Setelah mengetahui maksud kedatangan Sadewo, Rossi memilih kembali ke kamar. Ia tidak menyangka jika Sadewo benar-benar menepati janji, bahwasanya jika ia memiliki seorang putra maka akan dijadikan sebagai penerus keluarga Kuncoro. "Tidak terbayangkan kalau Bagas anak kandung Sadewo. Sebelum putraku mati pasti akan terus ia kejar," gumam Rossi. Terdengar suara ketukan pintu diiringi lengkingan memanggil namanya, membuat Rossi beranjak untuk membuka pintu. "Ada apa, Ge?""Tuan Sadewo mengajak Ge untuk ke luar. Katanya biar lebih akrab. Boleh?""Kamu lagi sakit. Masa dia tidak mengerti."Darren mengerti dengan ucapan Rossi yang berarti ia tidak mengizinkan. Pria itu hendak berbalik badan, tetapi ia urungkan. "Emm ... Bu, apa boleh Ge memanggilnya ayah? Yah ... memang, sih, rasa kecewa, sakit hati, masih ada untuknya, Bu. Hanya saja jika suatu saat nanti rasa itu hilang, mungkin Ge akan memanggilnya ayah."Sejenak Rossi terdiam. Ingin rasanya Darren hanya sebatas tahu saja jika Sadew
Darren kembali ke rumah kala hari sudah petang. Keputusan dan kesepakatannya dengan Sadewo ia ceritakan kepada Rossi. "Jika itu sudah keputusanmu, Ibu bisa apa. Ibu hanya mendukungmu. Ingat! Jadi pemimpin itu harus adil dan amanah. Jangan mentang-mentang kamu pemilik perusahaan lantas memperlakukan bawahan seenaknya saja."Berbagai wejangan Darren Terima dari Rossi. "Oh, iya, toko kue cabang, bagaimana? Ibu dapat kabar katanya di sana maju pesat.""Biarkan ayah Arini saja yang mengelola, Bu. Bagaimana menurut Ibu?"Rossi menyetujui pendapat Darren. Tidak membuang waktu lama, ia menghubungi ayah Arini. Kesepakatan antara kedua belah pihak terjadi. Sambungan telepon pun terputus. Ibu dan anak itu memutuskan untuk beristirahat sejenak sebelum makan malam. Makan malam tiba. Suasana kala itu terasa sangat berbeda. Rossi harus siap menerima kesendirian di mana dirinya harus berjauhan dengan sang putra. "Ibu kenapa?" tanya Darren. "Ah, tidak kenapa-napa, Nak. Kapan kamu ke ibu kota?"
Rapat telah usai. Darren dan Sadewo segera ke ruangan. Sadewo menunjukkan semua dokumen-dokumen penting perusahaan yang ia simpan di dalam brankas. Satu demi satu dokumen itu ia pelajari sambil menunggu dokumen bagian marketing. "Kamu akan mengadakan meeting dengan tim marketing?" tanya Sadewo. "Tentu saja Ayah." Tanpa sadar Darren memanggil Sadewo dengan sebutan itu membuat Darren membeku. Mendengar hal itu tentu saja membuat Sadewo senang. "Ucapkan sekali lagi, Nak!"Darren tergagap. "Emm ... ma-maksudnya, Tuan."Sadewo mencoba tersenyum. Dokumen dari bagian marketing sudah tersedia, tetapi waktu sudah menunjukan jam pulang. "Saatnya pulang," kata Sadewo. "Tapi, belum selesai. Mungkin, akan lembur.""Tidak perlu, Papa ... Eh, Ayah akan mengajakmu ke rumah utama."Darren terdiam. "Emm ... maaf, mungkin nanti akan menyusul."Sadewo mengernyit. Darren tidak akan lembur, tetapi ia bersiap untuk pulang. "Mau ke mana?"Darren menjawab jika dirinya akan menemui seseorang. "Baikl
Jam delapan malam Darren sudah tiba di rumah utama. Ia merasa heran karena ada beberapa koper di teras. "Loh, Anda mau ke mana?" tanya Darren kepada Sadewo. Sadewo tersenyum. "Ini bukan rumah ayah lagi, Nak. Ini rumahmu. Ayah akan tinggal di apartemen saja."Darren bergeming. Dalam hatinya bermonolog, "Ternyata ia benar-benar memenuhi janjinya.""Ayah berangkat, ya." Sadewo menepuk pundak Darren, yang berhasil membuat Darren terperanjat. "Tetaplah di sini," pinta Darren. "Ajak ibumu tinggal di sini. Kalau Ayah tetap di sini, mana mau dia ke sini. Iya, kan?"Darren mengatakan bahwa Rossi tidak akan pernah mau untuk tinggal di rumah utama. Ibunya itu pasti lebih memilih tinggal di desa mengurus toko kue miliknya. "Mau atau tidak mau ibumu ke sini, Ayah tetap akan tinggal apartemen. Kebetulan, lokasinya dekat dengan beberapa lokasi usaha Ayah."Mendengar kata 'usaha', Darren pun bertanya kepada Sadewo perihal biaya hidup karena hampir semua harta Sadewo sudah ada di tangan Darren.
Tiga bulan sudah berlalu. Hakim pun sudah memutuskan bahwa Sadewo dan Olivia sudah resmi bercerai.Selama tiga bulan itu pula Darren belum menemui Thalita di rumah sakit. Dirinya hanya bertanya kabar kepada Reyhan melalui sambungan telepon dan melalui Abimanyu di kantor. Ya, Darren meminta Abimanyu untuk menjadi direktur marketing. Keputusan Darren itu tentu saja menuai penolakan dari Sadewo. Akan tetapi, Sadewo hanya bisa pasrah karena keputusan sepenuhnya ada di tangan Darren. Bukan tanpa alasan Darren mempekerjakan Abimanyu. Selain kinerjanya yang bagus, pun ayah dari Thalita itu memang membutuhkan pekerjaan untuk menghidupi keluarganya. Schedule Darren benar-benar padat. Mulai dari mempersiapkan dua proyek terbaru, yakni membangun hotel bintang lima di Bali, serta restoran di lima kota besar yang ada di Indonesia sebagai investasi pribadinya. Pagi itu Darren baru saja selesai memimpin rapat. Roni --sang asisten memberitahukan bahwa sang atasan kedatangan seorang tamu. "Siapa, R
Setelah kepergian Olivia, Darren dan Abimanyu membahas data Marketing yang tentu saja berhubungan dengan orang-orang Purchasing. "Maaf, sudah berani menyuruh Om mengecek dokumen ini," kata Darren. "Tidak apa-apa, memang ini sudah tugas saya, Tuan."Darren mengernyit. Ia komplain karena Abimanyu memanggilnya tuan. "Panggil Ge saja, Om. Biar akrab." Darren terkekeh-kekeh. Abimanyu tersenyum. "Baiklah, Ge.""Lalu, bagaimana hasilnya? Apa benar dugaan Ge selama ini?"Abimanyu menghela napas panjang. "Ya. Entah mereka bermain seperti ini dari kapan. Yang jelas, yg paling bermasalah adalah atasan mereka yang sudah memberi tanda tangan. Dan orang itu adalah Bagas. Bagas ini Om pikir asal tanda tangan tanpa membaca. Tapi, masa iya dia tidak membaca?""Bisa jadi, Om."Darren menceritakan pengalamannya selama bekerja dahulu."Dia lebih fokus pada masalah wanita!"Mendengar hal itu, membuat Abimanyu kembali disergap rasa bersalah, malu, dan menyesal. Senyum samar terlihat jelas di bibirnya,
Di perjalanan, Darren disuguhkan dengan antrean berbagai kendaraan. Lolongan klakson saling bersahutan seakan-akan berteriak agar kemacetan segera terurai. Darren membuka kaca, kemudian bertanya kepada seorang pengamen jalanan. "Dek, ada apa di depan?""Di sana ada tabrakan beruntun, Tuan," jawab sang pengamen sambil menunjuk. "Sudah lama?""Belum, Tuan. Polisi saja belum datang."Sayup terdengar jeritan orang-orang membuat Darren bergidik ngeri. Setelah berucap terima kasih dan memberi beberapa lembar uang kepada pengamen itu, Darren menutup kaca. Matanya melihat ke belakang melalui kaca spion. "Astaga! Kejebak, deh. Gak bisa maju mundur."Lolongan sirine dari mobil polisi dan ambulan menambah tegang suasana kala itu. Dalam hati, Darren berharap semoga tidak ada para karyawannya yang menjadi korban. Seketika dirinya ingat Rossi. Gegas ia mengusap layar ponselnya yang memang ia simpan di atas dasbor. "Astaga! Angkat Bu!" ucap Darren panik karena Rossi tak kunjung menerima panggila
Malam menjelang. Helena mengendap memastikan jika Olivia sudah tertidur. Pintu yang tidak terkunci tentu saja memudahkan dirinya untuk masuk. Setelah dirasa aman, Helena kembali ke luar. Tok tok tok! Helena mengetuk pintu kamar Bagas. "Ck! Masa jam segini udah tidur?" Helena merasa kesal karena Bagas tak kunjung membukakan pintu. Lagi, Helena mengetuk pintu lebih kencang. "Apa, sih?!" tanya Bagas kesal saat membuka pintu. Helena nyelonong masuk. "Ke luar!"Bukannya ke luar, Helena justru merebahkan diri di kasur. "Lena tau apa yang akan Anda lakukan, Tuan," ledek Helena. "Hallaahh! Sok tau!"Hening. "Lena gak mau hidup susah!"Bagas tersenyum sinis. "Lalu?""Pokoknya, Lena pastikan Darren jatuh dalam pelukan Lena!""Sudah kuduga!"Helena terkekeh-kekeh. Pun dengan Bagas yang mengatakan bahwa dirinya akan menemui Sadewo untuk meminta keadilan. Adik kakak itu akan menggunakan waktu selama tujuh hari sebaik-baiknya. ***Pagi itu Bagas dan Helena mengantar Olivia ke bandara.