"Kev, lo balik pake aplikasi online aja ya? Udah telat, nih. Gue izin cuma setengah hari sama orang kantor, tapi ini udah lewat setengah hari." Sahabatku langsung menatapku dengan puppy eyes-nya setelah ucapan itu terlontar dari mulutku. Sudut bibirnya tertarik ke bawah hingga membentuk ekspresi sedih.
"Ay, please ..., temenin gue," pintanya, seperti biasa. Dia akan selalu seperti ini padaku, manja.
Aku melirik arloji yang melingkar pada pergelangan tangan sebelah kiri. Pukul satu siang. "Nggak bisa, Kev. Gue harus masuk kantor. Ini aja gue harus lembur karena udah telat."
Kevan menangkupkan tangan sebagai bentuk permohonan. "Please, Cyiiin, hati gue sakit banget sekarang. Lo nggak mau kan ada berita laki-laki ganteng nenggak baygon?" Aku mengembuskan nafas kasar. Ancaman macam apa ini?
"Jangan macem-macem, deh," ucapku jengah. Aku tahu, lelaki di hadapanku yang sedang mengenakan tshirt abu-abu dan semakin membuat otot bisepnya terlihat jelas ini tidak akan pernah berani berbuat senekat itu, tapi tetap saja, aku tak menyukai ancamannya.
Kalau nanti ada setan lewat dan mengabulkan semua perkataannya, gimana?
"Makanya temenin gue, Ay." Lagi, ia masih berusaha merayuku. Dia adalah tipe lelaki yang tak akan menyerah jika keinginannya belum berhasil ia dapatkan.
"Gue nggak bisa, Kev. Madam dari tadi udah nanyain gue, ada klien anaknya sakit. Gue harus nyiapin dokumennya." Dia memandangku penuh permohonan ketika aku bersandar pada badan mobil, di pelataran parkir Setiabudi One.
Tentu saja, pekerjaanku jauh lebih penting dari pada sekedar urusan percintaan. Kantor menggaji dan membuatku bisa tetap makan setiap bulannya. Sedangkan masalah cinta, itu adalah dinamika kehidupan, yang wajar dialami setiap manusia.
Lagipula aku tahu sosok Kevan, dia akan dengan mudah mendapatkan pengganti Luthfi setelah ini.
"Kalo lo nggak mau nemenin, gue masuk ke dalem lagi, nih. Ngajak Luthfi balikan."
Bulir-bulir air mata turun dari pelupuk matanya. Dengan tangan kiri ia berusaha menghapus jejak itu. Mata dan hidungnya memerah. Sorot kesedihan itu dapat dengan jelas terlihat dari mata monolidnya. Ada perasaan iba yang menggedor-gedor relung hatiku. Rasanya tidak tega.
Aku membalikkan badan menghindari tatapannya. "Terserah lo!" sahutku seolah-olah tidak peduli sembari membuka pintu mobil dan bersiap-siap masuk ke dalam. Aku dilema karena tanggung jawab di kantor sudah menunggu sekarang.
"Ya udah." Langkah kakinya terdengar meninggalkanku. Aku menoleh menatap punggung yang mulai menjauh itu.
Aku mendesah. "Kev," panggilku pelan.
Aku menimbang-nimbang kembali. Tiba-tiba entah pikiran dari mana hingga aku bisa membayangkan Kevan akan melakukan hal nekat jika membiarkannya sendirian hari ini.
Masih ada temanku yang lain sebetulnya yang bisa menghandle pekerjaan ini. Tapi masalahnya, dia juga sedang izin masuk setengah hari mengurusi ayahnya yang sedang sakit. Tadi aku sempat menghubungi, dia akan masuk hari ini setelah urusan ayahnya selesai. Semoga saja, ayahnya baik-baik saja sehingga rekan kerjaku itu bisa secepatnya datang ke kantor. Ya, semoga saja ....
Aku kembali menatap Kevan. Tak kuasa membiarkannya bersedih seperti ini. Teringat ketika putus cinta dulu, Kevanlah yang selalu ada untuk menemani. Membuatku tertawa dengan guyonan recehnya. Tapi kini, ketika dia membutuhkan kehadiranku, aku tak bersedia untuk menemani.
"Ayo! Gue temenin," ajakku kemudian. Dia tersenyum lebar ketika aku menyuruhnya masuk ke dalam mobil menggunakan gerakan kepala.
"Ay, kenapa percintaan gue begini banget ya, Beb? Apa gue nggak berhak bahagia? Kalo nggak diselingkuhin ya ditinggal nikah. Cowok emang jahat!" curhatnya ketika mobil sudah melaju ke suatu tempat yang aku belum tahu tujuannya.
Aku baru saja menghubungi kantor, meminta izin untuk tidak masuk dengan alasan sakit. Alasan klise yang seringkali dipakai para karyawan jika terdesak. Sesuatu yang tidak dibenarkan dan tak boleh dicontoh sebetulnya.
"Udah tahu jahat, kenapa lo masih suka?" tanyaku sibuk dengan kemudi, tanpa sedikitpun melihat ke arahnya.
"Gue kan cewek, masa disuruh pacaran sama cewek juga?"
"Lo itu cowok Kev, punya sesuatu yang cowok juga punya. Inget itu!"
"Tapi gue cewek, Ay. Perasaan gue rapuh, gue mudah terluka." Aku menoleh pada Kevan ketika lampu lalu lintas sedang berwarna merah. Dia mengucapkan itu sembari memegang dadanya. Bola mataku berputar ke atas. Ada perasaan geli dan malas yang sulit untuk kututupi.
"Terserah lo lah, Kev. "Dia masih terisak. Beberapa kali diambilnya lembar tissue yang ada di dalam mobilku, ia hapus air yang mengalir dari sudut matanya. "Masih aja nangis. Nyesel? Tadi aja di depan dia, lo sok nggak butuh. Eh, sekarang nangis-nangis."
Dari ekor mata, dapat terlihat dia sedang menatapku." Kalo nggak gitu, dia nggak bakalan ngelepas gue. Gue kan nggak mau jadi perusak hubungan rumah tangga orang. Sebagai sesama perempuan. Gue tahu perasaan Windy. Gw juga nggak mau kan suatu saat dapet karmanya. Laki gue direbut perempuan lain. Itu sakit Ay, sakit!"
Aku hanya diam mendengarkan. Kubiarkan cabe-cabean di depanku ini mengeluarkan uneg-uneg semau-maunya.
❤️
"Ay, kita karokean, kuy! Gue mau tereak-tereak, nih, Cyiiin," pinta Kevan tadi ketika masih di jalan. Maka, di sinilah kami sekarang. Di Inul Vista, Kelapa Gading.
Setibanya di room yang sudah ditunjuk karyawan tempat karaoke tersebut, sahabatku itu mulai sibuk memilih lagu-lagu yang akan dinyanyikan. Dan semua yang ia pilih adalah lagu galau! Duh!
Video penyanyi wanita asal Inggris mulai memenuhi layar berukuran 32 inch itu. Lagu mengalun.
Kevan mulai bernyanyi, ketika memasuki reff, volume suaranya semakin dinaikkan. Aku ikut melantunkan lirik yang ada di layar.
But don't you remember? - Tiba-tiba teringat ketika mereka baru berkenalan. Senyum Kevan merekah.
Don't you remember? - Ketika untuk pertama kalinya mereka mengobrol lewat chat. Lagi-lagi senyum itu ada di wajah sahabatku.
The reason you loved me before. - Ketika mereka berpacaran. Senyum yang jauh lebih lebar ada di sana, di wajah lelaki yang kusayangi itu.
Baby, please remember me one more. - Ketika Kevan memposting foto dirinya sedang membawa sebuket bunga pemberian Luthfi. Sembari merangkul lengan kekasihnya, ada senyum manja yang ia torehkan. Dan senyum itu tak kulihat lagi sekarang.
When was the last time you thought of me? - Ketika untuk pertama kalinya mereka mengalami percecokan karena Luthfi sulit dihubungi. Sorot mata itu meredup.
Or have you completely erased me from your memory? - Ketika pertengkaran demi pertengkaran terjadi lagi. Karena hal yang sama. Sahabatku sulit menghubungi kekasihnya. Bulir air mata turun untuk pertama kalinya.
I often think about where I went wrong - Ketika Luthfi tak mau disalahkan, Kevan berpikir bahwa ini mungkin salahnya, terlalu over protektif.
The more I do, the less I know. - Ketika Kevan mulai mencari tahu semua sosial media Luthfi, untuk memastikan bahwa kekasihnya itu tidak seperti yang ia pikirkan. Semakin Kevan mencari tahu, justru ia tidak mendapatkan yang ia cari. Karena sosok Luthfi yang anti sosial media itu.
But I know I have a fickle heart and bitterness. - Ketika Kevan semakin gelisah karena tak menemukan apa yang ia cari.
And a wandering eye, and a heavines in my head. - Dan kegelisahan itu pun berubah semakin besar. Menjadi rasa tak percaya.
Gave you the space so you could breathe. - Hingga akhirnya ia tahu, kekasihnya bertunangan dengan seorang wanita dan akan menikah. Kevan mulai menjaga jarak. Membiarkan kekasihnya itu meneruskan hidupnya, sebelum Kevan hadir di sana.
I kept my distance so you would be free. - Semua menjauh dan tak ada komunikasi lagi di antara keduanya.
And hope that you find the missing piece. - Di antara kesedihannya, Kevan berharap Luthfi menemukan kebahagiaannya. Meskipun tidak bersama Kevan.
To bring you back to me. - Sekuat apapun Kevan mencoba, selalu ada keinginan, Luthfi akan kembali lagi. Walaupun dalam mimpi sekalipun.
When will I see you again? - Berharap mereka bertemu lagi. Walaupun itu hanya sebatas harapannya semata.
Lagu milik Adele itu pun usai. Terkadang aku geli melihat Kevan jika bersama pacar-pacarnya. Namun jika dia sedang patah hati begini, tetap saja aku tidak tega.
"Kev, gue ke kamar mandi bentar ya?" Aku meminta izin. Kevan mengangguk.
Maka kulangkahkan kaki ke toilet sebentar. Ada sesuatu yang mendesak dan minta dikeluarkan pada saat itu. Semacam hajat kecil, sebut saja demikian.
Setelah selesai aku mencuci tangan di wastafel. Bunyi telepon masuk mengganggu aktivitasku. Kurogoh isi dalam tas namun tak kunjung menemukan telpon pintar itu.
Kejadiannya begitu cepat ketika tanpa sengaja aku menjatuhkan benda tersebut dan membiarkannya berenang di dalam wastafel yang krannya belum kututup dengan rapat.
Mataku membulat dengan mulut yang sulit terkatup. Handphone gue! Rasa panik menyergap. Kuambil benda pipih tersebut yang kondisinya langsung basah dan gelap. Tak ada tanda-tanda kehidupan lagi. Fix, handphoneku rusak!
Tahu kan bahwa handphone adalah barang penting di era sekarang? Tahu kan bahwa manusia seringkali lebih memilih menahan laparnya daripada tidak bisa bergaul di sosial media? Itulah yang terjadi denganku. Demi benda maha penting itu, aku langsung mengajak Kevan menuju ke counter handphone terdekat demi menyelamatkan segala data yang ada di benda kecil tersebut.
Handphone ku terpaksa harus di rawat inap, karena kondisinya membutuhkan waktu untuk perbaikan.
Bunyi notifikasi whatsapp masuk ke dalam ponsel Kevan. Matanya memicing sebentar membaca isinya. Lalu ia menoleh padaku. "Ay, Avisa nyariin tuh. Penting katanya."
Sahabatku itu memberikan handphone-nya. Aku langsung menekan beberapa digit nomor Avisa, teman sekantorku. Begitu telepon tersambung, pada saat itulah aku tahu masalah besar akan menghampiri.
Aku meremas surat yang baru saja kubaca. Baru sebagian, namun cukup memahami makna dibaliknya. Oke, ini bukan surat cinta biasa, bukan. Sama sekali jauh dari itu semua. Karena tidak ada pujian ataupun sanjungan di sana. Karena ini adalah surat ... PHK.Tadi ketika membaca surat tersebut, mataku berhenti pada satu kalimat, 'Pemutusan Hubungan Kerja'. Kalimat yang sempat membuatku terpekur sesaat, memikirkan nominal di rekening apakah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup selama masa-masa tak berpenghasilan.Ini salahku.Aku izin tidak masuk kerja di waktu yang tak tepat. Ketika kantor sedang dalam keadaan darurat karena salah seorang klien besar mendadak mendaftarkan asuransi anaknya yang baru lahir. Bayi tersebut mengalami masalah sehingga harus menjalani operasi. Aku yang bertanggung jawab atas proses pendafta
Pernahkah kamu terbangun dari tidur dan tidak memiliki tujuan untuk mengawali hari? Aku pernah. Hari ini tepatnya. Sejak dinyatakan dipecat, otomatis semua kesibukan yang kumiliki menguap bersamaan dengan realita yang ada. Aku seakan hilang arah, tak memiliki tujuan yang pasti lagi sekarang.Walaupun hidupku hanya diisi dengan kantor-rumah-kantor-rumah saja selama ini, tapi ada tujuan di sana. Ada senyum yang merekah, ada harapan yang membuncah. Ya, senyum dari teman-teman sekantorku dan juga harapan untuk jenjang karier yang selalu lebih baik lagi setiap tahunnya.Tapi kini, semua itu hilang. Terbang bersamaan dengan surat yang membawaku ada di posisi saat ini. Pengangguran.Pagi ini, kupaksakan diriku untuk tetap bersemangat apapun yang terjadi. Tetap mandi pagi dan juga sarapan seperti biasanya.
Aku memandang lurus ke depan. Menghirup udara dengan bebas. Semilir angin menerpa wajah, dan membuat helaian rambutku berlarian kesana kemari. Kuedarkan pandangan mata sekali lagi.Sungguh luar biasa ciptaanMu Tuhan. Tahukah kalian apa yang kulihat saat ini? Dihadapanku kini terbentang pemandangan laut berwarna hijau bercampur biru muda dan tua, ombak yang menggulung-gulung, hamparan pasir putih, tebing-tebing menjulang tinggi, batu karang yang besar, dan air laut sebening kristal.Kudongakkan kepala. Dengan bebas dapat kulihat langit biru yang begitu indah, dengan awan putih berarakan, saling berkejaran.Aku tersenyum.Katakan aku kampungan, katakan aku berlebihan. Tapi keindahan ini sungguh nyata. Bukan hanya pemandangan alamnya yang mampu membuatku menggelengkan kepala. Namun juga villa yang akan aku tinggali selama beberapa hari ke
Aku menengadah. Menatap proses alam yang begitu indah ketika matahari kembali ke peraduan, senja mencoba menaburkan rona jingga.Aku benci kehilangan. Muak dengan segala macam perpisahan. Tapi tidak kepada perpisahan yang terjadi antara surya dan cakrawala sore ini. Kalau boleh aku berharap agar waktu bisa terhenti sebentar, untuk dapat menikmati proses ini lebih lama lagi.Kuambil ponsel dan mencoba mengabadikan moment ini hingga berkali-kali."Cyiinn, sedih amat sih fotonya sendirian. Itu banyak bule nganggur. Samperin gih, ajak foto bareng. Kali aja jodoh. Kasian ih gue sama status jomblo tiga tahun lu itu, nggak pengen diperbaharui apa?" ujar Kevan tiba-tiba datang, ikut duduk di sebelahku pada kursi berpayung di pinggir pantai.Duh, Kevan
"Loh, Mbak Aya udah pulang? Katanya satu minggu di Bali," tanya bik Onah ketika melihatku masuk ke dalam rumah dengan menarik koper."Iya, Bik. Tiba-tiba saya ada urusan," jawabku berbohong dan merebahkan diri di sofa ruang keluarga. Lelah. Aku tidak tidur sejak semalam.Tadi pagi aku memutuskan untuk pulang dengan penerbangan paling pagi. Aku tak sudi melihat wajah Mario lagi setelah apa yang dia lakukan. Si Brengsek itu juga sudah membuat hubunganku dengan Kevan menjadi memburuk sejak semalam.Bahkan tadi pun aku tidak berpamitan pada Kevan ketika keluar dari villa untuk pulang ke Jakarta. Kevan sendiri juga tidak berusaha menghubungiku.Ketika cinta mengalahkan segalanya maka persahabatan yang sudah dibangun sejak Arya Saloka belum merajelala pun seakan sia-sia.Aku menghirup nafas pelan dan menghembuskannya perlahan. Sebuta itukah sahabatku sekarang?Aku jadi ingat kej
"Terima kasih teman-teman atas kedatangannya di pembukaan Vitamin Sea Resto, usaha baru gue bareng Aya, sahabat gue. Mohon doanya ya semua," ucap Kevan mengakhiri sambutannya.Para tamu bergantian menyalami Kevan dan memberikan ucapan selamat untuknya. Seulas senyum bahagia tercetak pada bibirnya yang tipis, setiap kali mendengar doa dan dukungan yang telah diberikan.Dua bulan yang lalu, setelah gagal membuka bisnis bersama Mario; karena tragedi pelecehan yang kualami, serta ketidaksengajaan Kevan menemukan fotoku pada ponsel mantan mesumnya itu. Kevan memutuskan untuk mengakhiri hubungan diantara keduanya.Selain mengubah status secara sepihak, sahabatku itu juga pada akhirnya turut membatalkan bisnis butiknya dengan pria yang berprofesi sebagai desainer itu dan lebih memilih aku untuk dijadikan rekan bisnis barunya.Bisnis yang aku dan Kevan pilih bergerak di bidang kuliner, khusus seafood. Ala
"Sori Kev, gue telat. Biasalah, macet," ucapku setibanya di Pepper Lunch Mall Kota Kasablanka, tempat aku dan Kevan janjian. Kevan yang tengah menikmati teriyaki double salmonnya ini mengangguk santai menerima ucapan maafku.Tadi siang ketika sedang mengecek stock bahan baku restoran, sahabatku ini tiba-tiba memaksa untuk bertemu. Ada hal penting yang ingin ia bicarakan."Bentar ya, Cyinn, eh Ay, gue makan dulu. Biar ada tenaga buat ngomong," ucapnya, membuat dahiku berkerut. "Lo udah pesen?" tanyanya memastikan. Aku mengangguk.Tidak berapa lama pesananku datang. Sembari mengaduk beef & hamburg curry rice-ku, sesekali kupandangi Kevan, bawah matanya terlihat menghitam. Dia sudah dua hari ini menjaga ayahnya di rumah sakit, wajar jika tubuhnya kurang istirahat."Om Darwin gimana kabarnya, Kev?" tanyaku setelah sekian lama diam.
Sepanjang perjalanan menuju rumah Lintang, penjelasan psikiater tadi terngiang-ngiang di telinga, merasuk ke otak dan secara tak sadar aku melakukan reply terus menerus. Kevan kemungkinan sembuh. Dan semua bergantung pada keinginan, semangat, dan tentu dukungan orang terdekat. Orang terdekat?Karena gay dianggap tabu, dan seringkali dipandang sebelah mata ataupun ditolak keberadaannya. Sehingga untuk bisa sembuh mereka membutuhkan dukungan dari orang terdekat. Orang yang sabar untuk mengingatkan dan memberikan semangat, bukan malah menghina dan menjauhi.Ini tak mudah, awalnya ada pertentangan dalam hatiku untuk menerima atau menolak lamaran Kevan; menjadi sosok yang lebih dekat lagi dalam hidupnya.Dan ini bukan hanya untuk sementara tapi selamanya, seumur hidupku. Apalagi pernikahan ini akan disahkan di hadapan Tuhan. Tanggung jawabnya
Mukjizat itu akhirnya terjadi ketika satu bulan Kevan tak sadarkan diri. Aku tertegun dan langsung menekan bel kala Kevan tiba-tiba menggerakan jemarinya dan perlahan-lahan membuka mata. Dia mengerjap dan seperti orang linglung, mungkin merasa bingung tiba-tiba ada di rumah sakit. Ingatannya selama tiga bulan sebelum kecelakaan itu terjadi, menghilang. Dia mengingatku, dia tahu aku istrinya. Namun ketika Lintang mengatakan, "Congrats ya, Kev. Lo mo jadi bapak. Aya hamil, tuh." Jawaban Kevan membuat semua orang tertegun. "Kamu hamil sama siapa?" Sorot matanya kosong dan tanpa ekspresi. "Ya sama lo lah. Kan lo suaminya," jawab Lintang ceplas ceplos. Butuh waktu bagiku untuk menjelaskan pada Kevan bagaimana aku hamil anaknya. Karena dalam ingatannya, dia belum berhasil menjadi laki-laki normal. Dia masih gay seperti yang dulu. Menurutnya suatu hal membingungkan melihatku hamil. Dia tak menuduhku berselingkuh namun masih belum menerima keberadaan anak
Terhitung satu minggu sudah Kevan tak sadarkan diri. Dan selama itu pula aku harus menjadi wanita hamil yang tangguh, mau tak mau. Jika wanita hamil seringkali manja, maka aku tak boleh seperti itu. Sepertinya anak dalam perutku ini mengerti kondisi kedua orang tuanya sehingga dia cukup membantuku dengan kondisinya yang tak rewel. Bahkan rasa mual yang dulu sering menyerang kini menguap dengan sendirinya. Aku juga tak mengalami ngidam. Bagaimana mungkin ngidam, untuk makan saja seringkali aku harus diingatkan. Keadaan Kevan membuatku seperti lupa rasa lapar.Terkadang aku merasa bersalah. Anak ini seharusnya mendapat asupan makanan yang cukup, tapi aku malah mengabaikannya. Orang-orang sekelilingku yang seringkali mengingatkan untuk tak terlalu banyak pikiran. Tapi dengan kondisi seperti ini bagaimana caraku mengenyahkan segala beban ini? Bagaimana caraku agar tak banyak berpikir? Siapa yang tak bersedih jika suami yang ia cintai tak sadarkan diri seperti ini?Bisnis K
Setibanya di gedung bercat putih itu, aku menyusuri lorong rumah sakit layaknya orang gila. Karena selama dalam perjalanan tadi, aku terus menerus menangis. Mungkin mataku sudah sembab sekarang, hidungku juga sudah memerah. Namun, aku tak peduli. Karena hanya kepastian kondisi Kevan yang kupedulikan saat ini, bukan yang lain. Beberapa orang yang berpapasan melihatku dengan pandangan aneh. Aku tak peduli. Dimana suamiku. Aku ingin melihat dia. Aku ingin memastikan bahwa ia baik-baik saja. Suamiku tak kenapa-kenapa. Setelah bertanya pada resepsionis dan dia tunjukkan letak ruang ICU. Maka di sinilah aku sekarang. Aku diminta menunggu karena seseorang yang katanya bernama sama dengan suamiku itu sedang dalam proses pemindahan dari IGD menuju ICU. Aku tak begitu jelas bagaimana kondisinya. Namun infomasi yan
"Ya udah Ay, ini bentar lagi aku mau jalan. Tiga jam lagi mungkin aku sampe rumah. See you, Sayang." Pada layar ponsel yang sedang kugenggam, lelaki itu tersenyum padaku dari dalam mobil. Dia sedang berada di Bandung sekarang, dan akan pulang ke rumah setelah urusan bisnis yang sedang dikerjakannya selama satu minggu ini selesai.Komunikasi yang kami lakukan hanya sebatas video call seperti ini. Tapi itu cukup untuk mengobati kerinduanku. Dia belum sempat bercukur. Wajahnya mulai ditumbuhi bulu-bulu halus. Membuat dia menjadi sedikit lebih, seksi?"Oke Kev, kamu ati-ati ya. Kalo capek istirahat aja dulu. Jangan dipaksain nyetirnya." Bagian bawah mata yang menghitam cukup menjelaskan dia kurang istirahat akhir-akhir ini. Sebetulnya aku khawatir Kevan melakukan perjalanan seorang diri dari Bandung-Jakarta dengan kondisi yang terlihat lelah. Tapi bukan Kevan namanya jika ia tak keras kepala. Aku sudah berusaha membujuk
"Heh, lo udah berhasil ya sama Kevan?" tanya Lintang tiba-tiba ketika aku sedang main ke rumahnya."Berhasil apaan?""Berhasil itu ... begituan. Iya yah?" tudingnya cepat tanpa basa basi. Aku jadi heran. Darimana dia tahu ya? Apa bentuk wanita yang sudah tak perawan itu terlihat dari luar? Seingatku dadaku masih begini saja bentuknya. Berat badanku juga tak mengalami perubahan yang berarti. Bibirku juga masih aman. Tak terlihat seperti gagal operasi. Lantas dari mana Lintang tahu?Jika sampai Kevan pelaku utamanya, aku dapat memastikan pintu kamar akan tertutup untuknya selama satu minggu."Apaan sih, Tang. Nggak ah." Bukan maksudku untuk berbohong. Tapi rasanya malu mengakui kenyataan itu. Entahlah aku tak terbiasa berbagi urusan ranjang dengan orang lain, meskipun itu sahabatku sendiri."Alah pake malu sama gue. Ngaku aja kenapa?""Kevan cerita lagi sama lo?" Aku betul-b
Aku membuka mata dan melihat satu wajah yang sedang tertidur dengan pulas berada di sampingku. Sudut bibirku tertarik hingga terbentuk seulas senyuman. Rasanya tak menyangka apa yang sudah terjadi semalam. Seperti mimpi di siang hari bolong. Tapi bercak darah semalam cukup menjelaskan segala sesuatunya. Aku tak lagi perawan.Kevan si Pelaku itu, dialah sosok yang telah mengambil keperawanku. Dia sahabat sekaligus suamiku, sosok yang dulunya sangat menyebalkan dan seringkali membuat kesal itu semalam berbagi peluh denganku.Kevan melakukannya dengan sangat lembut dan berhati-hati. Bahkan ketika aku menitikkan air mata pun dia sempat menghentikan gerakannya. Lelaki itu berpikir aku menangis karena rasa sakit yang kurasakan. Memang sakit tapi aku menangis bukan karena itu. Rasa haru lebih menyelimuti hatiku. Bagaimana tidak, sesuatu yang selama ini menjadi pergumulan kami pada akhirnya menemukan jalan untuk dilalui. Dan itu terasa indah untuk
Kamu masih lama Ay pulangnya?Sebuah chat whatsapp masuk. Dari Kevan. Akhir-akhir ini (lebih tepatnya setelah kami terbuka tentang perasaan masing-masing) Kevan menjadi lebih protektif. Dia seringkali bertanya jika aku pergi lumayan lama dari biasanya. Hanya sekedar menanyakan kemana dan jam berapa pulang saja, sih. Tapi itu termasuk kemajuan, Kevan yang dulu tak pernah seperti itu. Nggak sih, kayaknya. Kenapa?Aku membalas pesannya dan kutekan tombol send.Ya udah aku tunggu. Fotoin dong Ay kamu lagi ngapain.Kevan makin mirip ababil yang sedang jatuh cinta kan? Sedikit-
"Ayo Kev, kita masuk," ajakku. Kevan nampak ragu. Dia berkali-kali menggaruk tengkuknya. Ada keragu-raguan dari sorot mata dan gelagatnya. "Kenapa?" tanyaku kemudian. Heran akan sikapnya ini. "Aku takut." Dia diam sebentar. "Nanti kalo adek kecilku dipegang-pegang gimana?" lanjutnya lagi. Tapi dapat terlihat, dia sedang tak bercanda kali ini. Tak ada sorot mata iseng dan jahil seperti biasanya. Tak ada senyum menyebalkan yang seringkali menjadi andalan.Aku mengernyit, bingung. "Kenapa dipegang-pegang?" Dia diam sebentar. Dengan ragu menjelaskan ketakutannya. "Kan masalahku emang disitu. Biasanya orang kalo sakit aja yang dipegang bagian yang sakitnya kan?"Aku mendengkus. "Kev, kita ini m
"Aaaaaahhh.... uuuuhhhhh, aaaaahhh, uhhhhhhh!" Telingaku meremang, hatiku berdebar, napasku tercekat.Bukan ... jangan salah. Itu bukan suaraku. Lantas itu suara siapa? Jelas itu suara cewek. Asalnya dari kamar. Dan dia ... dia mendesah! Jantungku berdetak berkali-kali lipat. Jangan bilang Kevan membawa seorang wanita dan mereka ... mereka mesum di kamar kami.Shit!Aku menggeleng dengan cepat membayangkan hal itu terjadi. Sejak kapan Kevan bisa? Ups ... bukan maksudku meremehkan. Tapi kita semua tahu bagaimana Kevan 'kan? Dia sejak kapan bisa? Aku saja yang sudah dia nikahi selama dua tahun belum pernah ia sentuh. Lalu tiba-tiba dia membawa seorang perempuan ke rumah. Ini gila! Entah aku yang gila atau Kevan yang gila. Oh, sepertinya Kevan yang gila! Dia gila membawa wanita lain ke rumah kami, bahkan masuk hingga kamar!Dengan perasaan campur aduk, aku buru-buru melangkah menuju ke tempat suara itu berasal. Kamar kami. Suara desahan itu semakin terdengar