“Sebenarnya, sejak mengetahui siapa Nayra yang sebenarnya, tante sudah yakin kamu adalah wanita yang terbaik buat Alva. Saat itu juga tante bersumpah tak akan memaksa Alva menikahi keturunan Rosma,” tutur Riani dengan tangan mengepal. Aneh, kenapa Riani sepertinya sangat marah saat menyebut nama Rosma. Sorot mata cekungnya berubah nyalang, sepertinya menyimpan dendam yang begitu berkobar. “Rosma? Siapa Rosma?” tanya Elma menyipitkan kedua kelopak mata. Sepertinya ini memang benar-benar rahasia Riani, dan Elma penasaran ingin mengetahui karena kini dirinya terkait di dalamnya. “Rosma, Ibunya Nayra. Perempuan paling terkutuk yang tante kenal. Sayangnya tante terlambat mengetahuinya. Selama puluhan tahun mereka menyembunyikan bangkai busuk itu, mereka bungkus dengan begitu rapi hingga tak seorangpun mengetahuinya. Sakit hati tante, Elma.” Kembali Riani sesegukan. Alva segera bangkit dari sofa, berjalan terburu ke arah ranjang. “Kenapa, Sayang? Kenapa Mama menangis lagi?” tanyanya
Haruskah Alva mengurungkan niatnya? Kalau diurungkan, bagaimana cara melampiaskan amarah yang sedang berkobar di dalam dada? Ke mana amarah ini akan dia salurkan? Elma menyalakan ponselnya, lalu menekan nomor Nara, kasir kepercayaannya. “Hallo Nara! Kamu ada dihubungi Bang Andre, enggak ya, sejak dia pergi tadi?” tanyanya begitu panggilan tersambung. “Tidak ada, Kak. Sebenarnya aku juga sangat khawatir, udah aku coba telpon berkali-kali, tapi hapenya tidak aktif, Kak. Bang Andre di mana, ya? Apakah benar ke makam ibunya?” jawab Nara dengan nada panik. “Mungkin iya. Kamu tidak usah panik. Ya, sudah. Begini saja, tolong kamu suruh Naya ke rumah sakit sekarang! Rumah sakit tempat Mama Bang Andre di rawat! Naya udah tahu, kok! Dan kamu siap siap di rumah! Aku dan Bang Alva akan singgahi kamu. Toko tutup aja! Kita cari Bang Andre sama-sama!” “Oh, baik, Kak! Tapi, Bang Andre enggak kenapa-napa, kan, Kak?” “Tenang, Bang Andre pasti baik-baik saja! Kamu siap-siap, ya! Kami segera ke r
Andre tak membalas pesan yang masuk ke dalam ponselnya. Segera dia kembalikan ponsel itu ke dalam saku celana panjangnya, lalu kembali fokus mendengarakan perbincangan dua orang di sisi makam ibunya. “Jangan sedih lagi, Pa. Yang penting Papa sudah tahu kebenarannya. Saat ini mungkin polisi yang papa telpon tadi sudah bergerak ke rumah sakit untuk menangkap Bang Zulian. Begitu Dokter mengatakan dia sembuh, polisi akan segera membawanya ke penjara. Laki-laki bangsat itu harus dihukum seberat-beratnya, iyakan Pa?” Itu suara Rosma. Andre tergidik ngeri. Betapa busuknya otak perempuan itu. Setelah gagal hendak melenyapkan selingkuhan, kini dia mendekati kakek untuk mencari perlindungan. Perlindungan? Hanya itukah yang dia harapkan dari sang kakek? Atau ada rencana lain? “Kenapa baru sekarang kau bongkar rahasia besar ini, Ros? Kenapa tidak dari dulu? Setelah Zulian berhasil menghancurkan semuanya, baru kau bongkar!” Terdengar suara sang Kakek begitu lirih. “Saya diancam Bang Zulian,
Andre bergeming. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Semudah itukah memaafkan semua kesalahan sang kakek pada ibunya? Tidak! Kenapa dia tidak menyelidiki sampai tuntas apa sebenarnya yang terjadi kala itu. Kenapa dia tega mengasingkan ibunya saat hamil, lalu begitu dirinya lahir, langsung pula dipisahkan. Derita lahir batin ibunya, bahkan dia bawa ke liang kubur. Jika benar ibunya seorang perempuan murahan hingga hamil di luar nikah, Andre masih bisa memaklumi. Itu sebab dia bertahan selama ini di keluarga Sinulingga meski diperlakukan bak seonggok sampah. Aku akan tebus kesalahan ibuku di masa lalu yang telah mencoreng nama baik keluarga, begitu tekatnya selama ini. Namun, saat mengetahui ibunya sama sekali tak bersalah, semuanya pun berubah. “Maaf, Pak! Ini ada apa, ya?” Penjaga makam datang tergopoh-gopoh menghampiri mereka. “Hari sudah mulai gelap, di sini penerangan dari lampu listrik masih kurang, Pak! Jadi, sebaiknya jiarahnya di sudahi dulu. Eh, maaf, Ibu itu kenap
Elma mulai sibuk mengurus toko induk. Sudah dua hari ini dia memegang meja kasir. Nara sudah tak bekerja lagi untuk persiapan pernikahannya setelah dilamar oleh keluarga Andre seminggu yang lalu. Rencana pernikahan mereka memang sebulan lagi, tetapi keluarga sudah memingitnya. Keluarga Andre juga sudah meminta maaf pada Elma, mulai sekarang Nara tak mereka izinkan bekerja lagi sebagai kasir di toko induk. Tentu saja Elma tidak keberatan. Calon istri seorang pemilik perusahaan besar, masa iya masih bekerja di toko orang lain. Elma justru sangat bersyukur, akhirnya Nara yang dia bimbing dari awal bisa menjadi istri seorang pria terpandang. Andre juga sudah berhenti bekerja sebagai pengawas di seluruh toko Elma. Pria itu mulai fokus mengurus perusahaan keluarga besar Sinulingga. Tak mengapa. Seluruh toko Elma baik-baik saja. Meski Elma harus bekerja lebih ekstra. “Siang, Kakak cantik!” Elma mendongah. Seorang gadis berseragam putih abu-abu berjalan ke meja kasir. “Nirmala? Kamu da
Benar kata Alva, watak asli Riani sudah mendarah daging. Tak akan pernah bisa berubah kecuali darah yang mengalir ditubuhnya dikeluarkan dulu lalu ganti seluruhnya. Uh, mikir apa sih aku? Elma memijit keningnya yang tiba-tiba berdenyut parah.Kejadian siang ini bagai mimpi buruk baginya. Kembali fokus kepada orderan dan laporan dari toko cabang, mungkin bisa segera membangunkannya. Mimpi buruk ini harus segera dihentikan. Elma menjadi linglung. Angka-angka di layar terlihat buram di matanya.Sia-sia, Elma tak bisa fokus.“Elma! Ini sudah kita bahas, tolong jangan tambahi beban pikiran aku, ok!” Alva memegang dagu wanita itu, membawa wajah Elma agar kembali menatapnya.“Maaf, ini di toko. Tolong sopan sedikit!” sergah Elma menepis tangan Alva. Kecewa pada Riani, dia lampiaskan kepada sang kekasih. Elma juga wanita biasa. Punya hati yang sama dengan wanita lain, memang begitu lembut namun tetap saja ada batas sabar.“Bang Anto …!” Alva berteriak memanggil sang kepala gudang.“Iya,
“Iya, Dek. Alva nelpon, kami semua disuruh sesegera mungkin datang ke Medan. Tapi, kenapa kau kaget. Apakah kau tidak tahu menahu akan hal ini?” Arfan menghampiri Elma. Wajahnya terlihat ikut tegang. “Sebentar-sebentar, jadi maksudnya Bang Alva mau nikah sama Kakak, sementara Kakak sendiri tak tahu apa-apa, begitu?” Titian ikut tegang. “Waduh, bagaimana ini, mana semua sodara udah pada datang lagi. Bagaimana cara kita menjelaskan ini pada mereka?” tanya Titian lagi. “Bentar, aku telpon dia. Kalian masuk saja, tolong temani tamu-tamu kita, ya! Jangan sampai mereka merasa tidak diperhatikan di sini.” Elma menyalakan ponsel miliknya, lalu membawanya ke sudut teras, agar tak terdengar oleh para tamu yang sudah memenuhi rumahnya. “Hallo, Bang Alva?” sapa Elma berusaha tetap tenang begitu panggilannya terhubung. “Ya, Sayang, kenapa?” Santai, terdengar nada suara Alva begitu santai. Padahal di sini suasana sudah begitu heboh akibat perbuatannya. Bagaimana kalau ternyata Alva haya berc
Sinulingga terlihat begitu gagah dengan balutan Jas berwarna abu-abu di tubuhnya. Terlihat wajahnya begitu semringah. Pria itu tak lagi menggunakan kursi roda. Sebuah tongkat dia gunakan sebagai penggantinya. Dia sudah bisa berjalan, meski pelan-pelan. Yogi setia mendampinginya. Alva terlihat semakin tampan dengan setelan yang sengaja disiapkan Andre dan Nara. Meski dipersiapkan dnegan begitu buru-buru dan dengan tempo yang sesingkat-singkatnya, namun semua terlihat begitu sempurna. Seolah-olah pernikahan ini sudah disiapkan sejak lama. Alva tak sabar menanti Elma keluar dari kamar. Betapa dia sangat merindukan kekasihnya. Penasaran ingin melihat ekspresi marah sang kekasih. Pasti gelisah dan panik tengah melanda wanita itu. Wanita yang beberapa saat lagi akan resmi menjadi miliknya. “Penghulunya sudah datang, cepat kau telpon Elma, suruh keluar!” bisik Andre di dekat telinga Alva. “Sudah aku coba telpon dari tadi. Tapi, tidak aktif! Coba suruh dipanggil oleh Nara saja! A
“Vita, sambil tengokin adek, ya! Tante mau buatkan jus buah!” titah Nirmala seraya bangkit. Ini hari keempat dia menemani anak-anak Elma. “Ya, Tante. Buatin buat Vita sekalian, ya, Tan! Gerah banget, nih!” sahut Vita tetap fokus dengan buku pelajaran di tangannya. Gadis kecil berusia delapan tahun itu akan menghadapi ujian kenaikan kelas besok. Itu sebab dia harus belajar keras hari ini. “Tampan mau jus enggak, biar Tante bawa sekalian?” teriak Nirmala lagi. “Mau, Tan! Pakai es yang banyak, ya!” sahut bocah laki-laki berusia lima tahun dari halaman. Dia tengah asik bermain bola sendirian. Keringat mengucur deras di dahi dan punggungnya. Nirmala bergerak ke dalam rumah. Vita tenggelam dengan bukunya ketika Tampan bergerak mendekati pintu pagar. Bola yang sedang dia mainkan terlempar ke luar. Berusaha menjangkau bola melalui celah besi pagar, bocah itu mulai putus asa. “Kakak, bolanya keluar!” teriaknya sedih. “Biar aja, ambil bola yang lain aja! Jangan keluar!” sang kakak b
“Andre, kalian datang?” Serempak Sinulingga, Riani dan Anyelir menoleh. “Bagaimana keadaan Kak Elma, Kak Anyelir?” tanya Nara setelah menghirup napas beberapa kali. terlihat dia begitu kelelahan dengan perut yang kian membesar. Di usia kandungan yang ke tujuh bulan, wanita itu memang mulai mudah lelah. “Elma masih ditangani Dokter. Kamu baik baik saja? Ngapain ikut ke rumah sakit ini kalau kamu sendiri dalam keadaan hamil besar begini?” tanya Anyelir membantu Nara untuk duduk. “Aku khawatir, takut Kak Elma kenapa napa. Secara dia pernah hampir meninggal dulu karena serangan kanker rahim, kan?” dalih Nara sedih. “Kok bisa Elma drop, apa yang terjadi?” tanya Andre cemas. “Ini semua salah mama,” lirih Riani bersuara. Semua terpana. “Mama melakukan apa lagi” Andre menatapnya gusar. “Mama gak bisa terima kalau ternyata Alva enggak bakal pernah bisa punya anak. Mama sedih. Mama tak bisa menerima kenyataan. Nyatanya, Mama tk bisa berbuat apa-apa. Alva sudah menjatuhkan pilihan.
“Maksud kamu? Mama … harus pergi dari sini?” tanya Alva menyipitkan kedua netranya. terkejut mendengar permintaan Elma. “Ya, maaf! Aku tidak mau Mama ada di sini! Di rumah ini. Setidaknya sampai hatiku kembali tenang,” lirih Elma lalu berjalan pergi meninggalkan kegaduhan. “Elma kau mengusir mama? Berani kau mengusir ibu mertuamu, hah?” Riani hendak mengejar Elma, tetapi segera ditahan oleh Anyelir. “Kau tidak bisa mengusirku, Elma! Mana janjimu untuk minta talak pada anakku? Mana janjimu akan menikahkan Alva dengan Nirmala! Kau penipu, Elma!” teriaknya memaki-maki Elma. Sontak Elma menghentikan langkah. Berbalik, lalu menatap ibu mertuanya penuh kecewa. Jemarinya memijit kening, pandangannya tiba-tiba gelap. Elma ambruk ke lantai. “Sayang!” Alva menangkap tubuhnya. “Elma, Sayang …! Kamu kenapa? El?” panggilnya seraya menepuk lembut pipi Elma. Namun, tak ada respon. “Denyut nadinya lemah banget!” seru Anyelir panik saat meraba pergelangan tangan Elma. “Kenapa? Kak Elma ken
“Alva …?” Riani tersentak kaget. “Apa maksud kamu, Nak? Rencana apa? Mama enggak paham?” lanjutnya memasang wajah paling sedih. Dramanya masih berlanjut. “Enggak usah pura-pura lagi, deh, Ma! Dion, segera nyalakan proyektornya!” perintah Alva kepada anak buahnya. Dion dan Yopi segera melaksanakan perintah. Infokus mereka sorotkan ke dinding kamar. Menit berikutnya sebuah video rekaman sudah diputar. Rekaman dari CCTV di hotel tempat Alva dan Nirmala sempat berada di sebuah kamar tanpa busana. Terlihat jelas saat dua orang pria menurunkan tubuh Alva dan Nirmala dari dalam sebuah mobil. Keduanya lalu membawa Alva dan Nirmala masuk ke dalam kamar hotel. “Apa ini?” teriak Riani tiba tiba. “Hentikan itu! Mama enggak sanggup melihat hal yang menakutkan seperti itu!” pintanya pura-pura memelas. Alva melambaikan tangan, sebagai isyarat agar Dion menghentikan dulu memutar videonya. “Kenapa Mama enggak nanya, kenapa aku dan Nirmala bisa dalam keadaan tak sadarkan diri seperti itu? H
“Kau bilang apa barusan? Alva akan menikahi Nirmala, setelah menalak kamu?” Riany tersentak kaget. kedua bola matanya membulat sempurna. Sedikitpun dia tak menyangka, semua harapannya begitu mudahnya terlaksana. Awalnya, tak muluk cita-citanya. Cukuplah Elma setuju Alva menikahi Nirmala. Dia sudah sangat bahagia. Karena dengan begitu, dia akan mendpat cucu dari Nirmala. Anak kandung Alva, darah dagingnya, penerus marga dan keturunannya. Tak apa meski Nirmala hanya istri kedua. Sebab kalau mengharap cuuc dari Elma, itu sangat tidak mungkin. Elma pernah diponis menderita kangker rahim. Sudah dilakukan operasi besar juga. Besar kemungkinan rahim Elma sudah diangkat juga. Harapannya ternyata dikabulkan Tuhan berlipat ganda. Bukan hanya Alva yang akan menikahi Nirmala, tetapi juga Elma akan mengundurkan diri sebagai menantunya. Artinya, Nirmala akan menjadi satu satunya istri buat Alva. Ratu di keluarga Sinulingga, hanya Nirmala saja. Keturunan langsung keluarga besar itu. Bukan Elma,
“Kenapa kau bisa tidur dengan Alva! Dasar kau memang manusia tak tau terima kasih! Kurang baik apa Elma sama kamu selama ini! Kenapa kau malah mencuri suaminya! Dasar kau memang keturunan Bina tang! Kau mau menyakiti hati Elma, iya? Kurang baik apa dia sama kamu, Nirmala …! Kenapa begini balasanmu!” lanjut Riani lagi memaki dan mengumpat dengan kata kata kasar.“Ma! Ada apa ini?” Elma mendorong pintu kamar langsung menerobos masuk ke dalam. “Nirmala, kau sudah pulang?” tanyanya menoleh kepada Nirmala.“Lihat perempuan sundal ini, Elma! Dia sudah berjinah dengan suamimu! Dia tega berselingkuh di belakangmu, Elma," teriak Riani pura-pura histeris.“Aku tidak selingkuh, Tante! Bang Alva yang sudah menjebak aku, entah apa yang terjadi aku enggak sadar. Saat aku bangun, aku sudah berad di dalam sebuah kamar hotel bersama Bang Alva. Bang Alva yang sudah perkosa aku, Tante!” jerit Nirmala tak terima tuduhan sang Tante.“Jangan ngarang kamu! Jangan pura-pura jadi korban! Akui saja, kalau ka
“Elma …! Kau ngomong apa! Menikah apa?! Aku tidak mau …!” teriak Alva histeris. Elma tak menghiraukan. Langkahnya makin panjang keluar dari kamar.“Kak El, aku juga enggak mau nikah sama Bang Alva!” Nirmala ikut berteriak. Namun, dia tak bisa mengejar Elma. Dia maish sibuk mengenakan seragam sekolahnya kembali.“Elma … tunggu!” Alva menangkap lengan Elma dari belakang. Terpaksa Elma menghentikan langkah. Namun, detik berikutnya sebuah tamparan langsung dia layangkan tepat di pipi Alva.“Sudah kubilang, jangan pernah sentuh aku lagi! Aku jijik padamu, paham!” tegasnya lalu meneruskan langkah.Alva terperangah, meraba pipinya yang panas. Elma sedang benar-benar marah. Dia bisa berbuat apa sekarang? Tak ada, selain pasrah.“Aku akan buktikan kalau aku tidak bersalah,” ucapnya lirih. Sebuah tekat terpatri di dalam benak. Semua ini akan bisa diusut tuntas. Akan dia buktikan kalau dia bukan pria bejat seperti anggapan Elma saat ini.“Bang Al, saya harus meningglkan Abang! Saya akan setiri
Elma berdiri kaku di ambang pintu, menatap nanar pemandangan di atas ranjang. Suaminya berbaring dengan tanpa busana sehelai benang. Hanya ujung kain sepre yang menutup bagian selangkangan.Sementara Nirmala, gadis yang selama ini sudah menumpang hidup di rumahnya. Dia biayai pendidikanya, dia tanggung makan dan biaya hidupnya. Saat ini, dia dapati tengah berda di satu ranjang yang sama dengan suaminya. Dalam keadaan sama. Bahu, pundak dan dada atas gadis itu terlihat tanpa penutup apapun juga. Hanya sehelai selimut tipis yang menutupi batas kaki hingga wilayah dada.“Kalian?” lirihnya tercekat. Hilang suara di kerongkongan. Langit serasa runtuh, kini ambruk menimpa dirinya. Searas seluruh tubuhnya remuk. Redam, tak lagi berbentuk. Elma merasakan sakit, sangat sakit, tapi entah di bagian mana.Entah dengan kekuatan apa, dia akhirnya berhasil menggerakkan kakinya. Meski tungkainya terasa tak bertenaga. Elma merasa tubuhnya ringan, melayang, tubuhnya lalu menghampiri kedua sosok yang
“Nirmala bangun! Nirmala …! Banguuuun!” Alva mengguncang bahu polos Nirmala. Panik yang melanda pria itu membuat dia bingung harus berbuat apa sekarang. Pacu jantungnya semakin tidak karuan. Bingung, takut, khawatir, marah, kecewa, bercampur dan mengaduk perasaannya.“Eeeehm …, di mana ini? Palaku sakit banget, mataku sepat ….” racau Nirmala masih saja terpejam. Hanya bibirnya yang bergerak gerak saat berusaha berucap.“Buka mata kamu! Lihat apa yang terjadi ini, Nirmala! Bangun!” perintah Alva meski dia sendiri hanya mampu bersuara tanpa bisa bergerak. Otaknya serasa buntu untuk memerintahkan anggota badan untuk berbuat sesuatu meski hanya untuk mengenakan pakaiannya kembali.“Astaga! Apa yang telah terjadi ini sebenarnya? Apa yang telah aku lakukan? Kenapa aku ada di kamar ini?” Alva memukul mukul keningnya.“Oooough …! Ini di mana?” Nirmala menguap panjang, lalu mengulet lagi hendak melanjutkan tidur.“Bangun Nirmala! Kita dalam masalah besar!” sergah Alva sekali lagi menggunca