“Atau apa?” Ranita menantang. “Atau foto-foto di film ini akan kusebar luaskan!” ancam Zulian sambil menunjukkan satu rol film di tangannya. “Apa, kau? Kau ….” “Saat Kakak tidur tadi, aku meminjam kamera Kakak. Satu rol film aku habiskan untuk mengabadikan fose Kakak saat telanj*ng. Sory, aku menggunakan kamera kakak tanpa permisi!” (Jaman itu belum ada ponsel yang berkamera seperti saat sekarang.) “Bajingan kau! Buat apa kau fotoin aku dalam keadaan seperti itu? Kau maniak, Zulian! Kau sakit jiwa!” “Aku tidak maniak, Kak! Aku laki-laki normal. Aku hanya mencoba bertahan. Orang miskin dan lemah seperti aku, akan semakin tertindas bila tidak menggunakan otak dalam bertindak. Foto-foto ini akan aku jadikan senjata. Pokoknya bila Kakak berani macam-macam, aku akan menyebarkan foto-foto ini. Nama baik Kakak, Papa, perusahaan, akan hancur dalamm hitungan detik. jadi, berpikirlah sebelum bertindak! Saat ini, yang bisa Kakak lakukan hanyalah diam, ok!” “Serahkan rol film it
“Aku ke sini mau menjenguk Papamu, bukan melihat kau! Aku juga sama seperti kau! Mau muntah bila melihat mukamu yang angkuh itu!” ketus Rosma mendelik tajam. “Aku tidak izinkan Tante menjenguk Papa!” Alva menghadang. “Kau tak berhak melarangku! Kita masih keluarga! Jika kau ingin memutus tali kekeluargaan denganku, aku sangat mendukungmu! Tapi hubungan kekeluargaan antara aku dengan keluarga besar Sinulingga, kau tak berhak ikut campur!” “Ok, baik! Kuberi Tante waktu lima menit! Silahkan! Kebetulan aku juga mau ke toilet. Kuharap, begitu aku keluar dari toilet, Tante sudah tak ada lagi di ruangan ini! Jika sempat aku lihat masih ada Tante nanti di sini, jangan sakit hati bila aku terpaksa menyeret dan melemparkan Tante keluar! Paham!” Alva berjalan menuju kamar mandi yang tersedia di rungan itu. Perempuan dengan rambut dicat warna kuning itu hanya mendengus kasar. Tetapi hatinya ciut juga dengan ancaman pria itu. Kecewa dan kesal terasa mencekik sanubari. Setelah menghentak n
“Apa lagi! Setelah Nayra kakakmu gagal, sekarang kau menggantikan dia? Kau juga mau merayu kakek dan mamaku agar mereka memaksaku menikahimu, begitu?” tuduh Alva ketus. “Tidak! Aku tidak ada maksud seperti itu sedikitpun sama Bang Alva. Aku justru ingin memperbaiki semuanya.” Nirmala tetap tenang. “Memperbaiki? Kau? Anak kecil? Sudahlah! Kau sekolah saja yang benar! Jangan ikut-ikutan tak waras seperti Nayra dan ibumu!” “Aku mau ketemu Kak Anyelir, Bang! Aku telpon gak aktif nomornya. Di mana aku bisa nemui dia?” “Hey, kau di Medan juga?” “Iya, bang!” “Fix, kau dan seluruh keluargamu memang gila!” Tuts … tuts … tuts …. Nirmala melongo, mata jernihnya menatap ponsel dengan putus asa. Sedemikian bencinya sudah Alva kepada keluarganya. Entah apa yang bisa dia lakukan sekarang. Siapa lagi yang bsa dihubungi. Tak ada selain Anyelir. Dia yakin Anyelir pasti bisa menerima dia. Anyelir tahu persis siapa Nirmala. Anyelir tak akan menyamakan Nirmala dengan Nayra, pun ibunya. Tetap
“Tolong lindungi saya, Kak. Ada bukti rekaman kejahatan Mama dan Om Zul di hape saya,” pinta gadis itu memelas. “Jadi, apa yang dituduhkan Anyelir tadi benar? Bahwa kau memang disuruh ibu kamu, untuk mendekati Kakek lagi?” Elma masih terperangah. “Benar, Kak. Kelicikan mama mudah ditebak. Mama itu jahat, Kak. Kasihan Kak Nayra. Sebenarnya dia dipaksa ngelakuin ini semua.” Nirmala kembali berurai airmata. “Tunggu-tunggu! Kita masuk ke dalam mobil saja! Tidak nyaman rasanya cerita sambil berdiri seperti ini!” usul Elma lalu melanjutkan langkah menuju parkiran. “Baik, Kak.” Nirmala mengikutinya. “Silahkan masuk!” Elma membuka pintu mobil untuk Nirmala. Gadis itu segera masuk, lalu menyandarkan punggung di sandaran jok depan. Lelah berpikir membuat selurh tubuhnya ikutan lemas. “Sekarang kamu boleh menceritakan segalanya pada saya,” titah Elma setelah dia juga masuk ke dalam mobil. “Baik, Kak. Tapi maaf sebelumnya. Sebenarnya Kakak siapa? Saya khawatir berbicara pada orang yang
“Terserah apa kata Bang Alva. Yang penting Nirmala udah peringatin!” Nirmala mengembalikan ponsel Elma. “Kau!” Emosi Alva makin memuncak, tapi segera diredam oleh Elma. “Sudah, Bang! Tidak ada salahnya Abang dengarkan Nirmala kali ini. Aku juga sedang berusaha mempercayainya. Sepertinya dia jujur. Abang yang sabar, ya!” “Jelaskan padaku, bagaimana kamu bisa mengenal Nirmala! Aku tidak suka, ya, kamu dekat dengan keturunan nenek lampir itu! Sekarang juga kau tinggalkan dia! Paham!” “Bang Alva, tolong beri Nirmala kesempatan! Kita coba, ya! Siapa tahu dia memnag benr-benar jujur. Dan info darinya sangat kita butuhkan, termasuk rencana ibunya yang ingin melenyapkan papa kamu, iya, kan?” “Baik, aku akan mencoba percaya. Tapi bukan karena Nirmala, tapi karena aku percaya padamu!” “Terima kasih, Bang Al!” * Elma langsung memanggil Andre yang tengah sibuk mengatur orderan begitu mereka tiba di rumah. Kembali Nirmala berdebar hebat. Keringat dingin membasahi kening dan telapak tanga
“Kamu tinggal di sini saja dulu! Jangan ke mana-mana!” titah Andre kepada Nirmala setelah hatinya berangsur tenang. Pria itu lalu bangkit dari duduknya. Nirmala menoleh ke arah Elma. “Abang mau ke mana?” tanya Elma ikut bangkit dan menghampiri Andre. “Aku pinjam salah satu motor toko, aku mau ke makam Mama.” Andre bergegas pergi. “Tunggu, Bang! Ini udah sore. Hampir malam malah. Bagaimana kalau besok pagi saja kita semua ke makam Tente?” usul Elma. Dia dan Nirmala mengikuti langkah Andre. “Maaf, Bu Elma, kali ini saya terpaksa menolak saran Bu Elma.” Andre masuk ke dalam toko menemui Nara. “Sayang, aku keluar sebentar! Pinjam kunci motor!” pintanya kepada Nara. “Tidak usah pakai motor, bawa mobil saya aja! Bang Lutfi yang nyetir!” perintah Elma. “Tidak! Saya mau sendiri! Tolong jangan ada yang mengikuti saya!” Andre menyambar kunci motor yang tergantung di dinding, di dekat meja kerja Nara. “Sayang, aku pergi!” ucapnya sekali lagi kepada Nara. Tak ada yang bisa mencegah
“Maaf, Pak! Tolong jangan buat lagi pasien tidak tenang, ya!” tegas salah seorang perawat. “Tugas kalian hanya menguras habis racun di perutnya! Selanjutnya polisi yang akan mengurusnya! Saya pastikan dia tidak gila! Jadi, saya tegaskan bahwa besok dia tak akan dikirim ke rumah sakit jiwa, melainkan ke penjara! Sampaikan itu kepada Dokter!” kata Andre menegaskan. Kedua perawat itu saling tatap, namun enggan untuk membantah ucapan Andre. “Andre, Papa minta maaf!” lirih pria itu sambil terisak. “Tuh, lihat Suster! Kalian percaya sekarang bahwa dia hanya pura-pura gila, bukan?” Andre tertawa sumbang. “Baik, Pak. Akan kami laporkan kepada Dokter!” Keduanya lalu permisi keluar. “An … dre! Maafkan Papa, Nak!” ulang Zulian seraya menyeka air yang masih menetes di kedua pipinya. “Maaf? Ok, aku akan sampaikan pada ibuku! Ini aku mau ke makamnya! Aku tanya dulu, boleh tidak aku memaafkan manusia bangs*t seperti kamu!” “Papa menyesal, Nak! Papa khilaf. Kemarahan pada kakekmu, Papa la
“Al … va! Annak mammmma …!” Riani mengulurkan tangan kanannya. Elma segera bergeser, memberi tempat kepada Alva agar mendekati ranjang ibunya. “Sayang, aku merindukanmu!” bisik pria itu di dekat telinga Elma saat melintas ke arah ranjang. Elma sempat kaget, tetapi segera mengulum senyum. Bahagia luar biasa dengan ungkapan jujur sang kekasih. Sebab, diapun sungguh merasakan hal yang sama. “Ma! Mama sudah mendapat maaf dari Elma, kan?” tanya Alva beralih menatap ibunya. “I-iya, mama janji tak akan nyakitin hati Elma lagi. Asal kamu gak ninggalin Mama lagi, Nak!” Pipi Riani basah air mata. “Peluk mama, Sayang! Mama sangat rindu!” pintanya masih dengan tangan terulur. Alva memeluknya. “Aku juga sangat rindu sama Mama. Tolong jangan langgar janji Mama lagi, ya! Aku akan mencoba memberi Mama kesempatan sekali lagi. Jika sekali lagi Mama memaksa aku menikahi orang lain selain Elma, aku bersumpah tak akan pernah balik lagi ke rumah Mama. Mama bisa berjanji, kan?” tuntut Alva dengan t
“Vita, sambil tengokin adek, ya! Tante mau buatkan jus buah!” titah Nirmala seraya bangkit. Ini hari keempat dia menemani anak-anak Elma. “Ya, Tante. Buatin buat Vita sekalian, ya, Tan! Gerah banget, nih!” sahut Vita tetap fokus dengan buku pelajaran di tangannya. Gadis kecil berusia delapan tahun itu akan menghadapi ujian kenaikan kelas besok. Itu sebab dia harus belajar keras hari ini. “Tampan mau jus enggak, biar Tante bawa sekalian?” teriak Nirmala lagi. “Mau, Tan! Pakai es yang banyak, ya!” sahut bocah laki-laki berusia lima tahun dari halaman. Dia tengah asik bermain bola sendirian. Keringat mengucur deras di dahi dan punggungnya. Nirmala bergerak ke dalam rumah. Vita tenggelam dengan bukunya ketika Tampan bergerak mendekati pintu pagar. Bola yang sedang dia mainkan terlempar ke luar. Berusaha menjangkau bola melalui celah besi pagar, bocah itu mulai putus asa. “Kakak, bolanya keluar!” teriaknya sedih. “Biar aja, ambil bola yang lain aja! Jangan keluar!” sang kakak b
“Andre, kalian datang?” Serempak Sinulingga, Riani dan Anyelir menoleh. “Bagaimana keadaan Kak Elma, Kak Anyelir?” tanya Nara setelah menghirup napas beberapa kali. terlihat dia begitu kelelahan dengan perut yang kian membesar. Di usia kandungan yang ke tujuh bulan, wanita itu memang mulai mudah lelah. “Elma masih ditangani Dokter. Kamu baik baik saja? Ngapain ikut ke rumah sakit ini kalau kamu sendiri dalam keadaan hamil besar begini?” tanya Anyelir membantu Nara untuk duduk. “Aku khawatir, takut Kak Elma kenapa napa. Secara dia pernah hampir meninggal dulu karena serangan kanker rahim, kan?” dalih Nara sedih. “Kok bisa Elma drop, apa yang terjadi?” tanya Andre cemas. “Ini semua salah mama,” lirih Riani bersuara. Semua terpana. “Mama melakukan apa lagi” Andre menatapnya gusar. “Mama gak bisa terima kalau ternyata Alva enggak bakal pernah bisa punya anak. Mama sedih. Mama tak bisa menerima kenyataan. Nyatanya, Mama tk bisa berbuat apa-apa. Alva sudah menjatuhkan pilihan.
“Maksud kamu? Mama … harus pergi dari sini?” tanya Alva menyipitkan kedua netranya. terkejut mendengar permintaan Elma. “Ya, maaf! Aku tidak mau Mama ada di sini! Di rumah ini. Setidaknya sampai hatiku kembali tenang,” lirih Elma lalu berjalan pergi meninggalkan kegaduhan. “Elma kau mengusir mama? Berani kau mengusir ibu mertuamu, hah?” Riani hendak mengejar Elma, tetapi segera ditahan oleh Anyelir. “Kau tidak bisa mengusirku, Elma! Mana janjimu untuk minta talak pada anakku? Mana janjimu akan menikahkan Alva dengan Nirmala! Kau penipu, Elma!” teriaknya memaki-maki Elma. Sontak Elma menghentikan langkah. Berbalik, lalu menatap ibu mertuanya penuh kecewa. Jemarinya memijit kening, pandangannya tiba-tiba gelap. Elma ambruk ke lantai. “Sayang!” Alva menangkap tubuhnya. “Elma, Sayang …! Kamu kenapa? El?” panggilnya seraya menepuk lembut pipi Elma. Namun, tak ada respon. “Denyut nadinya lemah banget!” seru Anyelir panik saat meraba pergelangan tangan Elma. “Kenapa? Kak Elma ken
“Alva …?” Riani tersentak kaget. “Apa maksud kamu, Nak? Rencana apa? Mama enggak paham?” lanjutnya memasang wajah paling sedih. Dramanya masih berlanjut. “Enggak usah pura-pura lagi, deh, Ma! Dion, segera nyalakan proyektornya!” perintah Alva kepada anak buahnya. Dion dan Yopi segera melaksanakan perintah. Infokus mereka sorotkan ke dinding kamar. Menit berikutnya sebuah video rekaman sudah diputar. Rekaman dari CCTV di hotel tempat Alva dan Nirmala sempat berada di sebuah kamar tanpa busana. Terlihat jelas saat dua orang pria menurunkan tubuh Alva dan Nirmala dari dalam sebuah mobil. Keduanya lalu membawa Alva dan Nirmala masuk ke dalam kamar hotel. “Apa ini?” teriak Riani tiba tiba. “Hentikan itu! Mama enggak sanggup melihat hal yang menakutkan seperti itu!” pintanya pura-pura memelas. Alva melambaikan tangan, sebagai isyarat agar Dion menghentikan dulu memutar videonya. “Kenapa Mama enggak nanya, kenapa aku dan Nirmala bisa dalam keadaan tak sadarkan diri seperti itu? H
“Kau bilang apa barusan? Alva akan menikahi Nirmala, setelah menalak kamu?” Riany tersentak kaget. kedua bola matanya membulat sempurna. Sedikitpun dia tak menyangka, semua harapannya begitu mudahnya terlaksana. Awalnya, tak muluk cita-citanya. Cukuplah Elma setuju Alva menikahi Nirmala. Dia sudah sangat bahagia. Karena dengan begitu, dia akan mendpat cucu dari Nirmala. Anak kandung Alva, darah dagingnya, penerus marga dan keturunannya. Tak apa meski Nirmala hanya istri kedua. Sebab kalau mengharap cuuc dari Elma, itu sangat tidak mungkin. Elma pernah diponis menderita kangker rahim. Sudah dilakukan operasi besar juga. Besar kemungkinan rahim Elma sudah diangkat juga. Harapannya ternyata dikabulkan Tuhan berlipat ganda. Bukan hanya Alva yang akan menikahi Nirmala, tetapi juga Elma akan mengundurkan diri sebagai menantunya. Artinya, Nirmala akan menjadi satu satunya istri buat Alva. Ratu di keluarga Sinulingga, hanya Nirmala saja. Keturunan langsung keluarga besar itu. Bukan Elma,
“Kenapa kau bisa tidur dengan Alva! Dasar kau memang manusia tak tau terima kasih! Kurang baik apa Elma sama kamu selama ini! Kenapa kau malah mencuri suaminya! Dasar kau memang keturunan Bina tang! Kau mau menyakiti hati Elma, iya? Kurang baik apa dia sama kamu, Nirmala …! Kenapa begini balasanmu!” lanjut Riani lagi memaki dan mengumpat dengan kata kata kasar.“Ma! Ada apa ini?” Elma mendorong pintu kamar langsung menerobos masuk ke dalam. “Nirmala, kau sudah pulang?” tanyanya menoleh kepada Nirmala.“Lihat perempuan sundal ini, Elma! Dia sudah berjinah dengan suamimu! Dia tega berselingkuh di belakangmu, Elma," teriak Riani pura-pura histeris.“Aku tidak selingkuh, Tante! Bang Alva yang sudah menjebak aku, entah apa yang terjadi aku enggak sadar. Saat aku bangun, aku sudah berad di dalam sebuah kamar hotel bersama Bang Alva. Bang Alva yang sudah perkosa aku, Tante!” jerit Nirmala tak terima tuduhan sang Tante.“Jangan ngarang kamu! Jangan pura-pura jadi korban! Akui saja, kalau ka
“Elma …! Kau ngomong apa! Menikah apa?! Aku tidak mau …!” teriak Alva histeris. Elma tak menghiraukan. Langkahnya makin panjang keluar dari kamar.“Kak El, aku juga enggak mau nikah sama Bang Alva!” Nirmala ikut berteriak. Namun, dia tak bisa mengejar Elma. Dia maish sibuk mengenakan seragam sekolahnya kembali.“Elma … tunggu!” Alva menangkap lengan Elma dari belakang. Terpaksa Elma menghentikan langkah. Namun, detik berikutnya sebuah tamparan langsung dia layangkan tepat di pipi Alva.“Sudah kubilang, jangan pernah sentuh aku lagi! Aku jijik padamu, paham!” tegasnya lalu meneruskan langkah.Alva terperangah, meraba pipinya yang panas. Elma sedang benar-benar marah. Dia bisa berbuat apa sekarang? Tak ada, selain pasrah.“Aku akan buktikan kalau aku tidak bersalah,” ucapnya lirih. Sebuah tekat terpatri di dalam benak. Semua ini akan bisa diusut tuntas. Akan dia buktikan kalau dia bukan pria bejat seperti anggapan Elma saat ini.“Bang Al, saya harus meningglkan Abang! Saya akan setiri
Elma berdiri kaku di ambang pintu, menatap nanar pemandangan di atas ranjang. Suaminya berbaring dengan tanpa busana sehelai benang. Hanya ujung kain sepre yang menutup bagian selangkangan.Sementara Nirmala, gadis yang selama ini sudah menumpang hidup di rumahnya. Dia biayai pendidikanya, dia tanggung makan dan biaya hidupnya. Saat ini, dia dapati tengah berda di satu ranjang yang sama dengan suaminya. Dalam keadaan sama. Bahu, pundak dan dada atas gadis itu terlihat tanpa penutup apapun juga. Hanya sehelai selimut tipis yang menutupi batas kaki hingga wilayah dada.“Kalian?” lirihnya tercekat. Hilang suara di kerongkongan. Langit serasa runtuh, kini ambruk menimpa dirinya. Searas seluruh tubuhnya remuk. Redam, tak lagi berbentuk. Elma merasakan sakit, sangat sakit, tapi entah di bagian mana.Entah dengan kekuatan apa, dia akhirnya berhasil menggerakkan kakinya. Meski tungkainya terasa tak bertenaga. Elma merasa tubuhnya ringan, melayang, tubuhnya lalu menghampiri kedua sosok yang
“Nirmala bangun! Nirmala …! Banguuuun!” Alva mengguncang bahu polos Nirmala. Panik yang melanda pria itu membuat dia bingung harus berbuat apa sekarang. Pacu jantungnya semakin tidak karuan. Bingung, takut, khawatir, marah, kecewa, bercampur dan mengaduk perasaannya.“Eeeehm …, di mana ini? Palaku sakit banget, mataku sepat ….” racau Nirmala masih saja terpejam. Hanya bibirnya yang bergerak gerak saat berusaha berucap.“Buka mata kamu! Lihat apa yang terjadi ini, Nirmala! Bangun!” perintah Alva meski dia sendiri hanya mampu bersuara tanpa bisa bergerak. Otaknya serasa buntu untuk memerintahkan anggota badan untuk berbuat sesuatu meski hanya untuk mengenakan pakaiannya kembali.“Astaga! Apa yang telah terjadi ini sebenarnya? Apa yang telah aku lakukan? Kenapa aku ada di kamar ini?” Alva memukul mukul keningnya.“Oooough …! Ini di mana?” Nirmala menguap panjang, lalu mengulet lagi hendak melanjutkan tidur.“Bangun Nirmala! Kita dalam masalah besar!” sergah Alva sekali lagi menggunca