"Sabar, Sayang. Pernikahan ini gak akan lama, kok. Kamu tenang aja, aku sama dia itu gak cinta. Ini semua cuma terpaksa. Sampai kapan pun cintaku hanya buat kamu," ucap Dewa sambil menempelkan ponsel ke telinganya. Dia duduk di sofa yang berada di kamar hotel, masih dengan balutan jas hitam yang melekat di badan dengan posisi menyilangkan kaki kanannya.
Entah Dewa sedang berbicara dengan siapa, tapi jika kutangkap dari pembicaraannya, lelaki yang baru saja menikahiku itu sepertinya mengobrol dengan seorang wanita. Sakit? Ya, sakit bukan main. Di hari pertama pernikahan seharusnya dilalui dengan penuh cinta, tapi tidak denganku. Ah, iya, aku lupa. Bagaimana kami bisa seperti Romi dan Juli? Pernikahan ini saja terjadi karena sebuah perjodohan.
Entah apa motif dari perjodohan ini, yang jelas aku dipaksa untuk menerima pinangan dari pihak keluarga Dewa. Tak ada kuasa untuk menolak ketika Papa mengancamku tak akan menganggapku sebagai anak jika tidak mau menuruti permintaannya. Saat itu rasanya aku ingin kabur dari rumah, tapi apa daya. Pernikahan telah di depan mata, bahkan berkas pengajuan nikah kantor pun hampir semuanya Papa yang membantu menguruskan.
Meski begitu, aku akan berusaha menjadi seorang istri yang baik. Diriku telah berdamai dengan keadaan dan berusaha mencintai Dewa. Bagiku perjodohan ini bagian dari perjalanan takdir yang Tuhan gariskan. Namun, sepertinya tidak dengan pemikiran Dewa. Dia masih saja asyik berbincang di telepon dengan lawan bicaranya tanpa sedikit pun menghiraukan keberadaanku, sedangkan aku hanya memandanginya dari ranjang yang dihias indah dan bertabur bunga.
"Cup, cup. Jangan nangis, dong, Sayang. Percaya sama aku, pernikahan ini gak akan berlangsung lama. Pernikahan ini cuma pura-pura. Aku gak akan menyentuhnya, jadi kami gak akan punya anak. Dengan begitu gampang kuceraikan dia."
Ucapan Dewa yang kedua itu berhasil membuatku tertohok. Ternyata dia mempunyai rencana busuk. Perlahan kuremas baju tidur satin berwarna putih dengan sangat kuat. Hatiku benar-benar hancur. Mengapa dia menikahi jika hanya ingin menceraikanku?
"Ehem." Aku sengaja terbatuk, ingin melihat respons Dewa.
Namun, dia justru asyik melanjutkan obrolannya setelah sekilas melirik ke arahku dengan tatapan sinis. Beberapa saat, Dewa mengakhiri panggilannya dan meletakkan ponsel di atas meja.
"Kenapa? Kamu mau nguping pembicaraanku?" Dewa berjalan pelan ke tempatku berada, lalu dia duduk di samping. Mendadak kedua tangannya memegang bahuku.
Jantungku seketika berirama tak beraturan. Aku sangat takut jika Dewa berbuat sesuatu. Namun, lelaki di sampingku itu langsung merebahkan badanku. Napasnya sangat memburu dan tatapannya tak lepas menyorotku. Tajam.
"Kamu mau apa?" Aku berusaha melepaskan kedua tangannya sambil memandanginya yang telah berada di atas badanku. Wajahnya terlihat sangat garang.
"Tenang! Aku gak akan menidurimu. Ingat! Pernikahan ini cuma sementara. Aku itu terpaksa nikah sama kamu." Dewa langsung menarik badannya seperti semula sambil mengacungkan jari telunjuknya.
Sementara diriku masih dalam posisi tertidur. Kemudian, aku perlahan bangun. Kulihat wajah Dewa lekat-lekat. Namun, dia justru balik menatapku sangar.
"Tapi, ingat! Jangan sampai orang tua kita tau tentang hal ini." Dewa menempelkan jari telunjuk tepat di keningku, lalu sedikit menekannya.
"Kenapa kamu mau menikahiku kalau cuma terpaksa? Kenapa gak kamu tolak aja waktu awal perjodohan kita?" Aku memberanikan diri berbicara seperti itu.
Dewa langsung mengacak rambutnya. "Udahlah, gak usah bahas itu lagi. Intinya aku terima perjodohan ini karena paksaan Papi dan Mami. Kamu juga kenapa mau nikah sama aku? Apa udah gak ada laki-laki lain yang mau sama kamu? Apa kamu gak laku? Hah?" Dia balik menyerangku dengan banyak pertanyaan.
"Mungkin aku ini satu-satunya laki-laki bego yang mau nikah sama kamu. Kamu itu sama sekali gak ada istimewanya. Beda jauh dengan Nindi. Dia cantik, penampilannya jauh lebih menarik. Lah, kamu apa?" Dia masih saja menyerocos sambil menatapku nyalang.
Entah apa isi kepala Dewa. Dia ternyata menilai seseorang hanya sebatas rupa. Lagi pula wajahku tak jelek-jelek amat jika dibandingkan dengan gadis-gadis cantik di kota ini. Apa karena papaku yang bekerja sebagai karyawan biasa di perusahaan milik orang tuanya? Namun, sangat tidak pantas dia berbicara seperti itu padaku.
Dewa langsung melenggang kembali ke sofa tanpa memedulikanku. Kuperhatikan tangannya sigap meraih benda pipih persegi panjang di atas meja. Tatapannya begitu fokus menatap ke arah benda tersebut sambil sesekali menyunggingkan senyuman. Kuduga dia sedang asyik chatting-an dengan wanita yang disebutnya tadi.
Aku sangat geram dengan sikap Dewa, benar-benar tak menyangka akan menjalani pernikahan yang begitu konyol. Jika kutahu akan terjadi seperti ini, aku tak mau menikah dengannya. Mending tidak diakui sebagai anak daripada harus menanggung siksa batin.
Pandanganku seketika mengarah pada benda bulat yang bertengger di dinding. Ternyata waktu telah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Meski badanku terasa lelah karena sejak pagi melangsungkan akad nikah dan malam dilanjutkan dengan resepsi yang sangat meriah di Ballroom hotel ini, mataku sulit terpejam. Ingatan tentang pesta tadi kembali menyeruak di pikiran. Tawa dan raut bahagia dari wajah Dewa saat di pelaminan tadi rupanya hanya kamuflase belaka. Dia sangat lihai bersandiwara.
"Permisi, aku mau ganti baju. Tolong tutup mata atau menyingkir dari kamar ini." Tiba-tiba Dewa berdiri.
Kuarahkan pandangan padanya. "Kenapa aku harus keluar? Ada kamar mandi di sana, silahkan ganti di sana saja." Aku menunjuk kamar mandi yang berada di sudut ruangan.
"Sial apa aku nikah sama perempuan macam kamu." Dewa langsung berjalan dengan sengaja menyenggol kakiku.
Ketika Dewa berada di kamar mandi, kudengar suara ponsel miliknya berdering. Karena penasaran, aku memberanikan diri melihat siapa penelepon tersebut. Setelah kucek, ternyata dari kontak yang diberi nama "Honey."
"Halo. Maaf ini siapa?"
Kuberanikan diri menerima panggilan dari kontak tersebut. Aku bertanya dengan suara pelan sambil celingukan memperhatikan ke arah kamar mandi. Mungkin diriku sangat lancang, tapi tak ada satu pun istri yang terima jika suaminya masih berhubungan dengan wanita lain.
"Oh, kamu istrinya Dewa, ya?" jawab seorang wanita di seberang.
"Iya, kamu siapanya? Apa kamu gak tau kalau Dewa sekarang udah nikah?"
Namun, wanita di seberang makin menyolot. "Kamu yang gak tau kalau Dewa itu cintanya cuma sama aku. Kamu yang udah rebut Dewa dariku."
Aku hanya melenguh, sama sekali tak merasa menjadi perebut kekasih orang. Jika Dewa telah memutuskan untuk menikahiku, berarti dia telah memilihku, bukan? Ya, meski kutahu itu karena terpaksa, tetap saja aku istri yang sah di mata hukum dan agama.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki. Spontan kumatikan sambungan telepon. Benar, Dewa telah berjalan dari arah kamar mandi sambil menenteng baju yang dikenakannya tadi. Dia telah berganti dengan celana borju pendek dan kaus Polo berwarna putih. Gegas kukembalikan ponsel ke tempat semula.
"Ngapain kamu di situ?" Dewa menatapku nyalang.
"Tadi ada telepon," jawabku santai.
"Terus? Kamu mau apa dengan HP-ku? Mau ngecek-ngecek? Jangan pernah sentuh barang milikku lagi."
"Tapi, aku sekarang ini istrimu! Aku berhak atas apa yang kamu miliki. Apa kamu lupa kalau kita udah sah sebagai suami-istri?" Aku tetap tak mau kalah, berusaha mengingatkan dirinya tentang takdir yang telah terjadi dalam kehidupan kami.
Sontak Dewa tersenyum menyeringai. "Istri? Kamu itu cuma istriku sementara. Jadi, gak berhak ngatur-ngatur hidupku. Aku, Dewa Antaka, gak level punya istri macam kamu. Jelas?" Spontan dia mendorong badanku hingga ambruk di sofa.
"Jalani saja hidup masing-masing. Jangan mimpi aku akan mencintaimu," lanjutnya lagi dengan sigap meraih ponsel yang berada di atas meja. Kemudian, Dewa beranjak meninggalkanku di kamar.
Sembari memperhatikan punggung Dewa yang perlahan menghilang dari pandangan, penyesalan seketika bersarang di hati. Sepertinya aku telah salah mengambil langkah, tidak seharusnya kuladeni telepon dari wanita tadi karena hanya membuang waktu. Meski dalam istana pernikahan ini aku hanyalah ratu tanpa mahkota, akan tetap kubalas keangkuhan Dewa dengan elegan.
"Terus? Kamu mau apa dengan HP-ku? Mau ngecek-ngecek? Jangan pernah sentuh barang milikku lagi."
"Tapi, aku sekarang ini istrimu! Aku berhak atas apa yang kamu miliki. Apa kamu lupa kalau kita udah sah sebagai suami-istri?" Aku tetap tak mau kalah, berusaha mengingatkan dirinya tentang takdir yang telah terjadi dalam kehidupan kami.
Sontak Dewa tersenyum menyeringai. "Istri? Kamu itu cuma istriku sementara. Jadi, gak berhak ngatur-ngatur hidupku. Aku, Dewa Antaka, gak level punya istri macam kamu. Jelas?" Spontan dia mendorong badanku hingga ambruk di sofa.
"Jalani saja hidup masing-masing. Jangan mimpi aku akan mencintaimu," lanjutnya lagi dengan sigap meraih ponsel yang berada di atas meja. Kemudian, Dewa beranjak meninggalkanku di kamar.
Sembari memperhatikan punggung Dewa yang perlahan menghilang dari pandangan, penyesalan seketika bersarang di hati. Sepertinya aku telah salah mengambil langkah, tidak seharusnya kuladeni telepon dari wanita tadi karena hanya membuang waktu. Meski dalam istana pernikahan ini aku hanyalah ratu tanpa mahkota, akan tetap kubalas keangkuhan Dewa dengan elegan.
Langsung saja kurebahkan badan meski otakku tak bisa berpikir tenang. Ke mana Dewa pergi? Lalu, jika di luar dia bertemu dengan salah satu keluarga kami, apa yang akan kukatakan? Ya, keluarga besar kami memang sama-sama menginap di hotel ini. Banyak pertanyaan dan kekhawatiran berkeliaran di pikiran. Jarum jam terus berputar, waktu telah menunjukkan pukul satu dini hari. Namun, Dewa tak kunjung kembali. Dalam hatiku berniat menghubunginya, tapi niat tersebut segera kuurungkan karena mengingat perseteruan yang baru terjadi. Pasti Dewa enggan menerima telepon dariku. Aku cukup tahu diri. Dia memang sama sekali tidak mengharapkanku sebagai istrinya. Seiring bergesernya waktu, mataku terasa berat. Rasa kantuk seketika menghampiri. Ketika baru saja memejamkan mata, tiba-tiba terdengar pintu terbuka. Ketika kuarahkan pandangan ke sana, ternyata Dewa yang datang. Perlahan dia berjalan mendekati tempat tidur, lalu menarik bantal di sampingku. Kemudian, kulihat dia menuju sofa dan membaring
Ada belek, di matamu Kunyanyikan lagu dengan lirik seperti itu. Dewa spontan membelalakkan mata padaku. Kemudian, dia segera mengarahkan ponsel di hadapannya, lalu membersihkan kedua sudut mata menggunakan jari telunjuknya. Melihatnya seperti itu, aku makin tertawa puas. "Mana? Gak ada, kok." Dewa kembali menatapku nyalang. Aku spontan tertawa lepas. "Tuh, di sebelah kanan pojok." Kutunjuk di mataku sendiri. Dewa kembali menggerakkan jari telunjuknya ke tempat yang kumaksud. "Mana? Gak ada." "Emang enak dikerjain." "Awas, ya." Dewa langsung mengepalkan tangannya. "Eh, ngomong-ngomong kamu gak sholat?" Aku mengalihkan pembicaraan. Dewa kembali menatapku tajam. "Udah. Sebelum kamu bangun aku udah bangun duluan." "Masa? Pasti kamu bohong." "Tuh, liat aja ada sajadahku di sana." Dewa menunjuk jemuran handuk yang kosong. Memang benar, ada sajadah yang dilipat di atas sana. "Makanya kalo tidur itu jangan kayak kuda yang mau lari." Kini Dewa gantian yang meledekku. Aku seketika m
Setelah Dewa berlalu, tiba-tiba terdengar suara seperti orang menendang meja. Ketika aku menoleh, ternyata dia yang tersandung meja guci. Untung saja bukan gucinya yang jatuh. Melihatnya mengaduh kesakitan, aku makin mentertawakannya. "Seneng banget liat orang sakit," omelnya pelan sambil melirik ke arahku dengan ekor matanya. Kemudian, dia bergegas pergi. "Furi, tolong bantuin Mami." Suara maminya Dewa sontak mengalihkan perhatianku. Gegas aku menghampiri beliau. "Ini, tolong aturin di sini." Beliau menyodorkan piring ceper dan keranjang buah. Setelah itu, Mami beranjak pergi. Katanya beliau ingin mengecek Papi di luar. Usai mengatur puding dan buah, mataku perlahan mengarah ke wastafel. Di sana banyak piring kotor yang menumpuk. Aku langsung menuju tempat pencucian piring tersebut. Baru mencuci satu piring, Bik Marni datang tergopoh-gopoh. Kulihat beliau sangat panik. Kemudian, Bik Marni langsung mengambil alih benda yang kupegang. "Udah, Non, gak usah cuci piring. Biar Bibik a
"Sakit tau!" Dewa langsung membungkam mulutku. "Jangan berisik, nanti Mami dengar." Kemudian, dia melepaskan tangannya. "Iya, tapi sakit banget." Aku meringis kesakitan sambil memegangi lengan. "Halah, manja. Cuma dicubit gitu aja sakit." Dewa bangkit dan menuju sofa di ujung kamar. Dia kembali asyik dengan ponselnya. "Dasar manusia jahat, gak punya perasaan," timpalku geram. Dewa tak menanggapi omelanku, dia justru asyik dengan ponsel. Kuduga dia sedang bermesraan dengan kekasih hatinya. Melihatnya seperti itu, aku makin kesal. "Kenapa nasibku apes banget." Aku meremas-remas bantal. "Salah siapa juga mau dijodohkan. Perempuan aneh." Tiba-tiba Dewa menyolot. Kemudian, dia menghampiriku. Bantal yang kuremas dia ambil, lalu menarik selimut yang terbentang di ujung ranjang. Setelah itu, kulihat dia berbaring di sofa dan masih asyik dengan ponselnya. Tak lama kemudian, dia bergegas bangun. Tampak sedang merogoh saku celananya. Kulihat dia mengeluarkan amplop berwarna putih dan lang
Setelah melakukan penerbangan kurang lebih satu jam lima puluh lima menit, kami tiba di Bandar Udara Ngurah Rai, Bali. Ketika turun dari pesawat, Dewa justru menggandeng Nindi. Mereka sama sekali tak memedulikanku. Dalam hatiku sangat sakit, tapi tak ingin menampakkan pada mereka. Akan kuhadapi permainan mereka dengan cara halus. Ketika menunggu bagasi, hatiku terasa seperti teriris. Dewa malah asyik bermesraan dengan Nindi. Mereka tidak tanggung-tanggung berswafoto bersama. Untung saja tak ada orang yang melihat kekonyolan mereka. Jika sempat ada teman kantor Dewa yang mengetahui, entah apa yang akan terjadi. Terlebih lagi Mami dan Papi. Mereka pasti sangat kecewa karena putra kesayangannya telah mengkhianati jodoh pilihan orang tua. Memandangi dua manusia layaknya sedang dimabuk asmara itu, di dalam sini terasa diremas-remas. Wanita mana yang terima melihat dengan matanya sendiri suaminya bersama wanita lain. Meski kutahu Dewa tak pernah menaruh rasa padaku, hatiku tetap sakit kare
Setelah pintu mobil mewah bergeser menutup, Pak Sopir melaju pelan. Kulihat Nindi masih mematung di sana. Sepertinya dia sangat kesal. Rencana bulan madunya bersama Dewa tergerus sia-sia. Sementara Dewa duduk manis mengenakan kacamata hitam sambil memainkan ponsel. Dia fokus pada benda di tangannya tanpa memperhatikan keberadaanku. Kami seperti orang yang tak saling mengenal. Namun, aku tak peduli. Diriku fokus menikmati suasana kota Bali. Sepanjang jalan yang kami lalui sangat tenang dan lengang. Berbeda jauh dengan suasana di ibukota. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua jam, Pak Sopir membawa kami ke sebuah resort. Pasalnya tempat kami menginap tersebut telah disiapkan oleh Papi. Ya, mertuaku itu memang telah lama bergelut di dunia bisnis kuliner dan mempunyai banyak rekanan di seluruh kota. Ketika sampai di resort yang berada di daerah Ubud, lelaki berseragam hitam tadi membukakan pintu mobil. Kemudian, aku dan Dewa turun. Tampak di depan sana kami telah disambut oleh o
Sontak Dewa melompat ke arahku. "Eh, jangan. Jangan. Ya udah aku beliin, tapi tunggu aku mandi dulu." Dia langsung beranjak ke kamar mandi. Seketika aku tertawa puas. Pokoknya akan terus kukerjai dia selama masih memperlakukanku tidak baik. Setelah cukup lama menunggu, Dewa keluar dari kamar mandi. Melihatnya datang, seketika aku bernapas lega karena segera mendapat bala bantuan. "Nyusahin aja, sih, kamu." Dewa menggerutu sambil menyisir rambutnya. Aku hanya diam. Dalam hati juga merasa kasihan harus menyuruhnya seperti itu. Tapi, kalau bukan dia siapa lagi yang menolongku? "Pasti kamu sengaja ngerjain aku, kan?" lanjutnya lagi. Kali ini dia mengambil tas, lalu memasukkan ponsel ke dalamnya. "Ya, daripada aku laporin Mami kalo kamu di sini sama Nindi? Pilih mana?" Dewa sontak menghadap ke arahku. "Dasar, perempuan licik." Dia langsung keluar begitu saja. "Cepetan! Jangan lama-lama!" Aku berteriak dari dalam. Entah dia mendengar atau tidak karena bersamaan dengan pintu yang ter
"Astaga. Untung aja HP-ku gak ikut jatuh." Nindi berteriak dari arah sawah.Aku sontak melongo. Dalam keadaan seperti itu masih sempat memikirkan hartanya. Ah iya, aku lupa. Bagaimana dia tidak kepikiran jika ponselnya jatuh? Ponsel yang kupegang ini senilai puluhan juta. Maklum ponsel terkenal dengan tiga mata kamera bermerek Ipun. Sontak Dewa menatapku, lalu mengalihkan pandangan ke Nindi. Seketika kulihat lelaki di sampingku itu tertawa. Namun, saat itu juga dia segera menutupi. "Astaga, Nindi. Ngapain kamu di sana?" Dewa juga tampak heran. Kulihat Nindi sebagian kakinya telah dipenuhi lumpur. Wajahnya yang cantik seketika terlihat tak bercahaya. Dia sepertinya benar-benar marah. "Jangan banyak tanya. Cepetan bantuin!" tekan Nindi. Dewa mengulurkan tangannya pada Nindi. Wanita itu pun segera naik, tapi kulihat sandalnya tak ada. Astaga. Rasanya aku ingin tertawa sekencang-kencangnya melihat penampilan si Glowing itu. Saat ini bukan lagi Glowing namanya, tapi si Butek. "Pasti k
Mataku mendadak terbuka ketika mendengar pengumuman olahraga dari masjid. Sigap aku beringsut seraya mengusap-ngusap mata. Berkali-kali kututup mulut karena menguap. Di saat sedang enak-enaknya istirahat, harus terbangun untuk mengikuti kegiatan. Ah, nikmatnya menjadi istri tentara.Segera kulihat jam di ponsel, ternyata telah memasuki waktu asar. Segera kutunaikan salat empat rakaat tersebut, lalu bersiap-siap pergi ke kompi. Tak lama kemudian, ponselku berdering tanda pesan masuk.[Jangan lupa olahraga di kompi]Isi pesan dari Dewa. Ya, suamiku itu belum pulang kantor karena harus lembur lagi. Maklum, Dewa saat ini sedang BP di Staf Pers sehingga sedikit sibuk mengurusi data personil di batalyon ini.Setelah membaca, segera kukirim pesan balasan. [Oke, ini lagi siap-siap]Kemudian, pesanku hanya dibalas dengan emoticon jempol.Setelah semua beres, aku keluar dan mengenakan sepatu. Tampak tetangga berlalu-lalang di jalan mengenakan seragam olahraga, termasuk tetangga sebelahku. Rupan
"Kamu kenapa, sih? Ketawa aja, nanti dikira kita ngapain lagi," kata Dewa sambil menatapku heran."Itu, lho. Aku ingat Bu Dar. Lucu banget, ya, dia." Tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Eh, apa iya dia satu kompi dengan kita?"Dewa mengangguk, lalu gantian tertawa. "Kenapa?" "Males aja ketemu dia lagi. Dia pasti bakal resek sama aku. Tau gak, tadi pertemuan dia bertengkar sama Bu Soni gara-gara air minum. Kalau gak ingat dia senior, mungkin udah aku siram pake air Bu Dar," sahutku seraya memberi tahu kejadian saat pertemuan tadi."Gak boleh gitu. Biarin aja dia berkembang. Intinya bukan kita yang duluan." Lagi-lagi Dewa menasihatiku. Ya, suamiku itu tidak suka jika aku ingin membalas perbuatan jahat orang."Eh, si Abang Ganjen tadi ngomong apa aja di luar? Dia gak main mata lagi sama kamu, kan?" Dewa segera mengalihkan pembicaraan.Aku langsung memasang wajah memelas. "Ya ampun, Om Ferdi itu kasian banget. Ternyata dia itu sakit saraf. Kamu juga, sih, kenapa gak kasih tau aku."Wajah De
Spontan kutowel lengan tetanggaku itu. "Ah, Bu Soni malah ngeledek saya." Kemudian, aku segera pamit pulang karena teringat Dewa yang sedang makan di rumah."Makasih, ya, Tante Dewa.""Sama-sama, Bu Son." Kemudian, aku keluar dari rumah Bu Soni.Ketika di luar, kusempatkan menoleh ke arah sebelah. Tampak Om Ferdi sedang duduk di teras. Kali ini dia diam, tidak menyapaku lagi. Seketika aku merasa iba. Selama ini telah salah sangka padanya, padahal dia sedang sakit.Aku pun bergegas melompat tembok pembatas antara rumahku dan rumah Bu Soni. Begitu hendak masuk, suara Bu Dar mengejutkanku."Wah, yang ditunjuk jadi pengurus cabang. Gak ada acara makan-makan gitu?" celetuk Bu Dar dari teras rumahnya. Sepertinya dia baru saja pulang.Aku seketika menahan langkah dan berdiri di depan pintu seraya tersenyum ke arah tetangga kepoku itu."Siapa yang mau diangkat jadi pengurus cabang, Bulek?" tanya Om Ferdi."Siapa lagi kalau bukan tetangga kita yang cantik itu." Lagi-lagi Bu Dar menimpali sambi
Tepat jam setengah delapan malam, Dewa pun pulang. Kulihat wajahnya tampak berminyak. Pakaian yang pagi tadi dikenakan telah berubah menjadi kusut. Sepertinya suamiku itu benar-benar sibuk di kantor."Udah pulang?" Kusodorkan tangan seraya mendekatkan kening.Dewa seketika menyambar keningku. Kemudian, aku bergegas ke dapur seraya mengambilkannya air minum. Setelah itu, aku kembali memberikan pada suamiku. Dia Kun segera meneguk air minum hingga tandas."Kamu tadi pulang jam berapa?" tanya Dewa sambil memelukku dan menuntun masuk kamar."Pas magrib tadi. Aku udah masak lho.""Masak apa?" Dewa memandangiku lekat."Masak tongseng sapi," jawabku sambil terkekeh."Kok malah ketawa?" Dewa masih memandangku intens."Soalnya gak tau enak apa enggak." Aku bergegas ke dapur dan menyiapkan makan malam.Tak berselang lama, Dewa menghampiriku. Dia membuka tudung saji, sementara tangan kanannya melingkar di pundakku. Kemudian, kuambil piring dan meletakkan nasi serta tongseng.Selajutnya, Dewa dud
Segera kuambil ponsel, lalu kubuka semua hasil tangkapan layar yang dikirim Dewa padaku. Melihat gambar tersebut, Winda seketika tampak lemas. Wajahnya yang tadi bengis, kini berubah menjadi seperti mayat hidup. Rasakan!Sesaat kemudian, dia kembali menampilkan wajah bengisnya. "Kurang ajar kamu. Kamu tau rumahku dari mana?"Aku terbahak seketika. "Kamu mau tau? Yang SMS-an kemarin malam itu bukan Dewa, tapi aku."Sontak Winda membalikkan badan menghadap ke arahku. Wajahnya benar-benar merah padam."Kamu mau macem-macem lagi? Apa perlu sekarang aku panggil suamimu?"Namun, wanita tak tahu malu itu justru menantangku. "Semakin kamu seperti ini, semakin aku ganggu suamimu."Mendengar ucapannya barusan, aku lunglai seketika. Tapi, segera kuputar otak untuk menghadapi wanita gatal itu. Mulai kuredam sedikit amarahku. Ya, aku baru sadar, orang seperti Winda sepertinya tidak bisa dikasar. Lagi pula kalau diriku memaksakan ribut di rumah wanita itu, pasti akan menambah masalah baru. Apalagi
"Ibu-ibu, terima kasih atas kerjasamanya hari ini, ya? Kalau yang mau pulang, silakan pulang. Biar kursi sama bunganya nanti diangkatin sama om bujangan aja." Ibu Ketua kembali bersuara.Aku pun bernapas lega. Setelah berpamitan, aku melangkah keluar. Kemudian, segera kuhubungi Dewa lagi. Beberapa kali bunyi nada sambung, teleponku pun terhubung."Kamu dari mana aja, sih? Aku telepon gak diangkat-angkat. Perasaan tadi aku liat ibu-ibu udah pulang pertemuan. Kamu, kok, belum pulang? Tadi aku ngecek ke rumah, kamu gak ada. Kamu di mana?" cerocos Dewa bak kereta api dari seberang.Sejenak aku berhenti di depan pintu aula. "Woi, ngomong itu pake koma."Namun, Dewa justru meledekku. "Gak mau, kalau koma nanti aku gak bisa liat wajahmu yang cantik lagi."Aku seketika tergelak. Alamak, sejak kapan Dewa bisa menggombal? "Tanda koma. Bukan koma, gak sadarkan diri." Balasku seraya meledeknya kembali."Iya, iya, Sayangku. Kamu sekarang di mana?" Dewa bertanya ulang."Aku masih di aula. Eh, tau g
"Tante Dewa ditunjuk jadi pengurus cabang, ya?" Ucapan Bu Soni membuyarkan lamunanku tentang Winda. Tetanggaku itu baru saja datang dari menenangkan anaknya di luar.Spontan aku menoleh seraya menautkan kedua alisku. "Bu Soni tau dari mana?"Tetanggaku itu tersenyum simpul. Tampak dia memperhatikan ke sekitar seperti khawatir ucapannya didengar oleh orang lain."Tadi saya dengar selentingan dari ibu-ibu di luar.""Pasti mereka ceritain saya, ya, Bu Son?" Aku berusaha menebak.Bu Soni hanya tersenyum. Kemudian, kembali menenangkan pikiranku. "Dah, gak usah dipikirin. Hidup di asrama, ya gini. Apa pun jadi bahan omongan."Tak lama kemudian, datang seorang ibu menghampiri seraya memberi tahu bahwa setelah acara pertemuan, pengurus cabang dilarang ada yang pulang."Bu Son, gimana nih, saya disuruh tinggal di sini dulu. Aduh, nyesel deh saya terima tawaran Ibu Ketua jadi pengurus. Kayaknya sibuk banget," ucapku lirih pada Bu Soni."Kalau saya sih gak papa, Tante. Bu Dar aja nanti yang haru
Saatnya perkenalan anggota baru telah tiba. Kulihat satu per satu maju ke depan. Jantungku kali ini berdetak kencang. Tanganku pun masih terasa dingin."Ayo, Tante, maju. Semoga gak ada yang kelupaan. Pasti bisa, Tante. Semangat," ucap Bu Soni menyemangati.Aku tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegrogianku. Kemudian, aku melangkah ke depan. Para ibu-ibu telah berbaris sesuai pangkat suaminya. Dan kini posisiku berada di tengah. Seketika kuhela napas lega. Ternyata bukan aku yang memulai perkenalan ini.Beberapa saat kemudian, tiba giliranku. Ketika menyebut NRP, mataku sedikit melirik ke arah telapak tangan. Bersyukur tidak terlalu nampak. Kemudian, ada ibu-ibu yang menyeletuk memintaku menyebutkan jabatan suami. Setelah kulihat, orang tersebut ternyata Bu Dar. Sialan, dia sepertinya ingin mengerjaiku."Jabatan suaminya apa, Bu?" teriak Bu Dar dari tempat duduknya. Kebetulan posisinya berada di nomor dua deretan belakang Ibu Ketua.Aku mulai gugup. Selama menikah dengan Dewa, a
Aku kembali masuk rumah seraya mengambil kunci mobil. Ketika keluar, Bu Dar telah berada di terasku."Tunggu bentar, ya, saya panasin mobil bentar aja."Mendengar ucapanku, Bu Dar seketika melengos. "Ealah, kirain udah tinggal pergi. Pake acara dipanasin segala. Kelamaan."Aku tersenyum dalam hati. Namun, tak kutanggapi omongan tetangga kepoku itu. Aku langsung menuju mobil dan menyalakan mesinnya.Setelah itu, kulihat Bu Dar masih berdiri di teras. "Gimana, Bu Dar? Jadi ikut?" Aku melongokkan kepala dari dalam mobil."Ikut lah," jawabnya sinis.Aku dan Bu Soni seketika saling pandang dan berusaha menyembunyikan tawa. Setelah kurasa cukup untuk memanasi mesinnya, kuputuskan untuk segera berangkat."Ayo, Bu. Kita berangkat."Dua tetanggaku itu perlahan berjalan ke mobil. Kemudian, Bu Soni masuk dan duduk di bangku tengah. Sementara Bu Dar masih mematung di luar."Bu Soni gak bawa stroller-nya dedek?" tanyaku seraya melempar pandangan ke arah beliau."Gak, Tante. Gendong aja. Pake strol