Pukul satu dini hari, kantuk sepertinya masih enggan menghampiri. Aku menyesap secangkir susu coklat hangat dan berharap susu coklat itu mampu membuatku tertidur lelap.
Namun hingga lima menit berlalu sejak isi dalam cangkirku tandas, rasa kantuk masih belum mau berteman denganku.
Miris. Padahal lantunan instrumen pengantar tidur milik Depapepe yang berjudul Wedding Bell sudah ikut menemani sejak dua jam yang lalu.
Entah ke mana semua kantukku ini pergi?
Aku menengadah menatap langit-langit kamar. Teringat kembali pengakuan Kevan tadi. Pada akhirnya segala tanda tanya yang selama ini hanya aku dan Lintang pertanyakan terbuka dengan sendirinya.
Pertanyaan-pertanyaan kenapa Kevan seringkali terlihat aneh. Bagaimana dulu aku menemukan foto dalam galeri handphone-nya, sahabatku itu berdandan layaknya wanita. Dia beralasan itu ulah teman-temannya.
"Itu kerjaan temen-temen gue. Gue kalah taruhan bola. Sebagai hukumannya harus dandan kayak gitu," ucap Kevan kala itu. Usianya masih tujuh belas tahun, masih kurus, tetap ganteng tapi belum mengenal perawatan salon. Belum aktif nge-gym seperti ketika dia dewasa.
"Trus, lo mau gitu, didandanin begini?" Dia memandangku sendu setelah mendapat omelan seperti itu. Aku tak habis pikir. Memangnya tak ada lagi hal lain yang bisa dilakukan selain mendandani laki-laki hingga secantik itu?
"Teman-temen gue yang maksa--" Dia menggantung ucapan, karena bunyi telpon masuk terdengar. Kevan memberi kode dengan tangan, meminta izin untuk mengangkat telpon sebentar.
Setelah Kevan berjalan agak menjauh, aku dan Lintang mengamati foto itu lagi. Dalam foto tersebut, sahabatku itu memakai wig panjang, lengkap dengan make up yang membuatnya terlihat cantik. Lelaki itu juga mengenakan dress berwarna hitam, entah apa yang dilakukannya hingga membuat buah dadanya ikut menonjol ke atas. Apakah ia menggunakan push up bra?
Tapi dari semua hal itu yang lebih menggelikan adalah ekspresinya yang sedang menggigit bibir. Aku memandang Lintang, Lintang juga ikut memandangku dengan mulut yang lupa terkatup.
"Kalo dipaksa kenapa ekspresinya bikin geli ya?" bisik Lintang ketika Laki-laki itu sedang sibuk mengangkat telpon di ambang pintu kamar.
Kuperhatikan foto itu dengan seksama dan membenarkan ucapan Lintang tadi. Ada rasa tak percaya melihat penampilan Kevan yang seperti ini.
"Iya. Laki-laki kan biasanya risih." Suaraku melemah sembari menatap Kevan yang sedang berdiri membelakangi kami berdua. Sulit menerima atas apa yang barusan kulihat. Karena laki-laki biasanya akan antipati dengan sesuatu yang berhubungan dengan make up. Apalagi ekspresi wajah seperti tadi. Laki-laki normal jelas tidak akan berlaku demikian.
Itu adalah awal kecurigaanku dan Lintang. Semakin lama semakin banyak hal yang terbuka, ini adalah salah satu contohnya. Aku pernah memergoki Kevan tengah memperhatikan majalah pria dewasa. Pria-pria ganteng dengan perut sixpack-nya.
Dia tidak sadar bahwa pada saat itu, aku sedang memperhatikannya dari belakang. Setiap kali dia menoleh, aku berpura-pura sibuk dengan ponselku, menggeser-geser layarnya yang gelap karena baterainya yang lemah.
Dengan cara itu, Kevan tak akan pernah tahu segala aktivitasnya sedang menjadi pusat perhatian. Aku bisa leluasa merekam semua yang terjadi melalui netraku. Dan itu terkenang hingga sekarang.
❤️
Seandainya Kevan tahu bahwa seringkali aku dan Lintang membuntuti dia dari belakang. Mengikuti aktivitasnya hanya untuk memastikan kecurigaan kami berdua. Aku tak bisa membayangkan semarah apa dia nanti.
Bahkan aku dan Lintang pernah melihatnya pulang dengan seorang pria. Mereka berciuman layaknya pasangan yang sedang dimabuk cinta. Dari pengakuan Kevan kemarin bahwa dia pernah melayani nafsu seorang pria satu kali, maka aku menduga pria tersebutlah orangnya.
Kevan terpaksa melakukan itu. Karena kondisi keuangannya sedang berada di bawah pada saat itu.
Kehidupan Kevan terdahulu tak semudah sekarang. Dulu ketika usianya masih delapan belas tahun, karena permasalahan dalam keluarga ia terpaksa keluar dari rumah. Bukan diusir, melainkan dirinya sendiriah yang memutuskan untuk pergi.
Tanpa pekerjaan, tanpa sepeser uang pun di tangan, ia meninggalkan rumah, zona nyamannya selama ini.
Karena keputusan gegabahnya, ia pernah dua hari tidak makan, hanya minum air sebanyak yang ia bisa. Satu hal sederhana yang bisa dilakukan, bertahan hidup ditengah-tengah segala kekurangan.
"Kalo cuma untuk makan aja, lo bisa ke rumah gue atau Lintang, Kev. Lo nggak perlu kelaperan kayak gini."
Sahabatku ini makan dengan begitu lahap ketika aku dan Lintang mendatangi kostannya.
Aroma nasi padang memenuhi ruangan ini; menu yang Lintang bawa untuk makan siang Kevan.
Kulayangkan pandangan ke ruangan kost Kevan. Begitu sederhana. Hanya berukuran sekitar dua kali empat meter, terdiri dari satu dipan kecil saja. Jangankan televisi dan AC, kipas angin pun tak ada di sini.
Pikiranku menerawang, membayangkan bagaimana ia bertahan hidup di tengah segala kekurangan.
"Yang penting masih ada tempat berteduh." Kevan tersenyum. Bersyukur karena masih memiliki tempat untuk pulang, terhindar dari panas dan hujan.
"Gue nggak mau nyusahin lo berdua," sambungnya lagi, membuatku kembali dari lamunan.
Mulutnya masih sibuk mengunyah dengan sangat nikmat. Aku bahagia melihat ia makan dengan lahap. Makan yang banyak ya. Kev. Sedih rasanya melihatnya seperti ini.
"Nyusahin apaan sih? Di rumah gue, beras sama telor juga banyak. Gue ikhlas." Lintang mengucapkan itu dengan mata sendu dan bibir yang kehilangan senyum. Sama sepertiku, ia juga bersedih.
"Gue sanggup nahan laper. Tenang aja. Gue nggak mau ngerepotin lo berdua." Sahabatku selalu seperti ini, mengatakan ia baik-baik saja walaupun kenyataannya tidak.
Ada sifat dalam dirinya yang tak mau menjadi beban bagi orang lain. Pada akhirnya sifat yang demikianlah yang membuat ia menjadi semakin susah.
"Lo ngomong apa sih, Kev? Kalo mikirnya kayak gitu apa gunanya kita sahabatan? Lo turun berapa kilo, sih? Kurus banget." Lintang memandangi wajah Kevan. Lelaki berhidung mancung itu terlihat tirus, dengan tulang pipi yang mulai menonjol.
"Gue nggak nimbang. Tapi emang kurusan. Celana pada kedodoran semua." Dia tertawa sembari mengambil botol air mineral, menegaknya hingga tandas.
"Tuh, kan, pantes lo kurusan. Besok-besok, lo telpon gue atau Aya kalo kurang duit ya. Nggak usah ngerasa malu."
"Nggak usah khawatir. Besok gue mulai kerja kok jadi SPB (Sales Promotion Boy). Lumayan buat sehari-hari." Lalu ia mulai asik menggigit Donut Jco nya setelah tadi menghabiskan sebungkus nasi padang.
Kalau boleh aku sedikit bercerita, dari Sales Promotion Boy lah sahabatku itu mengawali kariernya. Dia juga mulai meningkatkan kemampuan dengan mengikuti berbagai macam training di bidang marketing pada waktu itu.
"Gue harus ikut banyak training supaya kemampuan gue nambah. Karena gue nggak mungkin kuliah," tuturnya dengan tatapan sendu, tanpa senyum sedikit pun.
Kondisinya yang sedang bermasalah dengan orang tua angkat, membuat ia mengubur dalam-dalam mimpi untuk bisa menginjakkan kaki di bangku kuliah. Mimpi yang dulunya ia bentangkan setinggi-tingginya namun terpaksa redup karena keadaan.
Usaha Kevan mengikuti berbagai macam training itu pun membuahkan hasil. Di usia ke dua puluh empat tahun, ia berhasil menjadi Departement Head Trainer Eksekutif. Satu-satunya orang yang bisa berada pada posisi itu dengan pendidikan yang hanya setamat Sekolah Menengah Atas saja.
"Gue pengin suatu saat bisa tinggal di apartemen, naik turun mobil dengan supir pribadi yang nemenin. Dengan gaya metroseksual yang bikin gue jadi makin keren."
Itu adalah sebagian mimpi yang pernah diucapkannya dulu, ketika aku dan dia sedang duduk-duduk di bawah pohon mangga depan rumahku. Kami berdua pernah ada di masa itu, membentangkan mimpi setinggi-tingginya, berharap angin menerbangkan mimpi kami untuk disampaikannya kepada pemilik semesta.
"Karena mimpi itu gratis, maka bermimpilah. Dan kejar mimpi itu sampai Tuhan memanggilmu pulang," ujarnya menambahi.
Bagi Kevan menjadi seorang Departement Head Trainer Eksekutif saja ternyata tak cukup. Ia merasa memiliki gaji besar tapi tak memiliki tabungan karena sifatnya yang boros.
Maka, sahabatku itu mulai berpikir keras, apa yang bisa dilakukan agar tabungan yang dimiliki bisa menghasilkan sesuatu.
Ia pun memutuskan untuk keluar dari zona amannya. Berhenti bekerja dan mulai membangun bisnis.
Bisnis telur ayam adalah pilihan yang dia ambil pada saat itu. Tapi gagal, karena banyak kendala. Telur pecah dan busuk sebelum sampai ke depo adalah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan setiap hari.
Ia mencoba peruntungan lain, peternakan ayam dan peternakan ikan juga pernah dicoba. Namun kembali gagal.
Sisa uang di tabungan mulai menipis. Kevan mulai bingung harus membuat bisnis apalagi, semua sudah dicoba tapi keberuntungan masih belum juga berpihak.
Hingga suatu hari, ia ingin membeli dompet yang dapat diisi untuk dua jenis handphone. Di toko online, ia mendapat dengan harga seratus lima puluh ribu rupiah. Mungkin nasib sedang berpihak padanya, tanpa sengaja ia bertemu salah seorang teman yang memiliki konveksi dompet seharga lima puluh ribu rupiah saja.
"Ay, ini kesempatan gue. Lo tahu, ini dompet lagi tinggi peminatnya? Di online shop harganya bisa sampe seratus lima puluh ribu. Ini gue dapet harga murah. Bego aja kalo gue ngelewatin gitu aja, ini kesempatan gue."
Maka berawal dari sanalah, ia belajar membangun bisnisnya. Dari posisi masih merangkak, belajar tertatih, terjatuh, bangkit kembali, mulai bisa berjalan dan akhirnya berlari.
Dimulai dari satu toko ke toko lain, kini seorang Kevan bisa memiliki outlet sendiri yang tersebar di Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
Bahkan usaha dompet kulitnya ini bukan hanya merajai pangsa pasar di dalam saja, tapi juga luar negeri. Sebagai sahabat, tentu saja aku bangga. Karena ia berhasil membuktikan bahwa dengan kerja keras tak ada hal yang sia-sia.
Namun sayangnya, kesuksesannya di bidang bisnis tak dibarengi dengan kesuksesan dalam hal percintaan. Kevan sering mengatakan padaku tak pernah terpikir akan menikah. Aku pikir itu hanya gurauan semata. Tapi ternyata salah. Dia benar-benar serius akan ucapannya.
Terbukti ia pernah memutuskan tak melanjutkan kuliah hanya karena merasa tak nyaman dikejar-kejar teman wanita yang menyukainya.
"Agresif banget dia. Gue takut ... " ucap Kevan kala itu memberikan alasan setelah ketahuan olehku dan Lintang bahwa statusnya tak lagi menjadi mahasiswa.
"Cuma perkara cewek doang?" tanya Lintang tak habis pikir. "Ampun dah, Kev." Ia pun berjalan mondar mandir sembari memegang keningnya. Pusing.
"Ya gimana, gue udah nggak nyaman," sahut Kevan santai.
"Lo udah semester empat. Sayang banget tau! Ini kan kesempatan lo. Dari dulu kan lo pengen kuliah, Kev." Mungkin Kevan sedang lupa salah satu mimpinya yang lain. Jadi aku sengaja mengingatkannya lagi.
Bisa meneruskan pendidikan hingga Universitas merupakan salah satu mimpi yang ingin dicapainya dulu. Dan itu bisa terwujud setelah ia sukses. Lantas hanya karena permasalahan wanita dia sampai menghentikan mimpinya begitu saja?
Betapa bodohnya ....
Pada saat itu, aku dan Lintang sampai bingung sendiri. Wanita itu kan hanya mengajaknya berpacaran, bukan menikah. Kenapa Kevan sampai ketakutan setengah mati?
"Lagian dia cuma ngajak pacaran. Wajahnya juga lumayan kok. Kenapa nggak dicoba dulu?" desak Lintang setelah Kevan memberi tahu aku dan Lintang bagaimana wajah gadis itu.
Aku dan Lintang sempat mengamati sosial medianya, tak ada yang salah dengan wajahnya. Cantik, mirip artis korea. Bahkan gayanya juga sangat mengikuti tren zaman sekarang. Tapi kenapa Kevan menolak ya? Dimana letak kurangnya?
"Kalian nggak ngerti sih ... " gumamnya, frustasi.
Pada saat itu, aku dan Lintang tak menyadari apa yang sebenarnya terjadi.
Hingga akhirnya pengakuan itu tercetus, maka dengan sendirinya segala tanda tanya itu pun menemukan jawabannya. Kevan gay, dia berbeda dan kami harus menerima.
Hari ini hari yang indah sebetulnya. Tapi berubah menyebalkan tatkala sahabatku itu tiba-tiba datang. Meminta bantuan di kala sebagian orang masih terlelap dengan tidurnya. Aku saja baru selesai mengenakan pakaian kerja, belum juga sarapan."Cyiiin, temenin gue Cyiin, please gue mohon banget. Ini antara hidup dan mati gue. Luthfi besok nikah. Dan gue nggak ada kesempatan lagi selain hari ini." Haduh, permintaan macam apa sih ini? Masa mau bertemu mantan pacar saja dia minta ditemani, memangnya mau mengambil raport sekolah?Aku tahu, Luthfi, mantan pacar Kevan ini memang akan melepas status menjadi suami, bagi wanita pilihan kedua orang tuanya. Tapi aku tak pernah berpikir bahwa Kevan akan nekat menemui lelaki bertubuh tinggi itu untuk yang terakhir kali."Aduh, lo ngapain sih, masih aja belom bisa move on dari
"Kev, lo balik pake aplikasi online aja ya? Udah telat, nih. Gue izin cuma setengah hari sama orang kantor, tapi ini udah lewat setengah hari." Sahabatku langsung menatapku dengan puppy eyes-nya setelah ucapan itu terlontar dari mulutku. Sudut bibirnya tertarik ke bawah hingga membentuk ekspresi sedih."Ay, please ..., temenin gue," pintanya, seperti biasa. Dia akan selalu seperti ini padaku, manja.Aku melirik arloji yang melingkar pada pergelangan tangan sebelah kiri. Pukul satu siang. "Nggak bisa, Kev. Gue harus masuk kantor. Ini aja gue harus lembur karena udah telat."Kevan menangkupkan tangan sebagai bentuk permohonan. "Please, Cyiiin, hati gue sakit banget sekarang. Lo nggak mau kan ada berita laki-laki ganteng nenggak baygon?" Aku mengembuskan nafas kasar. Ancaman macam
Aku meremas surat yang baru saja kubaca. Baru sebagian, namun cukup memahami makna dibaliknya. Oke, ini bukan surat cinta biasa, bukan. Sama sekali jauh dari itu semua. Karena tidak ada pujian ataupun sanjungan di sana. Karena ini adalah surat ... PHK.Tadi ketika membaca surat tersebut, mataku berhenti pada satu kalimat, 'Pemutusan Hubungan Kerja'. Kalimat yang sempat membuatku terpekur sesaat, memikirkan nominal di rekening apakah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup selama masa-masa tak berpenghasilan.Ini salahku.Aku izin tidak masuk kerja di waktu yang tak tepat. Ketika kantor sedang dalam keadaan darurat karena salah seorang klien besar mendadak mendaftarkan asuransi anaknya yang baru lahir. Bayi tersebut mengalami masalah sehingga harus menjalani operasi. Aku yang bertanggung jawab atas proses pendafta
Pernahkah kamu terbangun dari tidur dan tidak memiliki tujuan untuk mengawali hari? Aku pernah. Hari ini tepatnya. Sejak dinyatakan dipecat, otomatis semua kesibukan yang kumiliki menguap bersamaan dengan realita yang ada. Aku seakan hilang arah, tak memiliki tujuan yang pasti lagi sekarang.Walaupun hidupku hanya diisi dengan kantor-rumah-kantor-rumah saja selama ini, tapi ada tujuan di sana. Ada senyum yang merekah, ada harapan yang membuncah. Ya, senyum dari teman-teman sekantorku dan juga harapan untuk jenjang karier yang selalu lebih baik lagi setiap tahunnya.Tapi kini, semua itu hilang. Terbang bersamaan dengan surat yang membawaku ada di posisi saat ini. Pengangguran.Pagi ini, kupaksakan diriku untuk tetap bersemangat apapun yang terjadi. Tetap mandi pagi dan juga sarapan seperti biasanya.
Aku memandang lurus ke depan. Menghirup udara dengan bebas. Semilir angin menerpa wajah, dan membuat helaian rambutku berlarian kesana kemari. Kuedarkan pandangan mata sekali lagi.Sungguh luar biasa ciptaanMu Tuhan. Tahukah kalian apa yang kulihat saat ini? Dihadapanku kini terbentang pemandangan laut berwarna hijau bercampur biru muda dan tua, ombak yang menggulung-gulung, hamparan pasir putih, tebing-tebing menjulang tinggi, batu karang yang besar, dan air laut sebening kristal.Kudongakkan kepala. Dengan bebas dapat kulihat langit biru yang begitu indah, dengan awan putih berarakan, saling berkejaran.Aku tersenyum.Katakan aku kampungan, katakan aku berlebihan. Tapi keindahan ini sungguh nyata. Bukan hanya pemandangan alamnya yang mampu membuatku menggelengkan kepala. Namun juga villa yang akan aku tinggali selama beberapa hari ke
Aku menengadah. Menatap proses alam yang begitu indah ketika matahari kembali ke peraduan, senja mencoba menaburkan rona jingga.Aku benci kehilangan. Muak dengan segala macam perpisahan. Tapi tidak kepada perpisahan yang terjadi antara surya dan cakrawala sore ini. Kalau boleh aku berharap agar waktu bisa terhenti sebentar, untuk dapat menikmati proses ini lebih lama lagi.Kuambil ponsel dan mencoba mengabadikan moment ini hingga berkali-kali."Cyiinn, sedih amat sih fotonya sendirian. Itu banyak bule nganggur. Samperin gih, ajak foto bareng. Kali aja jodoh. Kasian ih gue sama status jomblo tiga tahun lu itu, nggak pengen diperbaharui apa?" ujar Kevan tiba-tiba datang, ikut duduk di sebelahku pada kursi berpayung di pinggir pantai.Duh, Kevan
"Loh, Mbak Aya udah pulang? Katanya satu minggu di Bali," tanya bik Onah ketika melihatku masuk ke dalam rumah dengan menarik koper."Iya, Bik. Tiba-tiba saya ada urusan," jawabku berbohong dan merebahkan diri di sofa ruang keluarga. Lelah. Aku tidak tidur sejak semalam.Tadi pagi aku memutuskan untuk pulang dengan penerbangan paling pagi. Aku tak sudi melihat wajah Mario lagi setelah apa yang dia lakukan. Si Brengsek itu juga sudah membuat hubunganku dengan Kevan menjadi memburuk sejak semalam.Bahkan tadi pun aku tidak berpamitan pada Kevan ketika keluar dari villa untuk pulang ke Jakarta. Kevan sendiri juga tidak berusaha menghubungiku.Ketika cinta mengalahkan segalanya maka persahabatan yang sudah dibangun sejak Arya Saloka belum merajelala pun seakan sia-sia.Aku menghirup nafas pelan dan menghembuskannya perlahan. Sebuta itukah sahabatku sekarang?Aku jadi ingat kej
"Terima kasih teman-teman atas kedatangannya di pembukaan Vitamin Sea Resto, usaha baru gue bareng Aya, sahabat gue. Mohon doanya ya semua," ucap Kevan mengakhiri sambutannya.Para tamu bergantian menyalami Kevan dan memberikan ucapan selamat untuknya. Seulas senyum bahagia tercetak pada bibirnya yang tipis, setiap kali mendengar doa dan dukungan yang telah diberikan.Dua bulan yang lalu, setelah gagal membuka bisnis bersama Mario; karena tragedi pelecehan yang kualami, serta ketidaksengajaan Kevan menemukan fotoku pada ponsel mantan mesumnya itu. Kevan memutuskan untuk mengakhiri hubungan diantara keduanya.Selain mengubah status secara sepihak, sahabatku itu juga pada akhirnya turut membatalkan bisnis butiknya dengan pria yang berprofesi sebagai desainer itu dan lebih memilih aku untuk dijadikan rekan bisnis barunya.Bisnis yang aku dan Kevan pilih bergerak di bidang kuliner, khusus seafood. Ala
Mukjizat itu akhirnya terjadi ketika satu bulan Kevan tak sadarkan diri. Aku tertegun dan langsung menekan bel kala Kevan tiba-tiba menggerakan jemarinya dan perlahan-lahan membuka mata. Dia mengerjap dan seperti orang linglung, mungkin merasa bingung tiba-tiba ada di rumah sakit. Ingatannya selama tiga bulan sebelum kecelakaan itu terjadi, menghilang. Dia mengingatku, dia tahu aku istrinya. Namun ketika Lintang mengatakan, "Congrats ya, Kev. Lo mo jadi bapak. Aya hamil, tuh." Jawaban Kevan membuat semua orang tertegun. "Kamu hamil sama siapa?" Sorot matanya kosong dan tanpa ekspresi. "Ya sama lo lah. Kan lo suaminya," jawab Lintang ceplas ceplos. Butuh waktu bagiku untuk menjelaskan pada Kevan bagaimana aku hamil anaknya. Karena dalam ingatannya, dia belum berhasil menjadi laki-laki normal. Dia masih gay seperti yang dulu. Menurutnya suatu hal membingungkan melihatku hamil. Dia tak menuduhku berselingkuh namun masih belum menerima keberadaan anak
Terhitung satu minggu sudah Kevan tak sadarkan diri. Dan selama itu pula aku harus menjadi wanita hamil yang tangguh, mau tak mau. Jika wanita hamil seringkali manja, maka aku tak boleh seperti itu. Sepertinya anak dalam perutku ini mengerti kondisi kedua orang tuanya sehingga dia cukup membantuku dengan kondisinya yang tak rewel. Bahkan rasa mual yang dulu sering menyerang kini menguap dengan sendirinya. Aku juga tak mengalami ngidam. Bagaimana mungkin ngidam, untuk makan saja seringkali aku harus diingatkan. Keadaan Kevan membuatku seperti lupa rasa lapar.Terkadang aku merasa bersalah. Anak ini seharusnya mendapat asupan makanan yang cukup, tapi aku malah mengabaikannya. Orang-orang sekelilingku yang seringkali mengingatkan untuk tak terlalu banyak pikiran. Tapi dengan kondisi seperti ini bagaimana caraku mengenyahkan segala beban ini? Bagaimana caraku agar tak banyak berpikir? Siapa yang tak bersedih jika suami yang ia cintai tak sadarkan diri seperti ini?Bisnis K
Setibanya di gedung bercat putih itu, aku menyusuri lorong rumah sakit layaknya orang gila. Karena selama dalam perjalanan tadi, aku terus menerus menangis. Mungkin mataku sudah sembab sekarang, hidungku juga sudah memerah. Namun, aku tak peduli. Karena hanya kepastian kondisi Kevan yang kupedulikan saat ini, bukan yang lain. Beberapa orang yang berpapasan melihatku dengan pandangan aneh. Aku tak peduli. Dimana suamiku. Aku ingin melihat dia. Aku ingin memastikan bahwa ia baik-baik saja. Suamiku tak kenapa-kenapa. Setelah bertanya pada resepsionis dan dia tunjukkan letak ruang ICU. Maka di sinilah aku sekarang. Aku diminta menunggu karena seseorang yang katanya bernama sama dengan suamiku itu sedang dalam proses pemindahan dari IGD menuju ICU. Aku tak begitu jelas bagaimana kondisinya. Namun infomasi yan
"Ya udah Ay, ini bentar lagi aku mau jalan. Tiga jam lagi mungkin aku sampe rumah. See you, Sayang." Pada layar ponsel yang sedang kugenggam, lelaki itu tersenyum padaku dari dalam mobil. Dia sedang berada di Bandung sekarang, dan akan pulang ke rumah setelah urusan bisnis yang sedang dikerjakannya selama satu minggu ini selesai.Komunikasi yang kami lakukan hanya sebatas video call seperti ini. Tapi itu cukup untuk mengobati kerinduanku. Dia belum sempat bercukur. Wajahnya mulai ditumbuhi bulu-bulu halus. Membuat dia menjadi sedikit lebih, seksi?"Oke Kev, kamu ati-ati ya. Kalo capek istirahat aja dulu. Jangan dipaksain nyetirnya." Bagian bawah mata yang menghitam cukup menjelaskan dia kurang istirahat akhir-akhir ini. Sebetulnya aku khawatir Kevan melakukan perjalanan seorang diri dari Bandung-Jakarta dengan kondisi yang terlihat lelah. Tapi bukan Kevan namanya jika ia tak keras kepala. Aku sudah berusaha membujuk
"Heh, lo udah berhasil ya sama Kevan?" tanya Lintang tiba-tiba ketika aku sedang main ke rumahnya."Berhasil apaan?""Berhasil itu ... begituan. Iya yah?" tudingnya cepat tanpa basa basi. Aku jadi heran. Darimana dia tahu ya? Apa bentuk wanita yang sudah tak perawan itu terlihat dari luar? Seingatku dadaku masih begini saja bentuknya. Berat badanku juga tak mengalami perubahan yang berarti. Bibirku juga masih aman. Tak terlihat seperti gagal operasi. Lantas dari mana Lintang tahu?Jika sampai Kevan pelaku utamanya, aku dapat memastikan pintu kamar akan tertutup untuknya selama satu minggu."Apaan sih, Tang. Nggak ah." Bukan maksudku untuk berbohong. Tapi rasanya malu mengakui kenyataan itu. Entahlah aku tak terbiasa berbagi urusan ranjang dengan orang lain, meskipun itu sahabatku sendiri."Alah pake malu sama gue. Ngaku aja kenapa?""Kevan cerita lagi sama lo?" Aku betul-b
Aku membuka mata dan melihat satu wajah yang sedang tertidur dengan pulas berada di sampingku. Sudut bibirku tertarik hingga terbentuk seulas senyuman. Rasanya tak menyangka apa yang sudah terjadi semalam. Seperti mimpi di siang hari bolong. Tapi bercak darah semalam cukup menjelaskan segala sesuatunya. Aku tak lagi perawan.Kevan si Pelaku itu, dialah sosok yang telah mengambil keperawanku. Dia sahabat sekaligus suamiku, sosok yang dulunya sangat menyebalkan dan seringkali membuat kesal itu semalam berbagi peluh denganku.Kevan melakukannya dengan sangat lembut dan berhati-hati. Bahkan ketika aku menitikkan air mata pun dia sempat menghentikan gerakannya. Lelaki itu berpikir aku menangis karena rasa sakit yang kurasakan. Memang sakit tapi aku menangis bukan karena itu. Rasa haru lebih menyelimuti hatiku. Bagaimana tidak, sesuatu yang selama ini menjadi pergumulan kami pada akhirnya menemukan jalan untuk dilalui. Dan itu terasa indah untuk
Kamu masih lama Ay pulangnya?Sebuah chat whatsapp masuk. Dari Kevan. Akhir-akhir ini (lebih tepatnya setelah kami terbuka tentang perasaan masing-masing) Kevan menjadi lebih protektif. Dia seringkali bertanya jika aku pergi lumayan lama dari biasanya. Hanya sekedar menanyakan kemana dan jam berapa pulang saja, sih. Tapi itu termasuk kemajuan, Kevan yang dulu tak pernah seperti itu. Nggak sih, kayaknya. Kenapa?Aku membalas pesannya dan kutekan tombol send.Ya udah aku tunggu. Fotoin dong Ay kamu lagi ngapain.Kevan makin mirip ababil yang sedang jatuh cinta kan? Sedikit-
"Ayo Kev, kita masuk," ajakku. Kevan nampak ragu. Dia berkali-kali menggaruk tengkuknya. Ada keragu-raguan dari sorot mata dan gelagatnya. "Kenapa?" tanyaku kemudian. Heran akan sikapnya ini. "Aku takut." Dia diam sebentar. "Nanti kalo adek kecilku dipegang-pegang gimana?" lanjutnya lagi. Tapi dapat terlihat, dia sedang tak bercanda kali ini. Tak ada sorot mata iseng dan jahil seperti biasanya. Tak ada senyum menyebalkan yang seringkali menjadi andalan.Aku mengernyit, bingung. "Kenapa dipegang-pegang?" Dia diam sebentar. Dengan ragu menjelaskan ketakutannya. "Kan masalahku emang disitu. Biasanya orang kalo sakit aja yang dipegang bagian yang sakitnya kan?"Aku mendengkus. "Kev, kita ini m
"Aaaaaahhh.... uuuuhhhhh, aaaaahhh, uhhhhhhh!" Telingaku meremang, hatiku berdebar, napasku tercekat.Bukan ... jangan salah. Itu bukan suaraku. Lantas itu suara siapa? Jelas itu suara cewek. Asalnya dari kamar. Dan dia ... dia mendesah! Jantungku berdetak berkali-kali lipat. Jangan bilang Kevan membawa seorang wanita dan mereka ... mereka mesum di kamar kami.Shit!Aku menggeleng dengan cepat membayangkan hal itu terjadi. Sejak kapan Kevan bisa? Ups ... bukan maksudku meremehkan. Tapi kita semua tahu bagaimana Kevan 'kan? Dia sejak kapan bisa? Aku saja yang sudah dia nikahi selama dua tahun belum pernah ia sentuh. Lalu tiba-tiba dia membawa seorang perempuan ke rumah. Ini gila! Entah aku yang gila atau Kevan yang gila. Oh, sepertinya Kevan yang gila! Dia gila membawa wanita lain ke rumah kami, bahkan masuk hingga kamar!Dengan perasaan campur aduk, aku buru-buru melangkah menuju ke tempat suara itu berasal. Kamar kami. Suara desahan itu semakin terdengar