"Kamu, sih, ngomongin tempat tidur aja sampe ribut. Kedengeran sama Mami, kan? Tambah lagi Mami salah paham." Aku mengomel pada Dewa. Kulihat suamiku itu sedang duduk sambil memegangi ponselnya. Sejenak pandangannya mengarah padaku. "Emang kenapa? Bagus, kan biar Mami gak curiga sama kita." "Iya, deh, terserah kamu." Aku bangkit dan berjalan menuju jendela. Sesaat kulirik ke arah Dewa, dia masih saja asyik dengan benda yang berada di tangannya. Seketika dia senyum-senyum sendirian. Kuduga dia sedang asyik pacaran dengan Nindi. Hatiku rasanya seperti terbakar. Lagi-lagi kukendalikan diri. "Awas, aku mau tidur." Kuusir Dewa dari tempat tidur. Sontak matanya melotot ke arahku. "Udah kubilang kamu yang tidur di bawah." "Gak mau. Laki-laki apaan kamu? Sama perempuan aja gak mau ngalah. Minggir." Kutepuk pundaknya. "Nggak sopan." Dewa makin emosi. "Habisnya kamu diusir secara halus gak mau minggir, ya udah aku kasarin aja sekalian." Perlahan Dewa berdiri. Dia sejenak mematung sambil
Dewa mondar-mandir sambil memegangi perutnya. Berkali-kali pula dia ke kamar mandi. Melihatnya seperti itu sempat terlintas rasa iba padanya. Namun, diriku sudah kehabisan cara agar Dewa tidak terus menerus menyakiti hatiku. Entah mengapa makin hari rasa cintaku padanya semakin tumbuh subur."Ah, kenapa rencanaku setiap mau ketemuan sama Nindi selalu gagal." Dewa mengomel sambil bolak balik kamar mandi."Pasti kamu senang, kan?" Dewa bersuara lantang.Sontak aku menoleh ke arahnya lagi, lalu menunjuk diriku sendiri. "Aku? Apa hubungannya sama aku?" Kupasang wajah datar."Kamu gak suka, kan kalo aku ketemu sama Nindi?" Lelaki berwajah tegas itu menekan kalimatnya.Namun, aku berusaha tenang. "Aku sama sekali gak masalah kalo kamu ketemuan sama Nindi. Tuhan aja yang gak restui hubungan kalian. Buktinya selalu gagal, kan? Niat kamu jelek, sih.""Huh, dasar perempuan nyebelin. Kenapa juga aku dijodohkan sama kamu. Pembawa sial aja." Dewa kali ini bangkit."Pembawa sial? Gak salah, tuh? Ka
"Udah belum? Ambil jepit gitu aja, kok lama banget." Nindi rupanya sudah tak sabar.Namun, aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Kapan lagi kupegang kepala sekaligus menjambak rambut Nindi. Sebenarnya ini merupakan tindakan yang kurang sopan, tapi aku sudah kehabisan akal untuk memberinya pelajaran. Jika kulakukan secara bar-bar, bisa-bisa Dewa semakin ilfeel padaku. Satu-satunya cara, ya secara halus."Bentar lagi, Mbak Cantik. Beneran nih, hairspray-nya kebanyakan. Makanya jepit kecilnya ikut nyelip di dalam. Maaf, ya, Mbak kalau aku agak berantakin rambutnya." Aku berbicara sangat lembut agar Nindi tak mencurigai aksi balas dendamku."Gak papa, Fur. Yang penting jepitnya Nindi diambil. Kamu yang ambil aja susah begitu, apalagi aku? Pasti tambah sakit lagi Nindi. Sayang, sabar dulu, ya, biar Furi ambilin jepit kamu." Dewa berusaha menenangkan kekasihnya itu.Melihatnya bersikap romantis, semakin kutambah tenagaku menjambak rambutnya Nindi hingga wanita itu berteriak dan me
Kemudian, kuputuskan untuk mencari mobil online dan mendatangi sebuah klinik kecantikan di kota ini. Jika melihat penampilan Nindi, rasa minder seketika menyelinap di hati. Pantasan saja Dewa tergila-gila padanya. Sedangkan diriku? Hanyalah wanita rumahan dengan penampilan seadanya. Meskipun wajahku terbilang cantik, tetap saja harus ditunjang dengan perawatan.Setelah tiba di sebuah klinik kecantikan, aku memilih serangkaian perawatan. Mulai dari spa, peeling hingga laser. Aku sudah tak peduli dengan biayanya. Kali ini akan kumanjakan diriku sendiri.Ketika sedang melakukan spa, ponselku berdering. Namun, tak kuhiraukan. Aku lebih menikmati perawatan ketimbang memikirkan ponsel. Palingan telepon dari Dewa. Kurileks-kan diriku sejenak dari bayang-bayang dua manusia tak tahu malu itu. Aku benar-benar ingin menenangkan pikiran.Kurang lebih enam jam, aku menghabiskan waktu di klinik kecantikan. Ketika keluar, ternyata hari telah gelap. Segera kucek ponsel, dua puluh kali panggilan tak t
Segera kulihat aplikasi WhatsApp, tapi tak ada balasan dari Dewa. Pesanku yang terakhir kali kukirim juga belum dia baca, masih centang dua tanpa warna biru. Dia pasti sedang bersenang-senang bersama Nindi. Ya Tuhan, kenapa bisa nasibku semiris ini?Tepat jam setengah delapan waktu setempat, aku kembali ke resort. Setibanya di sana, Dewa belum juga pulang. Ah iya, bagaimana bisa dia masuk kamar sedangkan kuncinya kubawa? Setelah kuletakkan tas di atas meja, aku bergegas ke kamar mandi. Entah kenapa badanku masih terasa gerah. Sepertinya aku ingin merileks-kan badan dengan mandi air hangat.Kunikmati guyuran dari shower. Tiba-tiba bayangan Dewa dan Nindi berkelebat di pikiran. Terlebih lagi foto mesra mereka. Air mataku tak terasa mengalir begitu saja. Aku makin berlama-lama berdiam diri di bawah guyuran air sambil mengeluarkan semua beban yang menghimpit dada.Setelah kurasa hati ini cukup membaik, aku segera mengambil handuk dan membalut badan. Mumpung tak ada Dewa, pikirku. Jadi, a
"Furi, cepetan ganti baju nanti kamu masuk angin." Dewa berteriak.Sekilas kulihat dia asyik di depan lemari, sepertinya sedang memilih pakaian. Berarti dia tidak mengetahui kedatangan Nindi ke sini. Aman. Akan kumainkan rencanaku selanjutnya. Kemudian, kututup pintu sedikit agar Dewa tidak mencurigaiku."Kenapa, Mbak Cantik? Kaget?" Aku makin melebarkan bibir seraya menatapnya intens."Udahlah, Mbak Cantik. Gak usah terlalu berharap sama Dewa. Mau berharap Dewa cerai sama aku? Dewa itu tentara, gak semudah membalikkan telapak tangan. Ada aturan di dalam instansinya. Kalau pun aku gak hamil dan dituduh mandul, pasti bakal ada pemeriksaan yang membuktikan. Mending jalani hidup Mbak Cantik dengan baik dan segera move on," lanjutku gamblang. Aku berbicara sudah tak memakai basa-basi."Jangan mimpi kamu. Istri sementara aja belagu. Sampai kapan pun Dewa akan tetap jadi milikku. Awas, aku mau masuk." Nindi mendorongku sejenak, lalu hendak menyerobot ke kamar.Namun, segera kucegah. "Maaf,
Dewa tampak bingung. Akhirnya, dia ikut melihat ke tempat tidur. Seketika dia menepuk jidatnya. "Astaga. Itu punya Furi. Kayaknya dia lupa taruh di keranjang. Sumpah, aku gak ngelakuin apa-apa, Sayang." Dia langsung menjulurkan jarinya menyerupai huruf V.Tangis Nindi perlahan reda. "Kamu beneran gak bohong, kan?""Iya, Sayang. Aku gak bohong." Dewa seketika memangkas jarak dan langsung memeluk Nindi."Kamu yang sabar. Semua ini cuma masalah waktu aja." Dewa makin mendekap wanita itu.Melihat pemandangan menyakitkan itu, aku hanya diam seraya mencebik. Namun, dalam hati berpikir keras cara untuk menyingkirkan Nindi dan menaklukkan hati Dewa."Ya udah kalau gitu aku balik dulu." Nindi melerai pelukan Dewa."Oke, tunggu aku malam ini. Kita habiskan malam dan bersenang-senang."Hatiku kembali bergetar mendengar penuturan Dewa barusan. Apakah mereka akan bertemu malam ini? Jika benar, tak akan kubiarkan hal itu terjadi."Bener, ya. Jangan bohong lagi."Dewa mengangkat jari jempolnya. Kemu
"Halo, kenapa Mbak? Dewa udah tidur," ucapku pelan.Nindi malah balik marah dan tak percaya dengan ucapanku. "Kamu pasti bohong. Mana Dewa? Cepetan kasih teleponnya sama dia.""Kenapa? Udah gak sabar mau tidur sama dia, ya?" ledekku sambil tertawa."Kurang ajar kamu. Cepetan kasih sama Dewa," desak Nindi."Dewa beneran udah tidur. Kita habis aja---" Aku sengaja menggantung ucapanku begitu saja."Habis apa? Pasti kamu mau ngerjain aku lagi, kan?" Nindi langsung menutup telepon suara, lalu mengganti dengan panggilan video.Wah, dengan senang hati kuterima video call darinya. "Kenapa? Belum percaya, ya?" Kubuka selimut hingga menunjukkan sedikit bagian dadaku. Kemudian, kuarahkan kamera pada Dewa yang sedang tertidur. "Aku gak bohong, kan?""Gak! Gak mungkin Dewa ngelakuin hal menjijikkan itu. Aku gak percaya sama kamu." Nindi langsung memutus sambungan telepon.Setelahnya, aku terbahak-bahak. Namun, spontan kubekap mulutku sendiri karena khawatir Dewa terbangun. Seketika aku tersadar. A
Mataku mendadak terbuka ketika mendengar pengumuman olahraga dari masjid. Sigap aku beringsut seraya mengusap-ngusap mata. Berkali-kali kututup mulut karena menguap. Di saat sedang enak-enaknya istirahat, harus terbangun untuk mengikuti kegiatan. Ah, nikmatnya menjadi istri tentara.Segera kulihat jam di ponsel, ternyata telah memasuki waktu asar. Segera kutunaikan salat empat rakaat tersebut, lalu bersiap-siap pergi ke kompi. Tak lama kemudian, ponselku berdering tanda pesan masuk.[Jangan lupa olahraga di kompi]Isi pesan dari Dewa. Ya, suamiku itu belum pulang kantor karena harus lembur lagi. Maklum, Dewa saat ini sedang BP di Staf Pers sehingga sedikit sibuk mengurusi data personil di batalyon ini.Setelah membaca, segera kukirim pesan balasan. [Oke, ini lagi siap-siap]Kemudian, pesanku hanya dibalas dengan emoticon jempol.Setelah semua beres, aku keluar dan mengenakan sepatu. Tampak tetangga berlalu-lalang di jalan mengenakan seragam olahraga, termasuk tetangga sebelahku. Rupan
"Kamu kenapa, sih? Ketawa aja, nanti dikira kita ngapain lagi," kata Dewa sambil menatapku heran."Itu, lho. Aku ingat Bu Dar. Lucu banget, ya, dia." Tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Eh, apa iya dia satu kompi dengan kita?"Dewa mengangguk, lalu gantian tertawa. "Kenapa?" "Males aja ketemu dia lagi. Dia pasti bakal resek sama aku. Tau gak, tadi pertemuan dia bertengkar sama Bu Soni gara-gara air minum. Kalau gak ingat dia senior, mungkin udah aku siram pake air Bu Dar," sahutku seraya memberi tahu kejadian saat pertemuan tadi."Gak boleh gitu. Biarin aja dia berkembang. Intinya bukan kita yang duluan." Lagi-lagi Dewa menasihatiku. Ya, suamiku itu tidak suka jika aku ingin membalas perbuatan jahat orang."Eh, si Abang Ganjen tadi ngomong apa aja di luar? Dia gak main mata lagi sama kamu, kan?" Dewa segera mengalihkan pembicaraan.Aku langsung memasang wajah memelas. "Ya ampun, Om Ferdi itu kasian banget. Ternyata dia itu sakit saraf. Kamu juga, sih, kenapa gak kasih tau aku."Wajah De
Spontan kutowel lengan tetanggaku itu. "Ah, Bu Soni malah ngeledek saya." Kemudian, aku segera pamit pulang karena teringat Dewa yang sedang makan di rumah."Makasih, ya, Tante Dewa.""Sama-sama, Bu Son." Kemudian, aku keluar dari rumah Bu Soni.Ketika di luar, kusempatkan menoleh ke arah sebelah. Tampak Om Ferdi sedang duduk di teras. Kali ini dia diam, tidak menyapaku lagi. Seketika aku merasa iba. Selama ini telah salah sangka padanya, padahal dia sedang sakit.Aku pun bergegas melompat tembok pembatas antara rumahku dan rumah Bu Soni. Begitu hendak masuk, suara Bu Dar mengejutkanku."Wah, yang ditunjuk jadi pengurus cabang. Gak ada acara makan-makan gitu?" celetuk Bu Dar dari teras rumahnya. Sepertinya dia baru saja pulang.Aku seketika menahan langkah dan berdiri di depan pintu seraya tersenyum ke arah tetangga kepoku itu."Siapa yang mau diangkat jadi pengurus cabang, Bulek?" tanya Om Ferdi."Siapa lagi kalau bukan tetangga kita yang cantik itu." Lagi-lagi Bu Dar menimpali sambi
Tepat jam setengah delapan malam, Dewa pun pulang. Kulihat wajahnya tampak berminyak. Pakaian yang pagi tadi dikenakan telah berubah menjadi kusut. Sepertinya suamiku itu benar-benar sibuk di kantor."Udah pulang?" Kusodorkan tangan seraya mendekatkan kening.Dewa seketika menyambar keningku. Kemudian, aku bergegas ke dapur seraya mengambilkannya air minum. Setelah itu, aku kembali memberikan pada suamiku. Dia Kun segera meneguk air minum hingga tandas."Kamu tadi pulang jam berapa?" tanya Dewa sambil memelukku dan menuntun masuk kamar."Pas magrib tadi. Aku udah masak lho.""Masak apa?" Dewa memandangiku lekat."Masak tongseng sapi," jawabku sambil terkekeh."Kok malah ketawa?" Dewa masih memandangku intens."Soalnya gak tau enak apa enggak." Aku bergegas ke dapur dan menyiapkan makan malam.Tak berselang lama, Dewa menghampiriku. Dia membuka tudung saji, sementara tangan kanannya melingkar di pundakku. Kemudian, kuambil piring dan meletakkan nasi serta tongseng.Selajutnya, Dewa dud
Segera kuambil ponsel, lalu kubuka semua hasil tangkapan layar yang dikirim Dewa padaku. Melihat gambar tersebut, Winda seketika tampak lemas. Wajahnya yang tadi bengis, kini berubah menjadi seperti mayat hidup. Rasakan!Sesaat kemudian, dia kembali menampilkan wajah bengisnya. "Kurang ajar kamu. Kamu tau rumahku dari mana?"Aku terbahak seketika. "Kamu mau tau? Yang SMS-an kemarin malam itu bukan Dewa, tapi aku."Sontak Winda membalikkan badan menghadap ke arahku. Wajahnya benar-benar merah padam."Kamu mau macem-macem lagi? Apa perlu sekarang aku panggil suamimu?"Namun, wanita tak tahu malu itu justru menantangku. "Semakin kamu seperti ini, semakin aku ganggu suamimu."Mendengar ucapannya barusan, aku lunglai seketika. Tapi, segera kuputar otak untuk menghadapi wanita gatal itu. Mulai kuredam sedikit amarahku. Ya, aku baru sadar, orang seperti Winda sepertinya tidak bisa dikasar. Lagi pula kalau diriku memaksakan ribut di rumah wanita itu, pasti akan menambah masalah baru. Apalagi
"Ibu-ibu, terima kasih atas kerjasamanya hari ini, ya? Kalau yang mau pulang, silakan pulang. Biar kursi sama bunganya nanti diangkatin sama om bujangan aja." Ibu Ketua kembali bersuara.Aku pun bernapas lega. Setelah berpamitan, aku melangkah keluar. Kemudian, segera kuhubungi Dewa lagi. Beberapa kali bunyi nada sambung, teleponku pun terhubung."Kamu dari mana aja, sih? Aku telepon gak diangkat-angkat. Perasaan tadi aku liat ibu-ibu udah pulang pertemuan. Kamu, kok, belum pulang? Tadi aku ngecek ke rumah, kamu gak ada. Kamu di mana?" cerocos Dewa bak kereta api dari seberang.Sejenak aku berhenti di depan pintu aula. "Woi, ngomong itu pake koma."Namun, Dewa justru meledekku. "Gak mau, kalau koma nanti aku gak bisa liat wajahmu yang cantik lagi."Aku seketika tergelak. Alamak, sejak kapan Dewa bisa menggombal? "Tanda koma. Bukan koma, gak sadarkan diri." Balasku seraya meledeknya kembali."Iya, iya, Sayangku. Kamu sekarang di mana?" Dewa bertanya ulang."Aku masih di aula. Eh, tau g
"Tante Dewa ditunjuk jadi pengurus cabang, ya?" Ucapan Bu Soni membuyarkan lamunanku tentang Winda. Tetanggaku itu baru saja datang dari menenangkan anaknya di luar.Spontan aku menoleh seraya menautkan kedua alisku. "Bu Soni tau dari mana?"Tetanggaku itu tersenyum simpul. Tampak dia memperhatikan ke sekitar seperti khawatir ucapannya didengar oleh orang lain."Tadi saya dengar selentingan dari ibu-ibu di luar.""Pasti mereka ceritain saya, ya, Bu Son?" Aku berusaha menebak.Bu Soni hanya tersenyum. Kemudian, kembali menenangkan pikiranku. "Dah, gak usah dipikirin. Hidup di asrama, ya gini. Apa pun jadi bahan omongan."Tak lama kemudian, datang seorang ibu menghampiri seraya memberi tahu bahwa setelah acara pertemuan, pengurus cabang dilarang ada yang pulang."Bu Son, gimana nih, saya disuruh tinggal di sini dulu. Aduh, nyesel deh saya terima tawaran Ibu Ketua jadi pengurus. Kayaknya sibuk banget," ucapku lirih pada Bu Soni."Kalau saya sih gak papa, Tante. Bu Dar aja nanti yang haru
Saatnya perkenalan anggota baru telah tiba. Kulihat satu per satu maju ke depan. Jantungku kali ini berdetak kencang. Tanganku pun masih terasa dingin."Ayo, Tante, maju. Semoga gak ada yang kelupaan. Pasti bisa, Tante. Semangat," ucap Bu Soni menyemangati.Aku tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegrogianku. Kemudian, aku melangkah ke depan. Para ibu-ibu telah berbaris sesuai pangkat suaminya. Dan kini posisiku berada di tengah. Seketika kuhela napas lega. Ternyata bukan aku yang memulai perkenalan ini.Beberapa saat kemudian, tiba giliranku. Ketika menyebut NRP, mataku sedikit melirik ke arah telapak tangan. Bersyukur tidak terlalu nampak. Kemudian, ada ibu-ibu yang menyeletuk memintaku menyebutkan jabatan suami. Setelah kulihat, orang tersebut ternyata Bu Dar. Sialan, dia sepertinya ingin mengerjaiku."Jabatan suaminya apa, Bu?" teriak Bu Dar dari tempat duduknya. Kebetulan posisinya berada di nomor dua deretan belakang Ibu Ketua.Aku mulai gugup. Selama menikah dengan Dewa, a
Aku kembali masuk rumah seraya mengambil kunci mobil. Ketika keluar, Bu Dar telah berada di terasku."Tunggu bentar, ya, saya panasin mobil bentar aja."Mendengar ucapanku, Bu Dar seketika melengos. "Ealah, kirain udah tinggal pergi. Pake acara dipanasin segala. Kelamaan."Aku tersenyum dalam hati. Namun, tak kutanggapi omongan tetangga kepoku itu. Aku langsung menuju mobil dan menyalakan mesinnya.Setelah itu, kulihat Bu Dar masih berdiri di teras. "Gimana, Bu Dar? Jadi ikut?" Aku melongokkan kepala dari dalam mobil."Ikut lah," jawabnya sinis.Aku dan Bu Soni seketika saling pandang dan berusaha menyembunyikan tawa. Setelah kurasa cukup untuk memanasi mesinnya, kuputuskan untuk segera berangkat."Ayo, Bu. Kita berangkat."Dua tetanggaku itu perlahan berjalan ke mobil. Kemudian, Bu Soni masuk dan duduk di bangku tengah. Sementara Bu Dar masih mematung di luar."Bu Soni gak bawa stroller-nya dedek?" tanyaku seraya melempar pandangan ke arah beliau."Gak, Tante. Gendong aja. Pake strol