Suasana di dalam mobil yang dikendarai Adhitama pulang bersama Risha dan Lily hening. Meskipun berita duka yang mereka dengar bukan dari orang terdekat mereka, tapi tetap saja ada rasa sedih sebagai manusia. Adhitama menoleh Risha yang memandang keluar jendela, meraih tangan wanita itu lalu membawanya ke depan bibir dan menciumnya penuh cinta."Apa yang kamu pikirkan?" tanya Adhitama penuh kelembutan. “Kenapa sejak tadi diam? Mana Rishaku yang cerewet.”"Tidak ada," balas Risha lalu tertawa. Dia menoleh bangku belakang di mana Lily duduk di sana. Anak itu ternyata tertidur."Lily pasti lelah, sejak pagi kita ajak dia ke rumah sakit menjenguk Audrey lalu ke rumah Alma," kata Risha."Kamu sendiri, apa kamu tidak lelah? Seharusnya kamu tidak perlu pergi ke pemakaman adik Alma," balas Adhitama. “Aku tidak mau kalau kamu sampai masuk rumah sakit lagi.”"Mana mungkin aku tidak ikut? Mas tahu Alma beberapa kali membantuku menjaga Lily. Dia juga butuh dukungan, aku malah seperti melihat diri
Sore itu Kakek Roi pergi ke rumah Adhitama untuk bertemu Lily. Saat sampai di sana Risha, Adhitama juga Lily menyambutnya hangat.Terutama Lily, beberapa hari tak bertemu dengan buyutnya membuat anak itu kegirangan bahkan sangat antusias.“Kakek Buyut!” Lily yang senang melihat kedatangan Kakek Roi bergegas menghampiri pria tua itu lalu menggandengnya.Kakek Roi senang. Dia berjalan bersama Lily juga dua cucunya menuju ruang keluarga.“Apa benar informasi yang aku terima soal Sevia?” tanya Kakek Roi sesaat setelah mereka duduk.“Benar, dia sudah mati karena kecelakaan, saat berusaha kabur setelah menusuk Audrey,” jawab Adhitama.Kakek Roi terkejut, tapi juga lega karena akhirnya wanita jahat itu mati.“Baguslah. Wanita itu memang lebih baik tidak ada di dunia ini,” ucap Kakek Roi.“Mungkin itu karma. Dia tidak mau mempertanggungjawabkan kesalahannya di dunia, jadi biar dia mempertanggungjawabkannya di akhirat,” balas Adhitama yang selalu saja geram jika mengingat perbuatan Sevia.“Buy
Audrey datang ke rumah Adhitama setelah kondisinya membaik. Dia ke sana bermaksud untuk mempertanggungjawabkan pekerjaannya karena membuat Lily hampir celaka. “Kak Audrey!” teriak Lily saat melihat Audrey datang. Risha dan Adhitama langsung menoleh ketika mendengar Lily berteriak. Audrey mengangguk ke Risha dan Adhitama, lalu memandang Lily yang sudah berdiri di depannya. “Bagaimana kondisimu?” tanya Risha. “Sudah lebih baik, terima kasih,” jawab Audrey sopan. “Saya ke sini karena mau bertemu Lily,” ucap Audrey lagi. Seperti tahu apa yang ada di pikiran Audrey, Lily berkata, “Kak Audrey mau berhenti kerja? Nggak boleh! Lily nggak ngizinin!” Adhitama dan Risha sampai terkejut dengan sikap Lily. Audrey tersenyum canggung, lalu meminta izin pada Risha dan Adhitama agar bisa bicara berdua dengan Lily, dan dia mendapat izin. “Kak Audrey tidak boleh dipecat!” Lily berpikir jika Audrey akan berhenti bekerja karena dipecat papanya. Audrey diam sejenak, lalu bertanya, “Apa Lily mau
Kakek Roi mengundang Risha dan Adhitama makan malam di rumahnya hari itu. Mereka sudah berkumpul dalam situasi yang hangat. Lily juga ikut ke sana, tapi anak itu malah sibuk bermain dengan Audrey dan melewatkan makan malamnya. “Ternyata kalian masih mempertahankan Audrey," ucap Kakek Roi. Adhitama menoleh pada Lily yang sedang bermain sampai tertawa, lalu membalas, “Ya, Kakek lihat sendiri. Lily hanya mau Audrey, bahkan saat aku menawari mencarikan pengganti dia menolak sampai merengek.” Kakek Roi melihat keceriaan Lily, lalu terlihat mencemaskan sesuatu. “Sebenarnya aku menyelidiki siapa Audrey, tapi aneh karena aku sama sekali tidak bisa menemukan informasi apa pun tentangnya.Bahkan masa lalunya seperti apa juga tidak ada,” ujar Kakek Roi. Adhitama tidak menyangka Kakek Roi akan bertindak sejauh itu. Namun, dia juga merasakan hal aneh, tapi mencoba mengabaikan itu. “Coba kamu pastikan lagi ke agensi yang menaunginya, cek dan pastikan asal-usul juga informasi tentang Audrey,” u
Sesampainya di rumah. Risha masih diam, bahkan dia mengabaikan Adhitama. Adhitama bingung dengan sikap Risha. Meski Risha kecewa dengan kejujuran kakek Roi, tapi apa harus sampai seperti ini? “Sudah, tidak usah terlalu memikirkan kebohongan Kakek, nanti malah kamu stres dan berpengaruh ke kesehatanmu,” ucap Adhitama akhirnya bersuara setelah sejak tadi ikut diam. Risha terkejut. Dia menoleh pada Adhitama dengan tatapan tidak senang. “Mas bilang tidak usah memikirkan? Setelah semua ketakutan yang aku rasakan, Mas Tama berkata seenak ini? Mas benar-benar tidak paham perasaanku!” amuk Risha geram. Adhitama terkejut karena Risha sampai mengamuk seperti itu. Saat dia ingin menjelaskan, Risha sudah lebih dulu meninggalkannya. Dia bergeming melihat Risha yang masuk kamar Lily. Adhitama merasa reaksi Risha berlebihan. Namun, dia mencoba memahami jika mungkin perasaan Risha sedang sensitif saja. ** Saat tengah malam. Adhitama memutuskan pergi ke kamar Lily. Dia melihat Risha berbaring
Haris duduk di meja kerjanya diam melamun, dia tidak tahu kenapa terus memikirkan Alma.Haris menggeleng menepis pikirannya, dia merasa harus fokus bekerja dan tidak boleh lagi memikirkan soal sekretarisnya itu.Haris kembali mengamati laptopnya yang berisi beberapa grafik penjualan untuk dianalisa, saat tiba-tiba saja pintu ruang kerjanya diketuk.“Siapa?” tanya Haris heran.“Pak ini saya, Alma.”Haris kaget mendenger suara Alma, dia seketika berdiri tampak bingung dan kembali duduk di kursinya.Haris berusaha menyembunyikan salah tingkahnya. Dia berdehem sebelum mengizinkan Alma masuk.“Masuk!”Haris kembali menatap laptop setelah bicara, kemudian bersikap biasa seolah tak menunggu kedatangan Alma.“Pak Haris,” sapa Alma.Haris berpura-pura terkejut, untung saja sikapnya yang agak aneh itu tak begitu Alma perhatikan.“Kenapa kamu sudah masuk? Aku pikir kamu akan mengambil libur beberapa hari lagi,”kata Haris.Alma memulas senyum tipis, dia berjalan mendekati meja kerja Haris lalu me
Risha mengerutkan kening mendengar pertanyaan Haris. Dia mencoba menerka-nerka siapa wanita yang dimaksud oleh pria ini. “Apa wanita yang sedang Kakak bicarakan itu Alma?” tanya Risha memastikan, meski dia yakin tebakannya benar. Haris gelagapan dan tampak panik. Ingin mengelak tapi apa yang dikatakannya sudah terlalu jelas. “Kakak tidak bisa menutupi itu dariku, jadi tidak usah berbohong,” ucap Risha ketika melihat gelagat aneh Haris. Haris belum bisa menjawab, sampai Risha kembali bicara. “Sekarang mau Kak Haris bagaimana?” tanya Risha, “kalau menurutku, kalau Kak Haris hanya mau mengungkapkan perasaan saja tidak apa-apa, tapi kalau ada niat merebut tidak boleh. Kakak harus memikirkan perasaan orang lain juga,” imbuh Risha. Haris diam berpikir. “Tapi dari pada memendam perasaan dan galau terus menerus lebih baik Kak Haris jujur saja supaya tidak memiliki beban,” ucap Risha memberi nasihat, apalagi Haris sangat jelas terlihat bingung untuk membuat keputusan. Haris tid
Keesokan harinya. Rapat di Mahesa berlangsung di pagi hari. Rapat itu dihadiri beberapa petinggi perusahaan termasuk Haris, itu artinya Andre dan Alma juga ikut serta dalam rapat itu. Adhitama duduk mengamati. Dia memperhatikan sikap Alma, Andre, dan Haris yang aneh, sampai membuat Adhitama menggeleng kepala pelan. Rapat dimulai, Adhitama mendengarkan usul dari salah satu direktur untuk acara perayaan ulang tahun perusahaannya nanti. “Jadi, saya usul untuk memberikan penghargaan ke karyawan. Saya rasa penghargaan ini bisa meningkatkan semangat pada semua karyawan agar lebih giat bekerja. Mereka akan sangat dihargai karena mendapat penghargaan atas kerja keras mereka.” Adhitama mendengarkan dengan seksama, ide itu memang bagus, tapi dia meminta yang lainnya untuk tetap memberikan masukan. Setelah rapat selesai. Adhitama langsung berdiri lebih dulu untuk pergi. Namun, dia melihat Andre yang masih belum beranjak seperti menunggu sesuatu. “Kamu ngapain?” tanya Adhitama keher
Risha dan Adhitama berjalan beriringan masuk ke sekolah Lily pagi itu. Mereka terlihat beberapa kali berhenti untuk berbicara dengan orangtua teman Lily yang juga datang ke sekolah.Hari itu acara kelulusan murid digelar, Risha sudah tidak sabar melihat bagaimana penampilan putri kecilnya di atas pentas.Risha duduk sambil harap-harap cemas menunggu acara dimulai.“Dia tidak akan membuat kesalahan ‘kan?” tanya Risha sambil meremas tangan. Padahal Lily yang akan tampil, tapi dia yang grogi.Adhitama yang melihat Risha beberapa kali menggigit bibir bawah hanya tersenyum, dia meraih tangan sang istri yang ada di atas paha lalu menggenggamnya erat.“Dingin sekali, kenapa kamu yang gugup begini?” tanya Adhitama.“Aku hanya khawatir. Lihat saja banyak orang begini, bagaimana kalau dia takut hingga membuat kesalahan. Dia pasti sedih dan bisa kehilangan rasa percaya diri, ini penampilan pertamanya di depan banyak orang,” jawab Risha.“Kamu harus yakin ke Lily, dia pasti bisa. Calon penerus Ma
Sore itu, Andre duduk di meja kerjanya sambil menatap layar laptop. Pekerjaan hari itu hampir selesai, tetapi ada satu hal lagi yang harus dia urus sebelum meminta izin pulang ke Adhitama.Andre melihat jam di tangannya, sudah hampir pukul lima sore. Andre menarik napas dalam-dalam sebelum berdiri dan melangkah ke ruangan Adhitama.“Pak, apa saya bisa bicara sebentar?” kata Andre, mencoba terdengar tenang meskipun ada sedikit kegugupan di suaranya.Adhitama yang masih berkutat dengan layar laptop menjawab, “Tentu. Ada apa?”“Saya mau minta izin, Pak. Lusa rencananya saya ingin mengambil cuti untuk jalan-jalan sebentar. Sudah lama saya tidak liburan."Adhitama sedikit terkejut mendengar permintaan Andre. Dia menghentikan pekerjaannya sejenak lalu memandang sekretarisnya itu. “Jalan-jalan? Ke mana? Memang kamu sudah punya pacar?” goda Adhitama.Andre tertawa kecil mendengar pertanyaan sang atasan. Pemuda itu sedikit berkilah dengan menjawab, “Memang pergi jalan-jalan harus bersama pacar
Seminggu kemudian Alma dan Haris mengadakan syukuran atas kelahiran anak mereka.Syukuran di rumah mereka berjalan meriah. Tamu-tamu yang datang silih berganti, membawa suasana hangat penuh canda tawa.Alma, yang baru saja melahirkan putra pertamanya, tampak bahagia menyambut satu per satu tamu yang hadir.Andre melangkah masuk dengan senyum kecil di wajah. Berbaur dengan tamu-tamu lain yang sebagian besar dia kenal. Namun, saat melihat sosok gadis yang tengah mengobrol di sudut lain ruangan, Andre segera berjalan mendekatinya. Ia sudan lama tak bertemu dengan Mahira, tapi dia sebenarnya sudah menduga pasti akan bertemu dengan Mahira di rumah Alma."Andre! Lama nggak ketemu. Apa kabar?" tanya Mahira sambil tersenyum lebar.Andre mengangguk kecil. "Baik. Kamu gimana?""Aku? Baik juga. Ngomong-ngomong, kabar mamamu gimana? Sehat kan?""Sehat kok," jawab Andre.Mereka terlihat canggung, Mahira bahkan ingin menjauh tapi entah kenapa ada perasaan yang membuatnya ingin terus mengobrol denga
Risha baru saja keluar dari kamar Lily malam itu. Dia berjalan pelan sambil memandang pintu ruang kerja Adhitama. Risha ragu mungkinkah Adhitama masih berada di sana atau sudah kembali ke kamar mereka. Risha mengedikkan bahu, memilih mempercepat langkah menuju kamar tidur. Baru saja menutup pintu, Adhitama membuat Risha terkejut karena sudah berada di dalam. “Astaga Mas Tama!” pekik Risha setelah sebelumnya berjengket karena kaget. “Kamu itu kenapa?” Adhitama terkekeh kecil lalu menekuk tangan di depan dada. “Aku pikir Mas masih di ruang kerja,” balas Risha sambil naik ke atas ranjang lalu duduk di samping Adhitama. “Apa ada masalah lagi di Mahesa?” tanyanya penuh perhatian. “Tidak ada, hanya mengecek dan memastikan sesuatu.” Adhitama membalas sambil melingkarkan tangan melewati punggung Risha, memberi isyarat kalau dia ingin memeluk istrinya itu. “Bagaimana Pembangunan kantor dan pabrik barumu? Bukankah seharusnya bulan depan pabrik sudah bisa mulai beroperasi?” tanya Adhitama
“Sudah sayang, kamu sudah cantik!”Ucapan Adhitama membuat Risha menoleh dan tersenyum. Adhitama berjalan mendekat pada Risha yang masih mematut diri di depan cermin, memeluk pinggang lalu mencium pundak istrinya itu.“Lily sudah siap?” tanya Risha sambil memandang Adhitama dari pantulan kaca di hadapannya.“Sudah, dia senang sekali mendengar kita mau mengajaknya pergi belanja,” balas Adhitama. “Ternyata semua wanita sama, suka sekali dengan hal berbau materi,” imbuhnya.Risha tertawa lebar, dia memutar tubuh lalu memandang Adhitama yang semakin hari semakin terlihat menawan di matanya.“Jadi selama ini Mas Tama pikir aku ini matre? Begitu?” goda Risha.“Hm .. bagaimana aku menjawab? Yang pasti aku bahagia bisa memberimu segalanya.” Adhitama meraih pinggang Risha. Menarik tubuh wanita itu hingga menempel padanya.“Aku hanya butuh Mas cintai dan jadikan satu-satunya wanita di dalam hidup Mas Tama,” ujar Risha. Senyum tipis dan tatapan matanya yang penuh cinta melenakan Adhitama hingga
Andre sedang duduk di meja kerjanya, memeriksa laporan yang harus diserahkan ke Adhitama saat atasannya itu baru saja datang.Andre langsung berdiri dan menyapa dengan sopan. “Selamat pagi, Pak.”"Pagi, ikut ke ruanganku, ada yang mau aku bicarakan," ucap Adhitama seraya melangkah masuk.Andre mengangguk, dia berdiri dari kursinya kemudian menyusul Adhitama. Meskipun terdengar serius, tapi raut Adhitama tidak tampak mengintimidasi."Aku mendengar dari pengacara kalau masalah dengan ayahmu itu belum ada titik temu, bagaimana perkembangannya?” tanya Adhitama.Andre menarik napas dalam sebelum menjawab. “Sebenarnya semalam saya bertemu dengannya, yang bisa saya baca dia mulai terlihat khawatir. Mungkin karena saya bilang bekerja di Mahesa dan memiliki dukungan penuh dari perusahaan.”Adhitama tersenyum tipis. “Baguslah kalau begitu. Orang seperti Papamu itu biasanya hanya menggertak. Kalau ada yang kamu butuhkan, jangan ragu untuk bicara, aku pasti akan membantu,” ucapnya.“Terima kasih,
Di tengah hujan gerimis yang mengguyur kota, Mahira duduk di kursi penumpang mobil Andre sambil membuka jendela, membiarkan angin segar bercampur bau aspal basah masuk ke dalam mobil.Di tengah perjalanan menuju kos, tiba-tiba Mahira berkata, “Apa bisa berhenti sebentar di minimarket depan? Aku mau beli beberapa makanan buat stok di kos.”Andre mengangguk tanpa banyak bicara, lalu memutar setir ke arah minimarket yang Mahira maksud. Mobil itu melambat dan berhenti di depan minimarket yang terlihat ramai. Mahira keluar lebih dulu, lalu menoleh ke Andre yang masih duduk di kursi kemudi.“Yuk, ikut," ajaknya. Andre sebenarnya malas keluar mobil, tapi entah kenapa dia mengiyakan saja ajakan Mahira."Kamu kalau mau beli sesuatu boleh. Aku traktir, kamu pilih apa aja yang kamu mau.” Senyum Mahira mengembang. Pikirnya, Andre sudah banyak membantu jadi tidak ada salahnya mengeluarkan beberapa puluh ribu untuk membelikan pemuda itu sesuatu.Andre menghela napas sambil menggeleng. "Nggak usah.
Mahira duduk di ruang kecil kantor My Lily, matanya terus melirik jam dinding. Risha belum juga datang, dan dia sudah tidak sabar untuk meminta izin pada ibunda Lily itu.Meski terdengar keterlaluan, tapi Mahira berniat mengajukan diri agar diizinkan melakukan live penjualan sepanjang hari.Mahira masih menunggu dengan cemas, hingga Risha muncul dengan senyum maanis.“Pagi,” sapa Risha ke semua stafnya. Wanita itu berjalan ke ruang kerjanya dan disusul oleh Mahira.“Bu Risha, permisi. Apa saya boleh bicara?”Ucapan Mahira membuat Risha menghentikan langkah lalu menoleh.“Bicara apa?” tanya Risha dengan kening berkerut halus.“Begini Bu Risha. Saya mau meminta izin, boleh tidak hari ini saya mengambil alih live dari pagi sampai petang? Maksimal delapan jam.”Risha mengangkat alis, kaget dengan permintaan itu. “Kenapa tiba-tiba kamu ingin live selama itu?”Mahira menarik napas panjang, matanya sedikit berkaca-kaca. “Saya butuh uang, Bu. Papa saya … papa saya ditangkap polisi.”Risha ter
Lain di mulut lain di hati. Meski terlihat tak peduli, nyatanya Andre tidak benar-benar bisa mengabaikan Mahira. Malam itu, meskipun memaksakan diri untuk tidur, pikiran Andre tetap berkelana, memikirkan Mahira dan apa yang mungkin sedang terjadi.Pagi harinya, Andre bangun dengan perasaan yang masih sama. Namun, dia tetap berusaha untuk tidak memperlihatkan perasaannya kepada siapapun, termasuk ibunya.Andre bangkit dari tempat tidur dengan mata berat. Ponselnya tergeletak di meja dengan layar hitam tanpa notifikasi baru. Dia memegangnya lagi, ragu sejenak sebelum mengetik pesan lain untuk Mahira.[Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja.]Setelah mengirim pesan itu, Andre termenung, berharap balasannya kali ini datang.Namun, keheningan tetap mengisi ruang kamarnya. Andre mendesah berat, merasa bersalah tapi masih enggan mengakui."Apa aku harus ke sana langsung?" gumamnya. Pikiran tentang Mahira di kos seorang diri terus menghantui Andre.***Matahari baru saja muncul, memancarkan sin