok ... Tok.... Kuketuk pintu rumah Jesica dengan hati berdebar tak menentu. Semoga saja niat baikku disambut baik oleh Jesica dan keluarganya."Assalamu'alaikum...." ucapku."Waalaikumsalam" jawaban dari dalam rumah. Suara yang dulu sangat kurindu. Dialah wanita yang mati-matian ku perjuangkan meski akhirnya kulukai hatinya perlahan.Pintu di buka dari dalam, Jesica terlihat terkejut saat melihat diriku berdiri tepat di depan pintu. Menatapnya dengan rasa rindu.Rindu ingin memeluknya, meski kutahu dia tak akan mau ku sentuh. Mungkin dia jijik dengan diriku. Lelaki yang tega melukai hatinya. Menggoreskan luka di sanubarinya.Dengan penuh amarah dia berusaha menutup pintu. Namun terganjal kakiku. Sakit saat kaki beradu dengan pintu. Tapi akhirnya tahu tak sesakit hati Jesica."Jesica, tolong buka pintunya. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan dan meminta maaf padamu." ucapku mengiba."Untuk apa kamu kemari?" tanyanya ketus sambil perlahan membuka pintu.Alhamdulillah, akhirn
Pov AdamTiga puluh menit menatap gedung yang penuh kenangan. Perusahaan yang susah payah ku bangun kini hilang begitu saja. Kenapa hidupku menderita seperti ini?Mengambil ponsel dari saku celana. Memesan taxi dari aplikasi online. Tujuanku saat ini adalah rumah masa kecilku dulu. Semoga Abi mengizinkanku tinggal di sana. Bukankah aku anak kandungnya, pasti beliau akan menerimaku meski aku telah mengecewakannya.Sebuah mobil berhenti tepat di hadapanku.Mobil dengan warna putih dan plat yang sama seperti di aplikasi."Dengan Pak Adam?" tanya driver itu."Iya Pak, sesuai aplikasi ya!" ku masukkan koper ke dalam mobil dan menjatuhkan bobot di atas kursi belakang kemudi."Baik Pak."Kendaraan roda empat yang ku tumpangi melaju dengan kecepatan sedang membelah padatnya kemacetan ibu kota. Mobil berwarna putih ini berhenti saat lampu merah menyala. Pandanganku tertuju pada segerombolan pengamen dan pengemis di trotoar jalan.Ya Allah, apa nasibku akan sama seperti mereka?Tak punya tempat t
Pov Adam"Maaf Dam, Abi sudah tak memiliki apapun. Semua harta benda bukan lagi milik Abi."Ucapan Abi bagai halilintar di siang bolong. Bagaimana mungkin harta benda Abi hilang begitu saja? Atau ini hanya akal-akalan Abi saja?Astaga, aku harus bagaimana?Kupijit pelipis yang terasa berdenyut.Menyambar kunci mobil di atas meja. Berjalan sedikit berlari menuju mobil yang terparkir. Aku harus ke rumah Abi, memastikan apa yang barusan kudengar hanya omong kosong belaka. Abi pasti hanya bercanda padaku.Melajukan kendaraan roda empatku dengan kecepatan tinggi. Kuterjang semua yang ada di hadapanku.Tak perduli klakson kendaraan lain berbunyi seperti tengah memprotesku.Yang aku ingin segera sampai di rumah Abi.Keluar dari mobil disambut terik mentari yang menusuk kulit. Melangkahkan kaki masuk kedalam rumah yang tak dikunci. Sepi, sunyi tak ada lagi kehangatan yang selalu kurasakan saat berada di rumahku. Yang terasa hanya kenangan pahit saat kehilangan wanita yang sangat ku cintai, Umi.
Aku duduk di teras rumah seorang diri, tak ada lagi istri apalagi anak. Hidupku kini terasa begitu sunyi.Kemana hilangnya kebahagiaan yang dulu kurasakan?Baru kemarin kurasakan hidupku begitu sempurna. Dan kini berbalik seratus delapan puluh derajat. Kesepian dan sengsara.Apa ini benar sebuah karma? atau hanya cobaan dari Sang Pencipta.Ku pijat pelipis yang terasa berdenyut. Memikirkan nasib perusahaan dan pernikahan yang sedang diujung tanduk.Para investor mulai mencabut kucuran dananya hanya karena sebuah video. Padahal sudah pernah ku jelaskan. Namun nyatanya semua sia-sia belaka.Mereka pikir aku adalah lelaki yang tak bertanggung jawab karena menelantarkan anak dan istri. Bahkan tega meninggalkan Jesica yang tengah sakit. Mereka tak pernah melihat dari sudut pandang ku. Andai mereka jadi sepertiku, mungkin akan bertindak sama seperti yang kulakukan."Ini tehnya Pak." Bibi meletakkan secangkir teh di atas meja."Terima kasih,Bi," Kuseruput teh hangat. Sedikit memberi ketenanga
Aku duduk di ruang tunggu bersama Daniel. Menunggu seorang suster memanggil namaku. Sudah dua puluh menit kami menunggu. Hingga membuatku merasa bosan. "Nyonya Tiara Aisyah Kurniawan." panggil seorang suster. Berjalan memasuki ruang periksa dokter dengan tangan digandeng Daniel. "Selamat siang Dok...." sapaku kepada dokter Asih, dokter yang menangani ku saat hamil si kembar dulu. "Selamat siang, Bu Aisyah apa kabar?Bagaimana keadaan si kembar?" tanyanya basa-basi. Mungkin dia masih ingat kalau aku pasiennya dulu. "Alhamdulillah sehat dok.""Nah, gitu dong Pak. Kalau istrinya periksa kandungan di temani. Jangan seperti dulu. Kasihan istrinya." ucap dokter Asih membuatku dan Daniel saling pandang. Mungkin wanita di hadapanku ini mengira jika dulu ayah si kembar adalah Daniel. Daniel hanya mengangguk. Menjelaskan secara rinci juga tak mungkin. "Saya belum tahu istri saya hamil atau tidak dok. Tapi sudah telat satu minggu." ucap Daniel. "Baik Pak, biar saya periksa terlebih dahul
Aku duduk di teras sambil menyuapi Mukhlas dan Mukhlis. Ya, sekarang mereka sudah bisa makan bubur saring karena usia mereka sudah delapan bulan. Kedua buah hatiku dengan lahap memakan bubur saring dengan hati ayam dan brokoli. Mereka menyukai bubur buatan sendiri dibandingkan bubur kemasan. Ini membuat PR untukku agar lebih kreatif dalam membuat makanan agar mereka tak bosan. "Suapan terakhir sayang," ucapku pada Mukhlas.Mukhlas menutup mulut rapat-rapat sama seperti Mukhlis. Mungkin keduanya sudah kenyang. Karena hanya satu sendok yang tersisa. Suara mobil berhenti di depan rumah. Lelaki yang kini menemani hari-hariku keluar dari mobil dengan wajah sumringah. "Mbak Sari, tolong bersihkan bekas makan yang menempel di pipi ya." Mbak Sari mengangguk lalu mendorong stroller masuk ke dalam rumah. Meninggalkan diriku di teras rumah. "Assalamu'alaikum,Sayang." Daniel mendekat. Bau terasi terdeteksi oleh indera penciuman. Semakin lama semakin mendekat. Kenapa Daniel baunya seperti ini
Aku menata pakaian ke dalam koper. Tak terasa sudah tiga hari kami menghabiskan waktu untuk berbulan madu. Rasa rindu pada si kembar kian menggebu. Meski setiap hari melakukan videocall namun rinduku masih belum terobati kalau belum bertemu."Sudah selesai sayang?" tanya Daniel yang baru keluar dari kamar mandi. Handuk hanya melilit bagian pinggangnya.Ku tatap suamiku yang masih bertelanjang dada. Ada debaran tak menentu saat melihat Daniel seperti itu.Lelaki yang sudah sah menjadi imamku berjalan mendekat. Dan lagi desiran hangat memenuhi sekujur tubuh. Degup jantung kian berdetak kencang."Kenapa lihatin seperti itu?Mau?" wajahnya kini hanya berjarak beberapa senti dari wajahku.CUPSatu kecupan mendarat di bibir. Ah, Daniel selalu seperti itu.Membuatku melayang ke angkasa."Aku baru selesai mandi lho,Yang, rambut juga masih basah," ucapku manja."Ih, kamu pikiranya ke situ terus. Mau lagi ya?" mengerlingkan mata, menggoda."Apaan sih?" Kututup wajah ini yang mulai bersemu merah.D
Jarum jam sudah menunjukkan angka empat. Ku matikan laptop dan segera berjalan menuju pintu."Pak." panggilan Luna menghentikan langkahku."Ada apa?""Kita ada meeting sebentar lagi."Ya Allah, aku sampai lupa kalau akan meeting. Bagaimana ini? Kalau aku tak datang Papi akan marah besar."Tolong atur jadwal lagi, saya ada keperluan mendesak." ucapku lalu meninggalkannya begitu saja.Aku berjalan menuju lift,netra melihat setiap sudut kantor.Karyawan masih banyak yang berlalu lalang. Dan tersenyum saat aku melewatinya.Bagaimana jika perusahaan ini bangkrut? Mereka akan kerja dimana untuk menghidupi keluarganya? Ya Allah, isi semua karena aku tak fokus hingga investor terbesar membatalkan kerjasamanya.Ya Allah, kenapa ujian bertubi-tubi menimpaku?Apa karena aku kurang bersedekah?Atau karena aku tega menyakiti hati Aisyah?"Pak..." panggilan seseorang menyentakku dari lamunan."I-iya." ucapku terbata."Maaf Pak, apakah ada yang bisa saya bantu? Saya lihat dari tadi Bapak berdiri di
Pov AdamAda nyeri di sanubari saat melihat Aisyah duduk di pelaminan bersanding dengan Daniel. Sesak dada untuk bernafas pun rasanya susah. Harusnya aku yang ada di sana bukan Daniel. Persis lagu yang barusan aku nyanyikan.Berjalan mendekat, bukan untuk memberi selamat tapi untuk melihat Aisyah lebih dekat. Pandangan tak suka nampak jelas terlihat di wajah Om Bram, ayah sahabatku."Santai saja Om, aku hanya ingin melihat ibu dari anak-anakku lebih dekat," batinku.Semakin dekat dengan Aisyah,entah kenapa jantung kian berdetak kencang. Dengan perasaan yang sulit ku artikan.Kenapa aku justru merasakan benih cinta mulai mekar saat bunga itu telah tumbuh subuh di halaman rumah orang lain?Kenapa cinta ini terlambat? Saat dia telah pergi aku baru menyadari dia begitu berarti.Kutatap wajah ibu dari kedua anakku. Dia sungguh cantik mempesona. Dan kenapa aku baru menyadarinya? Kemana saja diriku selama ini?"Selamat ya, jaga Aisyah baik-baik. Sebelum aku mengambilnya kembali," ucapku pela