Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya. 6
"Antar Puspita ke rumah yang di perum Griya Asri sekarang, Mas," ucap Lidya pada Dana, setelah acara akad dilaksanakan.Pak penghulu langsung pulang, karena memang tidak ada acara apa-apa lagi. Puspita sudah masuk ke kamarnya di antar Marni. Kini rumah kembali sepi seperti biasa, seperti tidak pernah terjadi apa-apa."Ini sudah malam, Lidya. Besok saja! Aku ngantuk," jawab Dana malas-malasan. Dia bahkan menutup kepala dengan bantal, menghindari tatapan Lidya.Lidya menghela nafas panjang. "Baru jam sembilan, Mas. Belum terlalu malam." Dalam kamus Lidya, tak ada kata penolakan. Jadi, dia akan memaksa Dana melakukan perintahnya.Dana bangun dari posisinya, dia menatap Lidya dingin. Semakin lama, Dana semakin muak dengan sikap Lidya yang otoriter dan dominan. Sisi kelaki-lakiannya terusik, dia merasa dihina dan diinjak harga dirinya."Kamu bisa, nggak? Sekali saja dengar kata suami? Kamu tahu ini sudah malam, dan aku capek!" Suara Dana sedikit meninggi.Lidya terkejut melihat sikap Dana yang mulai berubah. Untuk pertama kalinya, Dana meninggikan suara dan berani melawan perintahnya."Capek apa? Orang seharian kamu nggak ngapa-ngapain, tinggal terima beres!" balas Lidya, tak terima mendapat penolakan dari sang suami."Aku capek, Lidya! Capek hati, capek batin! Capek kamu tekan terus! Kamu nggak pernah menghargai aku! Nggak pernah kamu menghormati aku! Aku ini suamimu, bukan karyawanmu yang harus selalu tunduk patuh pada perintahmu!" seru Dana, mengeluarkan segala unek-unek yang selama ini dia simpan dalam hati.Dia merasa sudah cukup mengalah, tapi Lidya seolah tak ada puasnya. Selalu menuntut dan menuntut. Kini saatnya dia melawan, tak ingin terus menerus hidup dalam jajahan. Soal nasibnya setelah ini, itu bisa dipikir nanti. Begitu pikir Dana."Oh .... Sekarang sudah mulai berani melawan? Mau kembali hidup miskin lagi, kamu?" sinis Lidya."Kamu mengancamku? Kamu pikir aku takut? Oke, aku keluar dari rumah ini sekarang juga. Kamu urus sendiri perusahaan warisan ayahmu itu! Kamu urus sendiri hidup kamu! Aku pergi sekarang juga!" Emosi Dana sudah pada puncaknya, dia bosan selalu dalam tekanan Lidya. Merasa tak punya harga diri sebagai laki-laki dan juga manusia. Dia pikir, sudah saatnya dia menjalani hidupnya sendiri. Persetan dengan kekayaan. Dia laki-laki, bisa hidup di manapun dalam keadaan apapun.Dana turun tempat tidur, ketika dia hendak melangkah, tiba-tiba Lidya memeluknya dari belakang. "Oke, oke. Kamu antar Puspita besok saja. Jangan marah gitu, dong," rengek Lidya manja. Nyatanya Lidya masih sangat mencintai Dana, takut kehilangan laki-laki itu. Digertak Dana begitu, dia langsung kelabakan.Dana bergeming, tak dibalasnya pelukan Lidya. Hatinya masih marah, atas hinaan Lidya. "Ya udah, yuk! Kita tidur. Meski ini malam pertamamu dengan Puspita, tapi aku ingin kamu menikmati malam ini bersamaku," rayu Lidya dengan nada manja.Perlahan Lidya menarik tubuh Dana, untuk merebah di peraduan mereka. Sayangnya, Dana tak merespon rayuan Lidya. Memang dia akhirnya berbaring di atas ranjang, tapi bukan membalas serangan Lidya, dia justru menarik selimut dan memejamkan mata. Dia masih sakit hati dengan kelakuan Lidya.* * * * * * * *"Sudah semua? Nggak ada yang Ketinggalan?" tanya Dana. Dia heran melihat Puspita hanya membawa ransel lusuh, yang dia bawa kemarin."Sudah, Pak." Puspita menjawab sambil menundukkan kepala.Dana mengangguk. "Kita berangkat sekarang kalau begitu." Dana baru saja hendak masuk ke dalam mobil, ketika Lidya datang menghampirinya."Mas, nanti langsung pulang, ya? Nggak usah lama-lama di sana. Puspita sedang tak bisa "dipakai"." Lidya berkata sambil bergelayut manja di lengan suaminya. Dana tak merespon, dia memilih masuk ke mobil yang pintunya sudah dibuka sang sopir.Lidya mencebik, mendapati sikap dingin suaminya. Tatapannya beralih pada Puspita, yang berdiri tak jauh dari mobil, yang hendak masuk juga, tapi terhalang tubuh Lidya. Sinis dia menatap gadis desa itu."Kamu jangan coba-coba menggoda suamiku, ya! Meskipun kamu juga istrinya, kamu tidak boleh bersikap genit sama Mas Dana. Kalau kamu melanggar, aku tidak segan-segan melemparmu ke jalanan," ancam Lidya. Jauh dalam lubuk hatinya, ada kekhawatiran Dana akan berpaling pada gadis itu.Sekarang Puspita memang tak menarik sama sekali, tapi kalau sedikit dirawat pasti dia terlihat cantik. Matanya bulat, bibirnya mungil, hidungnya meski tidak mancung, tapi lancip. Dan lesung pipi yang terlihat saat gadis itu tersenyum, itu bukan hal yang bisa disepelekan."Iya, Nyonya," jawab Puspita tanpa berani membalas tatapan Lidya."Bagus! Aku harap kamu bisa menepati janji.""Iya, Nyonya.""Masuk sana! Ingat! Jangan coba macam-macam! Karena aku tak pernah main-main dengan ucapanku." Sekali lagi Lidya mengancam Puspita. Dia tak mau diremehkan gadis desa itu."Iya, Nyonya." Buru-buru Puspita masuk ke mobil menyusul suaminya."Hhh .... " Puspita akhirnya bisa bernafas lega, lepas dari omelan Lidya."Kamu sudah tahu apa yang menjadi tugas kamu sebagai istri, saya?" tanya Dana saat dalam perjalanan mengantar Puspita menuju rumah barunya."Sudah, Pak. Saya harus mengandung dan melahirkan anak dari Bapak. Setelah itu saya dicerai dan boleh kembali ke kampung, begitu kan, Pak?""Iya. Dan kamu tidak keberatan?""Keberatan bagaimana, Pak?" tanya Puspita tak mengerti."Setelah anak kamu lahir nanti, anak itu akan jadi milik kami. Aku dan istriku. Kamu tidak boleh mengakui, dan juga tidak boleh ketemu dengannya. Kamu siap?""Siap, Pak. Bu Lidya sudah menjelaskan kepada saya sebelumnya," jawab Puspita setelah berfikir sejenak."Berapa imbalan yang kamu terima, sampai kamu rela melakukan ini semua?""Rumah saya ditebus dari rentenir, uang SPP saya dan adik saya dilunasi. Semua kebutuhan saya dipenuhi, serta gaji lima juta perbulan, selama saya jadi istri Bapak," jawab Puspita takut-takut, takut salah jawab tentu saja.Dana menganggukkan kepala, kini dia mengerti perempuan seperti apa Puspita ini. Meski masih belia dan terlihat begitu lugu dan polos, nyatanya gadis ini matrealistis juga.Tiba-tiba Dana terkekeh, membuat Puspita terkejut sekaligus takut. Karena Dana tertawa sampai mengeluarkan airmata."Bapak kenapa? Saya salah jawab, ya?""Nggak, kamu nggak salah. Saya hanya menertawakan nasib kita, yang begitu mudahnya dibeli dengan uang." Puspita menatap bingung, otaknya tidak bisa menterjemahkan apa maksud suaminya ini."Apa maksud Bapak dengan, kita?" Dalam pikiran Puspita, kita artinya dirinya dan Dana. Apakah itu berarti, Dana pun sama dengan dirinya? Dibeli oleh Lidya?"Tidak apa-apa, kamu tidak perlu tahu." Tentu saja Dana tak mau bercerita pada Puspita, tentang dirinya sebelum menjadi suami Lidya. Dana tak ingin Puspita tahu, bahwa dia sama-sama berasal dari kalangan biasa seperti Puspita. Hanya saja Dana lebih beruntung, dia bisa kuliah dan orang tuanya tidak terlilit hutang, macam Puspita.Puspita mengangguk paham, memang orang sepertinya sebaiknya tak perlu tahu urusan orang kaya. Hanya bikin pusing kepala.Bersambung ....Ayo, dong! Dukung cerita ini dengan subscribe dan review bintang lima. Terimakasih ...."Wah, Bagus sekali. Beneran ini rumah untuk saya, Pak?" Puspita mendongak, menatap takjub rumah minimalis satu lantai, yang lebih bagus dan lebih besar dibanding rumahnya di desa. Meski tak semewah rumah Lidya dan Dana, rumah untuk Puspita ini nampak nyaman ditinggali. Tentu Saja Puspita senang bukan main. "Ya, selama kamu menjadi istri saya, kamu boleh tinggal di sini," jawab Dana datar. "Oh, kirain rumah ini jadi milik saya," gumam Puspita, yang masih mengagumi bangunan di depannya. Dan mengehela nafas panjang, berusaha menambah stock kesabarannya menghadapi gadis lugu tapi matre ini. "Aduh maaf, Pak. Jangan tersinggung ya? Saya hanya bercanda," ucap Puspita, setelah melihat Dana hanya meliriknya sekilas. "Ayo masuk!" perintah Dana. Dia membuka pintu rumah tanpa pagar itu, pelan. "Kamu akan tinggal di sini sendiri. Saya hanya datang sesekali. Kamu berani, kan?" Dana terus melangkah masuk, tanpa mempedulikan Puspita yang nampak masih mengagumi rumah itu. "Nggak pa-pa, Pak. S
"Tek! Tek! Tek!" Puspita menyingkap gorden, demi melihat sumber suara berisik dari luar.Buru-buru Puspita berlari menuju pintu, dan membukanya lebar-lebar. "Jualan apa, Pak?" tanya Puspita pada laki-laki yang terlihat mendorong gerobak itu, dengan suara lantang. "Mie tek-tek, Neng. Mau beli?" Puspita mengangguk mantap. Dia terakhir makan pagi tadi, dari siang sampai sore begini belum ada satu makanan yang masuk ke lambungnya. Hidup dalam kemiskinan, membuat Puspita lebih suka masak daripada jajan. Lebih hemat dan tentu saja lebih sehat. Tapi perutnya sudah terlanjur melilit, di rumah itu tidak ada apa-apa yang bisa dimakan. Kulkasnya bahkan belum dicolok ke saklar. Terpaksa lah Puspita jajan, uang pemberian Bu Lidya kan lumayan banyak. "Iya, Pak. Satu porsi, ya?" Puspita berkata sambil menghampiri si penjual. "Wadahnya mana, Neng?" Pak penjual heran, melihat Puspita tak membawa apa-apa. Tidak seperti ibu-ibu di sini, kalau beli selalu bawa mangkuk sendiri. Rumah yang Puspita te
"Saya suruh kamu siap-siap, bukannya ngerumpi sama tetangga!" omel Dana, ketika mereka sudah berada dalam rumah."Kan Bapak bilang nanti malam jemput saya, kenapa sore sudah datang? Jadi bukan salah saya, dong!" bantah Puspita."Ya, bukan berarti bisa kamu tinggal ngerumpi seperti tadi, Puspita. Pernikahan kita itu rahasia, dan hanya sementara. Kalau kamu sering keluar seperti tadi, rahasia kita akan terbongkar!" omel Dana panjang lebar. Dia sudah tidak bisa menyembunyikan kejengkelannya. Puspita menjengah, dia menghela nafas panjang. Pria yang terlihat pendiam itu rupanya cerewet juga. "Pak, saya tidak ngerumpi, Pak. Saya beli mi tek-tek, karena lapar banget. Dari siang saya belum makan, di rumah ini tidak ada apa-apa yang bisa saya makan, Pak. Kebetulan saja Mbak Ida itu beli mi tek-tek juga, jadi kita ketemu di situ. Bukannya sengaja ngerumpi. Ya namanya disapa masa iya diam saja? Nanti dikirinya saya sombong," bantah Puspita tak kalah panjang. "Jadi, sudah mereka tahu kalau saya
Hanya berbalut handuk, Puspita membuka pintu. "Pak Dana mau apa?" tanya Puspita takut-takut. Dia takut Dana menuntut haknya saat ini juga. Dia belum siap, dan satu lagi. Dia masih datang bulan. Dana sempat tertegun sejenak, menatap Puspita yang memamerkan kulit mulusnya, sebelum akhirnya buka suara. "Keluar kamu! Aku kebelet kencing!" sentak Dana, membuat Puspita segera menyingkir dari pintu, memberi jalan pada laki-laki itu. "Mandi kok kelamaan!" gerutu Dana sambil menutup pintu. "Hhh .... " Puspita bernafas lega, hal yang ditakutkan tidak terjadi. Puspita tak pernah tahu, Dana setengah mati menahan diri agar tidak lepas kendali. Siapa yang tahan melihat tubuh mulus itu? * * * * * * *"Kamu udah kayak gembel yang nggak pernah ketemu makanan, tau nggak." Puspita menghentikan suapannya, menatap suaminya yang sibuk main HP. Puspita meneguk minumannya, sebelum menjawab ucapan sarkas dari Dana. "Saya memang gembel, Pak. Jadi tolong maklumin saja." Kembali Puspita menyendok mie yang t
"Dasar perempuan tidak tahu terimakasih! Aku sudah mengangkatmu dari kemiskinan, sekarang kamu mau menggigitku!" maki Lidya dengan suara lantang. Semalam Lidya gagal memberi pelajaran pada gadis kampung itu, saat di mall. Karena Dana pasang badan, dia membela Puspita dan malah mengancam balik Lidya. "Jangan coba-coba membuat keributan di sini, Lidya. Kalau kamu tak ingin viral dan rahasia busukmu diketahui banyak orang." Bukan bentakan atau kata-kata kasar yang keluar dari mulut Dana. Hanya kalimat sederhana yang diucapkan dengan nada datar, tapi cukup membungkam Lidya. "Tapi Mas, nggak begini caranya. Kamu nggak boleh terlalu dekat dengan Puspita, kamu nggak boleh manjain dia dengan memberinya barang-barang mahal. Aku sudah membayarnya, Mas." protes Lidya. Sebenarnya bukan uang dipermasalahkan Lidya, tapi dia cemburu melihat kebersamaan suaminya dengan Puspita. Dia takut Dana jatuh cinta pada gadis desa itu, kalau sering berduaan seperti ini. Apalagi malam ini Puspita terlihat be
"Tetangga kamu itu aneh! Kepo banget sama urusan orang," gerutu Dana, setelah Bu Ria meninggalkan rumah Puspita. "Iya, ya Pak. Kepo banget jadi orang, sampai nanya macem-macem. 'Wah, ini suami Mbak Puspita? Ganteng banget, kerja dimana? Mobilnya keren banget lho, pasti harganya mahal'," ucap Puspita menirukan Bu Ria, lengkap dengan gaya bicaranya yang julid dan bibir yang mletat-mletotnya. "Ha .... ha .... Kamu lucu. Persis banget." Dana tak bisa menahan tawa melihat tingkah Puspita. Puspita tertegun, baru kali ini dia melihat Dana tertawa lepas. Biasanya laki-laki itu selalu memasang wajah dingin dan kaku. "Tapi Bapak seneng, kan .... ? Alaaah, ngaku aja!" Mata Puspita menyipit, menatap curiga pada suaminya."Seneng apa?""Seneng dipuji ganteng sama, Bu Ria lah," ketus Puspita. Ada cemburu dalam nada suaranya. "Memang aku ganteng, kan," jawab Dana dengan pongahnya. Bibir Puspita mengerucut, membuat Dana gemas dan menowel bibir itu. "Apa sih, Pak!" "Kamu ingin aku cium, ya?" uc
"Pak Dana? Ngapain kesini?" Jelas Puspita kaget melihat Dana sudah berdiri di depan pintu. Bukankah kemarin dia dan istrinya bertengkar hebat, hanya karena Dana makan siang di rumahnya? "Ngapain-ngapain. Ini rumahku, Puspita. Suka-suka aku mau datang kapan saja." Tanpa menunggu dipersilahkan, Dana ngeloyor masuk begitu saja. "Iya, tapi ---" Puspita hendak mengajukan protes, tapi Dana buru-buru memotongnya. "Tapi apa? Kamu takut sama Lidya? Cemen kamu Puspita! Kamu harus berani melawan perempuan sombong itu! Agar dia tidak terus menindasmu!" Dana mengendurkan dasi yang melilit lehernya, sambil menyandarkan punggung di sofa ruang tengah. Puspita tak menjawab, sudah pasti dia tak berani menentang Lidya. Istri Dana itu punya segalanya, bahkan dirinya saja sudah dibeli. Menghadapi Lidya sama dengan bunuh diri namanya. "Kenapa kamu diam saja, Puspita? Suami pulang kerja sambut dengan senyum manis, lepas sepatunya! Ambilkan minum, layani dengan baik! Bukan hanya berdiri kayak patung beg
"Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" ucap Dian dengan bahasa dan sikap formal. Maklum dia sedang berhadapan dengan Big Bos di perusahaan tempatnya bekerja. "Kamu ke rumahnya Puspita sekarang! Jemput dia, ajak ke mall! Belanja baju dan skincare. Nanti sekalian kamu ajari dia cara berpakaian dan berdandan yang baik," ucap Dana penuh wibawa, sambil sibuk menekuri laptopnya. 'Halah! Malah disuruh ke rumah Puspita. Males aku! Perempuan kampung itu kalau ngomong suka nggak nyambung, nyolot lagi.' gerutu Dian dalam hati, hanya dalam hati. Dia mana berani mengatakannya langsung pada Dana. Auto dipecat dia. Pertemuan pertamanya dengan Puspita sudah membuat asisten Dana itu illfeel, bawaannya ngajak ribut. Gimana pertemuan kedua, bisa bener-bener gelut mereka. "Tapi tugas saya banyak, Pak. Maklum akhir bulan. Laporan bulan ini aja belum selesai ----" Ucapan Dian terhenti, melihat Dana menatapnya tajam. "Minta Ismi menggantikan tugasmu di kantor!" tegas Dana. Rupanya perintah laki
"Sebenarnya kita mau kemana sih, Mas?" Tanya Puspita penasaran, karena dari tadi Dana tidak mau terus terang, akan dibawa kemana anak istrinya itu. Puspita sudah tidak lagi memanggil Dana dengan sebutan 'Pak', melainkan 'Mas'. Dana yang minta, masa iya suami istri manggilnya kayak atasan bawahan. Akhirnya mereka sudah menikah resmi, secara agama dan negara. Meski hanya berlangsung di KUA, tanpa pesta."Beli mainan ya, Yah?" Sahut Arbi yang duduk di kursi belakang. "Bukan Sayang, kita akan ke suatu tempat yang spesial. Arbi pasti suka. Di sana ada banyak mainan," jawab Dana sambil terus fokus dengan setirnya. Meski sudah menjadi pemilik perusahaan yang go internasional, dengan kekayaan yang melimpah ruah. Dana tetap memilih hidup sederhana, tak menggunakan sopir dan body guard lagi. Bahkan di rumah hanya ada satu ART. "Ada es krim, nggak?" Tanya Arbi polos. Dana terkekeh, ditatapnya sang buah hati yang malam ini terlihat begitu tampan dan gagah memakai stelan tuxedo yang senada de
"Pak Dana mau kemana?" Puspita melontarkan pertanyaan pada laki-laki, yang tengah mematut diri di depan cermin itu. Wajar Puspita bertanya, sejak memutuskan meninggalkan kediaman Lidya, Dana juga absen masuk kantor. Laki-laki itu memutuskan untuk fokus pada restorannya. Tapi pagi ini, Dana terlihat rapi dengan jas dan dasi. Seperti saat dia masih jadi CEO dulu. "Ngantor, Ta. Banyak hal yang harus aku urus, perusahaan itu morat-marit sejak kutinggal," jawab Dana tanpa berpaling dari cermin. Sejak kematian Lidya, perusahaan dan semua aset secara otomatis jadi milik Dana, pewaris tunggalnya. Termasuk segala tanggung jawabnya. Dari pengurusan pemakaman Lidya, hingga pengajian selama tujuh hari berturut-turut menjadi urusan Dana. Kini saatnya dia kembali masuk kantor, mengembalikan kejayaan Sampoerno Tbk, seperti sebelum dia memutuskan untuk pergi "Jadi Bapak akan kembali bekerja di perusahaan itu? Kembali ke rumah Bu Lidya lagi?" Sebuah pertanyaan bernada keberatan. Sepertinya Puspi
Dana sedang membereskan mainan Arbi yang tercecer, dan memasukkannya ke dalam box besar. Sementara Puspita mengemas semua pakain dan barang pribadi miliknya, juga Arbi. Termasuk milik Dana juga, tentunya. Laki-laki itu biasa dilayani, mana bisa berkemas sendiri tanpa bantuan orang lain? Atau mungkin dia memang sedang manja, ingin diperhatikan Puspita, yang sejak mendengar kabar Lidya koma, jadi lebih pendiam. Mereka berencana pindah dari apartemen yang disewa Dana itu hari ini, selain karena merasa terlalu sempit untuk mereka bertiga dan tak cukup untuk menampung mainan Arbi. Dana merasa keadaan sudah cukup aman, si biang kerok sudah seminggu terkapar di rumah sakit tak sadarkan diri, dan Mario meringkuk di penjara. Jadi, apalagi yang ditakutkan? Lalu bagaimana dengan anak buah Mario? Mereka bekerja demi uang, jadi siapapun yang membayar, perintah siap dilaksanakan. "Wah, mainannya banyak banget, Yah? Gimana bawanya? Emang mobil Ayah muat?" Tanya bocah itu dengan polosnya. Dana te
Dana menatap iba wajah pucat penuh lebam, yang tergolek di atas ranjang. Kepalanya dibalut perban, ada jejak merah di sana. Tidak hanya ditangan, hidung dan saluran pembuangan Lidya pun, di pasangi selang. Kesombongan Lidya hilang sudah, bahkan bernafas pun dia butuh bantuan. Lidya pingsan, setelah terlibat perkelahian antar tahanan. Menurut penuturan petugas, Lidya tidak terima ketika salah seorang tahanan menjadikan dia bahan candaan. Dia yang dasarnya emosian, pun naik pitam. Tahanan itu di tonjok mukanya, lalu terjadilah perkelahian. Lidya yang baru masuk sel belum punya teman, jadi saat kejadian dia sendirian melawan beberapa tahanan di sel itu. Perkelahian tak imbang itu baru berhenti saat petugas melerai. Sayangnya kondisi Lidya sudah terlanjur babak belur dan pingsan, hingga terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Lidya kena getahnya sekarang, kalau biasanya karyawan-karyawannya bersikap patuh dan selalu menuruti perintahnya, kini tak berkutik melawan penghuni sel yang bar-bar.
Puspita sudah terlihat rapi dengan baju rumahan, wajahnya sudah terlihat lebih segar, tak lagi pucat seperti pagi tadi. "Umi kangen banget ...." Puspita menyongsong sang anak yang baru saja pulang, lalu memeluknya erat. Diciuminya seluruh wajah Arbi tanpa sisa. Bukannya lebai atau berlebihan, kemarin dia pergi menemani Dana menghadiri sidang perceraian, lanjut ke rumah sakit berakhir di kantor polisi. Malam sekali dia baru sampai rumah, itu pun dalam keadaan payah. Belum sempat menyapa si anak, Arbi sudah pergi bersama ayahnya, dan baru pulang sore ini. Wajar, kan? Kalau Puspita merasa rindu, karena sebelumnya mereka terbiasa bersama. "Dari mana, sih? Kok, Umi ditinggal sendiri?" Puspita pura-pura merajuk. "Ikut Ayah, ketemu orang gila!" Ketus Arbi dengan wajah cemberut. Puspita mendongak, menatap suaminya yang berdiri di belakang Arbi, yydengan wajah penuh tanya. Dana melengos, pura-pura tak tahu kalau Puspita tengah menatapnya, meminta penjelasan maksud dari ucapan Arbi. "Ora
Lidya duduk di lantai memeluk lutut, tatap matanya kosong. Seperti ada hal berat yang sedang dia pikirkan. Meskipun Lidya bukan tipe orang suka menyesali perbuatannya, tapi kali ini berbeda. Dia benar-benar menyesal telah menghajar Puspita, hingga menyebabkan dia harus di tahan di ruang yang sama sekali tidak nyaman untuk tempat tinggal ini. Meski pengacara berjanji akan datang siang ini untuk membebaskan dia, tetap saja Lidya merasa nelangsa. Ditahan bersama orang-orang dengan strata sosial lebih rendah, membuat Lidya merasa jijik dan muak. Mereka jorok dan bau, entah berapa hari nggak mandi. Lidya sampai nggak betah kalau harus dekat mereka. Harusnya Lidya mendengar nasehat Mario kala itu. "Bu Lidya harus bisa menahan diri, jangan terbawa emosi. Ini tempat umum, kalau sampai ibu melakukan sesuatu, menganiaya atau sekedar memaki saja, bisa jadi alasan mereka untuk menjebloskan Ibu ke penjara." Begitu kata Mario, saat melihat Dana datang dengan menggandeng Puspita. Mario tahu betul
Puspita tak lagi mau bersandar di bahu Dana, meski kepalanya masih berdenyut nyeri, akibat pukulan dan jambakan yang Lidya layangkan kepadanya. Dia lebih memilih menyandarkan kepala di kaca sampingnya. Dia benar-benar marah pada Dana, ternyata semua ini sudah direncanakan suaminya itu. Rupanya Dana sengaja mengajak Puspita menghadiri sidang perceraiannya, untuk memancing emosi Lidya. Wanita itu pencemburu, dengan keberadaan Puspita di ruangan itu, membuat Lidya terpancing emosi dan menghajar Puspita. Meski rencana awalnya Dana akan pasang badan, untuk melindungi Puspita, agar dia saja yang jadi korban keganasan wanita itu. Tapi kenyataan tak seperti ekspektasinya, Puspita justru mengalami luka paling parah. Belum lagi cemoohan dari para wanita yang hadir di sana, menambah rasa malu. Apalagi tadi terlihat ada yang merekam kejadian itu, kalau terus diupload dan viral bagaimana? Bagi Puspita itu tak jadi masalah, toh dia jarang keluar. Tak punya teman atau circle di kota ini. Tapi Arbi
"Kok kesini, Pak?" Protes Puspita, setelah mobil yang dikendarai Dana berbelok, ke gedung pengadilan agama. Puspita pikir, Dana menyuruhnya berpakaian dan berdandan tak seperti biasanya, karena mau diajak jalan-jalan ke Mall. Mungkin Dana butuh merefresh hati dan pikiran. Di apartemen terus, tak kemana-mana kan, bosen juga. "Kamu harus temani aku sidang, Ta," jawab Dana, tanpa merasa bersalah karena tak jujur dari awal. "Ya, tapi buat apa? Nanti Bu Lidya marah-marah. Aku lagi yang kena," gerutu Puspita. Bibirnya sudah maju lima senti, tapi Dana tak ambil peduli. Dia tetap anteng di belakang setir, sambil matanya sibuk mencari tempat yang kosong untuk memarkirkan mobilnya. "Dah sampai. Yuk, turun!" Puspita bergeming, wajahnya ditekuk. Kalau dia ikut turun, pasti bertemu Lidya. Hal yang dia hindari dan takuti selama ini. "Kenapa? Takut? Kan, ada aku. Jadi, kamu nggak perlu khawatir atau menakutkan apapun. Kamu mau masalah kita segera selesai, kan?" Puspita mengangguk pelan. "Kalau
Dana menatap nanar gambar yang baru saja anak buahnya kirim. Dalam gambar tersebut, sosok laki-laki nampak baru keluar dari kediaman Lidya. Meski tidak terlalu jelas, tapi Dana tahu betul siapa laki-laki itu. Mario, si pembunuh berdarah dingin, yang tak punya belas kasih sama sekali. Dia akan menjalankan tugasnya dengan baik, setelah kesepakatan terjadi. Kepala Dana berdenyut nyeri, memikirkan masalah baru yang membelit. Dia tahu betul bagaimana kinerja Mario, sangat rapi dan sulit terdeteksi. Dana harus apa? Tak mungkin terus menerus bersembunyi, mau sampai kapan? Puspita dan anaknya juga butuh hidup normal. Terang-terangan menghadapi Mario, adu strategi sekaligus adu otot. Itu artinya butuh uang yang tak sedikit, sedangkan dia sudah tidak lagi menjadi CEO perusahaan milik Lidya. Ah, tak apa. Dia masih punya penghasilan dari restorannya. Meski tak sebesar perusahaan Lidya, tapi lebih dari cukup untuk memenuhi segala kebutuhan Dana. Diliriknya Arbi yang sudah terlelap, dirinya vers