Share

Bab 02

Author: Ririn Irma
last update Last Updated: 2022-09-09 16:26:30

Langsung saja kurebahkan badan meski otakku tak bisa berpikir tenang. Ke mana Dewa pergi? Lalu, jika di luar dia bertemu dengan salah satu keluarga kami, apa yang akan kukatakan? Ya, keluarga besar kami memang sama-sama menginap di hotel ini. Banyak pertanyaan dan kekhawatiran berkeliaran di pikiran. 

Jarum jam terus berputar, waktu telah menunjukkan pukul satu dini hari. Namun, Dewa tak kunjung kembali. Dalam hatiku berniat menghubunginya, tapi niat tersebut segera kuurungkan karena mengingat perseteruan yang baru terjadi. Pasti Dewa enggan menerima telepon dariku. Aku cukup tahu diri. Dia memang sama sekali tidak mengharapkanku sebagai istrinya.

Seiring bergesernya waktu, mataku terasa berat. Rasa kantuk seketika menghampiri. Ketika baru saja memejamkan mata, tiba-tiba terdengar pintu terbuka. Ketika kuarahkan pandangan ke sana, ternyata Dewa yang datang.

Perlahan dia berjalan mendekati tempat tidur, lalu menarik bantal di sampingku. Kemudian, kulihat dia menuju sofa dan membaringkan badannya. Ternyata lelaki yang baru saja menghalalkanku itu benar-benar tak ingin menyentuhku.

"Kenapa liat-liat?" ucapnya sinis. Tangannya masih memegang ponsel. 

Aku terdiam. Enggan menanggapi ucapannya yang kupastikan bisa berakhir dengan perdebatan. Segera kubalikkan badan, lalu kembali memejamkan mata.

***

Usai menunaikan salat dua rakaat, Dewa masih tertidur di sofa. Bahkan, ponsel yang semalam kulihat dia pegang kini berada di atas perutnya. Kemudian, aku perlahan berjalan menuju sofa tersebut. Dengan hati-hati kuambil ponsel, lalu meletakkan di meja. Rupanya Dewa menyadari keberadaanku hingga membuatnya bangun dan gelagapan.

"Mau apa kamu?" sergahnya kasar.

"Maaf, aku cuma mau pindahin HP. Gak baik kena radiasi." Aku kembali ke tempatku semula.

"Gak usah sok perhatian. Mau kamu perhatian model gimana juga gak bakal bikin aku luluh. Aku kalau udah gak suka, ya, gak suka. Lagian juga kamu gak bisa gantiin posisi Nindi di hatiku."

Mendengar ucapannya, langkahku seketika terhenti. Perlahan aku menoleh ke belakang. Dewa telah duduk bersandar dengan berbalut selimut.

"Makasih atas ucapanmu. Kalau memang seperti itu maumu, aku harus gimana?" Meski dadaku terasa sesak, aku berusaha berbicara dengan nada seperti biasa.

"Ikuti permainanku sampai tiba waktunya."

Kembali kutelan ludah. Hatiku benar-benar terasa nyeri atas apa yang dikatakan Dewa. Lagi-lagi penyesalan menghampiri. Kenapa harus diriku yang menghadapi semua ini? Ah, semesta sepertinya sangat tidak adil. Nasibku apes telah menikah dengan lelaki arogan yang tak pernah ada cinta di hatinya.

Aku diam dan berjalan kembali. Suasana seketika berubah menjadi hening. Kulihat Dewa terus saja sibuk dengan ponselnya. Kami dalam satu kamar, bahkan dalam ikatan yang sakral, tapi seperti manusia yang tak pernah saling mengenal. Lantas, apa bisa disebut dengan sebuah pernikahan? Hubungan semacam apa ini?

"Jangan khawatir. Aku tetap kasih semua gajiku sama kamu, bahkan bisa kupastikan kamu gak akan kekurangan secara materi." Dewa kembali bersuara.

Lagi-lagi aku terdiam. Dalam hati sangat kesal dengan permainan yang telah dia atur. Untuk apa hidup bergelimangan harta jika harus membina hubungan yang tidak sehat? Aku benar-benar tak habis pikir kenapa Papa sampai bisa menjodohkanku dengan lelaki seperti Dewa.

"Papa cuma ingin yang terbaik buat kamu," kata Papa saat itu.

Aku ingat betul ucapan Papa, tapi sekarang nyatanya apa? Apa ini yang beliau sebut ingin memberikan yang terbaik untukku? Aku sama sekali tidak merasa bahagia. Kebahagiaanku telah direnggut paksa oleh sebuah keegoisan kedua orang tua. Orang tua yang tidak memberikan kesempatan anaknya untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.

"Ini ATM gajiku." Dewa tiba-tiba menghampiriku dan menyodorkan ATM.

"Untuk apa ini? Apa ini bisa membeli semua kebahagiaanku? "

Dewa memang berasal dari keluarga berada. Namun, tak seenaknya pula dia merendahkanku. Karena menikah dengannya lah, aku memilih resign dari pekerjaanku sebagai pegawai bank swasta. 

Awalnya aku sangat menghormati Dewa yang berprofesi sebagai abdi negara. Kusadari, sebagai istrinya harus siap mendampingi di mana pun dia bertugas. Namun, kenyataannya justru dialah yang menghancurkan semuanya.

"Jangan banyak omong kamu!" balas Dewa tak kalah sarkas.

"Aku gak butuh ini. Yang kubutuhkan cuma hubungan yang benar-benar sehat. Ingat, kamu sekarang sudah menikah. Ada tanggung jawab yang harus kamu pikul."

Dewa kembali menyeringai. "Tanggung jawab? Aku udah tanggung jawab dengan menyerahkan semua gajiku sama kamu. Apa itu belum cukup? Kalau untuk menyentuh atau mencintaimu, jangan mimpi!"

Kemudian, terdengar suara ketukan pintu dari luar. Aku dan Dewa seketika saling berpandangan. Gegas kusuruh Dewa berbaring di tempat tidur karena tak ingin ada seorang pun mengetahui apa yang terjadi dalam pernikahan kami. Setelah itu, aku segera membukakan pintu.

"Mami? Ada apa, Mi?" tanyaku heran ketika melihat maminya Dewa berada di depanku.

"Mami mau pamit pulang duluan. Papa dan mamamu juga." Mata maminya Dewa langsung menerobos ke dalam kamar. Bola matanya bergerak-gerak memindai seluruh ruangan.

Seketika kuhela napas lega. Untung saja Dewa telah berpindah tempat. Aku tak bisa membayangkan jika maminya mengetahui tempat tidur kami terpisah. Namun, keganjilan seketika mengusik pikiran. Jika hanya ingin berpamitan, kenapa tidak menelepon? Ah, sepertinya itu hanya modus beliau saja.

"Ya udah kalau gitu, Mami pulang dulu. Have a nice day, Sayang." Maminya Dewa langsung mengecup pipiku, lalu beranjak pergi.

Selepas itu, aku segera menutup pintu. Begitu melihatku datang, Dewa langsung berpindah tempat. Dia kembali berbaring di sofa sambil memainkan ponselnya.

"Pagi, Sayang. Udah sarapan belum?" ucap Dewa seperti sedang menelepon seseorang tanpa memedulikan perasaanku.

Bisa kupastikan lawan bicaranya itu adalah Nindi. Kemudian, pandangan Dewa sejenak mengarah padaku. Setelah itu, dia kembali asyik menelepon.

Aku tak habis pikir dengan tingkah konyol yang dilakukan Dewa. Seharusnya dia bisa menjaga hati seorang wanita, tapi nyatanya tidak bisa. Lelaki macam apa dia?

"Bener. Aku semalam tidur di sofa. Pokoknya kamu tenang, Sayang. Setelah waktunya tiba, kita akan bersatu."

"Ya udah, Sayang. Jaga diri baik-baik, ya. Muah." Dewa sejenak melirik ke arahku, lalu tersenyum sinis. Kemudian, dia meletakkan ponsel di atas meja.

Seketika kuembuskan napas kasar. Sungguh lelaki tak berperasaan, bisa-bisanya bermesraaan di depanku. Dewa sepertinya sengaja ingin membuatku sakit hati. Lihat saja apa yang akan kulakukan untuk bisa menaklukkan hatinya. Akan kupastikan akulah yang menjadi pemenang dari permainan ini.

"Please, deh, kalau mau pacaran itu mandi dulu," kelakarku sambil menyembunyikan gejolak yang kian tak menentu. Aku tak ingin memperlihatkan rasa cemburuku pada Dewa.

"Orang ganteng itu biar gak mandi juga tetap ganteng."

"Tapi, ada belek di matamu," ejekku sambil menahan tawa.

 

 

Related chapters

  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 03

    Ada belek, di matamu Kunyanyikan lagu dengan lirik seperti itu. Dewa spontan membelalakkan mata padaku. Kemudian, dia segera mengarahkan ponsel di hadapannya, lalu membersihkan kedua sudut mata menggunakan jari telunjuknya. Melihatnya seperti itu, aku makin tertawa puas. "Mana? Gak ada, kok." Dewa kembali menatapku nyalang. Aku spontan tertawa lepas. "Tuh, di sebelah kanan pojok." Kutunjuk di mataku sendiri. Dewa kembali menggerakkan jari telunjuknya ke tempat yang kumaksud. "Mana? Gak ada." "Emang enak dikerjain." "Awas, ya." Dewa langsung mengepalkan tangannya. "Eh, ngomong-ngomong kamu gak sholat?" Aku mengalihkan pembicaraan. Dewa kembali menatapku tajam. "Udah. Sebelum kamu bangun aku udah bangun duluan." "Masa? Pasti kamu bohong." "Tuh, liat aja ada sajadahku di sana." Dewa menunjuk jemuran handuk yang kosong. Memang benar, ada sajadah yang dilipat di atas sana. "Makanya kalo tidur itu jangan kayak kuda yang mau lari." Kini Dewa gantian yang meledekku. Aku seketika m

    Last Updated : 2022-09-09
  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 04

    Setelah Dewa berlalu, tiba-tiba terdengar suara seperti orang menendang meja. Ketika aku menoleh, ternyata dia yang tersandung meja guci. Untung saja bukan gucinya yang jatuh. Melihatnya mengaduh kesakitan, aku makin mentertawakannya. "Seneng banget liat orang sakit," omelnya pelan sambil melirik ke arahku dengan ekor matanya. Kemudian, dia bergegas pergi. "Furi, tolong bantuin Mami." Suara maminya Dewa sontak mengalihkan perhatianku. Gegas aku menghampiri beliau. "Ini, tolong aturin di sini." Beliau menyodorkan piring ceper dan keranjang buah. Setelah itu, Mami beranjak pergi. Katanya beliau ingin mengecek Papi di luar. Usai mengatur puding dan buah, mataku perlahan mengarah ke wastafel. Di sana banyak piring kotor yang menumpuk. Aku langsung menuju tempat pencucian piring tersebut. Baru mencuci satu piring, Bik Marni datang tergopoh-gopoh. Kulihat beliau sangat panik. Kemudian, Bik Marni langsung mengambil alih benda yang kupegang. "Udah, Non, gak usah cuci piring. Biar Bibik a

    Last Updated : 2022-09-09
  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 05

    "Sakit tau!" Dewa langsung membungkam mulutku. "Jangan berisik, nanti Mami dengar." Kemudian, dia melepaskan tangannya. "Iya, tapi sakit banget." Aku meringis kesakitan sambil memegangi lengan. "Halah, manja. Cuma dicubit gitu aja sakit." Dewa bangkit dan menuju sofa di ujung kamar. Dia kembali asyik dengan ponselnya. "Dasar manusia jahat, gak punya perasaan," timpalku geram. Dewa tak menanggapi omelanku, dia justru asyik dengan ponsel. Kuduga dia sedang bermesraan dengan kekasih hatinya. Melihatnya seperti itu, aku makin kesal. "Kenapa nasibku apes banget." Aku meremas-remas bantal. "Salah siapa juga mau dijodohkan. Perempuan aneh." Tiba-tiba Dewa menyolot. Kemudian, dia menghampiriku. Bantal yang kuremas dia ambil, lalu menarik selimut yang terbentang di ujung ranjang. Setelah itu, kulihat dia berbaring di sofa dan masih asyik dengan ponselnya. Tak lama kemudian, dia bergegas bangun. Tampak sedang merogoh saku celananya. Kulihat dia mengeluarkan amplop berwarna putih dan lang

    Last Updated : 2022-09-09
  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 06

    Setelah melakukan penerbangan kurang lebih satu jam lima puluh lima menit, kami tiba di Bandar Udara Ngurah Rai, Bali. Ketika turun dari pesawat, Dewa justru menggandeng Nindi. Mereka sama sekali tak memedulikanku. Dalam hatiku sangat sakit, tapi tak ingin menampakkan pada mereka. Akan kuhadapi permainan mereka dengan cara halus. Ketika menunggu bagasi, hatiku terasa seperti teriris. Dewa malah asyik bermesraan dengan Nindi. Mereka tidak tanggung-tanggung berswafoto bersama. Untung saja tak ada orang yang melihat kekonyolan mereka. Jika sempat ada teman kantor Dewa yang mengetahui, entah apa yang akan terjadi. Terlebih lagi Mami dan Papi. Mereka pasti sangat kecewa karena putra kesayangannya telah mengkhianati jodoh pilihan orang tua. Memandangi dua manusia layaknya sedang dimabuk asmara itu, di dalam sini terasa diremas-remas. Wanita mana yang terima melihat dengan matanya sendiri suaminya bersama wanita lain. Meski kutahu Dewa tak pernah menaruh rasa padaku, hatiku tetap sakit kare

    Last Updated : 2022-10-02
  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 07

    Setelah pintu mobil mewah bergeser menutup, Pak Sopir melaju pelan. Kulihat Nindi masih mematung di sana. Sepertinya dia sangat kesal. Rencana bulan madunya bersama Dewa tergerus sia-sia. Sementara Dewa duduk manis mengenakan kacamata hitam sambil memainkan ponsel. Dia fokus pada benda di tangannya tanpa memperhatikan keberadaanku. Kami seperti orang yang tak saling mengenal. Namun, aku tak peduli. Diriku fokus menikmati suasana kota Bali. Sepanjang jalan yang kami lalui sangat tenang dan lengang. Berbeda jauh dengan suasana di ibukota. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua jam, Pak Sopir membawa kami ke sebuah resort. Pasalnya tempat kami menginap tersebut telah disiapkan oleh Papi. Ya, mertuaku itu memang telah lama bergelut di dunia bisnis kuliner dan mempunyai banyak rekanan di seluruh kota. Ketika sampai di resort yang berada di daerah Ubud, lelaki berseragam hitam tadi membukakan pintu mobil. Kemudian, aku dan Dewa turun. Tampak di depan sana kami telah disambut oleh o

    Last Updated : 2022-10-02
  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 08

    Sontak Dewa melompat ke arahku. "Eh, jangan. Jangan. Ya udah aku beliin, tapi tunggu aku mandi dulu." Dia langsung beranjak ke kamar mandi. Seketika aku tertawa puas. Pokoknya akan terus kukerjai dia selama masih memperlakukanku tidak baik. Setelah cukup lama menunggu, Dewa keluar dari kamar mandi. Melihatnya datang, seketika aku bernapas lega karena segera mendapat bala bantuan. "Nyusahin aja, sih, kamu." Dewa menggerutu sambil menyisir rambutnya. Aku hanya diam. Dalam hati juga merasa kasihan harus menyuruhnya seperti itu. Tapi, kalau bukan dia siapa lagi yang menolongku? "Pasti kamu sengaja ngerjain aku, kan?" lanjutnya lagi. Kali ini dia mengambil tas, lalu memasukkan ponsel ke dalamnya. "Ya, daripada aku laporin Mami kalo kamu di sini sama Nindi? Pilih mana?" Dewa sontak menghadap ke arahku. "Dasar, perempuan licik." Dia langsung keluar begitu saja. "Cepetan! Jangan lama-lama!" Aku berteriak dari dalam. Entah dia mendengar atau tidak karena bersamaan dengan pintu yang ter

    Last Updated : 2022-10-02
  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 09

    "Astaga. Untung aja HP-ku gak ikut jatuh." Nindi berteriak dari arah sawah.Aku sontak melongo. Dalam keadaan seperti itu masih sempat memikirkan hartanya. Ah iya, aku lupa. Bagaimana dia tidak kepikiran jika ponselnya jatuh? Ponsel yang kupegang ini senilai puluhan juta. Maklum ponsel terkenal dengan tiga mata kamera bermerek Ipun. Sontak Dewa menatapku, lalu mengalihkan pandangan ke Nindi. Seketika kulihat lelaki di sampingku itu tertawa. Namun, saat itu juga dia segera menutupi. "Astaga, Nindi. Ngapain kamu di sana?" Dewa juga tampak heran. Kulihat Nindi sebagian kakinya telah dipenuhi lumpur. Wajahnya yang cantik seketika terlihat tak bercahaya. Dia sepertinya benar-benar marah. "Jangan banyak tanya. Cepetan bantuin!" tekan Nindi. Dewa mengulurkan tangannya pada Nindi. Wanita itu pun segera naik, tapi kulihat sandalnya tak ada. Astaga. Rasanya aku ingin tertawa sekencang-kencangnya melihat penampilan si Glowing itu. Saat ini bukan lagi Glowing namanya, tapi si Butek. "Pasti k

    Last Updated : 2022-10-02
  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 10

    "Kamu, sih, ngomongin tempat tidur aja sampe ribut. Kedengeran sama Mami, kan? Tambah lagi Mami salah paham." Aku mengomel pada Dewa. Kulihat suamiku itu sedang duduk sambil memegangi ponselnya. Sejenak pandangannya mengarah padaku. "Emang kenapa? Bagus, kan biar Mami gak curiga sama kita." "Iya, deh, terserah kamu." Aku bangkit dan berjalan menuju jendela. Sesaat kulirik ke arah Dewa, dia masih saja asyik dengan benda yang berada di tangannya. Seketika dia senyum-senyum sendirian. Kuduga dia sedang asyik pacaran dengan Nindi. Hatiku rasanya seperti terbakar. Lagi-lagi kukendalikan diri. "Awas, aku mau tidur." Kuusir Dewa dari tempat tidur. Sontak matanya melotot ke arahku. "Udah kubilang kamu yang tidur di bawah." "Gak mau. Laki-laki apaan kamu? Sama perempuan aja gak mau ngalah. Minggir." Kutepuk pundaknya. "Nggak sopan." Dewa makin emosi. "Habisnya kamu diusir secara halus gak mau minggir, ya udah aku kasarin aja sekalian." Perlahan Dewa berdiri. Dia sejenak mematung sambil

    Last Updated : 2022-10-02

Latest chapter

  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 102

    Mataku mendadak terbuka ketika mendengar pengumuman olahraga dari masjid. Sigap aku beringsut seraya mengusap-ngusap mata. Berkali-kali kututup mulut karena menguap. Di saat sedang enak-enaknya istirahat, harus terbangun untuk mengikuti kegiatan. Ah, nikmatnya menjadi istri tentara.Segera kulihat jam di ponsel, ternyata telah memasuki waktu asar. Segera kutunaikan salat empat rakaat tersebut, lalu bersiap-siap pergi ke kompi. Tak lama kemudian, ponselku berdering tanda pesan masuk.[Jangan lupa olahraga di kompi]Isi pesan dari Dewa. Ya, suamiku itu belum pulang kantor karena harus lembur lagi. Maklum, Dewa saat ini sedang BP di Staf Pers sehingga sedikit sibuk mengurusi data personil di batalyon ini.Setelah membaca, segera kukirim pesan balasan. [Oke, ini lagi siap-siap]Kemudian, pesanku hanya dibalas dengan emoticon jempol.Setelah semua beres, aku keluar dan mengenakan sepatu. Tampak tetangga berlalu-lalang di jalan mengenakan seragam olahraga, termasuk tetangga sebelahku. Rupan

  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 101

    "Kamu kenapa, sih? Ketawa aja, nanti dikira kita ngapain lagi," kata Dewa sambil menatapku heran."Itu, lho. Aku ingat Bu Dar. Lucu banget, ya, dia." Tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Eh, apa iya dia satu kompi dengan kita?"Dewa mengangguk, lalu gantian tertawa. "Kenapa?" "Males aja ketemu dia lagi. Dia pasti bakal resek sama aku. Tau gak, tadi pertemuan dia bertengkar sama Bu Soni gara-gara air minum. Kalau gak ingat dia senior, mungkin udah aku siram pake air Bu Dar," sahutku seraya memberi tahu kejadian saat pertemuan tadi."Gak boleh gitu. Biarin aja dia berkembang. Intinya bukan kita yang duluan." Lagi-lagi Dewa menasihatiku. Ya, suamiku itu tidak suka jika aku ingin membalas perbuatan jahat orang."Eh, si Abang Ganjen tadi ngomong apa aja di luar? Dia gak main mata lagi sama kamu, kan?" Dewa segera mengalihkan pembicaraan.Aku langsung memasang wajah memelas. "Ya ampun, Om Ferdi itu kasian banget. Ternyata dia itu sakit saraf. Kamu juga, sih, kenapa gak kasih tau aku."Wajah De

  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 100

    Spontan kutowel lengan tetanggaku itu. "Ah, Bu Soni malah ngeledek saya." Kemudian, aku segera pamit pulang karena teringat Dewa yang sedang makan di rumah."Makasih, ya, Tante Dewa.""Sama-sama, Bu Son." Kemudian, aku keluar dari rumah Bu Soni.Ketika di luar, kusempatkan menoleh ke arah sebelah. Tampak Om Ferdi sedang duduk di teras. Kali ini dia diam, tidak menyapaku lagi. Seketika aku merasa iba. Selama ini telah salah sangka padanya, padahal dia sedang sakit.Aku pun bergegas melompat tembok pembatas antara rumahku dan rumah Bu Soni. Begitu hendak masuk, suara Bu Dar mengejutkanku."Wah, yang ditunjuk jadi pengurus cabang. Gak ada acara makan-makan gitu?" celetuk Bu Dar dari teras rumahnya. Sepertinya dia baru saja pulang.Aku seketika menahan langkah dan berdiri di depan pintu seraya tersenyum ke arah tetangga kepoku itu."Siapa yang mau diangkat jadi pengurus cabang, Bulek?" tanya Om Ferdi."Siapa lagi kalau bukan tetangga kita yang cantik itu." Lagi-lagi Bu Dar menimpali sambi

  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 99

    Tepat jam setengah delapan malam, Dewa pun pulang. Kulihat wajahnya tampak berminyak. Pakaian yang pagi tadi dikenakan telah berubah menjadi kusut. Sepertinya suamiku itu benar-benar sibuk di kantor."Udah pulang?" Kusodorkan tangan seraya mendekatkan kening.Dewa seketika menyambar keningku. Kemudian, aku bergegas ke dapur seraya mengambilkannya air minum. Setelah itu, aku kembali memberikan pada suamiku. Dia Kun segera meneguk air minum hingga tandas."Kamu tadi pulang jam berapa?" tanya Dewa sambil memelukku dan menuntun masuk kamar."Pas magrib tadi. Aku udah masak lho.""Masak apa?" Dewa memandangiku lekat."Masak tongseng sapi," jawabku sambil terkekeh."Kok malah ketawa?" Dewa masih memandangku intens."Soalnya gak tau enak apa enggak." Aku bergegas ke dapur dan menyiapkan makan malam.Tak berselang lama, Dewa menghampiriku. Dia membuka tudung saji, sementara tangan kanannya melingkar di pundakku. Kemudian, kuambil piring dan meletakkan nasi serta tongseng.Selajutnya, Dewa dud

  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 98

    Segera kuambil ponsel, lalu kubuka semua hasil tangkapan layar yang dikirim Dewa padaku. Melihat gambar tersebut, Winda seketika tampak lemas. Wajahnya yang tadi bengis, kini berubah menjadi seperti mayat hidup. Rasakan!Sesaat kemudian, dia kembali menampilkan wajah bengisnya. "Kurang ajar kamu. Kamu tau rumahku dari mana?"Aku terbahak seketika. "Kamu mau tau? Yang SMS-an kemarin malam itu bukan Dewa, tapi aku."Sontak Winda membalikkan badan menghadap ke arahku. Wajahnya benar-benar merah padam."Kamu mau macem-macem lagi? Apa perlu sekarang aku panggil suamimu?"Namun, wanita tak tahu malu itu justru menantangku. "Semakin kamu seperti ini, semakin aku ganggu suamimu."Mendengar ucapannya barusan, aku lunglai seketika. Tapi, segera kuputar otak untuk menghadapi wanita gatal itu. Mulai kuredam sedikit amarahku. Ya, aku baru sadar, orang seperti Winda sepertinya tidak bisa dikasar. Lagi pula kalau diriku memaksakan ribut di rumah wanita itu, pasti akan menambah masalah baru. Apalagi

  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 97

    "Ibu-ibu, terima kasih atas kerjasamanya hari ini, ya? Kalau yang mau pulang, silakan pulang. Biar kursi sama bunganya nanti diangkatin sama om bujangan aja." Ibu Ketua kembali bersuara.Aku pun bernapas lega. Setelah berpamitan, aku melangkah keluar. Kemudian, segera kuhubungi Dewa lagi. Beberapa kali bunyi nada sambung, teleponku pun terhubung."Kamu dari mana aja, sih? Aku telepon gak diangkat-angkat. Perasaan tadi aku liat ibu-ibu udah pulang pertemuan. Kamu, kok, belum pulang? Tadi aku ngecek ke rumah, kamu gak ada. Kamu di mana?" cerocos Dewa bak kereta api dari seberang.Sejenak aku berhenti di depan pintu aula. "Woi, ngomong itu pake koma."Namun, Dewa justru meledekku. "Gak mau, kalau koma nanti aku gak bisa liat wajahmu yang cantik lagi."Aku seketika tergelak. Alamak, sejak kapan Dewa bisa menggombal? "Tanda koma. Bukan koma, gak sadarkan diri." Balasku seraya meledeknya kembali."Iya, iya, Sayangku. Kamu sekarang di mana?" Dewa bertanya ulang."Aku masih di aula. Eh, tau g

  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 96

    "Tante Dewa ditunjuk jadi pengurus cabang, ya?" Ucapan Bu Soni membuyarkan lamunanku tentang Winda. Tetanggaku itu baru saja datang dari menenangkan anaknya di luar.Spontan aku menoleh seraya menautkan kedua alisku. "Bu Soni tau dari mana?"Tetanggaku itu tersenyum simpul. Tampak dia memperhatikan ke sekitar seperti khawatir ucapannya didengar oleh orang lain."Tadi saya dengar selentingan dari ibu-ibu di luar.""Pasti mereka ceritain saya, ya, Bu Son?" Aku berusaha menebak.Bu Soni hanya tersenyum. Kemudian, kembali menenangkan pikiranku. "Dah, gak usah dipikirin. Hidup di asrama, ya gini. Apa pun jadi bahan omongan."Tak lama kemudian, datang seorang ibu menghampiri seraya memberi tahu bahwa setelah acara pertemuan, pengurus cabang dilarang ada yang pulang."Bu Son, gimana nih, saya disuruh tinggal di sini dulu. Aduh, nyesel deh saya terima tawaran Ibu Ketua jadi pengurus. Kayaknya sibuk banget," ucapku lirih pada Bu Soni."Kalau saya sih gak papa, Tante. Bu Dar aja nanti yang haru

  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 95

    Saatnya perkenalan anggota baru telah tiba. Kulihat satu per satu maju ke depan. Jantungku kali ini berdetak kencang. Tanganku pun masih terasa dingin."Ayo, Tante, maju. Semoga gak ada yang kelupaan. Pasti bisa, Tante. Semangat," ucap Bu Soni menyemangati.Aku tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegrogianku. Kemudian, aku melangkah ke depan. Para ibu-ibu telah berbaris sesuai pangkat suaminya. Dan kini posisiku berada di tengah. Seketika kuhela napas lega. Ternyata bukan aku yang memulai perkenalan ini.Beberapa saat kemudian, tiba giliranku. Ketika menyebut NRP, mataku sedikit melirik ke arah telapak tangan. Bersyukur tidak terlalu nampak. Kemudian, ada ibu-ibu yang menyeletuk memintaku menyebutkan jabatan suami. Setelah kulihat, orang tersebut ternyata Bu Dar. Sialan, dia sepertinya ingin mengerjaiku."Jabatan suaminya apa, Bu?" teriak Bu Dar dari tempat duduknya. Kebetulan posisinya berada di nomor dua deretan belakang Ibu Ketua.Aku mulai gugup. Selama menikah dengan Dewa, a

  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 94

    Aku kembali masuk rumah seraya mengambil kunci mobil. Ketika keluar, Bu Dar telah berada di terasku."Tunggu bentar, ya, saya panasin mobil bentar aja."Mendengar ucapanku, Bu Dar seketika melengos. "Ealah, kirain udah tinggal pergi. Pake acara dipanasin segala. Kelamaan."Aku tersenyum dalam hati. Namun, tak kutanggapi omongan tetangga kepoku itu. Aku langsung menuju mobil dan menyalakan mesinnya.Setelah itu, kulihat Bu Dar masih berdiri di teras. "Gimana, Bu Dar? Jadi ikut?" Aku melongokkan kepala dari dalam mobil."Ikut lah," jawabnya sinis.Aku dan Bu Soni seketika saling pandang dan berusaha menyembunyikan tawa. Setelah kurasa cukup untuk memanasi mesinnya, kuputuskan untuk segera berangkat."Ayo, Bu. Kita berangkat."Dua tetanggaku itu perlahan berjalan ke mobil. Kemudian, Bu Soni masuk dan duduk di bangku tengah. Sementara Bu Dar masih mematung di luar."Bu Soni gak bawa stroller-nya dedek?" tanyaku seraya melempar pandangan ke arah beliau."Gak, Tante. Gendong aja. Pake strol

DMCA.com Protection Status