"Ya ampun Ratih!" seru Alya kaget, gadis dengan baju yang tampak mewah berbanding terbalik dengan Ratih itu tak menyangka akan bertemu dengan teman kuliahnya dahulu di sini dan dalam keadaan seperti ini.Ratih tersenyum sungkan, merasakan batas yang membumbung tinggi antara dirinya dan Alya. Seperti langit dan bumi kalau kata orang-orang. Padahal dulu ia dan Alya begitu dekat dan tampilannya juga sama seperti Alya."Kamu kenapa bisa di sini? Maaf banget aku gak sengaja Ratih, aku buru-buru jadi gak lihat kalau ada kubangan air di dekat sini. Baju kamu basah jadinya.""Aku gak apa-apa kok, cuma basah sedikit, nanti juga kering sendiri.""Tetap saja aku merasa gak enak, lagipula ...." Alya menatap amplop coklat di tangan Ratih, menatap wanita itu dengan pandangan menelisik. "Kamu abis ngelamar kerja?"Ratih terkesiap, ia gelagapan dan menyembunyikan amplop di tangannya ke belakang tubuh. "Kenapa kamu ngelamar kerja? Perusahaan Papa kamu ...?" Alya tak melanjutkan ucapannya demi melihat
Irfan menutup pintu kamar, melangkah mendekati Ratih yang tengah termenung di pinggir ranjang. Kehadirannya membuat wanita itu tersentak kaget kemudian menoleh.Wajah wanita itu tampak lesu, seiring helaan nafas berat keluar dari mulutnya. "Kenapa sayang? Wajahmu kelihatan gak bersemangat gitu. Ada masalah di tempat kerjamu sekarang?"Ratih menggeleng, sudah satu bulan memang ia bekerja diperusahaan Alya. Brata Grup yang sangat terkenal sebagai perusahaan besar di kota ini. Bahkan milik papanya yang di luar kota tidak ada apa-apanya.Gajinya juga besar, sangat mumpuni untuk menyokong kehidupannya bersama Irfan. Bahkan mereka sekarang sudah tidak makan nasi berlaukkan tahu tempe lagi.Sebenarnya semua berjalan lancar. Tak ada hal yang menyulitkannya di kantor apalagi teman-teman kerjanya sangat baik.Hanya satu masalah.Entah kenapa Ratih sangat iri dengan kehidupan Alya yang tampak mudah di matanya itu. Meeting dengan beberapa client penting, dihormati oleh banyak orang, mengendarai
"Ngapain kita ke sini Ratih?" tanya Irfan sembari celingukan. Keduanya kini tengah berada di pinggir jalan, tepat di samping sebuah pagar pembatas dedaunan yang membatasi jalan satu dengan jalan yang lain.Jalan di sini tampak sepi, wajar jalanan kawasan para elit yang merupakan orang-orang atas. Tak sering dilewati banyak orang, apalagi para penjual kaki lima yang sering gelar lapak dadakan.Ratih mengeluarkan sesuatu dari kantong jaketnya. Hal itu tak luput dari perhatian Irfan. Sebuah bungkusan plastik hitam berisi paku-paku yang cukup besar. Ia hendak beranjak ke tengah jalan, namun dicegah oleh Irfan."Kamu mau ngapain?" tanya Irfan waspada."Ya, mau nyebarin paku-paku ini ke jalanan lah, ngapain lagi, Mas?""Buat apa Ratih? Nanti kalau ada kendaraan yang lewat dan ban mobil mereka ketusuk paku bagaimana?""Justru itu tujuanku, Mas. Kamu tahu ini jam berapa?" "Delapan malam," jawab Irfan bingung entah apa hubungannya."Setiap hari selasa di jam-jam segitu Alya selalu lewatin jal
"Mas Irfan terima kasih, kalau tidak ada Mas yang kebetulan lewat seperti ini saya tidak tahu harus melakukan apa," ucap Alya dengan tulus saat Irfan selesai mengganti ban mobilnya yang rusak tadi."Tidak apa-apa Mbak Alya saya justru senang bisa membantu," jawab Irfan sembari mengusap pakaiannya yang sedikit kotor karena berbaring di tanah tadi."Maaf saya jadi merepotkan," tukas Alya merasa tak enak. Ia kemudian berbalik dan mengambil tasnya, memberikan beberapa lembar uang pada Irfan."Untuk apa?" tanya Irfan tidak mengerti. Ia menatap bingung pada Alya."Sebagai balas budi saya, Mas harus terima, saya memaksa!""Tapi saya tidak perlu, Mbak. Saya bantu ikhlas kok.""Mas Irfan jangan begitu, saya tidak enak, terima saja, ya!" Alya memaksa menyelipkan beberapa lembar uang merah itu ke tangan Irfan."Tapi Mbak, saya benar-benar tidak butuh uang." Irfan tersenyum sejenak sembari mengembalikan uang itu pada Alya. "Ehm ... kalau mbak memang berterima kasih, beri saja saya pekerjaan. Saya
Irfan membonceng Ratih menuju rumah kontrakan mereka tanpa suara, tak ada perbincangan yang biasa mereka lakukan. Entahlah Irfan merasa malas saja.Tibanya sampai di depan rumah, begitu membuka kunci ia langsung masuk ke dalam kamar, melepaskan jaketnya. Sejenak merogoh kantung jaket dan baru sadar kalau uang yang diberikan Alya tadi masih belum ia keluarkan dan tunjukkan pada Ratih.Irfan menghembuskan nafas kasar setelah melihat lembaran uang itu. Sebenarnya ia tahu, sulit untuk menjadi Ratih yang tiba-tiba saja harus menyesuaikan diri dengan keadaan ekonomi serba terbatas.Dahulu, sebelum menikah dengannya Ratih hidup senang tanpa perlu bekerja. Bahkan mau makan juga sudah ada yang melayani. Melihat perjuangan wanita itu yang masih mau bertahan dengannya bahkan punya planning untuk meningkatkan taraf ekonomi mereka walau dengan jalan yang salah, sedikit banyak Irfan sadar ia merasa bersalah dengan istrinya itu.Tidak mudah menyesuaikan diri dengan keadaan ekonomi yang sangat beru
"Selamat pagi Mas Irfan, senang bertemu dengan anda lagi," sapa Alya dengan ramah saat lelaki itu masuk ke dalam ruangan.Ya, akhirnya Irfan memutuskan untuk masuk juga. Lagipula sejak kemarin malam ia sudah bertekad untuk tetap menghadapi hal ini apapun yang terjadi.Sudah kepalang basah, mending nyemplung sekalian. Lagipula Irfan tidak bisa kembali lagi sekarang."Selamat pagi juga Mbak Alya.""Silahkan duduk di sini. Minum juga kopinya mumpung masih panas!"Irfan duduk dengan canggung, menatap Alya dengan bingung. Ruangan wanita itu terdapat di salah satu lantai atas gedung. Bagian luar gedung yang dilingkupi kaca mampu membuat Irfan melihat banyak orang-orang yang melamar kerja bersamanya tadi masih berbaris di luar sana."Banyak sekali yang melamar, ya," ucap Alya tiba-tiba seolah tahu kalau Irfan tengah memperhatikan para pelamar-pelamar itu padahal sedari tadi Irfan melihat kalau Alya tengah berkutat dengan berkas-berkas di hadapannya saat ini."Di antara mereka, hanya tiga or
"Irfan itu kalau dilihat-lihat lelaki yang sangat baik, ya, Al," ucap Ratih dalam perjalanan pulang mereka menggunakan mobil Alya.Ratih melirik gadis di sebelahnya yang sepertinya tak terlalu tertarik. Justru karena itu ia sedari tadi ia berusaha memancing Alya untuk membicarakan Irfan karena saat makan bersama tadi Ratih melihat interaksi Alya dengan Irfan hanya sekedar bos dan atasan meskipun Alya sangat ramah pada suaminya itu.Ratih tentu saja tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Ia perlu mempengaruhi Alya dan juga mengajari Irfan bagaimana cara mendekati Alya walau profesi mereka bagaikan bumi dengan langit."Kenapa kamu bisa ngomong gitu?" tanya Alya."Saat kamu ke toilet tadi aku sempat ngobrol dengan dia. Katanya dia bekerja untuk membiayai kuliah adiknya. Dia bekerja keras supaya adiknya mendapat pendidikan yang layak, tapi sayang satu tahun lalu adiknya berpulang setelah wisuda. Karena itu dia merantau ke kota ini.""Benarkah? Kasihan sekali," ucap Alya sembari menoleh ke
"Kamu yakin kita gak bakalan ketahuan?" tanya Irfan setelah mendengar cerita Ratih tadi. Kini mereka dalam perjalanan pulang ke rumah. Membatalkan acara makan yang sudah direncanakan sebelum pergi tadi."Gak tahu, Mas, sekarang yang penting kita pergi dulu sebelum dia sempat melihat kita.""Gimana kalau dia ngelaporin hal ini sama Alya, apa yang mesti kamu lakukan?"Ratih terdiam, ia sesaat menahan langkah menuju parkiran mall. Mereka melalui jalan memutar, sebisa mungkin menghindar dari Fatih yang mungkin saja akan mengikuti jika laki-laki itu benar-benar penasaran."Aku akan meyakinkan Alya kalau itu bukan aku.""Kalau dia gak percaya? Fatih dan Alya berteman lebih lama daripada kamu dengan Alya. Menurutmu siapa yang akan dia percaya?"Ratih terdiam lagi, kali ini menggigiti kukunya sembari berpikir keras. "Kalau begitu kamu yang buat dia percaya," cetus Ratih tiba-tiba.Irfan menunjuk dirinya sendiri. "Aku? Kenapa harus aku?""Kamu tahu kalau selama ini Alya mulai tertarik padamu,
"A--apa ini Fat?" tukas Alya dengan terbata."Kejutan, untukmu."Alya berbinar, perasaan bahagianya memuncak. Ia menatap Fatih lekat, lantas memeluk laki-laki itu dengan erat."Jadi ini rahasia yang kau katakan padaku?""Hm ....""Karena itu kau ngotot ingin mengajakku kemari dan membujukku yang sedang marah?""Menurutmu?""Kapan kau menyiapkan semua ini?" tanya Alya sembari melerai pelukannya dari Fatih. Tapi lelaki itu menahan pinggangnya membuat keduanya kini mengobrol sembari berpelukan."Sejak pagi, dan karena itu aku tak mau gagal untuk mengajakmu kemari. Jujur saat tadi pagi kau marah padaku, aku sempat bingung harus melakukan apa, Al.""Fat ... ini sangat menakjubkan ...." Alya mengerjap, air matanya perlahan jatuh, Fatih dengan cepat mengusap pipi Alya menggunakan punggung tangannya."Kalau begitu jangan menangis, air matamu membuatku terluka Alya," bisik Fatih lembut tepat di telinga Alya."Ini bukan tangis kesedihan, Fat. Ini tangis bahagia, aku sangat bahagia sampai bisa m
Meski Alya masih merasa sedikit marah, tapi ia terlanjur penasaran dengan hal rahasia yang Fatih ingin katakan padanya. Untuk itu, ia mulai berhias dan menanti kedatangan lelaki itu untuk menjemputnya malam ini."Halo, Ma," ucap Alya sembari tersenyum pada sang Mama yang melakukan panggilan video dari rumah sakit padanya.Kesibukan Alya untuk kembali membuat perusahaan maju membuatnya terkadang tak sempat untuk datang ke rumah sakit guna menjenguk Papa dan Mamanya. Tapi, setiap hari setelah pulang dari kantor ia pasti selalu menyempatkan diri untuk melakukan panggilan video."Rapi sekali, kamu mau ke mana?" tanya sang Mama dari sebrang telepon."Diajak pergi sama Fatih, Ma. Tapi dia gak bilang mau ke mana.""Dinner, ya?" Alya tak menjawab, ia tersenyum lebar sembari memasang anting-anting di telinga."Mungkin Ma, Fatih gak bilang mau ngapain, dia juga gak bilang mau ke tempat apa. Rahasia katanya.""Mau kasih kejutan buat kamu kayaknya. Dulu Papa kamu juga gitu sama Mama. Main rahasi
Seperti yang Alya harapkan. Setelah keluar dari rumah sakit ia mendapat kabar baik kalau Irfan telah mendapat tambahan masa tahanan setelah menyerangnya beberapa waktu lalu.Rasanya luka yang Alya dapatkan sebanding dengan ganjaran yang lelaki itu perbuat."Saya sudah melakukan sesuai yang Nona mau. Daftar keuangan perusahaan, kinerja karyawan selama Pak Irfan menjabat dan kondisi saham saat ini. Nona bisa memeriksanya lebih dahulu, kalau ada yang kurang saya akan bawakan kembali."Alya mengalihkan pandangannya dari ponsel yang menayangkan berita terkini. Ia menoleh pada berkas yang ia minta pada Refan lalu menatap lelaki berkacamata itu dengan senyum lebar."Terima kasih Refan, kau selalu bisa aku andalkan. Sekarang kembalilah ke ruang kerjamu, nikmati waktu santaimu sebentar agar kau tidak stress karena terus menerima perintah dariku."Tak masalah Nona itu memang pekerjaan saya.""Menurutlah kalau aku sudah memerintahkanmu untuk istirahat! Kau selalu begitu, rajin sekali. Aku yang t
Fatih terkesiap saat merasakan gerakan dari tangan Alya yang berada dalam genggamannya. Ia mendongak dan sesaat tersenyum saat melihat Alya sudah sadar."Fat," panggil Alya kemudian. Fatuh segera mendekat, mengelus rambut wanita itu."Aku di sini Al, ada apa?""Aku haus."Fatih bernafas lega, setidaknya hal yang dikatakan Alya tak mengkhawatirkannya. Ia segera mengambil air mineral kemasan dan mengarahkannya ke mulut Alya."Sudah?"Alya mengangguk. Fatih meletakkan air mineral itu di atas nakas, lantas beralih menatap Alya sembari menggenggam tangan wanita itu kembali."Bagaimana kondisimu?" tanya Fatih sembari menaikkan kepala ranjang Alya agar ia lebih mudah menatap wanita itu.Alya terkekeh. "Menurutmu?""Ya, tidak akan ada orang yang bilang kalau setelah dirinya mendapatkan satu tembakan ia akan merasa baik-baik saja. Kupikir kau juga sama Al.""Begitulah, seperti yang kau lihat. Rasanya lumayan sakit, tapi Fat, apa kau tahu, entah kenapa aku merasa puas setelah mendapatkan tembak
Fatih keluar dari ruang operasi sembari melepas masker miliknya. Terdengar dering ponselnya mulai berbunyi, lelaki yang sedang mencuci tangannya itu bergegas mengeringkan tangan dan mengangkat panggilan tersebut. "Halo," ucap Fatih kemudian. " .... " "Ya, benar itu saya. Untuk reservasi jam tujuh malam." Fatih bergegas melangkah pergi sembari tersenyum lebar. " .... " "Ya, tolong dipastikan semuanya lancar dan sudah sedia saat saya datang nanti." " .... " "Baiklah terima kasih banyak." Panggilan itu terputus, Fatih mengantongi ponsel ke dalam saku. Hari ini ia sangat bahagia, semua rasanya berjalan lancar sesuai dengan keinginannya. Operasinya berjalan lancar dan rencananya juga hari ini sepertinya akan berjalan lancar. Rencana untuk melamar Alya secara romantis, tak seperti di cafe kemarin. Meski Alya berulangkali memberitahukan untuk tak melakukannya, namun Fatih memaksa. Ini lamaran untuk wanita pertamanya, dan ia mau hal ini menjadi sesuatu yang berkesan untuk Alya. Setid
Irfan mengerjap dengan susah payah, bahkan untuk menggerakkan bibirnya saja ia tidak sanggup. Penghuni lapas yang bersamanya benar-benar gila, memukulinya tanpa ampun, tanpa alasan yang berarti mengakibatkan tubuhnya sakit-sakitan seperti ini.Ia tidak tahu apakah hal ini dialami oleh seluruh penghuni sel tahanan yang baru atau tidak, tapi melihat ia terus berteriak meminta tolong sementara tak ada satupun sipir, walau sedang berpatroli sekalipun untuk berhenti dan melihat keadaannya, Irfan yakin ini disengaja.Ia juga berkeyakinan ini adalah ulah Alya yang tak cukup menaruhnya dalam sel penjara tapi juga mengirimnya untuk masuk ke dalam neraka.Bahkan sekarang, tiga orang yang menghuni lapas bersamanya itu tampak baik-baik saja dan makan sarapan dengan damai, meninggalkan ia seorang diri dengan perut perih menahan lapar karena jatah makannya diambil oleh si botak yang mencekiknya kemarin.Tubuhnya bahkan tergeletak di lantai yang dingin karena tak diberikan alas tidur yang memadai.
"Besok sidang pertama, kan?" tanya Fatih saat keduanya bertemu di cafe. Alya mengangguk. "Kau mau ikut?""Sayangnya besok aku ada operasi," ucap Fatih menyayangkan. "Tapi setelahnya aku akan menemuimu."Alya tersenyum, mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Fatih yang berada di atas meja. Lelaki itu mendongak, menatap Alya sembari terkekeh."Kau mau menggodaku?""Tidak," ucap Alya seraya mencebik, memangnya menggenggam tanganmu tak boleh ya? Sebuah larangan?""Bukan begitu." Fatih menggenggam tangan Alya dengan erat. "Hanya saja aku masih belum terbiasa, lagipula kita tak punya hubungan apa-apa.""Kau benar, Fat. Kalau begitu apa kau tidak mau menjalin hubungan denganku? Kupikir kita sudah sangat dekat bahkan tahu satu sama lain. Boleh aku tanya sesuatu? Kau menyukaiku?"Fatih bergeming, menatap Alya tanpa berkedip dengan wajah memerah."Ehm ... kenapa tiba-tiba menanyakan hal itu?"Alya mengangkat bahu. "Hanya butuh pengakuan.""Apa tak cukup penjelasan tak tersirat yang selama i
Alya tersenyum, menatap kaca bening yang menghubungkan ruang kerjanya dengan pemandangan di luar sana. Ia memejam, menyentuh bibirnya, lantas tersenyum kembali.Setelah bertemu dengan kedua orang tuanya tadi, Fatih mengantarnya kembali ke kantor karena ada hal yang harus ia kerjakan, begitu juga lelaki itu langsung kembali ke rumah sakit.Alya bahagia, hubungannya dengan Fatih sudah membaik. Ah, bahkan jauh lebih baik dari sebelumnya. Entah kenapa Alya merasa bahagia, kebahagiaan ini bahkan jauh lebih besar ia rasakan ketimbang saat ia jatuh cinta pada Irfan dahulu.Jatuh cinta?Alya memiringkan kepalanya dengan alis bertaut. Ia bertanya-tanya pada perasaannya sendiri, benarkah ia jatuh cinta pada Fatih? Secepat itu? Hanya karena satu kecupan yang lelaki itu berikan untuknya?Bukan!Alya yakin bukan itu, meski jantungnya sekarang sudah berdebar tak karuan. Apalagi saat mengingat wajah Fatih. Tiba-tiba ia merasakan hal seperti ini. Hal yang sangat jarang terjadi meski ia sedang memikir
Alya berjalan perlahan keluar dari ruangan kamar inap sang Papa. Ibunya tertidur setelah mengobrol banyak hal dengannya tadi. Meski jauh di lubuk hatinya yang terdalam Alya juga ingin bicara dengan sang Papa. Namun, takdir berkata lain, papanya masih juga tak sadar dari komanya. Alya hanya harus menunggu, tapi entah kapan. Sesaat setelah menutup pintu ruangan dan berbalik, Alya mematung di tempat. Di lorong rumah sakit menuju ruangan papanya tampak Fatih berdiri dengan menenteng satu bungkusan plastik di tangan. Lelaki itu tampak terkejut saat melihat Alya, lalu beberapa saat kemudian berbalik pergi. "T--tunggu, Fatih!" panggil Alya membuat langkah kaki lelaki itu tertahan. Fatih bergeming di tempat, sama sekali tak mau menoleh ke arah Alya sedikitpun. Wanita itu menghela nafas, melangkah mendekati Fatih dan berdiri di hadapan lelaki itu. "Jujur saja, kau sedang menghindariku, kan?" tanya Alya penuh selidik, matanya memicing menatap mata Fatih yang sama sekali tak mau menatapny