Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya. 2
"Kamu mikir apa sih, Ta? Kok, dari tadi ibu lihat kamu murung terus?" tanya Naning, ibunya Puspita.Puspita menatap ibunya sekilas, lalu melempar pandangan ke arah lain. Banyak masalah yang memenuhi benak Puspita sekarang, dari tunggakan biaya sekolah, kebutuhan hidup sehari-hari, hingga tawaran juragan Karta."Nggak ada, Bu. Hanya mikir ujian besok," bohong Puspita, dia tak mungkin menceritakan apa yang sebenarnya dia pikirkan saat ini. Takut membuat wanita yang melahirkannya itu kepikiran."Kamu mau ujian?" Puspita mengangguk pelan, tanpa menatap ibunya. Dia tak ingin ibunya melihat kesedihannya."Kan, kamu belum bayar SPP. Memang boleh ikut ujian?" Puspita terdiam, bingung harus jawab apa. Jujur kalau Pak Hanafi hanya memberinya waktu seminggu?"Ta, Kenapa diam? Apa kamu tergiur dengan tawaran Bude Marni? Kamu sudah bosen hidup miskin?" Kali ini suara Naning sedikit meninggi.Bukan jawaban, melainkan suara isakan yang keluar dari mulut Puspita. Kenapa dunia tak adil padanya? Kenapa takdir tak berpihak kepadanya? Sejak ayahnya meninggal, seolah hanya nasib buruk yang selalu menjadi temannya. Begitu batin Puspita bersuara."Kita memang miskin, tapi bukan berarti kita nggak punya harga diri! Dengan menerima tawaran Bude Marni, berarti kamu menjual dirimu pada majikannya. Ibu nggak rela, Ta. Bagi Ibu, lebih baik hidup miskin," lanjut Naning dengan suara bergetar.Sebelum bertemu Puspita, Naning sudah menolak permintaan Bude Marni. Dia ingin Puspita menjalani masa remaja dengan wajar, bukannya menjadi wanita pengganti demi lembaran rupiah. Tapi wanita bertubuh tambun itu bersikeras ingin bertemu Puspita, dia berharap iming-iming uang banyak, membuat Puspita tergiur dan menerima tawarannya. Apalagi Bude Marni melihat sendiri bagaimana keadaan keluarga Puspita saat ini, membuat wanita itu yakin Puspita akan menyetujui usulannya."Ibu, nggak usah khawatir. Puspita tidak akan menerima tawaran Bude Marni." Puspita bangkit dari duduknya, lalu melangkah menghampiri ibunya dan mencium punggung tangannya."Kamu mau kemana?" tanya Naning bingung."Mau ke rumah Mbak Zulia, Bu. Kemarin dia minta Puspita datang, untuk nyuci dan nyetrika bajunya," jelas Puspita."Hati-hati, ya. Kamu jangan terlalu dekat dengan perempuan itu, jangan mau kalau diajak pergi. Dia itu perempuan nggak bener," tukas Naning. Zulia yang dimaksud Puspita, adalah tetangga mereka yang bekerja sebagai wanita panggilan di kota. Dulu, Zulia adalah kembang desa yang masih lugu dan polos. Karena kesulitan ekonomi, memaksa Zulia pergi merantau ke kota. Entah karena sulit mendapat pekerjaan, atau karena ingin dapat uang secara instan. Zulia yang bernama asli Zulaikha itu menjual dirinya pada pria berhidung belang. Dan Naning tidak mau, Puspita mengikuti jejak perempuan itu. Apalagi keadaan Puspita sama seperti Zulia beberapa tahun yang lalu."Iya, Bu. Puspita akan langsung pulang begitu pekerjaan selesai."Baru beberapa langkah Puspita meninggalkan ibunya, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan rumah mereka."Coba lihat, siapa yang datang, Ta!" Belum sempat Puspita menjawab, terdengar suara salam dari luar.Juragan Karta dan antek-anteknya sudah berdiri di depan pintu rumah Puspita, dengan wajah bengisnya."Mau kemana, cah Ayu?" Juragan Karta memindai tubuh Puspita dari ujung kepala hingga ujung kaki, membuat Puspita merasa risih."Mau ke rumah Mbak Zulia, juragan," jawab Puspita takut-takut."Ke rumah Zulia? Kamu mau belajar jadi l*nte dari perempuan itu?" ejek Juragan Karta.Tak ingin menjawab, Puspita memilih pergi. Tapi sayang, tangan Juragan Karta lebih gesit menahannya."Le---pas." Puspita berontak, sayangnya tenaganya tak sebanding dengan juragan Karta."Daripada kamu jadi lont*, lebih baik kamu menjadi istriku. Sertifikat rumah ini kukembalikan, dan kamu bisa dapat uang, serta hidup enak dalam kemewahan. Gimana? Menarik, kan?" Puspita terus berontak, meski tak berarti apa-apa."Pegang, dia!" Juragan Karta menyentak tubuh Puspita hingga terhuyung ke belakang. Para begundal Juragan Karta sigap menangkap tubuh Puspita, dan memeganginya."Tolong lepaskan anak saya, Juragan," pinta Naning dengan wajah memelas."Lepas?" Juragan Karta maju beberapa langkah, hingga jaraknya dengan Naning hanya beberapa jengkal saja.Naning mengangguk pelan, wajahnya pias. "Bayar dulu utang suamimu! Maka akan aku lepas anakmu!" bentak Juragan Karta sambil menoyor kepala Naning."Tolong beri kami waktu sedikit lagi, kami akan mencari uang untuk membayar utang kami." Tawa Juragan Karta meledak seketika. Naning mau mencari uang? Dengan cara apa? Jalan saja sempoyongan macam orang mabuk. Begitu yang ada di dalam benak Juragan Karta."Kamu lupa? Hari ini adalah tanggal jatuh tempo hutangmu. Selama ini aku cukup bersabar, sudah memberi kelonggaran. Tapi apa yang kamu lakukan? Apa? Tak sepersenpun hutangmu kau bayar! Dan sekarang kamu minta waktu lagi? Mau sampai kapan? Sampai kamu matipun, kamu tidak akan bisa membayar hutangmu!" Suara Juragan Karta terdengar menggelegar, hingga membuat Naning maupun Puspita makin ketakutan."Sekarang lunasi hutangmu! Atau Puspita kubawa pulang!""Berapa hutangnya Naning padamu!" Tiba-tiba Bude Marni sudah berdiri di ambang pintu. Rupanya suara menggelegar Juragan Karta, terdengar hingga rumah Bude Marni, yang berada tak jauh dari rumah keluarga Puspita.Semua mata tertuju pada sosok Bude Marni, yang berdiri dengan wajah garang. Sepertinya wanita itu tidak sedang membual, karena wajahnya terlihat begitu serius."Eh, Gembrot! Jangan ikut campur urusan orang lain! Wong, kerja jadi pembantu di kota saja, sombongnya bukan main. Dapat duit dari mana, kamu?" Sinis Juragan Karta bertanya, tatapannya mengejek, merendahkan Bude Marni."Katakan saja berapa hutangnya!" bentak Bude Marni tak gentar."50 juta! Kamu punya!""Hah, 50 juta? Banyak sekali!" seru Bude Marni tak percaya."Kenapa? Kamu tidak punya uang? Miskin belagu!" hina Juragan Karta.Mengabaikan ucapan Juragan Karta, Bude Marni bertanya pada ibunya Puspita. "Ning, benar kamu punya utang sebanyak itu sama Juragan Karta?""Hutang saya hanya 20 juta, Mbak. Dulu untuk bayar biaya pengobatan suami saya, tapi setelah beberapa tahun jumlahnya jadi sebanyak itu," jelas Naning dengan suara gemetar."Dasar rentenir sadis! Oke, kita ke bank sekarang! Akan aku lunasi hutangnya Naning, tapi lepaskan dulu Puspita!" ucap Bude Naning lantang.Meski bukan orang kaya, tapi majikan Bude Marni kaya raya. Uang 50 juta bukan nominal yang banyak untuk mereka. Apalagi Bude Marni membawa misi, mencari calon wanita pengganti."Lepaskan, Puspita!" Dua begundal Juragan Karta segera mengendurkan pegangannya di tangan Puspita, hingga gadis itu bisa lari menghambur ke pelukan ibunya."Oke, Gembrot! kita, ke Bank sekarang! Awas kalau kamu bohong, ya! Tubuh gendutmu itu bakal aku cincang, aku jadikan makanan binatang!" ancam Juragan Karta."Tutup mulutmu, Bandot Tua. Aku harap kamu membawa sertifikat rumah yang dijadikan jaminan," balas Bude Marni tak mau kalah."Bu, ini gimana? Kalau Bude Marni melunasi hutang kita, berarti aku harus menjadi istri majikannya," gumam Puspita, ketika Bude Marni dan Tuan Karta sudah meninggalkan rumah mereka."Ibu nggak tahu, Ta." Suara Naning tenggelam dalam isak tangisnya. Mereka berdua menangis bersama, meratapi nasib malang yang terus mendera.Bersambung ....Yuk, ramein! Dengan komen yang membangun. Terimakasih....Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya. 3"Nggak usah bawa baju banyak-banyak!" ucap Bude Marni ketika menjemput Puspita. Sesuai kesepakatan, akhirnya Puspita setuju menjadi istri majikan Bude Marni, setelah selesai ujian. Sertifikat yang kemarin ditebus dari Juragan Karta, diberikan kepada Naning sebagai imbalannya. Uang sekolah Puspita dilunasi, begitupun dengan uang sekolah adiknya. "Baju banyak darimana, Bude. Wong bajuku hanya itu-itu saja," tukas Puspita sembari melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam ransel lusuhnya. "Apa nggak ada baju yang bagusan sedikit?" Puspita menghentikan aktivitasnya, kini dia menatap Bude Marni lekat-lekat. "Bajuku hanya ini Bude, tak ada yang lain."Bude Marni menghela nafas. "Baju kok blawus semua, malu-maluin saja! Kamu itu mau ke kota, mau ketemu orang kaya. Kok bajumu kayak .... Wes aku rak tego ngomong aku.""Lah, mau gimana lagi, Bude. Memang adanya itu. Apa aku nggak jadi ikut Bude, aja?" kesal Puspita. Sudah tahu dia anak orang miskin, mana mamp
Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya. 4"Aku tidak mau, jangan paksa aku untuk menikah lagi," tolak Dana tegas, ketika Lidya mengutarakan keinginannya. "Hanya untuk sementara, setelah melahirkan, ceraikan dia," ucap Lidya lembut, tapi memaksa. "Tidak, itu tidak benar. Aku tidak mau mempermainkan pernikahan. Sebagai wanita apa kamu tega mempermainkan kaummu sendiri?" sangkal Dana. Tapi bukan Lidya namanya kalau menyerah begitu saja. "Bukan mempermainkan, tapi kerja sama yang saling menguntungkan. Kita mendapat anak, dia dan adik-adiknya, dapat melanjutkan pendidikannya, impas kan?" jawab Lidya enteng. Seolah hal dia bicara ini masalah sepele, bukan tentang masa depan seorang anak manusia. Dana menghirup nafas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Mencoba mencerna jalan pemikiran Lidya, yang menurutnya tidak manusiawi.Mereka sudah menikah selama sepuluh tahun, tapi belum juga punya momongan. Penyebabnya, Lidya tidak ingin hamil dan melahirkan, dia tidak mau repot, dan tidak ingin ben
Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya. 5"Lidya, kamu benar-benar gila, ya? Di mana otakmu? Sampai kamu nggak bisa mikir. Gadis ingusan seperti itu yang mau kamu nikahkan denganku? Kamu pikir aku pedofil!" gusar Dana, setelah tahu macam apa wanita yang akan jadi istrinya. Benar-benar bukan tipenya. Perdebatan mereka berlanjut di kamar, setelah Bi Marni memperkenalkan Puspita. Dana benar-benar tak habis pikir dengan jalan fikiran istrinya. Bagaimana mungkin gadis bau kencur itu dijadikan istrinya? "Kalau sudah dewasa, dia sudah berpengalaman. Pasti banyak maunya, menuntut ini itu, dan aku tidak mau itu terjadi, Mas!" jawab Lidya sengit. Dana menghela nafas panjang. "Apa tidak ada gadis yang sedikit lebih cantik?" protes Dana. "Sengaja aku pilih yang burik, biar kamu nggak tertarik," jawab Lidya dengan santainya. "Iya, aku memang tidak tertarik dengan gadis itu. Dan juga kamu sudah sukses membuat aku ilfeel. Sudah bau kencur, dekil, kucel, bau lagi. Gimana dia mau hamil? Menyentuhnya saja a
Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya. 6"Antar Puspita ke rumah yang di perum Griya Asri sekarang, Mas," ucap Lidya pada Dana, setelah acara akad dilaksanakan. Pak penghulu langsung pulang, karena memang tidak ada acara apa-apa lagi. Puspita sudah masuk ke kamarnya di antar Marni. Kini rumah kembali sepi seperti biasa, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. "Ini sudah malam, Lidya. Besok saja! Aku ngantuk," jawab Dana malas-malasan. Dia bahkan menutup kepala dengan bantal, menghindari tatapan Lidya. Lidya menghela nafas panjang. "Baru jam sembilan, Mas. Belum terlalu malam." Dalam kamus Lidya, tak ada kata penolakan. Jadi, dia akan memaksa Dana melakukan perintahnya. Dana bangun dari posisinya, dia menatap Lidya dingin. Semakin lama, Dana semakin muak dengan sikap Lidya yang otoriter dan dominan. Sisi kelaki-lakiannya terusik, dia merasa dihina dan diinjak harga dirinya. "Kamu bisa, nggak? Sekali saja dengar kata suami? Kamu tahu ini sudah malam, dan aku capek!" Suara Dana sedikit mening
"Wah, Bagus sekali. Beneran ini rumah untuk saya, Pak?" Puspita mendongak, menatap takjub rumah minimalis satu lantai, yang lebih bagus dan lebih besar dibanding rumahnya di desa. Meski tak semewah rumah Lidya dan Dana, rumah untuk Puspita ini nampak nyaman ditinggali. Tentu Saja Puspita senang bukan main. "Ya, selama kamu menjadi istri saya, kamu boleh tinggal di sini," jawab Dana datar. "Oh, kirain rumah ini jadi milik saya," gumam Puspita, yang masih mengagumi bangunan di depannya. Dan mengehela nafas panjang, berusaha menambah stock kesabarannya menghadapi gadis lugu tapi matre ini. "Aduh maaf, Pak. Jangan tersinggung ya? Saya hanya bercanda," ucap Puspita, setelah melihat Dana hanya meliriknya sekilas. "Ayo masuk!" perintah Dana. Dia membuka pintu rumah tanpa pagar itu, pelan. "Kamu akan tinggal di sini sendiri. Saya hanya datang sesekali. Kamu berani, kan?" Dana terus melangkah masuk, tanpa mempedulikan Puspita yang nampak masih mengagumi rumah itu. "Nggak pa-pa, Pak. S
"Tek! Tek! Tek!" Puspita menyingkap gorden, demi melihat sumber suara berisik dari luar.Buru-buru Puspita berlari menuju pintu, dan membukanya lebar-lebar. "Jualan apa, Pak?" tanya Puspita pada laki-laki yang terlihat mendorong gerobak itu, dengan suara lantang. "Mie tek-tek, Neng. Mau beli?" Puspita mengangguk mantap. Dia terakhir makan pagi tadi, dari siang sampai sore begini belum ada satu makanan yang masuk ke lambungnya. Hidup dalam kemiskinan, membuat Puspita lebih suka masak daripada jajan. Lebih hemat dan tentu saja lebih sehat. Tapi perutnya sudah terlanjur melilit, di rumah itu tidak ada apa-apa yang bisa dimakan. Kulkasnya bahkan belum dicolok ke saklar. Terpaksa lah Puspita jajan, uang pemberian Bu Lidya kan lumayan banyak. "Iya, Pak. Satu porsi, ya?" Puspita berkata sambil menghampiri si penjual. "Wadahnya mana, Neng?" Pak penjual heran, melihat Puspita tak membawa apa-apa. Tidak seperti ibu-ibu di sini, kalau beli selalu bawa mangkuk sendiri. Rumah yang Puspita te
"Saya suruh kamu siap-siap, bukannya ngerumpi sama tetangga!" omel Dana, ketika mereka sudah berada dalam rumah."Kan Bapak bilang nanti malam jemput saya, kenapa sore sudah datang? Jadi bukan salah saya, dong!" bantah Puspita."Ya, bukan berarti bisa kamu tinggal ngerumpi seperti tadi, Puspita. Pernikahan kita itu rahasia, dan hanya sementara. Kalau kamu sering keluar seperti tadi, rahasia kita akan terbongkar!" omel Dana panjang lebar. Dia sudah tidak bisa menyembunyikan kejengkelannya. Puspita menjengah, dia menghela nafas panjang. Pria yang terlihat pendiam itu rupanya cerewet juga. "Pak, saya tidak ngerumpi, Pak. Saya beli mi tek-tek, karena lapar banget. Dari siang saya belum makan, di rumah ini tidak ada apa-apa yang bisa saya makan, Pak. Kebetulan saja Mbak Ida itu beli mi tek-tek juga, jadi kita ketemu di situ. Bukannya sengaja ngerumpi. Ya namanya disapa masa iya diam saja? Nanti dikirinya saya sombong," bantah Puspita tak kalah panjang. "Jadi, sudah mereka tahu kalau saya
Hanya berbalut handuk, Puspita membuka pintu. "Pak Dana mau apa?" tanya Puspita takut-takut. Dia takut Dana menuntut haknya saat ini juga. Dia belum siap, dan satu lagi. Dia masih datang bulan. Dana sempat tertegun sejenak, menatap Puspita yang memamerkan kulit mulusnya, sebelum akhirnya buka suara. "Keluar kamu! Aku kebelet kencing!" sentak Dana, membuat Puspita segera menyingkir dari pintu, memberi jalan pada laki-laki itu. "Mandi kok kelamaan!" gerutu Dana sambil menutup pintu. "Hhh .... " Puspita bernafas lega, hal yang ditakutkan tidak terjadi. Puspita tak pernah tahu, Dana setengah mati menahan diri agar tidak lepas kendali. Siapa yang tahan melihat tubuh mulus itu? * * * * * * *"Kamu udah kayak gembel yang nggak pernah ketemu makanan, tau nggak." Puspita menghentikan suapannya, menatap suaminya yang sibuk main HP. Puspita meneguk minumannya, sebelum menjawab ucapan sarkas dari Dana. "Saya memang gembel, Pak. Jadi tolong maklumin saja." Kembali Puspita menyendok mie yang t
"Sebenarnya kita mau kemana sih, Mas?" Tanya Puspita penasaran, karena dari tadi Dana tidak mau terus terang, akan dibawa kemana anak istrinya itu. Puspita sudah tidak lagi memanggil Dana dengan sebutan 'Pak', melainkan 'Mas'. Dana yang minta, masa iya suami istri manggilnya kayak atasan bawahan. Akhirnya mereka sudah menikah resmi, secara agama dan negara. Meski hanya berlangsung di KUA, tanpa pesta."Beli mainan ya, Yah?" Sahut Arbi yang duduk di kursi belakang. "Bukan Sayang, kita akan ke suatu tempat yang spesial. Arbi pasti suka. Di sana ada banyak mainan," jawab Dana sambil terus fokus dengan setirnya. Meski sudah menjadi pemilik perusahaan yang go internasional, dengan kekayaan yang melimpah ruah. Dana tetap memilih hidup sederhana, tak menggunakan sopir dan body guard lagi. Bahkan di rumah hanya ada satu ART. "Ada es krim, nggak?" Tanya Arbi polos. Dana terkekeh, ditatapnya sang buah hati yang malam ini terlihat begitu tampan dan gagah memakai stelan tuxedo yang senada de
"Pak Dana mau kemana?" Puspita melontarkan pertanyaan pada laki-laki, yang tengah mematut diri di depan cermin itu. Wajar Puspita bertanya, sejak memutuskan meninggalkan kediaman Lidya, Dana juga absen masuk kantor. Laki-laki itu memutuskan untuk fokus pada restorannya. Tapi pagi ini, Dana terlihat rapi dengan jas dan dasi. Seperti saat dia masih jadi CEO dulu. "Ngantor, Ta. Banyak hal yang harus aku urus, perusahaan itu morat-marit sejak kutinggal," jawab Dana tanpa berpaling dari cermin. Sejak kematian Lidya, perusahaan dan semua aset secara otomatis jadi milik Dana, pewaris tunggalnya. Termasuk segala tanggung jawabnya. Dari pengurusan pemakaman Lidya, hingga pengajian selama tujuh hari berturut-turut menjadi urusan Dana. Kini saatnya dia kembali masuk kantor, mengembalikan kejayaan Sampoerno Tbk, seperti sebelum dia memutuskan untuk pergi "Jadi Bapak akan kembali bekerja di perusahaan itu? Kembali ke rumah Bu Lidya lagi?" Sebuah pertanyaan bernada keberatan. Sepertinya Puspi
Dana sedang membereskan mainan Arbi yang tercecer, dan memasukkannya ke dalam box besar. Sementara Puspita mengemas semua pakain dan barang pribadi miliknya, juga Arbi. Termasuk milik Dana juga, tentunya. Laki-laki itu biasa dilayani, mana bisa berkemas sendiri tanpa bantuan orang lain? Atau mungkin dia memang sedang manja, ingin diperhatikan Puspita, yang sejak mendengar kabar Lidya koma, jadi lebih pendiam. Mereka berencana pindah dari apartemen yang disewa Dana itu hari ini, selain karena merasa terlalu sempit untuk mereka bertiga dan tak cukup untuk menampung mainan Arbi. Dana merasa keadaan sudah cukup aman, si biang kerok sudah seminggu terkapar di rumah sakit tak sadarkan diri, dan Mario meringkuk di penjara. Jadi, apalagi yang ditakutkan? Lalu bagaimana dengan anak buah Mario? Mereka bekerja demi uang, jadi siapapun yang membayar, perintah siap dilaksanakan. "Wah, mainannya banyak banget, Yah? Gimana bawanya? Emang mobil Ayah muat?" Tanya bocah itu dengan polosnya. Dana te
Dana menatap iba wajah pucat penuh lebam, yang tergolek di atas ranjang. Kepalanya dibalut perban, ada jejak merah di sana. Tidak hanya ditangan, hidung dan saluran pembuangan Lidya pun, di pasangi selang. Kesombongan Lidya hilang sudah, bahkan bernafas pun dia butuh bantuan. Lidya pingsan, setelah terlibat perkelahian antar tahanan. Menurut penuturan petugas, Lidya tidak terima ketika salah seorang tahanan menjadikan dia bahan candaan. Dia yang dasarnya emosian, pun naik pitam. Tahanan itu di tonjok mukanya, lalu terjadilah perkelahian. Lidya yang baru masuk sel belum punya teman, jadi saat kejadian dia sendirian melawan beberapa tahanan di sel itu. Perkelahian tak imbang itu baru berhenti saat petugas melerai. Sayangnya kondisi Lidya sudah terlanjur babak belur dan pingsan, hingga terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Lidya kena getahnya sekarang, kalau biasanya karyawan-karyawannya bersikap patuh dan selalu menuruti perintahnya, kini tak berkutik melawan penghuni sel yang bar-bar.
Puspita sudah terlihat rapi dengan baju rumahan, wajahnya sudah terlihat lebih segar, tak lagi pucat seperti pagi tadi. "Umi kangen banget ...." Puspita menyongsong sang anak yang baru saja pulang, lalu memeluknya erat. Diciuminya seluruh wajah Arbi tanpa sisa. Bukannya lebai atau berlebihan, kemarin dia pergi menemani Dana menghadiri sidang perceraian, lanjut ke rumah sakit berakhir di kantor polisi. Malam sekali dia baru sampai rumah, itu pun dalam keadaan payah. Belum sempat menyapa si anak, Arbi sudah pergi bersama ayahnya, dan baru pulang sore ini. Wajar, kan? Kalau Puspita merasa rindu, karena sebelumnya mereka terbiasa bersama. "Dari mana, sih? Kok, Umi ditinggal sendiri?" Puspita pura-pura merajuk. "Ikut Ayah, ketemu orang gila!" Ketus Arbi dengan wajah cemberut. Puspita mendongak, menatap suaminya yang berdiri di belakang Arbi, yydengan wajah penuh tanya. Dana melengos, pura-pura tak tahu kalau Puspita tengah menatapnya, meminta penjelasan maksud dari ucapan Arbi. "Ora
Lidya duduk di lantai memeluk lutut, tatap matanya kosong. Seperti ada hal berat yang sedang dia pikirkan. Meskipun Lidya bukan tipe orang suka menyesali perbuatannya, tapi kali ini berbeda. Dia benar-benar menyesal telah menghajar Puspita, hingga menyebabkan dia harus di tahan di ruang yang sama sekali tidak nyaman untuk tempat tinggal ini. Meski pengacara berjanji akan datang siang ini untuk membebaskan dia, tetap saja Lidya merasa nelangsa. Ditahan bersama orang-orang dengan strata sosial lebih rendah, membuat Lidya merasa jijik dan muak. Mereka jorok dan bau, entah berapa hari nggak mandi. Lidya sampai nggak betah kalau harus dekat mereka. Harusnya Lidya mendengar nasehat Mario kala itu. "Bu Lidya harus bisa menahan diri, jangan terbawa emosi. Ini tempat umum, kalau sampai ibu melakukan sesuatu, menganiaya atau sekedar memaki saja, bisa jadi alasan mereka untuk menjebloskan Ibu ke penjara." Begitu kata Mario, saat melihat Dana datang dengan menggandeng Puspita. Mario tahu betul
Puspita tak lagi mau bersandar di bahu Dana, meski kepalanya masih berdenyut nyeri, akibat pukulan dan jambakan yang Lidya layangkan kepadanya. Dia lebih memilih menyandarkan kepala di kaca sampingnya. Dia benar-benar marah pada Dana, ternyata semua ini sudah direncanakan suaminya itu. Rupanya Dana sengaja mengajak Puspita menghadiri sidang perceraiannya, untuk memancing emosi Lidya. Wanita itu pencemburu, dengan keberadaan Puspita di ruangan itu, membuat Lidya terpancing emosi dan menghajar Puspita. Meski rencana awalnya Dana akan pasang badan, untuk melindungi Puspita, agar dia saja yang jadi korban keganasan wanita itu. Tapi kenyataan tak seperti ekspektasinya, Puspita justru mengalami luka paling parah. Belum lagi cemoohan dari para wanita yang hadir di sana, menambah rasa malu. Apalagi tadi terlihat ada yang merekam kejadian itu, kalau terus diupload dan viral bagaimana? Bagi Puspita itu tak jadi masalah, toh dia jarang keluar. Tak punya teman atau circle di kota ini. Tapi Arbi
"Kok kesini, Pak?" Protes Puspita, setelah mobil yang dikendarai Dana berbelok, ke gedung pengadilan agama. Puspita pikir, Dana menyuruhnya berpakaian dan berdandan tak seperti biasanya, karena mau diajak jalan-jalan ke Mall. Mungkin Dana butuh merefresh hati dan pikiran. Di apartemen terus, tak kemana-mana kan, bosen juga. "Kamu harus temani aku sidang, Ta," jawab Dana, tanpa merasa bersalah karena tak jujur dari awal. "Ya, tapi buat apa? Nanti Bu Lidya marah-marah. Aku lagi yang kena," gerutu Puspita. Bibirnya sudah maju lima senti, tapi Dana tak ambil peduli. Dia tetap anteng di belakang setir, sambil matanya sibuk mencari tempat yang kosong untuk memarkirkan mobilnya. "Dah sampai. Yuk, turun!" Puspita bergeming, wajahnya ditekuk. Kalau dia ikut turun, pasti bertemu Lidya. Hal yang dia hindari dan takuti selama ini. "Kenapa? Takut? Kan, ada aku. Jadi, kamu nggak perlu khawatir atau menakutkan apapun. Kamu mau masalah kita segera selesai, kan?" Puspita mengangguk pelan. "Kalau
Dana menatap nanar gambar yang baru saja anak buahnya kirim. Dalam gambar tersebut, sosok laki-laki nampak baru keluar dari kediaman Lidya. Meski tidak terlalu jelas, tapi Dana tahu betul siapa laki-laki itu. Mario, si pembunuh berdarah dingin, yang tak punya belas kasih sama sekali. Dia akan menjalankan tugasnya dengan baik, setelah kesepakatan terjadi. Kepala Dana berdenyut nyeri, memikirkan masalah baru yang membelit. Dia tahu betul bagaimana kinerja Mario, sangat rapi dan sulit terdeteksi. Dana harus apa? Tak mungkin terus menerus bersembunyi, mau sampai kapan? Puspita dan anaknya juga butuh hidup normal. Terang-terangan menghadapi Mario, adu strategi sekaligus adu otot. Itu artinya butuh uang yang tak sedikit, sedangkan dia sudah tidak lagi menjadi CEO perusahaan milik Lidya. Ah, tak apa. Dia masih punya penghasilan dari restorannya. Meski tak sebesar perusahaan Lidya, tapi lebih dari cukup untuk memenuhi segala kebutuhan Dana. Diliriknya Arbi yang sudah terlelap, dirinya vers