Share

Bab 4

Author: Muzdalifah Muthohar
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya. 4

"Aku tidak mau, jangan paksa aku untuk menikah lagi," tolak Dana tegas, ketika Lidya mengutarakan keinginannya.

"Hanya untuk sementara, setelah melahirkan, ceraikan dia," ucap Lidya lembut, tapi memaksa.

"Tidak, itu tidak benar. Aku tidak mau mempermainkan pernikahan. Sebagai wanita apa kamu tega mempermainkan kaummu sendiri?" sangkal Dana. Tapi bukan Lidya namanya kalau menyerah begitu saja.

"Bukan mempermainkan, tapi kerja sama yang saling menguntungkan. Kita mendapat anak, dia dan adik-adiknya, dapat melanjutkan pendidikannya, impas kan?" jawab Lidya enteng. Seolah hal dia bicara ini masalah sepele, bukan tentang masa depan seorang anak manusia.

Dana menghirup nafas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Mencoba mencerna jalan pemikiran Lidya, yang menurutnya tidak manusiawi.

Mereka sudah menikah selama sepuluh tahun, tapi belum juga punya momongan. Penyebabnya, Lidya tidak ingin hamil dan melahirkan, dia tidak mau repot, dan tidak ingin bentuk badannya berubah.

Tanpa buah hati, membuat pernikahan mereka terasa hambar, rumah sepi tanpa celoteh si kecil. Dana sudah sangat ingin menimang anak, membacakan cerita sebelum tidur, jalan-jalan, main bersama. Apalagi kalau anaknya laki-laki, pasti lebih menyenangkan. Bisa diajak main. Semakin lama, kerinduan akan hadirnya buah hati, semakin tidak terbendung. Sayangnya Lidya menolak keras keinginan Dana. Meski berkali-kali Dana merayu Lidya, agar mau melepas IUD nya dan menjalani promil, Lidya tetap bergeming. Baginya penampilan adalah segalanya.

"Kalau kamu tidak mau mengandung anakku, kita bisa adopsi, entah itu anak saudaramu atau saudaraku. Bagiku tak masalah, yang dia masih ada ikatan darah dengan kita," ucap Dana kemudian.

"Aku ingin darah dagingmu, bukan anak orang lain," sergah Lidya.

Dana sudah kehabisan kata, untuk meyakinkan Leodra, agar membatalkan niatnya untuk menikahkan dirinya dengan wanita yang dipilihnya.

Seorang gadis desa, tetangga Bi Marni pembantu mereka. Gadis itu berasal dari keluarga miskin, yang butuh uang untuk biaya hidup dan sekolah adik-adiknya. Sebagai anak sulung dia menjadi tulang punggung keluarga, menggantikan ayahnya yang sudah tiada.

Gadis itu terancam putus sekolah, karena tidak bisa membayar SPP. Mendengar ceritanya Dana jadi terenyuh, dengan senang hati dia akan membantu. Membiayai sekolah gadis itu, hingga lulus. Anggap saja sebagai anak asuh, tak perlu menikahinya. Masa depan gadis itu masih panjang, rasanya kejam sekali memanfaatkan keadaannya, demi memenuhi hasrat untuk punya keturunan. Begitu pikir Dana.

"Apa kamu tidak khawatir, jika suatu saat kami saling jatuh cinta? Tidak kah kamu menghawatirkan keutuhan rumah tangga kita, dengan menghadirkan gadis itu?" ucap Dana, mencoba membuat Lidya memikirkan lagi ide gilanya.

"Lakukan! Tanpa perlu memakai perasaan, setelah dia positif hamil, kamu tak perlu lagi menyentuhnya, apa lagi berfikir untuk mencintainya," tegas Lidya seraya menatap dingin Dana.

Dana terpekur menatap lantai, bingung menghadapi Lidya yang keras kepala. Apapun keinginannya harus dituruti, tidak kah dia memikirkan resiko dari tindakannya? Bagaimana kalau dikemudian hari mereka saling jatuh cinta? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepala Dana.

"Kalau kau tidak mau menikahinya, karena takut dia menjadi duri dalam rumah tangga kita. Kita sewa saja rahimnya, jadikan dia surrogate mother, atau inseminasi buatan, tanpa kamu menyentuhnya," ucap Lidya memecah kebisuan.

Dana menatap Lidya tajam, gila! Dia memang sudah gila! pekik Dana dalam hati.

"Itu dosa, Lidya. Hukumnya sama saja dengan zinah," sergah Dana tak terima.

Rasanya percuma saja, bicara sampai berbusa-busa dengan Lidya. Baginya semua keinginannya harus terwujud, tak peduli bagaimanapun caranya. Persetan dengan hukum dan norma.

"Berarti kamu harus menikahi gadis itu," tegas Lidya.

Dana menggeleng tak mengerti, kenapa dirinya bisa jatuh cinta dan menikahi perempuan tak punya hati macam Lidya.

Dana Kembali teringat awal-awal pertemuan mereka. Dulunya Dana adalah karyawan di perusahaan milik ayah Lidya. Karena pekerja keras dan jujur, Dana mendapat promosi naik jabatan. Disinilah kisah itu berawal. Intensnya kebersamaan membuat mereka saling jatuh cinta. Entah apa yang dilihat Lidya dari seorang Dana, hingga dia lebih memilih karyawan papanya itu, padahal banyak pria kaya yang ingin mempersunting dirinya. Kalau soal ketampanan, para penggemar Lidya juga tak kalah tampan.

"Kenapa Kamu memilihku, laki-laki miskin yang tidak bisa memberimu apa-apa? Mengapa tidak memilih mereka saja, yang notabene sederajat dengan kamu?" tanya Dana, ketika Lidya memintanya melamar pada kedua orang tuanya.

"Aku bisa saja memilih satu diantara mereka, tapi aku ingin menjadi diriku sendiri. Dengan menikahi mereka, berarti aku harus siap patuh dan tunduk sebagai istri," ucapnya mengungkap alasan di balik pilihannya.

Dan ini lah yang terjadi sepanjang pernikahan mereka, Lidya lebih dominan. Bukan saja dalam urusan pekerjaaan, tapi dalam urusan rumah tangga juga. Dia lah yang mengambil keputusan, semetara Dana hanya bisa bilang, "iya".

Tapi kali ini, Dana tidak bisa menerima keputusan Lidya. Meskipun rasa jenuh kadang mendera, tapi Dana tipe orang yang menganggap perkawinan adalah sakral, bukan untuk dipermainkan.

Dana tidak mau mengorbankan gadis itu, kasihan dia. Bagaimanapun juga dia itu manusia, punya hati dan perasaan. Di mana hati nuraninya? Tega mengambil keuntungan dari kemiskinan orang lain.

Dana memang sangat ingin punya anak dari darah dagingnya sendiri, tapi bukan begini caranya. Kenapa Lidya tidak mengalah saja, dengan melepas IUDnya. Dana hanya tidak mau timbul masalah besar dikemudian hari.

"Itulah sebabnya aku memilih gadis desa, yang penampilannya masih lugu dan wajahnya biasa saja. Aku yakin kamu tidak akan tertarik padanya. karena dia tidak ada apa-apanya dibanding aku," ucap Lidya meremehkan calon istri pilihannya, setelah melihat Dana hanya diam, dengan tatapan menerawang ke depan.

"Aku butuh waktu untuk berfikir lagi Lidya, aku rasa kamu juga. Ini bukan urusan sepele," ucap Dana, lalu bangkit dari tempat duduknya hendak meninggalkan Lidya.

"Tidak ada waktu untuk berfikir, gadis itu sedang dalam perjalanan ke sini," ucap Lidya, membuat Dana menghentikan langkah.

"Masalah sebesar ini kamu putuskan sendiri, tanpa minta pendapat atau persetujuanku?" Ditatapnya Lidya, dengan perasaan campur aduk. Wanita itu selalu menuruti kata hatinya, tanpa memikirkan perasaan Dana.

"Bukankah bisanya memang seperti itu?" ucapnya tanpa merasa bersalah.

"Tidak bisakah kamu sekali saja, menghargai aku sebagai suamimu?" Dada Dana tiba-tiba terasa sesak. Menurutnya sikap Lidya kali ini sudah sangat keterlaluan, menginjak-injak harga dirinya sebagai laki-laki.

Meski selama menikah dengan Lidya, Dana tak lebih hanya karyawan, bukan suami yang seharusnya dihormati.

"Itu Bu Lidya dan Pak Dana majikan kita." Tiba-tiba saja, Bi Marni datang dari arah depan, dengan menggandeng seorang gadis muda.

Dana tertegun menatap gadis yang berdiri di hadapannya dengan tas lusuh itu. Penampilan kucelnya menyembunyikan kecantikan alami yang dia punya.

Bersambung ....

Jangan lupa tinggalkan jejak, dan kasih ulasan bintang⭐⭐⭐⭐⭐. Terima kasih....

Related chapters

  • Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya.    Bab 5

    Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya. 5"Lidya, kamu benar-benar gila, ya? Di mana otakmu? Sampai kamu nggak bisa mikir. Gadis ingusan seperti itu yang mau kamu nikahkan denganku? Kamu pikir aku pedofil!" gusar Dana, setelah tahu macam apa wanita yang akan jadi istrinya. Benar-benar bukan tipenya. Perdebatan mereka berlanjut di kamar, setelah Bi Marni memperkenalkan Puspita. Dana benar-benar tak habis pikir dengan jalan fikiran istrinya. Bagaimana mungkin gadis bau kencur itu dijadikan istrinya? "Kalau sudah dewasa, dia sudah berpengalaman. Pasti banyak maunya, menuntut ini itu, dan aku tidak mau itu terjadi, Mas!" jawab Lidya sengit. Dana menghela nafas panjang. "Apa tidak ada gadis yang sedikit lebih cantik?" protes Dana. "Sengaja aku pilih yang burik, biar kamu nggak tertarik," jawab Lidya dengan santainya. "Iya, aku memang tidak tertarik dengan gadis itu. Dan juga kamu sudah sukses membuat aku ilfeel. Sudah bau kencur, dekil, kucel, bau lagi. Gimana dia mau hamil? Menyentuhnya saja a

    Last Updated : 2024-10-29
  • Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya.    Bab 6

    Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya. 6"Antar Puspita ke rumah yang di perum Griya Asri sekarang, Mas," ucap Lidya pada Dana, setelah acara akad dilaksanakan. Pak penghulu langsung pulang, karena memang tidak ada acara apa-apa lagi. Puspita sudah masuk ke kamarnya di antar Marni. Kini rumah kembali sepi seperti biasa, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. "Ini sudah malam, Lidya. Besok saja! Aku ngantuk," jawab Dana malas-malasan. Dia bahkan menutup kepala dengan bantal, menghindari tatapan Lidya. Lidya menghela nafas panjang. "Baru jam sembilan, Mas. Belum terlalu malam." Dalam kamus Lidya, tak ada kata penolakan. Jadi, dia akan memaksa Dana melakukan perintahnya. Dana bangun dari posisinya, dia menatap Lidya dingin. Semakin lama, Dana semakin muak dengan sikap Lidya yang otoriter dan dominan. Sisi kelaki-lakiannya terusik, dia merasa dihina dan diinjak harga dirinya. "Kamu bisa, nggak? Sekali saja dengar kata suami? Kamu tahu ini sudah malam, dan aku capek!" Suara Dana sedikit mening

    Last Updated : 2024-10-29
  • Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya.    Bab 7

    "Wah, Bagus sekali. Beneran ini rumah untuk saya, Pak?" Puspita mendongak, menatap takjub rumah minimalis satu lantai, yang lebih bagus dan lebih besar dibanding rumahnya di desa. Meski tak semewah rumah Lidya dan Dana, rumah untuk Puspita ini nampak nyaman ditinggali. Tentu Saja Puspita senang bukan main. "Ya, selama kamu menjadi istri saya, kamu boleh tinggal di sini," jawab Dana datar. "Oh, kirain rumah ini jadi milik saya," gumam Puspita, yang masih mengagumi bangunan di depannya. Dan mengehela nafas panjang, berusaha menambah stock kesabarannya menghadapi gadis lugu tapi matre ini. "Aduh maaf, Pak. Jangan tersinggung ya? Saya hanya bercanda," ucap Puspita, setelah melihat Dana hanya meliriknya sekilas. "Ayo masuk!" perintah Dana. Dia membuka pintu rumah tanpa pagar itu, pelan. "Kamu akan tinggal di sini sendiri. Saya hanya datang sesekali. Kamu berani, kan?" Dana terus melangkah masuk, tanpa mempedulikan Puspita yang nampak masih mengagumi rumah itu. "Nggak pa-pa, Pak. S

    Last Updated : 2024-10-29
  • Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya.    Bab 8

    "Tek! Tek! Tek!" Puspita menyingkap gorden, demi melihat sumber suara berisik dari luar.Buru-buru Puspita berlari menuju pintu, dan membukanya lebar-lebar. "Jualan apa, Pak?" tanya Puspita pada laki-laki yang terlihat mendorong gerobak itu, dengan suara lantang. "Mie tek-tek, Neng. Mau beli?" Puspita mengangguk mantap. Dia terakhir makan pagi tadi, dari siang sampai sore begini belum ada satu makanan yang masuk ke lambungnya. Hidup dalam kemiskinan, membuat Puspita lebih suka masak daripada jajan. Lebih hemat dan tentu saja lebih sehat. Tapi perutnya sudah terlanjur melilit, di rumah itu tidak ada apa-apa yang bisa dimakan. Kulkasnya bahkan belum dicolok ke saklar. Terpaksa lah Puspita jajan, uang pemberian Bu Lidya kan lumayan banyak. "Iya, Pak. Satu porsi, ya?" Puspita berkata sambil menghampiri si penjual. "Wadahnya mana, Neng?" Pak penjual heran, melihat Puspita tak membawa apa-apa. Tidak seperti ibu-ibu di sini, kalau beli selalu bawa mangkuk sendiri. Rumah yang Puspita te

    Last Updated : 2024-10-29
  • Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya.    Bab 9

    "Saya suruh kamu siap-siap, bukannya ngerumpi sama tetangga!" omel Dana, ketika mereka sudah berada dalam rumah."Kan Bapak bilang nanti malam jemput saya, kenapa sore sudah datang? Jadi bukan salah saya, dong!" bantah Puspita."Ya, bukan berarti bisa kamu tinggal ngerumpi seperti tadi, Puspita. Pernikahan kita itu rahasia, dan hanya sementara. Kalau kamu sering keluar seperti tadi, rahasia kita akan terbongkar!" omel Dana panjang lebar. Dia sudah tidak bisa menyembunyikan kejengkelannya. Puspita menjengah, dia menghela nafas panjang. Pria yang terlihat pendiam itu rupanya cerewet juga. "Pak, saya tidak ngerumpi, Pak. Saya beli mi tek-tek, karena lapar banget. Dari siang saya belum makan, di rumah ini tidak ada apa-apa yang bisa saya makan, Pak. Kebetulan saja Mbak Ida itu beli mi tek-tek juga, jadi kita ketemu di situ. Bukannya sengaja ngerumpi. Ya namanya disapa masa iya diam saja? Nanti dikirinya saya sombong," bantah Puspita tak kalah panjang. "Jadi, sudah mereka tahu kalau saya

    Last Updated : 2024-10-29
  • Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya.    Bab 10

    Hanya berbalut handuk, Puspita membuka pintu. "Pak Dana mau apa?" tanya Puspita takut-takut. Dia takut Dana menuntut haknya saat ini juga. Dia belum siap, dan satu lagi. Dia masih datang bulan. Dana sempat tertegun sejenak, menatap Puspita yang memamerkan kulit mulusnya, sebelum akhirnya buka suara. "Keluar kamu! Aku kebelet kencing!" sentak Dana, membuat Puspita segera menyingkir dari pintu, memberi jalan pada laki-laki itu. "Mandi kok kelamaan!" gerutu Dana sambil menutup pintu. "Hhh .... " Puspita bernafas lega, hal yang ditakutkan tidak terjadi. Puspita tak pernah tahu, Dana setengah mati menahan diri agar tidak lepas kendali. Siapa yang tahan melihat tubuh mulus itu? * * * * * * *"Kamu udah kayak gembel yang nggak pernah ketemu makanan, tau nggak." Puspita menghentikan suapannya, menatap suaminya yang sibuk main HP. Puspita meneguk minumannya, sebelum menjawab ucapan sarkas dari Dana. "Saya memang gembel, Pak. Jadi tolong maklumin saja." Kembali Puspita menyendok mie yang t

    Last Updated : 2024-10-29
  • Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya.    Bab 11

    "Dasar perempuan tidak tahu terimakasih! Aku sudah mengangkatmu dari kemiskinan, sekarang kamu mau menggigitku!" maki Lidya dengan suara lantang. Semalam Lidya gagal memberi pelajaran pada gadis kampung itu, saat di mall. Karena Dana pasang badan, dia membela Puspita dan malah mengancam balik Lidya. "Jangan coba-coba membuat keributan di sini, Lidya. Kalau kamu tak ingin viral dan rahasia busukmu diketahui banyak orang." Bukan bentakan atau kata-kata kasar yang keluar dari mulut Dana. Hanya kalimat sederhana yang diucapkan dengan nada datar, tapi cukup membungkam Lidya. "Tapi Mas, nggak begini caranya. Kamu nggak boleh terlalu dekat dengan Puspita, kamu nggak boleh manjain dia dengan memberinya barang-barang mahal. Aku sudah membayarnya, Mas." protes Lidya. Sebenarnya bukan uang dipermasalahkan Lidya, tapi dia cemburu melihat kebersamaan suaminya dengan Puspita. Dia takut Dana jatuh cinta pada gadis desa itu, kalau sering berduaan seperti ini. Apalagi malam ini Puspita terlihat be

    Last Updated : 2024-10-29
  • Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya.    Bab 12

    "Tetangga kamu itu aneh! Kepo banget sama urusan orang," gerutu Dana, setelah Bu Ria meninggalkan rumah Puspita. "Iya, ya Pak. Kepo banget jadi orang, sampai nanya macem-macem. 'Wah, ini suami Mbak Puspita? Ganteng banget, kerja dimana? Mobilnya keren banget lho, pasti harganya mahal'," ucap Puspita menirukan Bu Ria, lengkap dengan gaya bicaranya yang julid dan bibir yang mletat-mletotnya. "Ha .... ha .... Kamu lucu. Persis banget." Dana tak bisa menahan tawa melihat tingkah Puspita. Puspita tertegun, baru kali ini dia melihat Dana tertawa lepas. Biasanya laki-laki itu selalu memasang wajah dingin dan kaku. "Tapi Bapak seneng, kan .... ? Alaaah, ngaku aja!" Mata Puspita menyipit, menatap curiga pada suaminya."Seneng apa?""Seneng dipuji ganteng sama, Bu Ria lah," ketus Puspita. Ada cemburu dalam nada suaranya. "Memang aku ganteng, kan," jawab Dana dengan pongahnya. Bibir Puspita mengerucut, membuat Dana gemas dan menowel bibir itu. "Apa sih, Pak!" "Kamu ingin aku cium, ya?" uc

    Last Updated : 2024-10-29

Latest chapter

  • Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya.    Bab 45

    "Sebenarnya kita mau kemana sih, Mas?" Tanya Puspita penasaran, karena dari tadi Dana tidak mau terus terang, akan dibawa kemana anak istrinya itu. Puspita sudah tidak lagi memanggil Dana dengan sebutan 'Pak', melainkan 'Mas'. Dana yang minta, masa iya suami istri manggilnya kayak atasan bawahan. Akhirnya mereka sudah menikah resmi, secara agama dan negara. Meski hanya berlangsung di KUA, tanpa pesta."Beli mainan ya, Yah?" Sahut Arbi yang duduk di kursi belakang. "Bukan Sayang, kita akan ke suatu tempat yang spesial. Arbi pasti suka. Di sana ada banyak mainan," jawab Dana sambil terus fokus dengan setirnya. Meski sudah menjadi pemilik perusahaan yang go internasional, dengan kekayaan yang melimpah ruah. Dana tetap memilih hidup sederhana, tak menggunakan sopir dan body guard lagi. Bahkan di rumah hanya ada satu ART. "Ada es krim, nggak?" Tanya Arbi polos. Dana terkekeh, ditatapnya sang buah hati yang malam ini terlihat begitu tampan dan gagah memakai stelan tuxedo yang senada de

  • Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya.    Bab 44

    "Pak Dana mau kemana?" Puspita melontarkan pertanyaan pada laki-laki, yang tengah mematut diri di depan cermin itu. Wajar Puspita bertanya, sejak memutuskan meninggalkan kediaman Lidya, Dana juga absen masuk kantor. Laki-laki itu memutuskan untuk fokus pada restorannya. Tapi pagi ini, Dana terlihat rapi dengan jas dan dasi. Seperti saat dia masih jadi CEO dulu. "Ngantor, Ta. Banyak hal yang harus aku urus, perusahaan itu morat-marit sejak kutinggal," jawab Dana tanpa berpaling dari cermin. Sejak kematian Lidya, perusahaan dan semua aset secara otomatis jadi milik Dana, pewaris tunggalnya. Termasuk segala tanggung jawabnya. Dari pengurusan pemakaman Lidya, hingga pengajian selama tujuh hari berturut-turut menjadi urusan Dana. Kini saatnya dia kembali masuk kantor, mengembalikan kejayaan Sampoerno Tbk, seperti sebelum dia memutuskan untuk pergi "Jadi Bapak akan kembali bekerja di perusahaan itu? Kembali ke rumah Bu Lidya lagi?" Sebuah pertanyaan bernada keberatan. Sepertinya Puspi

  • Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya.    Bab 43

    Dana sedang membereskan mainan Arbi yang tercecer, dan memasukkannya ke dalam box besar. Sementara Puspita mengemas semua pakain dan barang pribadi miliknya, juga Arbi. Termasuk milik Dana juga, tentunya. Laki-laki itu biasa dilayani, mana bisa berkemas sendiri tanpa bantuan orang lain? Atau mungkin dia memang sedang manja, ingin diperhatikan Puspita, yang sejak mendengar kabar Lidya koma, jadi lebih pendiam. Mereka berencana pindah dari apartemen yang disewa Dana itu hari ini, selain karena merasa terlalu sempit untuk mereka bertiga dan tak cukup untuk menampung mainan Arbi. Dana merasa keadaan sudah cukup aman, si biang kerok sudah seminggu terkapar di rumah sakit tak sadarkan diri, dan Mario meringkuk di penjara. Jadi, apalagi yang ditakutkan? Lalu bagaimana dengan anak buah Mario? Mereka bekerja demi uang, jadi siapapun yang membayar, perintah siap dilaksanakan. "Wah, mainannya banyak banget, Yah? Gimana bawanya? Emang mobil Ayah muat?" Tanya bocah itu dengan polosnya. Dana te

  • Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya.    Bab 42

    Dana menatap iba wajah pucat penuh lebam, yang tergolek di atas ranjang. Kepalanya dibalut perban, ada jejak merah di sana. Tidak hanya ditangan, hidung dan saluran pembuangan Lidya pun, di pasangi selang. Kesombongan Lidya hilang sudah, bahkan bernafas pun dia butuh bantuan. Lidya pingsan, setelah terlibat perkelahian antar tahanan. Menurut penuturan petugas, Lidya tidak terima ketika salah seorang tahanan menjadikan dia bahan candaan. Dia yang dasarnya emosian, pun naik pitam. Tahanan itu di tonjok mukanya, lalu terjadilah perkelahian. Lidya yang baru masuk sel belum punya teman, jadi saat kejadian dia sendirian melawan beberapa tahanan di sel itu. Perkelahian tak imbang itu baru berhenti saat petugas melerai. Sayangnya kondisi Lidya sudah terlanjur babak belur dan pingsan, hingga terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Lidya kena getahnya sekarang, kalau biasanya karyawan-karyawannya bersikap patuh dan selalu menuruti perintahnya, kini tak berkutik melawan penghuni sel yang bar-bar.

  • Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya.    Bab 41

    Puspita sudah terlihat rapi dengan baju rumahan, wajahnya sudah terlihat lebih segar, tak lagi pucat seperti pagi tadi. "Umi kangen banget ...." Puspita menyongsong sang anak yang baru saja pulang, lalu memeluknya erat. Diciuminya seluruh wajah Arbi tanpa sisa. Bukannya lebai atau berlebihan, kemarin dia pergi menemani Dana menghadiri sidang perceraian, lanjut ke rumah sakit berakhir di kantor polisi. Malam sekali dia baru sampai rumah, itu pun dalam keadaan payah. Belum sempat menyapa si anak, Arbi sudah pergi bersama ayahnya, dan baru pulang sore ini. Wajar, kan? Kalau Puspita merasa rindu, karena sebelumnya mereka terbiasa bersama. "Dari mana, sih? Kok, Umi ditinggal sendiri?" Puspita pura-pura merajuk. "Ikut Ayah, ketemu orang gila!" Ketus Arbi dengan wajah cemberut. Puspita mendongak, menatap suaminya yang berdiri di belakang Arbi, yydengan wajah penuh tanya. Dana melengos, pura-pura tak tahu kalau Puspita tengah menatapnya, meminta penjelasan maksud dari ucapan Arbi. "Ora

  • Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya.    Bab 40

    Lidya duduk di lantai memeluk lutut, tatap matanya kosong. Seperti ada hal berat yang sedang dia pikirkan. Meskipun Lidya bukan tipe orang suka menyesali perbuatannya, tapi kali ini berbeda. Dia benar-benar menyesal telah menghajar Puspita, hingga menyebabkan dia harus di tahan di ruang yang sama sekali tidak nyaman untuk tempat tinggal ini. Meski pengacara berjanji akan datang siang ini untuk membebaskan dia, tetap saja Lidya merasa nelangsa. Ditahan bersama orang-orang dengan strata sosial lebih rendah, membuat Lidya merasa jijik dan muak. Mereka jorok dan bau, entah berapa hari nggak mandi. Lidya sampai nggak betah kalau harus dekat mereka. Harusnya Lidya mendengar nasehat Mario kala itu. "Bu Lidya harus bisa menahan diri, jangan terbawa emosi. Ini tempat umum, kalau sampai ibu melakukan sesuatu, menganiaya atau sekedar memaki saja, bisa jadi alasan mereka untuk menjebloskan Ibu ke penjara." Begitu kata Mario, saat melihat Dana datang dengan menggandeng Puspita. Mario tahu betul

  • Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya.    Bab 39

    Puspita tak lagi mau bersandar di bahu Dana, meski kepalanya masih berdenyut nyeri, akibat pukulan dan jambakan yang Lidya layangkan kepadanya. Dia lebih memilih menyandarkan kepala di kaca sampingnya. Dia benar-benar marah pada Dana, ternyata semua ini sudah direncanakan suaminya itu. Rupanya Dana sengaja mengajak Puspita menghadiri sidang perceraiannya, untuk memancing emosi Lidya. Wanita itu pencemburu, dengan keberadaan Puspita di ruangan itu, membuat Lidya terpancing emosi dan menghajar Puspita. Meski rencana awalnya Dana akan pasang badan, untuk melindungi Puspita, agar dia saja yang jadi korban keganasan wanita itu. Tapi kenyataan tak seperti ekspektasinya, Puspita justru mengalami luka paling parah. Belum lagi cemoohan dari para wanita yang hadir di sana, menambah rasa malu. Apalagi tadi terlihat ada yang merekam kejadian itu, kalau terus diupload dan viral bagaimana? Bagi Puspita itu tak jadi masalah, toh dia jarang keluar. Tak punya teman atau circle di kota ini. Tapi Arbi

  • Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya.    Bab 38

    "Kok kesini, Pak?" Protes Puspita, setelah mobil yang dikendarai Dana berbelok, ke gedung pengadilan agama. Puspita pikir, Dana menyuruhnya berpakaian dan berdandan tak seperti biasanya, karena mau diajak jalan-jalan ke Mall. Mungkin Dana butuh merefresh hati dan pikiran. Di apartemen terus, tak kemana-mana kan, bosen juga. "Kamu harus temani aku sidang, Ta," jawab Dana, tanpa merasa bersalah karena tak jujur dari awal. "Ya, tapi buat apa? Nanti Bu Lidya marah-marah. Aku lagi yang kena," gerutu Puspita. Bibirnya sudah maju lima senti, tapi Dana tak ambil peduli. Dia tetap anteng di belakang setir, sambil matanya sibuk mencari tempat yang kosong untuk memarkirkan mobilnya. "Dah sampai. Yuk, turun!" Puspita bergeming, wajahnya ditekuk. Kalau dia ikut turun, pasti bertemu Lidya. Hal yang dia hindari dan takuti selama ini. "Kenapa? Takut? Kan, ada aku. Jadi, kamu nggak perlu khawatir atau menakutkan apapun. Kamu mau masalah kita segera selesai, kan?" Puspita mengangguk pelan. "Kalau

  • Aku Juga Bisa Cantik, Nyonya.    Bab 37

    Dana menatap nanar gambar yang baru saja anak buahnya kirim. Dalam gambar tersebut, sosok laki-laki nampak baru keluar dari kediaman Lidya. Meski tidak terlalu jelas, tapi Dana tahu betul siapa laki-laki itu. Mario, si pembunuh berdarah dingin, yang tak punya belas kasih sama sekali. Dia akan menjalankan tugasnya dengan baik, setelah kesepakatan terjadi. Kepala Dana berdenyut nyeri, memikirkan masalah baru yang membelit. Dia tahu betul bagaimana kinerja Mario, sangat rapi dan sulit terdeteksi. Dana harus apa? Tak mungkin terus menerus bersembunyi, mau sampai kapan? Puspita dan anaknya juga butuh hidup normal. Terang-terangan menghadapi Mario, adu strategi sekaligus adu otot. Itu artinya butuh uang yang tak sedikit, sedangkan dia sudah tidak lagi menjadi CEO perusahaan milik Lidya. Ah, tak apa. Dia masih punya penghasilan dari restorannya. Meski tak sebesar perusahaan Lidya, tapi lebih dari cukup untuk memenuhi segala kebutuhan Dana. Diliriknya Arbi yang sudah terlelap, dirinya vers

DMCA.com Protection Status