Setelah pintu mobil mewah bergeser menutup, Pak Sopir melaju pelan. Kulihat Nindi masih mematung di sana. Sepertinya dia sangat kesal. Rencana bulan madunya bersama Dewa tergerus sia-sia.
Sementara Dewa duduk manis mengenakan kacamata hitam sambil memainkan ponsel. Dia fokus pada benda di tangannya tanpa memperhatikan keberadaanku. Kami seperti orang yang tak saling mengenal.
Namun, aku tak peduli. Diriku fokus menikmati suasana kota Bali. Sepanjang jalan yang kami lalui sangat tenang dan lengang. Berbeda jauh dengan suasana di ibukota.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua jam, Pak Sopir membawa kami ke sebuah resort. Pasalnya tempat kami menginap tersebut telah disiapkan oleh Papi. Ya, mertuaku itu memang telah lama bergelut di dunia bisnis kuliner dan mempunyai banyak rekanan di seluruh kota.
Ketika sampai di resort yang berada di daerah Ubud, lelaki berseragam hitam tadi membukakan pintu mobil. Kemudian, aku dan Dewa turun. Tampak di depan sana kami telah disambut oleh owner juga beberapa karyawannya.
Mereka sangat ramah dan sopan. Seragamnya pun menunjukkan identitas kota ini. Kemudian, salah satu karyawan mengalungkan bunga padaku juga Dewa. Aku seketika merasa bak ratu. Kami diperlakukan sangat istimewa. Namun sayang, pernikahanku tak seistimewa perlakuan mereka.
Setelah itu, mereka mengarahkan kami ke tempat di mana kami harus menginap. Suasana resort-nya berbeda dengan resort-resort pada umumnya. Lokasi di pertengahan sawah yang membuat kesan tradional dan alami, tapi menenangkan.
"Jangan bangga kamu. Kamu bisa seperti ini juga karena nikah sama aku," bisik Dewa ketika kami berjalan menuju kamar.
"Enak aja. Kamu juga bisa kayak gini karena nikah sama aku. Coba aja kalo kamu nentang Papi, terus nikahin si Glowing itu. Gak bakalan diperlakukan istimewa gini. Jelek-jelek gini kesayangan Papi sama Mami kamu," balasku tak mau kalah.
"Baguslah kalo kamu sadar diri. Jelek, jorok, bau. Gak ada istimewanya." Dewa mempercepat langkahnya meninggalkanku berjalan di belakang.
"Awas, ya. Sekarang kamu hina aku. Awas kalo sampe jatuh cinta." Aku berteriak dari belakang. Masa bodoh dengan karyawan resort yang mendengar perdebatan kami.
Sontak Dewa menghentikkan langkahnya dan menoleh ke arahku. "Gak bakalan." Kemudian, dia menjulurkan lidahnya dan kembali berjalan meninggalkanku.
Ketika tiba di depan kamar. Karyawan yang mengantar kami telah membukakan pintu. Aku sangat terpukau dengan suasananya. Wangi pengharum ruangan aromatherapy seketika menguar ke indera penciuman. Aku makin merasa tenang dan nyaman. Ternyata mertuaku tak salah memilihkan lokasi.
"Selamat bersenang-senang. Maaf, saya pamit dulu," kata salah satu karyawan sambil menyerahkan kunci.
"Terima kasih, Mas." Tanpa sengaja aku dan Dewa menjawab bersamaan. Setelah itu, kami hendak bersamaan masuk. Namun, sejenak langkahku terhenti, lalu saling pandang.
"Apa, sih. Ikut-ikutan aja terus," omel Dewa. Dia terlihat sangat kesal.
"Kamu yang ikut-ikutan. Orang aku mau masuk, kok."
"Ya udah, kamu duluan." Akhirnya Dewa yang mengalah dan mempersilakanku masuk terlebih dahulu.
Setelah berada di dalam, mataku tak henti memindai seluruh ruangan. Kemudian, aku mengarah ke jendela dan membuka gorden. Lagi-lagi aku disuguhi pemandangan yang menakjubkan. Hamparan padi terbentang luas menyejukkan mata.
"Ah, sial! Rencanaku sama Nindi gagal total!" Terdengar Dewa mendengkus kasar.
Spontan pandanganku mengarah padanya. Kulihat Dewa merebahkan badannya di atas kasur tanpa melepas sepatu dan posisi tangan memegangi kepalanya. Aku hanya diam memperhatikan tingkahnya yang seperti orang frustrasi. Jika kuladeni ucapannya, kami bisa saja berdebat. Percuma.
"Pasti kamu senang, kan, liat rencanaku sama Nindi gagal?" Dewa kembali bersuara.
"Gak salah denger?" Aku perlahan berjalan mendekati Dewa.
Dia masih berbaring menatap langit-langit kamar. Entah apa yang dia pikirkan. Ah, pasti dia sedang memikirkan kekasih hatinya itu.
"Udahlah, terima dengan ikhlas aja pernikahan ini. Daripada kayak gini terus, kamu yang susah."
Spontan Dewa bangun dan langsung berdiri tepat di hadapanku. "Apa kamu bilang? Terima pernikahan ini? Gila. Kamu nyuruh aku nerima pernikahan dengan orang yang aku gak cinta? Kamu itu benar-benar udah gak waras." Dia menyilangkan kedua jari telunjuknya di kening.
Belum sempat kubalas ucapannya, ponselku mendadak berdering. Gegas aku menuju sumber suara dan mengambil benda tersebut dari dalam tas. Sontak mataku melebar ketika melihat Mami melakukan panggilan video.
"Mami, video call."
Dewa langsung membawaku duduk di tepi ranjang. Sejenak kuarahkan pandangan padanya. Namun, dia justru membalas tatapanku sangat tidak bersahabat.
"Jangan GR kamu. Ingat, ini cuma sandiwara. Ikuti permainanku."
"Oke, aku akan ikuti permainanmu." Tanganku langsung menggeser tombol hijau ke atas dan panggilan video dari Mami langsung terhubung.
"Kita udah nyampe resort, Mi. Di sini pemandangannya bagus banget. Owner sama karyawannya juga ramah-ramah," ucapku mengawali percakapan. Kulihat Mami di sana seperti mengamati sesuatu.
"Halo, Mi. Iya, Mi, di sini enak banget." Tiba-tiba Dewa merangkul pundakku. Namun, aku tak bisa berkutik karena kutahu ini bagian dari permainannya.
"Ya ampun, Mami senang banget kalo liat kalian berdua mesra seperti itu," timpal Mami dengan raut wajah semringah.
Dewa seketika merapikan anak rambutku yang berantakan. Dia juga mengusap kepalaku sangat lembut. Ah, dasar. Meski begitu, entah kenapa aku sangat menikmati setiap perlakuan palsunya.
"Ya udah kalo gitu, kalian lanjutin lagi senang-senangnya." Mami langsung mengakhiri panggilan.
Setelah itu, Dewa mendorongku agar menjauh. "Sana! Itu tadi cuma akting. Jangan ke-GR-an kamu."
Aku pun berjalan menjauhinya. "Kamu juga jangan ambil kesempatan dalam kesempitan. Alasan akting padahal mau megang-megang." Aku tak mau kalah. Namun, masih kurasakan tangan kekarnya ketika membelaiku tadi.
Dewa makin melebarkan matanya. "Gak bakalan. Mau kamu kayak apa juga aku gak bakal tertarik. Manusia gak ada istimewanya."
"Ah, sialan! Di ruangan ini gak ada sofa," lanjut Dewa dengan nada setengah emosi.
Mataku ikut memindai ke sekitar. Aku juga baru sadar di ruangan seluas ini tak ada sofa di dalamnya. Ya Tuhan, bagaimana ini? Apa harus kami tidur dalam satu ranjang? Ah, tidak. Tak akan kubiarkan hal itu terjadi. Bagaimana pun caranya akan kubuat Dewa yang tidur di lantai.
Mendadak aku ingin buang air kecil. Kebetulan badanku juga terasa gerah. Langsung saja kuambil baju handuk dan sekalian mandi.
Ketika di dalam toilet, aku tercengang. "Astaga. Aku halangan. Mana gak bawa pembalut lagi." Aku terus menggerutu.
Usai mandi, aku segera keluar mengenakan baju handuk. Diriku mondar-mandir tak tenang. Ingin meminta tolong pada Dewa, tapi malu. Pasti juga dia tak akan mau jika kumintai pertolongan.
"Kamu kenapa mondar-mandir aja di sana?" Dewa rupanya memperhatikanku.
Aku hanya diam, tak menanggapi ucapannya sepatah kata. Entah kenapa bibirku terasa kelu. Aku sangat malu jika harus mengutarakan apa yang sedang kualami.
Namun, jika aku terus-terusan seperti ini tak akan kutemui jalan keluar. Akhirnya, kutarik napas dalam-dalam dan memberanikan diri untuk memberi tahu Dewa.
"Dewa."
"Hem." Dewa menjawab tanpa sedikit pun menoleh padaku. Dia masih asyik memainkan ponsel sambil duduk di tepi ranjang.
"Kenapa?" lanjutnya lagi. Namun, kali ini dia menoleh ke arahku.
"Aku bisa minta tolong gak?"
Matanya kian melebar. "Minta tolong apa?"
"Aku dapet. Terus aku gak bawa pembalut. Bisa gak kamu tolong beliin aku?"
Mata Dewa makin melotot hingga hampir terlepas dari rongganya. "Pembalut? Astaga! Gak, gak mau. Kamu suruh aja karyawan resort ini." Dia terang-terangan menolak.
"Gak enak, masa orang lain yang beliin aku pembalut?"
"Terus apa bedanya juga sama aku?" timpal Dewa ketus.
"Kamu, kan---" Ucapanku seketika terhenti.
"Apa? Kamu mau bilang aku suamimu? Ingat, ya! Pernikahan ini cuma sementara."
Aku telah kehabisan akal. Akhirnya, kupakai jurus pamungkasku. "Ya udah, kalo gitu aku laporin ke Mami."
Sontak Dewa melompat ke arahku. "Eh, jangan. Jangan. Ya udah aku beliin, tapi tunggu aku mandi dulu." Dia langsung beranjak ke kamar mandi. Seketika aku tertawa puas. Pokoknya akan terus kukerjai dia selama masih memperlakukanku tidak baik. Setelah cukup lama menunggu, Dewa keluar dari kamar mandi. Melihatnya datang, seketika aku bernapas lega karena segera mendapat bala bantuan. "Nyusahin aja, sih, kamu." Dewa menggerutu sambil menyisir rambutnya. Aku hanya diam. Dalam hati juga merasa kasihan harus menyuruhnya seperti itu. Tapi, kalau bukan dia siapa lagi yang menolongku? "Pasti kamu sengaja ngerjain aku, kan?" lanjutnya lagi. Kali ini dia mengambil tas, lalu memasukkan ponsel ke dalamnya. "Ya, daripada aku laporin Mami kalo kamu di sini sama Nindi? Pilih mana?" Dewa sontak menghadap ke arahku. "Dasar, perempuan licik." Dia langsung keluar begitu saja. "Cepetan! Jangan lama-lama!" Aku berteriak dari dalam. Entah dia mendengar atau tidak karena bersamaan dengan pintu yang ter
"Astaga. Untung aja HP-ku gak ikut jatuh." Nindi berteriak dari arah sawah.Aku sontak melongo. Dalam keadaan seperti itu masih sempat memikirkan hartanya. Ah iya, aku lupa. Bagaimana dia tidak kepikiran jika ponselnya jatuh? Ponsel yang kupegang ini senilai puluhan juta. Maklum ponsel terkenal dengan tiga mata kamera bermerek Ipun. Sontak Dewa menatapku, lalu mengalihkan pandangan ke Nindi. Seketika kulihat lelaki di sampingku itu tertawa. Namun, saat itu juga dia segera menutupi. "Astaga, Nindi. Ngapain kamu di sana?" Dewa juga tampak heran. Kulihat Nindi sebagian kakinya telah dipenuhi lumpur. Wajahnya yang cantik seketika terlihat tak bercahaya. Dia sepertinya benar-benar marah. "Jangan banyak tanya. Cepetan bantuin!" tekan Nindi. Dewa mengulurkan tangannya pada Nindi. Wanita itu pun segera naik, tapi kulihat sandalnya tak ada. Astaga. Rasanya aku ingin tertawa sekencang-kencangnya melihat penampilan si Glowing itu. Saat ini bukan lagi Glowing namanya, tapi si Butek. "Pasti k
"Kamu, sih, ngomongin tempat tidur aja sampe ribut. Kedengeran sama Mami, kan? Tambah lagi Mami salah paham." Aku mengomel pada Dewa. Kulihat suamiku itu sedang duduk sambil memegangi ponselnya. Sejenak pandangannya mengarah padaku. "Emang kenapa? Bagus, kan biar Mami gak curiga sama kita." "Iya, deh, terserah kamu." Aku bangkit dan berjalan menuju jendela. Sesaat kulirik ke arah Dewa, dia masih saja asyik dengan benda yang berada di tangannya. Seketika dia senyum-senyum sendirian. Kuduga dia sedang asyik pacaran dengan Nindi. Hatiku rasanya seperti terbakar. Lagi-lagi kukendalikan diri. "Awas, aku mau tidur." Kuusir Dewa dari tempat tidur. Sontak matanya melotot ke arahku. "Udah kubilang kamu yang tidur di bawah." "Gak mau. Laki-laki apaan kamu? Sama perempuan aja gak mau ngalah. Minggir." Kutepuk pundaknya. "Nggak sopan." Dewa makin emosi. "Habisnya kamu diusir secara halus gak mau minggir, ya udah aku kasarin aja sekalian." Perlahan Dewa berdiri. Dia sejenak mematung sambil
Dewa mondar-mandir sambil memegangi perutnya. Berkali-kali pula dia ke kamar mandi. Melihatnya seperti itu sempat terlintas rasa iba padanya. Namun, diriku sudah kehabisan cara agar Dewa tidak terus menerus menyakiti hatiku. Entah mengapa makin hari rasa cintaku padanya semakin tumbuh subur."Ah, kenapa rencanaku setiap mau ketemuan sama Nindi selalu gagal." Dewa mengomel sambil bolak balik kamar mandi."Pasti kamu senang, kan?" Dewa bersuara lantang.Sontak aku menoleh ke arahnya lagi, lalu menunjuk diriku sendiri. "Aku? Apa hubungannya sama aku?" Kupasang wajah datar."Kamu gak suka, kan kalo aku ketemu sama Nindi?" Lelaki berwajah tegas itu menekan kalimatnya.Namun, aku berusaha tenang. "Aku sama sekali gak masalah kalo kamu ketemuan sama Nindi. Tuhan aja yang gak restui hubungan kalian. Buktinya selalu gagal, kan? Niat kamu jelek, sih.""Huh, dasar perempuan nyebelin. Kenapa juga aku dijodohkan sama kamu. Pembawa sial aja." Dewa kali ini bangkit."Pembawa sial? Gak salah, tuh? Ka
"Udah belum? Ambil jepit gitu aja, kok lama banget." Nindi rupanya sudah tak sabar.Namun, aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Kapan lagi kupegang kepala sekaligus menjambak rambut Nindi. Sebenarnya ini merupakan tindakan yang kurang sopan, tapi aku sudah kehabisan akal untuk memberinya pelajaran. Jika kulakukan secara bar-bar, bisa-bisa Dewa semakin ilfeel padaku. Satu-satunya cara, ya secara halus."Bentar lagi, Mbak Cantik. Beneran nih, hairspray-nya kebanyakan. Makanya jepit kecilnya ikut nyelip di dalam. Maaf, ya, Mbak kalau aku agak berantakin rambutnya." Aku berbicara sangat lembut agar Nindi tak mencurigai aksi balas dendamku."Gak papa, Fur. Yang penting jepitnya Nindi diambil. Kamu yang ambil aja susah begitu, apalagi aku? Pasti tambah sakit lagi Nindi. Sayang, sabar dulu, ya, biar Furi ambilin jepit kamu." Dewa berusaha menenangkan kekasihnya itu.Melihatnya bersikap romantis, semakin kutambah tenagaku menjambak rambutnya Nindi hingga wanita itu berteriak dan me
Kemudian, kuputuskan untuk mencari mobil online dan mendatangi sebuah klinik kecantikan di kota ini. Jika melihat penampilan Nindi, rasa minder seketika menyelinap di hati. Pantasan saja Dewa tergila-gila padanya. Sedangkan diriku? Hanyalah wanita rumahan dengan penampilan seadanya. Meskipun wajahku terbilang cantik, tetap saja harus ditunjang dengan perawatan.Setelah tiba di sebuah klinik kecantikan, aku memilih serangkaian perawatan. Mulai dari spa, peeling hingga laser. Aku sudah tak peduli dengan biayanya. Kali ini akan kumanjakan diriku sendiri.Ketika sedang melakukan spa, ponselku berdering. Namun, tak kuhiraukan. Aku lebih menikmati perawatan ketimbang memikirkan ponsel. Palingan telepon dari Dewa. Kurileks-kan diriku sejenak dari bayang-bayang dua manusia tak tahu malu itu. Aku benar-benar ingin menenangkan pikiran.Kurang lebih enam jam, aku menghabiskan waktu di klinik kecantikan. Ketika keluar, ternyata hari telah gelap. Segera kucek ponsel, dua puluh kali panggilan tak t
Segera kulihat aplikasi WhatsApp, tapi tak ada balasan dari Dewa. Pesanku yang terakhir kali kukirim juga belum dia baca, masih centang dua tanpa warna biru. Dia pasti sedang bersenang-senang bersama Nindi. Ya Tuhan, kenapa bisa nasibku semiris ini?Tepat jam setengah delapan waktu setempat, aku kembali ke resort. Setibanya di sana, Dewa belum juga pulang. Ah iya, bagaimana bisa dia masuk kamar sedangkan kuncinya kubawa? Setelah kuletakkan tas di atas meja, aku bergegas ke kamar mandi. Entah kenapa badanku masih terasa gerah. Sepertinya aku ingin merileks-kan badan dengan mandi air hangat.Kunikmati guyuran dari shower. Tiba-tiba bayangan Dewa dan Nindi berkelebat di pikiran. Terlebih lagi foto mesra mereka. Air mataku tak terasa mengalir begitu saja. Aku makin berlama-lama berdiam diri di bawah guyuran air sambil mengeluarkan semua beban yang menghimpit dada.Setelah kurasa hati ini cukup membaik, aku segera mengambil handuk dan membalut badan. Mumpung tak ada Dewa, pikirku. Jadi, a
"Furi, cepetan ganti baju nanti kamu masuk angin." Dewa berteriak.Sekilas kulihat dia asyik di depan lemari, sepertinya sedang memilih pakaian. Berarti dia tidak mengetahui kedatangan Nindi ke sini. Aman. Akan kumainkan rencanaku selanjutnya. Kemudian, kututup pintu sedikit agar Dewa tidak mencurigaiku."Kenapa, Mbak Cantik? Kaget?" Aku makin melebarkan bibir seraya menatapnya intens."Udahlah, Mbak Cantik. Gak usah terlalu berharap sama Dewa. Mau berharap Dewa cerai sama aku? Dewa itu tentara, gak semudah membalikkan telapak tangan. Ada aturan di dalam instansinya. Kalau pun aku gak hamil dan dituduh mandul, pasti bakal ada pemeriksaan yang membuktikan. Mending jalani hidup Mbak Cantik dengan baik dan segera move on," lanjutku gamblang. Aku berbicara sudah tak memakai basa-basi."Jangan mimpi kamu. Istri sementara aja belagu. Sampai kapan pun Dewa akan tetap jadi milikku. Awas, aku mau masuk." Nindi mendorongku sejenak, lalu hendak menyerobot ke kamar.Namun, segera kucegah. "Maaf,
Mataku mendadak terbuka ketika mendengar pengumuman olahraga dari masjid. Sigap aku beringsut seraya mengusap-ngusap mata. Berkali-kali kututup mulut karena menguap. Di saat sedang enak-enaknya istirahat, harus terbangun untuk mengikuti kegiatan. Ah, nikmatnya menjadi istri tentara.Segera kulihat jam di ponsel, ternyata telah memasuki waktu asar. Segera kutunaikan salat empat rakaat tersebut, lalu bersiap-siap pergi ke kompi. Tak lama kemudian, ponselku berdering tanda pesan masuk.[Jangan lupa olahraga di kompi]Isi pesan dari Dewa. Ya, suamiku itu belum pulang kantor karena harus lembur lagi. Maklum, Dewa saat ini sedang BP di Staf Pers sehingga sedikit sibuk mengurusi data personil di batalyon ini.Setelah membaca, segera kukirim pesan balasan. [Oke, ini lagi siap-siap]Kemudian, pesanku hanya dibalas dengan emoticon jempol.Setelah semua beres, aku keluar dan mengenakan sepatu. Tampak tetangga berlalu-lalang di jalan mengenakan seragam olahraga, termasuk tetangga sebelahku. Rupan
"Kamu kenapa, sih? Ketawa aja, nanti dikira kita ngapain lagi," kata Dewa sambil menatapku heran."Itu, lho. Aku ingat Bu Dar. Lucu banget, ya, dia." Tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Eh, apa iya dia satu kompi dengan kita?"Dewa mengangguk, lalu gantian tertawa. "Kenapa?" "Males aja ketemu dia lagi. Dia pasti bakal resek sama aku. Tau gak, tadi pertemuan dia bertengkar sama Bu Soni gara-gara air minum. Kalau gak ingat dia senior, mungkin udah aku siram pake air Bu Dar," sahutku seraya memberi tahu kejadian saat pertemuan tadi."Gak boleh gitu. Biarin aja dia berkembang. Intinya bukan kita yang duluan." Lagi-lagi Dewa menasihatiku. Ya, suamiku itu tidak suka jika aku ingin membalas perbuatan jahat orang."Eh, si Abang Ganjen tadi ngomong apa aja di luar? Dia gak main mata lagi sama kamu, kan?" Dewa segera mengalihkan pembicaraan.Aku langsung memasang wajah memelas. "Ya ampun, Om Ferdi itu kasian banget. Ternyata dia itu sakit saraf. Kamu juga, sih, kenapa gak kasih tau aku."Wajah De
Spontan kutowel lengan tetanggaku itu. "Ah, Bu Soni malah ngeledek saya." Kemudian, aku segera pamit pulang karena teringat Dewa yang sedang makan di rumah."Makasih, ya, Tante Dewa.""Sama-sama, Bu Son." Kemudian, aku keluar dari rumah Bu Soni.Ketika di luar, kusempatkan menoleh ke arah sebelah. Tampak Om Ferdi sedang duduk di teras. Kali ini dia diam, tidak menyapaku lagi. Seketika aku merasa iba. Selama ini telah salah sangka padanya, padahal dia sedang sakit.Aku pun bergegas melompat tembok pembatas antara rumahku dan rumah Bu Soni. Begitu hendak masuk, suara Bu Dar mengejutkanku."Wah, yang ditunjuk jadi pengurus cabang. Gak ada acara makan-makan gitu?" celetuk Bu Dar dari teras rumahnya. Sepertinya dia baru saja pulang.Aku seketika menahan langkah dan berdiri di depan pintu seraya tersenyum ke arah tetangga kepoku itu."Siapa yang mau diangkat jadi pengurus cabang, Bulek?" tanya Om Ferdi."Siapa lagi kalau bukan tetangga kita yang cantik itu." Lagi-lagi Bu Dar menimpali sambi
Tepat jam setengah delapan malam, Dewa pun pulang. Kulihat wajahnya tampak berminyak. Pakaian yang pagi tadi dikenakan telah berubah menjadi kusut. Sepertinya suamiku itu benar-benar sibuk di kantor."Udah pulang?" Kusodorkan tangan seraya mendekatkan kening.Dewa seketika menyambar keningku. Kemudian, aku bergegas ke dapur seraya mengambilkannya air minum. Setelah itu, aku kembali memberikan pada suamiku. Dia Kun segera meneguk air minum hingga tandas."Kamu tadi pulang jam berapa?" tanya Dewa sambil memelukku dan menuntun masuk kamar."Pas magrib tadi. Aku udah masak lho.""Masak apa?" Dewa memandangiku lekat."Masak tongseng sapi," jawabku sambil terkekeh."Kok malah ketawa?" Dewa masih memandangku intens."Soalnya gak tau enak apa enggak." Aku bergegas ke dapur dan menyiapkan makan malam.Tak berselang lama, Dewa menghampiriku. Dia membuka tudung saji, sementara tangan kanannya melingkar di pundakku. Kemudian, kuambil piring dan meletakkan nasi serta tongseng.Selajutnya, Dewa dud
Segera kuambil ponsel, lalu kubuka semua hasil tangkapan layar yang dikirim Dewa padaku. Melihat gambar tersebut, Winda seketika tampak lemas. Wajahnya yang tadi bengis, kini berubah menjadi seperti mayat hidup. Rasakan!Sesaat kemudian, dia kembali menampilkan wajah bengisnya. "Kurang ajar kamu. Kamu tau rumahku dari mana?"Aku terbahak seketika. "Kamu mau tau? Yang SMS-an kemarin malam itu bukan Dewa, tapi aku."Sontak Winda membalikkan badan menghadap ke arahku. Wajahnya benar-benar merah padam."Kamu mau macem-macem lagi? Apa perlu sekarang aku panggil suamimu?"Namun, wanita tak tahu malu itu justru menantangku. "Semakin kamu seperti ini, semakin aku ganggu suamimu."Mendengar ucapannya barusan, aku lunglai seketika. Tapi, segera kuputar otak untuk menghadapi wanita gatal itu. Mulai kuredam sedikit amarahku. Ya, aku baru sadar, orang seperti Winda sepertinya tidak bisa dikasar. Lagi pula kalau diriku memaksakan ribut di rumah wanita itu, pasti akan menambah masalah baru. Apalagi
"Ibu-ibu, terima kasih atas kerjasamanya hari ini, ya? Kalau yang mau pulang, silakan pulang. Biar kursi sama bunganya nanti diangkatin sama om bujangan aja." Ibu Ketua kembali bersuara.Aku pun bernapas lega. Setelah berpamitan, aku melangkah keluar. Kemudian, segera kuhubungi Dewa lagi. Beberapa kali bunyi nada sambung, teleponku pun terhubung."Kamu dari mana aja, sih? Aku telepon gak diangkat-angkat. Perasaan tadi aku liat ibu-ibu udah pulang pertemuan. Kamu, kok, belum pulang? Tadi aku ngecek ke rumah, kamu gak ada. Kamu di mana?" cerocos Dewa bak kereta api dari seberang.Sejenak aku berhenti di depan pintu aula. "Woi, ngomong itu pake koma."Namun, Dewa justru meledekku. "Gak mau, kalau koma nanti aku gak bisa liat wajahmu yang cantik lagi."Aku seketika tergelak. Alamak, sejak kapan Dewa bisa menggombal? "Tanda koma. Bukan koma, gak sadarkan diri." Balasku seraya meledeknya kembali."Iya, iya, Sayangku. Kamu sekarang di mana?" Dewa bertanya ulang."Aku masih di aula. Eh, tau g
"Tante Dewa ditunjuk jadi pengurus cabang, ya?" Ucapan Bu Soni membuyarkan lamunanku tentang Winda. Tetanggaku itu baru saja datang dari menenangkan anaknya di luar.Spontan aku menoleh seraya menautkan kedua alisku. "Bu Soni tau dari mana?"Tetanggaku itu tersenyum simpul. Tampak dia memperhatikan ke sekitar seperti khawatir ucapannya didengar oleh orang lain."Tadi saya dengar selentingan dari ibu-ibu di luar.""Pasti mereka ceritain saya, ya, Bu Son?" Aku berusaha menebak.Bu Soni hanya tersenyum. Kemudian, kembali menenangkan pikiranku. "Dah, gak usah dipikirin. Hidup di asrama, ya gini. Apa pun jadi bahan omongan."Tak lama kemudian, datang seorang ibu menghampiri seraya memberi tahu bahwa setelah acara pertemuan, pengurus cabang dilarang ada yang pulang."Bu Son, gimana nih, saya disuruh tinggal di sini dulu. Aduh, nyesel deh saya terima tawaran Ibu Ketua jadi pengurus. Kayaknya sibuk banget," ucapku lirih pada Bu Soni."Kalau saya sih gak papa, Tante. Bu Dar aja nanti yang haru
Saatnya perkenalan anggota baru telah tiba. Kulihat satu per satu maju ke depan. Jantungku kali ini berdetak kencang. Tanganku pun masih terasa dingin."Ayo, Tante, maju. Semoga gak ada yang kelupaan. Pasti bisa, Tante. Semangat," ucap Bu Soni menyemangati.Aku tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegrogianku. Kemudian, aku melangkah ke depan. Para ibu-ibu telah berbaris sesuai pangkat suaminya. Dan kini posisiku berada di tengah. Seketika kuhela napas lega. Ternyata bukan aku yang memulai perkenalan ini.Beberapa saat kemudian, tiba giliranku. Ketika menyebut NRP, mataku sedikit melirik ke arah telapak tangan. Bersyukur tidak terlalu nampak. Kemudian, ada ibu-ibu yang menyeletuk memintaku menyebutkan jabatan suami. Setelah kulihat, orang tersebut ternyata Bu Dar. Sialan, dia sepertinya ingin mengerjaiku."Jabatan suaminya apa, Bu?" teriak Bu Dar dari tempat duduknya. Kebetulan posisinya berada di nomor dua deretan belakang Ibu Ketua.Aku mulai gugup. Selama menikah dengan Dewa, a
Aku kembali masuk rumah seraya mengambil kunci mobil. Ketika keluar, Bu Dar telah berada di terasku."Tunggu bentar, ya, saya panasin mobil bentar aja."Mendengar ucapanku, Bu Dar seketika melengos. "Ealah, kirain udah tinggal pergi. Pake acara dipanasin segala. Kelamaan."Aku tersenyum dalam hati. Namun, tak kutanggapi omongan tetangga kepoku itu. Aku langsung menuju mobil dan menyalakan mesinnya.Setelah itu, kulihat Bu Dar masih berdiri di teras. "Gimana, Bu Dar? Jadi ikut?" Aku melongokkan kepala dari dalam mobil."Ikut lah," jawabnya sinis.Aku dan Bu Soni seketika saling pandang dan berusaha menyembunyikan tawa. Setelah kurasa cukup untuk memanasi mesinnya, kuputuskan untuk segera berangkat."Ayo, Bu. Kita berangkat."Dua tetanggaku itu perlahan berjalan ke mobil. Kemudian, Bu Soni masuk dan duduk di bangku tengah. Sementara Bu Dar masih mematung di luar."Bu Soni gak bawa stroller-nya dedek?" tanyaku seraya melempar pandangan ke arah beliau."Gak, Tante. Gendong aja. Pake strol