Pernahkah kamu terbangun dari tidur dan tidak memiliki tujuan untuk mengawali hari? Aku pernah. Hari ini tepatnya. Sejak dinyatakan dipecat, otomatis semua kesibukan yang kumiliki menguap bersamaan dengan realita yang ada. Aku seakan hilang arah, tak memiliki tujuan yang pasti lagi sekarang.
Walaupun hidupku hanya diisi dengan kantor-rumah-kantor-rumah saja selama ini, tapi ada tujuan di sana. Ada senyum yang merekah, ada harapan yang membuncah. Ya, senyum dari teman-teman sekantorku dan juga harapan untuk jenjang karier yang selalu lebih baik lagi setiap tahunnya.
Tapi kini, semua itu hilang. Terbang bersamaan dengan surat yang membawaku ada di posisi saat ini. Pengangguran.
Pagi ini, kupaksakan diriku untuk tetap bersemangat apapun yang terjadi. Tetap mandi pagi dan juga sarapan seperti biasanya.
Aku harus secepatnya mendapatkan pekerjaan. Harus. Demi pengeluaran dan rasa bosan yang semakin merajalela. Walaupun itu mustahil, karena sulitnya mencari pekerjaan di zaman sekarang. Ekonomi sulit, banyak perusahaan yang gulung tikar, dan juga melakukan PHK massal. Aku sadar jumlah sainganku tidaklah main-main. Tapi selama masih ada sejumput doa tempat kumenuju, maka tidak akan pernah ada kata sulit. Semoga saja.
Kurang lebih lima puluh lowongan pekerjaan yang kukirimkan ke jobstreet.co.id dan jobsdb.com. Semoga salah satu diantaranya ada yang menjadi rezekiku.
Pukul dua belas siang, kegalauan makin melanda. Tepat jam makan siang. Aku rindu teman-temanku. Merindukan sapaan dan ledekan yang selalu mampu membuat kesal dan bahagia datang pada waktu yang bersamaan. Aku merindukan suasana hangat layaknya keluarga. Tidak dipungkiri, bersama mereka seringkali ada selisih paham, saling bersitegang namun secepat itu pula dua jari akan saling bertautan.
Ingin rasanya jari jemari ini mengetik chat whatsapp untuk mereka, namun kuurungkan niat tersebut. Rasanya terlalu malu. Cukup sadar diri bahwa posisiku dipecat kemarin, bukan karena resign.
Detik demi detik terasa berjalan begitu lambat. Rasa bosan mulai menyergap. Aku harus melalukan sesuatu, jika tidak maka otakku akan tumpul bersamaan dengan waktu.
"Cyiinnn, lagi ngapain Cyiinn?" Suara dari seseorang yang kukenal terdengar. Aku menoleh dan tersenyum sangat lebar setelah itu. Penyelamatku datang. Terima kasih Tuhan.
"Sini, Kev. Sini." Kutepuk-tepuk sofa di sebelahku, memintanya duduk mendekat.
Kevan menghampiri dan mengikuti permintaanku untuk duduk tepat di sebelahku. Senyumnya merekah, menampilkan deretan gigi putih bersih dan rapi.
"Tante kemana?" tanyanya dengan bibir macem diplintir khas pria kemayu.
"Keluar kota sama bokap dari kemarin. Anak sahabat bokap ada yang nikah," jawabku cepat.
Dia mengangguk-angguk. "Pasti lo kesepian. Ke tempat Lintang, kuy? Mau nggak?" Dia menaikturunkan alisnya.
"Wah boleh-boleh. Gue juga kangen sama Miya, Salsa." Aku merindukan dua balita yang sangat menggemaskan itu, putri dari Lintang.
"Udah makan belum, Cyiin? Nih gue bawain banyak makanan. Tinggal pilih." Dia menunjukkan beberapa makanan dengan berbagai macam merk yang tercetak pada plastiknya. KFC, Pizza Hut dan juga Starbucks. Wah Kevan sangat pengertian. Sahabat idaman.
"Udah sih tadi sarapan roti. Nanti dibawa aja ke tempat Lintang," sahutku kemudian. Dia mengangguk-angguk setuju.
"Ya udah, kuy. Siap-siap gih. Udah siang nih, Cyiin. Nanti kita kesorean sampe sana. Eyke nggak mau ah pulang malem-malem." Gestur Kevan kembali kemayu. Lama-lama aku bisa juga terbiasa ternyata.
"Kenapa emang? Lagi ada urusan lo?" tanyaku menoleh padanya yang nampak asik memilin rambutnya sendiri dengan kaki yang ditekuk layaknya anak perawan.
"Bukan. Anak gadis kan nggak boleh pulang malem-malem, Cyiiin. Pamali."
"Ya udah, pulang subuh aja sekalian," sahutku cuek.
"Sembarangan. Nanti kalo eyke diperkosa gimana?" Tak lupa juga lelaki ini menutupi bagian dadanya dengan tangan. Totalitas sekali sahabatku ini dalam menjaga auratnya.
Aku tak menjawab pertanyannya dan lebih memilih menghambur saja menuju kamar.
Aku mendesah. Kalo dia merasa gadis, trus aku apa?
❤️
"Salsa mana, Tang?" tanya Kevan celingukan begitu sampai di rumah Lintang.
"Baru aja tidur," jawab Lintang sembari meletakkan gelas berisi sirup di meja ruang keluarga.
Kevan langsung saja ngeloyor menuju kamar utama setelah mendengar jawaban Lintang. Ingin melihat Salsa, anak bungsu Lintang. Anak itu begitu menggemaskan dengan pipi chubby-nya, tak heran jika Kevan begitu merindukan bayi satu itu.
"Kev, lu mau ngapain? Gue tabok ya kalo sampe anak gue bangun. Jangan lo ganggu. Itu dia baru tidur. Kev!" teriak Lintang frustasi bersiap-siap bangkit dari duduknya untuk menjambak Kevan sepertinya.
Aku tertawa menanggapi kelakuan dua orang sahabatku ini. Hiburan yang mampu membuat segala beban di hati menguap dengan sendirinya. Aku sayang mereka. Sungguh.
Begitu kalimat terakhir terucap, suara tangisan bayi terdengar dari kamar utama. Salsa menangis. Aku menatap Lintang. Merasa ngeri emak-emak satu ini mengeluarkan amukannya.
"Haduh, baru juga dibilangin," dengkus Lintang. "Lu apain, Kev anak gue?!" teriak Lintang frustasi berjalan menuju kamar. Ketakutanku menjadi kenyataan.
Kevan datang dengan menggendong anak berumur satu tahun. Air mata turun dengan deras membasahi pipi Salsa. Bocah berkulit putih itu menangis sesegukan.
"Dia aus, nih, Cyiiin. Ndusel-ndusel mulu nyariin nenen. Mentang-mentang tetek gue gede," terang Kevan sembari memberikan Salsa pada Lintang.
Aku dan Lintang tertawa terbahak-bahak. Guratan amarah itu kini terganti dengan tawa yang tak kunjung selesai.
"Udah waktunya lo pake miniset, Kev. Biar nggak kendor," ledekku, sembari mengusap air mata. Kevan berhasil membuat lelucon hingga pelupuk mataku basah.
"Ntar gue minjem aja miniset lo, Cyiiin. Punya lo sama punya gue aja gedean punya gue," sahut Kevan santai.
Aku melotot menatapnya. Refleks aku menunduk menatap dadaku. Apakah sekecil itu? Kevan sialan.
"Namanya juga masih dalam masa pertumbuhan! Nanti juga akan gede dengan sendirinya!" sahutku kesal menatapnya.
Kevan terbahak-bahak. Dia mengambil slice pizza dan duduk di sebelahku. "Kasian Beb, yang jadi laki lo nanti. Semoga dia banyak sabar ya," katanya.
Ia mengulurkan tangan kanannya dan mengusap-usap bahuku. Aku menggerakkan bahu, menolak perlakuannya. Menyebalkan!
"Nggak usah pegang-pegang!" rutukku sengit. Aku kesal! Dia kan tidak tertarik dengan wanita, tapi bisa-bisanya mengatakan hal seperti itu. Sok tau!
Kevan tertawa terbahak-bahak sembari memegangi perut.
Setelah Salsa tertidur, Lintang mulai bertanya kenapa aku dan Kevan datang ke rumahnya di hari kerja dan di jam kerja seperti ini. Kujelaskan dengan perlahan bahwa aku sudah dipecat. Seperti biasa, air mata langsung membanjiri wajah cantiknya.
"Yah, Ay, terus lu bayar arisan, bayar asuransi, bayar kartu kredit lo gimana? Trus lo nggak bisa belanja Mango, Zara sama H&M lagi dong!" ujarnya sembari menangis, membuatku ingin menangis juga sekencang-kencangnya.
Haduh, kenapa semua hutangku yang dia ingat ya Tuhan?
"Gue besok mau ke Bali, Cyiin, ketemu Mario. Mau ikut nggak? Lumayanlah daripada di rumah mulu. Suntuk tau Neik," tanya Kevan, alisnya naik turun.
Mario adalah teman rasa pacar terbarunya. Seorang Fashion Designer yang menetap di Bali. Baru dua bulan berkenalan. Seperti yang sudah aku katakan sebelumnya, Kevan itu mudah berganti pasangan layaknya berganti pakaian dalam. Mati satu tumbuh sejuta, menurutnya.
Aku memikirkan ulang tawaran Kevan. Aku butuh liburan. Selain untuk menghindari pertanyaan orang tuaku, aku merasa gila jika di rumah tidak melakukan kegiatan apa-apa. Terbiasa dengan rutinitas padat dan tiba-tiba harus kehilangan itu semua, terasa berat untuk kujalani, paling tidak untuk saat ini.
"Emang nggak apa-apa gitu sama Marionya? Ntar gue ganggu lagi," tanyaku berbasa basi sembari menggigit potongan ayam KFC.
"Helah, udah kayak sama siapa aja sih, Cyiinn. Udah ikut aja. Sekalian cari jodoh kita. Eh elu deng. Gue mah udah ada. Elu tuh yang kasian, kaum mblo. Eh berapa taon, Ay, lu jomblo? Ada kali ya tiga tahunan. Pake formalin, Ay? Awet bener." Kevan tertawa dengan keras, sedetik kemudian dia nampak menyeka air matanya.
Aku mendengkus sebal. Senang betul dia menertawakanku sampai menangis begitu.
"Ya udah gue mau!" pekikku kemudian.
"Murah banget sih lu, Beb. Bilang maunya cepet banget. Basa basi dulu kek. Sok-sokan mikir gitu. Langsung mau aja. Bikin eyke malu aja."
Bola mataku berputar. Jengah. "Lah, kok jadi elu yang malu?" gumamku pelan.
"Kan sebagai sesama perempuan," ujarnya memamerkan cengirannya.
"Auk amat ah, Kev. Jadi mules perut gue," celetuk Lintang malas sembari ngeloyor ke kamar mandi.
Dahiku berkerut. Sebagai sesama perempuan banget?
"Nanti dandan yang cantik ya, Cyiiiin, kali aja ada bule yang kecantol sama you, kan lumayan. Trus itu daster robek-robek yang biasa lu pake, aduh ..., itu jangan dibawa ya. Buang aja, udah waktunya dia pensiun. Nanti kita beli bikini di sana ya, Neik. Pokoknya pulang-pulang lu harus punya pacar."
Aku tak menggubris ucapan Kevan soal bikini tadi karena yang aku pikirkan hanya liburan di Bali, tak lebih. Otakku butuh penyegaran. Bali dan pemandangannya. Oh, my God. Betapa indahnya tempat itu.
Dalam benakku, aku sudah bisa membayangkan, di sana aku akan menikmati sunset atau berjemur di salah satu pantai, window shopping di pasar tradisional, mencoba nasi campur, nasi tepeng dan hal lainnya yang patut dicoba ketika berada di Bali.
Itu semua akan aku lakukan sendiri saja, tak perlu bersama Kevan, karena lelaki itu sudah dipastikan akan sibuk sendiri dengan pacar rasa temannya itu. Jadi lebih baik aku menjelajahi sendiri saja pulau itu.
Lagipula, kalau aku sendirian, siapa tahu ada seseorang yang tanpa sengaja mengajakku berkenalan layaknya FTV-FTV yang biasa kutonton itu kan?
Ah, betapa sempurnanya. Aku jadi tertawa-tawa sendiri.
"Heh! Udah gila lu ya ketawa-ketawa sendiri? Lagi mikir jorok lu ya?" Suara cerewet dibarengi dengan lemparan bantal sukses membuatku tersadar kembali dari lamunan. Kevanlah yang melakukan itu.
"Ish, berisik banget sih lo! Ngeselin!" rutukku kesal. Dia menganggu kenikmatan orang lain saja.
Aku memandang lurus ke depan. Menghirup udara dengan bebas. Semilir angin menerpa wajah, dan membuat helaian rambutku berlarian kesana kemari. Kuedarkan pandangan mata sekali lagi.Sungguh luar biasa ciptaanMu Tuhan. Tahukah kalian apa yang kulihat saat ini? Dihadapanku kini terbentang pemandangan laut berwarna hijau bercampur biru muda dan tua, ombak yang menggulung-gulung, hamparan pasir putih, tebing-tebing menjulang tinggi, batu karang yang besar, dan air laut sebening kristal.Kudongakkan kepala. Dengan bebas dapat kulihat langit biru yang begitu indah, dengan awan putih berarakan, saling berkejaran.Aku tersenyum.Katakan aku kampungan, katakan aku berlebihan. Tapi keindahan ini sungguh nyata. Bukan hanya pemandangan alamnya yang mampu membuatku menggelengkan kepala. Namun juga villa yang akan aku tinggali selama beberapa hari ke
Aku menengadah. Menatap proses alam yang begitu indah ketika matahari kembali ke peraduan, senja mencoba menaburkan rona jingga.Aku benci kehilangan. Muak dengan segala macam perpisahan. Tapi tidak kepada perpisahan yang terjadi antara surya dan cakrawala sore ini. Kalau boleh aku berharap agar waktu bisa terhenti sebentar, untuk dapat menikmati proses ini lebih lama lagi.Kuambil ponsel dan mencoba mengabadikan moment ini hingga berkali-kali."Cyiinn, sedih amat sih fotonya sendirian. Itu banyak bule nganggur. Samperin gih, ajak foto bareng. Kali aja jodoh. Kasian ih gue sama status jomblo tiga tahun lu itu, nggak pengen diperbaharui apa?" ujar Kevan tiba-tiba datang, ikut duduk di sebelahku pada kursi berpayung di pinggir pantai.Duh, Kevan
"Loh, Mbak Aya udah pulang? Katanya satu minggu di Bali," tanya bik Onah ketika melihatku masuk ke dalam rumah dengan menarik koper."Iya, Bik. Tiba-tiba saya ada urusan," jawabku berbohong dan merebahkan diri di sofa ruang keluarga. Lelah. Aku tidak tidur sejak semalam.Tadi pagi aku memutuskan untuk pulang dengan penerbangan paling pagi. Aku tak sudi melihat wajah Mario lagi setelah apa yang dia lakukan. Si Brengsek itu juga sudah membuat hubunganku dengan Kevan menjadi memburuk sejak semalam.Bahkan tadi pun aku tidak berpamitan pada Kevan ketika keluar dari villa untuk pulang ke Jakarta. Kevan sendiri juga tidak berusaha menghubungiku.Ketika cinta mengalahkan segalanya maka persahabatan yang sudah dibangun sejak Arya Saloka belum merajelala pun seakan sia-sia.Aku menghirup nafas pelan dan menghembuskannya perlahan. Sebuta itukah sahabatku sekarang?Aku jadi ingat kej
"Terima kasih teman-teman atas kedatangannya di pembukaan Vitamin Sea Resto, usaha baru gue bareng Aya, sahabat gue. Mohon doanya ya semua," ucap Kevan mengakhiri sambutannya.Para tamu bergantian menyalami Kevan dan memberikan ucapan selamat untuknya. Seulas senyum bahagia tercetak pada bibirnya yang tipis, setiap kali mendengar doa dan dukungan yang telah diberikan.Dua bulan yang lalu, setelah gagal membuka bisnis bersama Mario; karena tragedi pelecehan yang kualami, serta ketidaksengajaan Kevan menemukan fotoku pada ponsel mantan mesumnya itu. Kevan memutuskan untuk mengakhiri hubungan diantara keduanya.Selain mengubah status secara sepihak, sahabatku itu juga pada akhirnya turut membatalkan bisnis butiknya dengan pria yang berprofesi sebagai desainer itu dan lebih memilih aku untuk dijadikan rekan bisnis barunya.Bisnis yang aku dan Kevan pilih bergerak di bidang kuliner, khusus seafood. Ala
"Sori Kev, gue telat. Biasalah, macet," ucapku setibanya di Pepper Lunch Mall Kota Kasablanka, tempat aku dan Kevan janjian. Kevan yang tengah menikmati teriyaki double salmonnya ini mengangguk santai menerima ucapan maafku.Tadi siang ketika sedang mengecek stock bahan baku restoran, sahabatku ini tiba-tiba memaksa untuk bertemu. Ada hal penting yang ingin ia bicarakan."Bentar ya, Cyinn, eh Ay, gue makan dulu. Biar ada tenaga buat ngomong," ucapnya, membuat dahiku berkerut. "Lo udah pesen?" tanyanya memastikan. Aku mengangguk.Tidak berapa lama pesananku datang. Sembari mengaduk beef & hamburg curry rice-ku, sesekali kupandangi Kevan, bawah matanya terlihat menghitam. Dia sudah dua hari ini menjaga ayahnya di rumah sakit, wajar jika tubuhnya kurang istirahat."Om Darwin gimana kabarnya, Kev?" tanyaku setelah sekian lama diam.
Sepanjang perjalanan menuju rumah Lintang, penjelasan psikiater tadi terngiang-ngiang di telinga, merasuk ke otak dan secara tak sadar aku melakukan reply terus menerus. Kevan kemungkinan sembuh. Dan semua bergantung pada keinginan, semangat, dan tentu dukungan orang terdekat. Orang terdekat?Karena gay dianggap tabu, dan seringkali dipandang sebelah mata ataupun ditolak keberadaannya. Sehingga untuk bisa sembuh mereka membutuhkan dukungan dari orang terdekat. Orang yang sabar untuk mengingatkan dan memberikan semangat, bukan malah menghina dan menjauhi.Ini tak mudah, awalnya ada pertentangan dalam hatiku untuk menerima atau menolak lamaran Kevan; menjadi sosok yang lebih dekat lagi dalam hidupnya.Dan ini bukan hanya untuk sementara tapi selamanya, seumur hidupku. Apalagi pernikahan ini akan disahkan di hadapan Tuhan. Tanggung jawabnya
Aku mengerjap, merasakan tenggorokan yang tiba-tiba meringkai. Mataku mencalang ke setiap sudut kamar. Aroma bunga mawar yang sengaja dihias untuk memperindah kamar pengantin ini, mengisi rongga-rongga indera penciuman. Kulirik sebelah tempat tidur. Tak ada Kevan di sana. Pelan, napasku terembus. Kemana lelaki itu? Kusibak selimut yang menutupi sebagian tubuh. Hawa dingin menyambut ketika kaki ini menyentuh permukaan lantai untuk pertama kali. Kutarik gagang pintu kamar hingga terbuka setengah, netraku terpaku pada sosok yang sedang duduk di balkon apartemen. Dia mengisap rokoknya dan membuat kepulan asap di udara. Posisi Kevan agak menyamping sehingga dapat terlihat ekspresi wajahnya. Dia menerawang, rambutnya berantakan. Aku tahu dia kecewa pada dirinya sendiri saat ini. Kuuru
Lelaki itu sedang membersihkan dirinya di kamar mandi ketika aku masih bergelung di balik selimut. Suara shower air yang beradu dengan lantai-lah yang membuatku terjaga dari tidur. Perlahan, tanganku mulai menggapai nakas dan menemukan benda persegi panjang di sana. Pukul lima pagi, waktu yang tertera pada layarnya. Aku mendesah. Ini masih terlalu pagi untuk mandi, bukan?Baru dua hari menikah, sudah banyak sekali perbedaan yang ditemukan. Sahabatku itu sosok yang rajin, penggila kebersihan dan sangat memperhatikan penampilan. Dalam satu hari, dia bisa mandi sebanyak tiga kali. Rajin membersihkan wajah dan meletakkan segala sesuatunya tepat di tempatnya.Sedangkan aku? Ah, jangan ditanya. Mandi dua kali sehari saja itu sudah termasuk hal yang keren. Bukannya malas, tapi karena kebiasaan seringkali pulang malam dari kantor. Apalagi kata orang, mandi malam itu
Mukjizat itu akhirnya terjadi ketika satu bulan Kevan tak sadarkan diri. Aku tertegun dan langsung menekan bel kala Kevan tiba-tiba menggerakan jemarinya dan perlahan-lahan membuka mata. Dia mengerjap dan seperti orang linglung, mungkin merasa bingung tiba-tiba ada di rumah sakit. Ingatannya selama tiga bulan sebelum kecelakaan itu terjadi, menghilang. Dia mengingatku, dia tahu aku istrinya. Namun ketika Lintang mengatakan, "Congrats ya, Kev. Lo mo jadi bapak. Aya hamil, tuh." Jawaban Kevan membuat semua orang tertegun. "Kamu hamil sama siapa?" Sorot matanya kosong dan tanpa ekspresi. "Ya sama lo lah. Kan lo suaminya," jawab Lintang ceplas ceplos. Butuh waktu bagiku untuk menjelaskan pada Kevan bagaimana aku hamil anaknya. Karena dalam ingatannya, dia belum berhasil menjadi laki-laki normal. Dia masih gay seperti yang dulu. Menurutnya suatu hal membingungkan melihatku hamil. Dia tak menuduhku berselingkuh namun masih belum menerima keberadaan anak
Terhitung satu minggu sudah Kevan tak sadarkan diri. Dan selama itu pula aku harus menjadi wanita hamil yang tangguh, mau tak mau. Jika wanita hamil seringkali manja, maka aku tak boleh seperti itu. Sepertinya anak dalam perutku ini mengerti kondisi kedua orang tuanya sehingga dia cukup membantuku dengan kondisinya yang tak rewel. Bahkan rasa mual yang dulu sering menyerang kini menguap dengan sendirinya. Aku juga tak mengalami ngidam. Bagaimana mungkin ngidam, untuk makan saja seringkali aku harus diingatkan. Keadaan Kevan membuatku seperti lupa rasa lapar.Terkadang aku merasa bersalah. Anak ini seharusnya mendapat asupan makanan yang cukup, tapi aku malah mengabaikannya. Orang-orang sekelilingku yang seringkali mengingatkan untuk tak terlalu banyak pikiran. Tapi dengan kondisi seperti ini bagaimana caraku mengenyahkan segala beban ini? Bagaimana caraku agar tak banyak berpikir? Siapa yang tak bersedih jika suami yang ia cintai tak sadarkan diri seperti ini?Bisnis K
Setibanya di gedung bercat putih itu, aku menyusuri lorong rumah sakit layaknya orang gila. Karena selama dalam perjalanan tadi, aku terus menerus menangis. Mungkin mataku sudah sembab sekarang, hidungku juga sudah memerah. Namun, aku tak peduli. Karena hanya kepastian kondisi Kevan yang kupedulikan saat ini, bukan yang lain. Beberapa orang yang berpapasan melihatku dengan pandangan aneh. Aku tak peduli. Dimana suamiku. Aku ingin melihat dia. Aku ingin memastikan bahwa ia baik-baik saja. Suamiku tak kenapa-kenapa. Setelah bertanya pada resepsionis dan dia tunjukkan letak ruang ICU. Maka di sinilah aku sekarang. Aku diminta menunggu karena seseorang yang katanya bernama sama dengan suamiku itu sedang dalam proses pemindahan dari IGD menuju ICU. Aku tak begitu jelas bagaimana kondisinya. Namun infomasi yan
"Ya udah Ay, ini bentar lagi aku mau jalan. Tiga jam lagi mungkin aku sampe rumah. See you, Sayang." Pada layar ponsel yang sedang kugenggam, lelaki itu tersenyum padaku dari dalam mobil. Dia sedang berada di Bandung sekarang, dan akan pulang ke rumah setelah urusan bisnis yang sedang dikerjakannya selama satu minggu ini selesai.Komunikasi yang kami lakukan hanya sebatas video call seperti ini. Tapi itu cukup untuk mengobati kerinduanku. Dia belum sempat bercukur. Wajahnya mulai ditumbuhi bulu-bulu halus. Membuat dia menjadi sedikit lebih, seksi?"Oke Kev, kamu ati-ati ya. Kalo capek istirahat aja dulu. Jangan dipaksain nyetirnya." Bagian bawah mata yang menghitam cukup menjelaskan dia kurang istirahat akhir-akhir ini. Sebetulnya aku khawatir Kevan melakukan perjalanan seorang diri dari Bandung-Jakarta dengan kondisi yang terlihat lelah. Tapi bukan Kevan namanya jika ia tak keras kepala. Aku sudah berusaha membujuk
"Heh, lo udah berhasil ya sama Kevan?" tanya Lintang tiba-tiba ketika aku sedang main ke rumahnya."Berhasil apaan?""Berhasil itu ... begituan. Iya yah?" tudingnya cepat tanpa basa basi. Aku jadi heran. Darimana dia tahu ya? Apa bentuk wanita yang sudah tak perawan itu terlihat dari luar? Seingatku dadaku masih begini saja bentuknya. Berat badanku juga tak mengalami perubahan yang berarti. Bibirku juga masih aman. Tak terlihat seperti gagal operasi. Lantas dari mana Lintang tahu?Jika sampai Kevan pelaku utamanya, aku dapat memastikan pintu kamar akan tertutup untuknya selama satu minggu."Apaan sih, Tang. Nggak ah." Bukan maksudku untuk berbohong. Tapi rasanya malu mengakui kenyataan itu. Entahlah aku tak terbiasa berbagi urusan ranjang dengan orang lain, meskipun itu sahabatku sendiri."Alah pake malu sama gue. Ngaku aja kenapa?""Kevan cerita lagi sama lo?" Aku betul-b
Aku membuka mata dan melihat satu wajah yang sedang tertidur dengan pulas berada di sampingku. Sudut bibirku tertarik hingga terbentuk seulas senyuman. Rasanya tak menyangka apa yang sudah terjadi semalam. Seperti mimpi di siang hari bolong. Tapi bercak darah semalam cukup menjelaskan segala sesuatunya. Aku tak lagi perawan.Kevan si Pelaku itu, dialah sosok yang telah mengambil keperawanku. Dia sahabat sekaligus suamiku, sosok yang dulunya sangat menyebalkan dan seringkali membuat kesal itu semalam berbagi peluh denganku.Kevan melakukannya dengan sangat lembut dan berhati-hati. Bahkan ketika aku menitikkan air mata pun dia sempat menghentikan gerakannya. Lelaki itu berpikir aku menangis karena rasa sakit yang kurasakan. Memang sakit tapi aku menangis bukan karena itu. Rasa haru lebih menyelimuti hatiku. Bagaimana tidak, sesuatu yang selama ini menjadi pergumulan kami pada akhirnya menemukan jalan untuk dilalui. Dan itu terasa indah untuk
Kamu masih lama Ay pulangnya?Sebuah chat whatsapp masuk. Dari Kevan. Akhir-akhir ini (lebih tepatnya setelah kami terbuka tentang perasaan masing-masing) Kevan menjadi lebih protektif. Dia seringkali bertanya jika aku pergi lumayan lama dari biasanya. Hanya sekedar menanyakan kemana dan jam berapa pulang saja, sih. Tapi itu termasuk kemajuan, Kevan yang dulu tak pernah seperti itu. Nggak sih, kayaknya. Kenapa?Aku membalas pesannya dan kutekan tombol send.Ya udah aku tunggu. Fotoin dong Ay kamu lagi ngapain.Kevan makin mirip ababil yang sedang jatuh cinta kan? Sedikit-
"Ayo Kev, kita masuk," ajakku. Kevan nampak ragu. Dia berkali-kali menggaruk tengkuknya. Ada keragu-raguan dari sorot mata dan gelagatnya. "Kenapa?" tanyaku kemudian. Heran akan sikapnya ini. "Aku takut." Dia diam sebentar. "Nanti kalo adek kecilku dipegang-pegang gimana?" lanjutnya lagi. Tapi dapat terlihat, dia sedang tak bercanda kali ini. Tak ada sorot mata iseng dan jahil seperti biasanya. Tak ada senyum menyebalkan yang seringkali menjadi andalan.Aku mengernyit, bingung. "Kenapa dipegang-pegang?" Dia diam sebentar. Dengan ragu menjelaskan ketakutannya. "Kan masalahku emang disitu. Biasanya orang kalo sakit aja yang dipegang bagian yang sakitnya kan?"Aku mendengkus. "Kev, kita ini m
"Aaaaaahhh.... uuuuhhhhh, aaaaahhh, uhhhhhhh!" Telingaku meremang, hatiku berdebar, napasku tercekat.Bukan ... jangan salah. Itu bukan suaraku. Lantas itu suara siapa? Jelas itu suara cewek. Asalnya dari kamar. Dan dia ... dia mendesah! Jantungku berdetak berkali-kali lipat. Jangan bilang Kevan membawa seorang wanita dan mereka ... mereka mesum di kamar kami.Shit!Aku menggeleng dengan cepat membayangkan hal itu terjadi. Sejak kapan Kevan bisa? Ups ... bukan maksudku meremehkan. Tapi kita semua tahu bagaimana Kevan 'kan? Dia sejak kapan bisa? Aku saja yang sudah dia nikahi selama dua tahun belum pernah ia sentuh. Lalu tiba-tiba dia membawa seorang perempuan ke rumah. Ini gila! Entah aku yang gila atau Kevan yang gila. Oh, sepertinya Kevan yang gila! Dia gila membawa wanita lain ke rumah kami, bahkan masuk hingga kamar!Dengan perasaan campur aduk, aku buru-buru melangkah menuju ke tempat suara itu berasal. Kamar kami. Suara desahan itu semakin terdengar