"Irfan itu kalau dilihat-lihat lelaki yang sangat baik, ya, Al," ucap Ratih dalam perjalanan pulang mereka menggunakan mobil Alya.Ratih melirik gadis di sebelahnya yang sepertinya tak terlalu tertarik. Justru karena itu ia sedari tadi ia berusaha memancing Alya untuk membicarakan Irfan karena saat makan bersama tadi Ratih melihat interaksi Alya dengan Irfan hanya sekedar bos dan atasan meskipun Alya sangat ramah pada suaminya itu.Ratih tentu saja tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Ia perlu mempengaruhi Alya dan juga mengajari Irfan bagaimana cara mendekati Alya walau profesi mereka bagaikan bumi dengan langit."Kenapa kamu bisa ngomong gitu?" tanya Alya."Saat kamu ke toilet tadi aku sempat ngobrol dengan dia. Katanya dia bekerja untuk membiayai kuliah adiknya. Dia bekerja keras supaya adiknya mendapat pendidikan yang layak, tapi sayang satu tahun lalu adiknya berpulang setelah wisuda. Karena itu dia merantau ke kota ini.""Benarkah? Kasihan sekali," ucap Alya sembari menoleh ke
"Kamu yakin kita gak bakalan ketahuan?" tanya Irfan setelah mendengar cerita Ratih tadi. Kini mereka dalam perjalanan pulang ke rumah. Membatalkan acara makan yang sudah direncanakan sebelum pergi tadi."Gak tahu, Mas, sekarang yang penting kita pergi dulu sebelum dia sempat melihat kita.""Gimana kalau dia ngelaporin hal ini sama Alya, apa yang mesti kamu lakukan?"Ratih terdiam, ia sesaat menahan langkah menuju parkiran mall. Mereka melalui jalan memutar, sebisa mungkin menghindar dari Fatih yang mungkin saja akan mengikuti jika laki-laki itu benar-benar penasaran."Aku akan meyakinkan Alya kalau itu bukan aku.""Kalau dia gak percaya? Fatih dan Alya berteman lebih lama daripada kamu dengan Alya. Menurutmu siapa yang akan dia percaya?"Ratih terdiam lagi, kali ini menggigiti kukunya sembari berpikir keras. "Kalau begitu kamu yang buat dia percaya," cetus Ratih tiba-tiba.Irfan menunjuk dirinya sendiri. "Aku? Kenapa harus aku?""Kamu tahu kalau selama ini Alya mulai tertarik padamu,
"Kau menyukaiku?"Fatih memejam, menutup matanya dengan lengan. Nyatanya pertanyaan yang Alya lontarkan tadi tak mampu sekalipun ia jawab.Mau menyangggah, tapi pertanyaan itu benar adanya. Jika ia mengatakan hal yang sebenarnya, Fatih takut sekali. Bagaimana jika tiba-tiba Alya menghindarinya. Bukankah selama ini mereka sangat dekat. Jika menjauh, Fatih tak tahu harus melakukan apa.Entah kenapa ia tak punya keberanian. Mungkin karena tahu cintanya tak akan berbalas. Karena ia tahu dengan pasti, Alya telah menyukai orang lain sekarang. Orang yang ia curigai telah mempunyai hubungan dengan sahabat Alya.Sontak, Fatih membuka mata, menyingkirkan lengannya. Menatap plafon kamar yang berhiaskan cat berwarna putih itu.Setidaknya, ia harus mencegah Alya mengalami patah hati walau tak bisa memiliki wanita itu. Fatih harus menyelidiki hal ini, ia belum lama mengenal Ratih dan Irfan. Tapi dari gelagat mereka, Fatih tahu sekali kalau keduanya punya sesuatu yang disembunyikan.****Tok! Tok! T
"Aku mau kita cerai!" seru Ratih dengan suara lantang. Genangan air tampak di pelupuk matanya. Ia menatap wajah Irfan dengan sendu tak menyangka lelaki itu bisa mengkhianati janji mereka dulu.Janji yang bahkan ditanyakan oleh Irfan sebelum lelaki itu menikah dengan Alya. Ratih hidup dengan janji-janji itu walau ia tahu, hati Irfan terpaku untuknya.Tapi itu dulu, sekarang ia sudah tak percaya. Bukti foto panas Irfan dengan Elena menyakiti hatinya. Entah kenapa lebih perih daripada dengan Alya. Mungkin karena mendekati Alya adalah suruhan Ratih sementara mendekati Elena adalah keinginan Irfan sendiri.Jelas sekarang Ratih merasa muak, bahkan ia sudah benci untuk menunggu. Nyatanya kekayaan yang ia dapatkan setelah Irfan menikah dengan Alya hanya membuatnya senang sesaat saja. Apalagi sejak Irfan tak mulai sering bertemu dengannya dan sering bersama dengan Alya dengan alasan agar rencana mereka tak terbongkar.Sejak saat itu Ratih merasa kesepian. Muncul ketakutan dalam hatinya kalau
Fatih mengangkat bahu. "Aku juga sudah memperingati Alya beberapa kali, tapi wanita itu sama sekali tidak mau mendengarkanku, bahkan membuat hubungan kami sedikit merenggang."Fatih kini menatap lurus ke depan, di depan pintu kamarnya Alya telah keluar dengan wajah penuh penyesalan sembari menatap Fatih. "Aku telah belajar banyak dari kesalahanku di masa lalu," ucap Alya sembari mengusap pipinya. Ia berjalan mendekati Fatih dan Refan."Kau menangisi laki-laki itu?" tanya Fatih dengan tawa sinis."Tepatnya menangisi kebodohanku karena bisa-bisanya tidak sadar karena dibodohi selama bertahun-tahun. Padahal aku berpendidikan Master, aku merasa kepintaranku sia-sia.""Cinta memang membuat buta," celetuk Refan tiba-tiba seketika membuat Alya dan Fatih menoleh ke arahnya.Lelaki dengan kacamata itu menatap bergantian ke arah Alya dan Fatih. Kedua alisnya terangkat, menanyakan dengan isyarat mata.Sang Nona dan sahabatnya itu malah menghela nafas sembari menunduk. Membuat Refan sejenak be
Pagi ini dengan langkah terburu-buru Irfan masuk ke dalam kantor. Tingkahnya membuat ia menjadi pusat perhatian orang-orang.Tapi Irfan tak memperdulikan hal itu, baginya apa yang akan ia tuju lebih penting daripada perhatian orang-orang saat ini.Elena, wanita itu harus ia temui secepatnya."Di mana dia?" tanya Irfan begitu ia tak sengaja bertemu dengan Refan sesaat setelah lelaki itu keluar dari lift. Lelaki berkacamata itu menatap Irfan dengan raut bingung."Siapa yang di mana, Pak Irfan?" "Elena.""Ah, saya tak sengaja bertemu dengannya di ruangan anda tadi. Entah kenapa wajahnya tak seceria biasanya, ia tampak sedikit ....""Terima kasih," tukas Irfan memotong ucapan Refan seraya menepuk bahu lelaki itu. Lantas melesat secepat kilat masuk ke dalam lift yang hampir menutup.Refan memperhatikan tingkah Irfan dengan mengangkat bahu. Ia menaikkan kacamatanya sembari tersenyum samar dan melangkah pergi.Irfan menunggu dengan tidak sabar, lift yang bergerak terasa lambat menurutnya. S
"Aku sudah membuatnya menandatangani berkas-berkas ini, sekarang hubungi detektif Ardi untuk bertemu di cafe Bintara," tukas Alya setelah ia keluar dari ruangan Irfan dan berbisik pelan sembari menyentuh in ear yang tersembunyi di telinga, tertutup oleh rambut panjangnya."Baik Nona, aku akan memberitahu detektif Ardi sekarang.""Kau akan menyusul nanti, kan?""Ya Nona, setelah aku menyelesaikan urusanku di sini lebih dulu. Irfan terus menghubungiku untuk datang ke ruangannya, aku tidak ingin dia tahu kalau aku sedang merencanakan sesuatu dengan Nona saat ini.""Baiklah Refan, aku harap kau cepat datang.""Ya Nona."Alya menyimpan ponselnya setelah mematikan panggilan. Sejenak ia menatap nomor Fatih yang terletak di bawah panggilan Refan.Setelah kejadian kemarin malam Fatih sama sekali tak bisa dihubungi oleh Alya. Lelaki itu seperti menghindarinya setelah pengungkapan perasaan yang tidak direncanakan.Sebenarnya, tanpa Fatih tahu Alya sama sekali tak bisa tidur sejak kepulangan Fat
Sesampainya di apartemen, Alya membongkar laci meja kerjanya, mengambil buku harian di sana. Ia tahu ia seorang yang pelupa dan beberapa hal selalu ia catat dalam buku harian miliknya. Hadiah sang Papa saat ia masuk SD beberapa tahun lalu.Alya membuka lembaran penuh buku-buku itu. Memeriksa keseluruhan membutuhkan cukup banyak waktu, namun hanya itu satu-satunya cara agar ia bisa mengetahui password emailnya ponselnya yang meleleh pasca kecelakaan kemarin.Alya membaca sekilas kenangan-kenangan receh yang ia tulis dalam buku harian itu. Begitu mendapatkannya pertama kali ia sering sekali menulis, hampir setiap hari malah.Sekarang baru Alya sadari, masa kecilnya tak lepas dari Fatih. Setiap lembaran kisah hidupnya selalu ada nama Fatih di sana. Alya tersenyum tanpa sadar, saking terbiasanya hidup dengan Fatih di sisinya, ia sampai terbiasa karena Fatih selalu ada dalam perjalanan hidupnya.Kalau dipikir-pikir, bahkan setelah menikah dengan Irfan dan mereka menjalani hidup masing-masi
"A--apa ini Fat?" tukas Alya dengan terbata."Kejutan, untukmu."Alya berbinar, perasaan bahagianya memuncak. Ia menatap Fatih lekat, lantas memeluk laki-laki itu dengan erat."Jadi ini rahasia yang kau katakan padaku?""Hm ....""Karena itu kau ngotot ingin mengajakku kemari dan membujukku yang sedang marah?""Menurutmu?""Kapan kau menyiapkan semua ini?" tanya Alya sembari melerai pelukannya dari Fatih. Tapi lelaki itu menahan pinggangnya membuat keduanya kini mengobrol sembari berpelukan."Sejak pagi, dan karena itu aku tak mau gagal untuk mengajakmu kemari. Jujur saat tadi pagi kau marah padaku, aku sempat bingung harus melakukan apa, Al.""Fat ... ini sangat menakjubkan ...." Alya mengerjap, air matanya perlahan jatuh, Fatih dengan cepat mengusap pipi Alya menggunakan punggung tangannya."Kalau begitu jangan menangis, air matamu membuatku terluka Alya," bisik Fatih lembut tepat di telinga Alya."Ini bukan tangis kesedihan, Fat. Ini tangis bahagia, aku sangat bahagia sampai bisa m
Meski Alya masih merasa sedikit marah, tapi ia terlanjur penasaran dengan hal rahasia yang Fatih ingin katakan padanya. Untuk itu, ia mulai berhias dan menanti kedatangan lelaki itu untuk menjemputnya malam ini."Halo, Ma," ucap Alya sembari tersenyum pada sang Mama yang melakukan panggilan video dari rumah sakit padanya.Kesibukan Alya untuk kembali membuat perusahaan maju membuatnya terkadang tak sempat untuk datang ke rumah sakit guna menjenguk Papa dan Mamanya. Tapi, setiap hari setelah pulang dari kantor ia pasti selalu menyempatkan diri untuk melakukan panggilan video."Rapi sekali, kamu mau ke mana?" tanya sang Mama dari sebrang telepon."Diajak pergi sama Fatih, Ma. Tapi dia gak bilang mau ke mana.""Dinner, ya?" Alya tak menjawab, ia tersenyum lebar sembari memasang anting-anting di telinga."Mungkin Ma, Fatih gak bilang mau ngapain, dia juga gak bilang mau ke tempat apa. Rahasia katanya.""Mau kasih kejutan buat kamu kayaknya. Dulu Papa kamu juga gitu sama Mama. Main rahasi
Seperti yang Alya harapkan. Setelah keluar dari rumah sakit ia mendapat kabar baik kalau Irfan telah mendapat tambahan masa tahanan setelah menyerangnya beberapa waktu lalu.Rasanya luka yang Alya dapatkan sebanding dengan ganjaran yang lelaki itu perbuat."Saya sudah melakukan sesuai yang Nona mau. Daftar keuangan perusahaan, kinerja karyawan selama Pak Irfan menjabat dan kondisi saham saat ini. Nona bisa memeriksanya lebih dahulu, kalau ada yang kurang saya akan bawakan kembali."Alya mengalihkan pandangannya dari ponsel yang menayangkan berita terkini. Ia menoleh pada berkas yang ia minta pada Refan lalu menatap lelaki berkacamata itu dengan senyum lebar."Terima kasih Refan, kau selalu bisa aku andalkan. Sekarang kembalilah ke ruang kerjamu, nikmati waktu santaimu sebentar agar kau tidak stress karena terus menerima perintah dariku."Tak masalah Nona itu memang pekerjaan saya.""Menurutlah kalau aku sudah memerintahkanmu untuk istirahat! Kau selalu begitu, rajin sekali. Aku yang t
Fatih terkesiap saat merasakan gerakan dari tangan Alya yang berada dalam genggamannya. Ia mendongak dan sesaat tersenyum saat melihat Alya sudah sadar."Fat," panggil Alya kemudian. Fatuh segera mendekat, mengelus rambut wanita itu."Aku di sini Al, ada apa?""Aku haus."Fatih bernafas lega, setidaknya hal yang dikatakan Alya tak mengkhawatirkannya. Ia segera mengambil air mineral kemasan dan mengarahkannya ke mulut Alya."Sudah?"Alya mengangguk. Fatih meletakkan air mineral itu di atas nakas, lantas beralih menatap Alya sembari menggenggam tangan wanita itu kembali."Bagaimana kondisimu?" tanya Fatih sembari menaikkan kepala ranjang Alya agar ia lebih mudah menatap wanita itu.Alya terkekeh. "Menurutmu?""Ya, tidak akan ada orang yang bilang kalau setelah dirinya mendapatkan satu tembakan ia akan merasa baik-baik saja. Kupikir kau juga sama Al.""Begitulah, seperti yang kau lihat. Rasanya lumayan sakit, tapi Fat, apa kau tahu, entah kenapa aku merasa puas setelah mendapatkan tembak
Fatih keluar dari ruang operasi sembari melepas masker miliknya. Terdengar dering ponselnya mulai berbunyi, lelaki yang sedang mencuci tangannya itu bergegas mengeringkan tangan dan mengangkat panggilan tersebut. "Halo," ucap Fatih kemudian. " .... " "Ya, benar itu saya. Untuk reservasi jam tujuh malam." Fatih bergegas melangkah pergi sembari tersenyum lebar. " .... " "Ya, tolong dipastikan semuanya lancar dan sudah sedia saat saya datang nanti." " .... " "Baiklah terima kasih banyak." Panggilan itu terputus, Fatih mengantongi ponsel ke dalam saku. Hari ini ia sangat bahagia, semua rasanya berjalan lancar sesuai dengan keinginannya. Operasinya berjalan lancar dan rencananya juga hari ini sepertinya akan berjalan lancar. Rencana untuk melamar Alya secara romantis, tak seperti di cafe kemarin. Meski Alya berulangkali memberitahukan untuk tak melakukannya, namun Fatih memaksa. Ini lamaran untuk wanita pertamanya, dan ia mau hal ini menjadi sesuatu yang berkesan untuk Alya. Setid
Irfan mengerjap dengan susah payah, bahkan untuk menggerakkan bibirnya saja ia tidak sanggup. Penghuni lapas yang bersamanya benar-benar gila, memukulinya tanpa ampun, tanpa alasan yang berarti mengakibatkan tubuhnya sakit-sakitan seperti ini.Ia tidak tahu apakah hal ini dialami oleh seluruh penghuni sel tahanan yang baru atau tidak, tapi melihat ia terus berteriak meminta tolong sementara tak ada satupun sipir, walau sedang berpatroli sekalipun untuk berhenti dan melihat keadaannya, Irfan yakin ini disengaja.Ia juga berkeyakinan ini adalah ulah Alya yang tak cukup menaruhnya dalam sel penjara tapi juga mengirimnya untuk masuk ke dalam neraka.Bahkan sekarang, tiga orang yang menghuni lapas bersamanya itu tampak baik-baik saja dan makan sarapan dengan damai, meninggalkan ia seorang diri dengan perut perih menahan lapar karena jatah makannya diambil oleh si botak yang mencekiknya kemarin.Tubuhnya bahkan tergeletak di lantai yang dingin karena tak diberikan alas tidur yang memadai.
"Besok sidang pertama, kan?" tanya Fatih saat keduanya bertemu di cafe. Alya mengangguk. "Kau mau ikut?""Sayangnya besok aku ada operasi," ucap Fatih menyayangkan. "Tapi setelahnya aku akan menemuimu."Alya tersenyum, mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Fatih yang berada di atas meja. Lelaki itu mendongak, menatap Alya sembari terkekeh."Kau mau menggodaku?""Tidak," ucap Alya seraya mencebik, memangnya menggenggam tanganmu tak boleh ya? Sebuah larangan?""Bukan begitu." Fatih menggenggam tangan Alya dengan erat. "Hanya saja aku masih belum terbiasa, lagipula kita tak punya hubungan apa-apa.""Kau benar, Fat. Kalau begitu apa kau tidak mau menjalin hubungan denganku? Kupikir kita sudah sangat dekat bahkan tahu satu sama lain. Boleh aku tanya sesuatu? Kau menyukaiku?"Fatih bergeming, menatap Alya tanpa berkedip dengan wajah memerah."Ehm ... kenapa tiba-tiba menanyakan hal itu?"Alya mengangkat bahu. "Hanya butuh pengakuan.""Apa tak cukup penjelasan tak tersirat yang selama i
Alya tersenyum, menatap kaca bening yang menghubungkan ruang kerjanya dengan pemandangan di luar sana. Ia memejam, menyentuh bibirnya, lantas tersenyum kembali.Setelah bertemu dengan kedua orang tuanya tadi, Fatih mengantarnya kembali ke kantor karena ada hal yang harus ia kerjakan, begitu juga lelaki itu langsung kembali ke rumah sakit.Alya bahagia, hubungannya dengan Fatih sudah membaik. Ah, bahkan jauh lebih baik dari sebelumnya. Entah kenapa Alya merasa bahagia, kebahagiaan ini bahkan jauh lebih besar ia rasakan ketimbang saat ia jatuh cinta pada Irfan dahulu.Jatuh cinta?Alya memiringkan kepalanya dengan alis bertaut. Ia bertanya-tanya pada perasaannya sendiri, benarkah ia jatuh cinta pada Fatih? Secepat itu? Hanya karena satu kecupan yang lelaki itu berikan untuknya?Bukan!Alya yakin bukan itu, meski jantungnya sekarang sudah berdebar tak karuan. Apalagi saat mengingat wajah Fatih. Tiba-tiba ia merasakan hal seperti ini. Hal yang sangat jarang terjadi meski ia sedang memikir
Alya berjalan perlahan keluar dari ruangan kamar inap sang Papa. Ibunya tertidur setelah mengobrol banyak hal dengannya tadi. Meski jauh di lubuk hatinya yang terdalam Alya juga ingin bicara dengan sang Papa. Namun, takdir berkata lain, papanya masih juga tak sadar dari komanya. Alya hanya harus menunggu, tapi entah kapan. Sesaat setelah menutup pintu ruangan dan berbalik, Alya mematung di tempat. Di lorong rumah sakit menuju ruangan papanya tampak Fatih berdiri dengan menenteng satu bungkusan plastik di tangan. Lelaki itu tampak terkejut saat melihat Alya, lalu beberapa saat kemudian berbalik pergi. "T--tunggu, Fatih!" panggil Alya membuat langkah kaki lelaki itu tertahan. Fatih bergeming di tempat, sama sekali tak mau menoleh ke arah Alya sedikitpun. Wanita itu menghela nafas, melangkah mendekati Fatih dan berdiri di hadapan lelaki itu. "Jujur saja, kau sedang menghindariku, kan?" tanya Alya penuh selidik, matanya memicing menatap mata Fatih yang sama sekali tak mau menatapny