Adhitama Mahesa, pengusaha muda bertangan dingin. Keluarga Mahesa adalah keluarga terpandang yang begitu dihormati dan disegani di ibu kota, dan Adhitama adalah calon pewaris utama.
Adhitama memiliki reputasi yang sangat baik sehingga tidak ada orang yang berani menentang ataupun menolaknya. Selama tiga puluh tiga tahun hidup, ia terbiasa dengan hal itu. Namun, kini, ada seseorang yang ingin menolak untuk hidup bersama dirinya. Dan, itu adalah istrinya. “Mas Adhitama, mari berpisah.” Permintaan tersebut, melukai harga dirinya. Adhitama meletakkan cangkir teh di tangannya dan berbalik, menatap Risha dalam diam. “Berpisah?” Darimana pemikiran wanita itu untuk meminta cerai darinya? Adhitama selalu memperlakukan wanita itu dengan baik selama dua tahun pernikahan mereka. Adhitama juga telah bertanggung jawab baik secara lahir maupun batin. Namun, wanita itu tiba-tiba mengatakan ingin berpisah darinya? “Ya. Mas Tama tenang saja. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi, jadi tidak akan ada siapa pun yang menentang keputusan ini.” Adhitama mendengarkan Risha dalam diam, namun ucapan enteng wanita itu menggelitik kesabarannya. “Untuk Kakek, dia sangat menyayangi Mas Tama, jadi aku yakin penjelasan apa pun dari Mas tentang perpisahan kita pasti akan Kakek Roi terima dengan baik.” Adhitama mendengus setelah Risha berhenti bicara, lalu berkata “Risha, atas dasar apa kamu berpikir bahwa aku akan menceraikanmu begitu saja?” Risha adalah wanita lemah yang bergantung pada orang lain. Sejak dulu ia bergantung pada kakeknya, setelah menikah wanita itu bergantung pada Adhitama. Jika Risha ingin berpisah darinya, darimana wanita itu bisa bertahan hidup? Keinginan Risha untuk bercerai darinya pasti hanya sebuah gertakan. Risha menggeleng pelan. Keberaniannya tersisa sedikit untuk bisa menjawab Adhitama, namun ia tidak ingin menyerah lagi. ”Kenapa Mas? Bukankah berpisah denganku adalah sesuatu yang Mas Tama inginkan?” “Tahu apa dirimu tentang apa yang kuinginkan?” tanya Adhitama dingin. Risha sedikit gemetar, dia mengepalkan tangan di sisi badan seolah mencari kekuatan sebelum menjawab Adhitama lagi. “Aku memang tidak tahu dan tidak lagi ingin tahu. Yang jelas, aku serius. Aku ingin bercerai.” Adhitama menatap Risha tanpa ekspresi sebelum membalas, “Mintalah apa saja dariku kecuali itu.” Kemudian pria itu membuka handuk di depan Risha, dia lantas berpakaian setelahnya berjalan mendekati sang istri. Perasaan Risha tidak karuan, dadanya berdegup cukup keras ketika menatap suaminya yang sudah berdiri menjulang tinggi di hadapannya. Darahnya berdesir ketika Adhitama menyentuh pipinya dan berkata dengan sangat pelan hingga membuat tubuhnya merinding. “Di keluargaku tidak ada yang bercerai, bahkan papaku menikah lagi setelah mamaku meninggal.” Apa maksudnya ucapan suaminya itu? Mungkinkah pria ini menunggunya mati lebih dulu setelah itu baru mengakui hubungan dengan wanita yang sering ditemuinya di luar kota? Memikirkan hal itu, membuat pertahanan Risha runtuh. Buliran kristal bening mengalir di pipinya hingga mengenai ibu jari Adhitama. “Kalau begitu bisakah Mas Tama berhenti mengurus perusahaan Mas yang ada di Jogja? Mas bilang aku boleh meminta apa saja kecuali cerai.” Risha berusaha untuk tidak melebihi batas. “Kenapa?” Alis Adhitama berkerut. “Tidak! Hanya saja beberapa kali kita melewatkan undangan Kakek untuk pertemuan keluarga, jadi ....” Risha akhirnya memilih untuk berbohong, dia menundukkan pandangan, takut jika sampai Adhitama bisa membaca kebohongan dari matanya. “Kakek pasti maklum, dia tahu bagaimana kondisi perusahaan saat ini, jadi itu bukan hal besar yang perlu dicemaskan.” Adhitama memutar tumit berjalan menuju ranjang, dia kemudian duduk setelah mengambil ponselnya. Permintaannya ditolak. Akan tetapi, apa yang bisa diharapkan dari suaminya itu? Terlebih, kini Risha tahu betul ada alasan lain dibalik itu. Risha melihat Adhitama mengetik sesuatu di ponselnya seraya berkata, “Tidak perlu membahas soal perpisahan, selama dua tahun ini kamu menjadi istri yang baik dan penurut. Bersikaplah seperti biasa.” Bagaimana bisa Risha bersikap seperti biasa ketika sekarang ia benar-benar yakin jika suaminya memiliki wanita lain? Karena tidak ada jawaban dari Risha, Adhitama kembali bersuara, “Sebaiknya kamu fokus dengan tujuan utama pernikahan kita.” Risha hampir lupa alasan Adhitama setuju untuk dijodohkan dengannya. Ia harus hamil agar bisa memberikan keturunan untuk Adhitama. Akan tetapi, apakah setelah ia bisa memberikan keturunan untuk Adhitama, pria itu akan berubah? Risha memang sangat menginginkan anak, dia pernah berharap kehadiran anak bisa menjadi perekat hubungan di antara mereka. Akan tetapi, saat ini Risha sudah berada pada kesimpulan kalau anak tidak akan pernah bisa hadir di tengah orangtua yang tidak saling mencintai seperti dirinya dan Adhitama. “Aku rasa percuma, Mas. Aku sudah tidak menginginkan anak.” Setelah Risha mengatakan itu, Adhitama menatapnya dengan ekspresi dingin yang tak pernah Risha lihat, sejurus kemudian Adhitama berkata dengan pelan dan dingin, “Tapi kamu tidak akan bisa melakukan apa-apa kalau aku menginginkannya.”“Kamu masih bisa tersenyum setelah mendapati suamimu selingkuh, ha?” Amarah Niki naik, tidak habis pikir bagaimana Risha masih bertahan dalam pernikahannya. Niki adalah sahabat satu-satunya yang dimiliki Risha, Niki tahu semuanya. Jadi, ketika Niki tanpa sengaja melihat Adhitama bersama wanita lain, ia langsung memberitahukan Risha. Tidak percaya dengan apa yang ia lihat pertama kali, Niki secara sukarela menyelidiki Adhitama hingga akhirnya tahu jika suami dari sahabatnya itu memiliki wanita lain di kota lain. “Sudahlah jangan membahas itu,” ucap Risha. Hari itu Niki yang kebetulan memiliki urusan di kota tempat Risha tinggal memutuskan menemani sang sahabat pergi ke rumah sakit. Setelah perdebatan Risha dengan Adhitama malam itu, Risha akhirnya tetap menuruti permintaan Adhitama untuk memeriksa kandungannya. Risha tidak bisa melawan, setelah perdebatan itu, Adhitama menghukumnya dengan menghujamnya berkali-kali di ranjang, hingga Risha kelelahan. Itu adalah kali pertama
Sesak di dada Risha semakin menjadi-jadi. Apakah wanita itu begitu penting hingga suaminya bahkan tidak ingin menjawab pertanyaannya dan tetap memilih untuk pergi? “Kalau Mas Tama memikirkan permintaanku, kita tak perlu berdebat. Bukankah akan lebih mudah bagi Mas Tama kalau kita berpisah?” Risha bertekad tidak akan berhenti sampai Adhitama setuju dengan permintaannya. “Sampai kapanpun jangan harap mendapat keinginanmu yang satu itu,” ucap Adhitama dingin. Ia tidak memiliki waktu, jadi harus segera siap-siap. Adhitama mengambil acak beberapa baju dan memasukkanya ke dalam koper karena sadar Risha tak mau membantunya. Risha masih diam di tempatnya melihat Adhitama menutup dan menyeret koper itu. Adhitama tak mengucapkan satu patah katapun berjalan melewati Risha. Namun, langkahnya terhenti, ketika Risha dengan seluruh kekuatannya berkata, “Kalau begitu, tolong berhenti menemui kekasihmu itu, Mas.” “Apa maksudmu?” tanya Adhitama saat melihat kilatan emosi dari tatapan mata Rish
Risha tak bisa mengabaikan pesan itu begitu saja. Itu yang membuatnya kini berada di sebuah restoran, duduk berhadapan dengan wanita yang selama ini hanya dia dengar ceritanya dari Niki.Akan tetapi, Risha tak memandang Sevia, melainkan pada koper yang berada di samping tempat duduk wanita itu. Mana mungkin Sevia berada di Jakarta tanpa tujuan?Meski mencoba tenang, tetapi senyum getir tergambar jelas di paras ayu Risha.Mungkinkah Adhitama berbohong? Keluar kota hanya alasan bagi suaminya itu?“Maaf kalau aku sudah bersikap lancang meminta bertemu dengan Kakak,” ucap Sevia.Bicaranya lemah lembut, bahkan memanggil Risha dengan sebutan ‘kak’ padahal Risha tahu kalau mereka seumuran.Risha hanya menatap tanpa memberi respon, melihat Sevia tampak ingin berbicara lagi.“Aku mengajak Kakak bertemu karena merasa butuh bicara soal Mas Adhitama.”Senyum sumbang tergaris di bibir mungil Risha mendengar ucapan Sevia. Bukankah seharusnya dia sudah bisa menebak maksud wanita itu ingin menemuinya
Sudah dua hari sejak Adhitama pergi, Risha memilih tinggal di apartemennya untuk menenangkan diri. Pagi itu dia berada di dapur untuk menyiapkan sarapan sambil melamun. Sejak suaminya pergi hari itu sampai saat ini, ia tidak memberikan kabar apa pun pada Risha. Apakah suaminya itu begitu senang bertemu dengan Sevia hingga ia melupakan istrinya sendiri? “Kenapa aku harus pusing memikirkan mereka?” Risha menggeleng pelan, mencoba menepis rasa penasaran dan kekesalan yang mulai timbul di hati. Risha menarik napas pelan dan memejamkan mata untuk menenangkan diri, tetapi terganggu dengan suara bel pintu apartemennya yang berbunyi. “Siapa yang tahu aku ada di sini?” tanya Risha lantas buru-buru ke depan. Di depan pintu Risha terpaku. Di sana Adhitama berdiri diam menatap padanya. Risha melihat kembali sang suami. Wajahnya yang tampan, rambutnya yang hitam legam, dan mata gelap nan tajam itu pernah membuat Risha begitu mencintai Adhitama. Hingga saat ini. Namun, Risha telah be
Adhitama tidak pernah menyangka bahwa Risha benar-benar ingin bercerai darinya tanpa ragu-ragu. Terlebih, sejak tadi Risha selalu berkata ‘wanita lain’ padanya.Adhitama merasa marah.Dia menatap lekat istri kecilnya di bawahnya.Istri kecilnya ini memang cantik. Adhitama tidak merasa rugi ketika dijodohkan dan harus menikah dengan Risha. Risha juga berasal dari keluarga dengan reputasi yang baik, tetapi Adhitama tidak pernah mencintainya.Cengkeraman Adhitama di lengan Risha cukup keras, membuat Risha meringis. “Lepaskan aku, Mas.”Akan tetapi, alih-alih dilepas, Adhitama justru menggendong Risha dan melemparkan Risha ke sofa duduk ruang tamunya.Adhitama menekan Risha di sofa yang sempit. Adhitama menyatukan keningnya, lalu berpindah ke hidung. Kemudian, Adhitama menggerakkan bibirnya ke belakang Risha dan berbisik, “Kamu tidak mengenalku dengan baik, Risha.”Tubuh Risha bergetar. Sofa yang sempit ini membuat Risha kesulitan bergerak, hingga menyentuh bagian bawah Adhitama yang menge
[Aku tidak bisa menjemputmu. Pergilah naik taksi ke rumah Kakek.]Risha membaca pesan Adhitama lantas buru-buru mengunci layar ponselnya setelah menyambut kedatangan Haris dengan pelukan.Risha tersenyum menyapa Haris. Senyuman untuk menutupi kekecewaan Risha yang kesekiankalinya pada Adhitama.Haris tampak mengerutkan alis melihat adik kecilnya. Curiga meski tidak sempat melihat kata-kata yang tertulis di sana.Haris adalah anak angkat orang tua Risha. "Apa itu suamimu?” tanya Haris.Risha mengangguk lalu menggenggam erat ponselnya.“Apa dia tahu kalau kemarin kamu pingsan dan .... "Risha menggeleng cepat.Kedatangan pria yang sudah Risha anggap kakak kandungnya itu untuk memastikan kondisinya.Ya, setelah bertemu Sevia waktu itu Risha pingsan di jalan dan harus dilarikan ke rumah sakit. Saat sadar Risha memilih meminta bantuan Haris untuk menjemputnya.Pria itu bahkan sempat membuat dokter mengira sebagai suami Risha. Ucapan selamat dari dokter yang mengatakan Risha tengah hamil ju
Adhitama tidak membalas, pria itu hanya menatap Risha dengan ekspresi yang tidak bisa Risha artikan.Mereka masih terus saling tatap dalam diam hingga Risha yang lebih dulu membuang tatapannya dan pergi meninggalkan Adhitama tanpa berkata apa pun lagi.Risha masuk kembali ke ruang makan dan menuju kursinya diiringi tatapan mata semua orang, terutama Kakek Roi. “Kenapa kamu mual? Apa jangan-jangan kamu hamil?” tanya Kakek Roi antusias.Ditanya dan ditatap dengan pandangan harap dari Kakek Roi membuat jantung Risha berdebar. Risha bingung untuk menjawab pertanyaan Kakek Roi. Haruskah ia jujur atau menutupi kehamilannya?“Kalau ada kabar baik pasti akan kami sampaikan pada semua orang terutama Kakek,” Risha menoleh ketika mendengar suara Adhitama yang sudah berdiri di sampingnya. “tapi ini bukan seperti yang Kakek harapkan. Risha hanya kelelahan.”Bibir Risha memulas senyum ironi, jika Adhitama memang menginginkan anak dari pernikahan mereka, bukankah seharusnya pria itu curiga dengan kon
Risha terus berjalan tanpa arah setelah meninggalkan mobil Adhitama. Meskipun di dalam pikiran Risha, Adhitama hanya memikirkan diri sendiri dan tidak mungkin mau repot-repot mengejarnya. Namun, Risha tetap menoleh ke belakang.Risha semakin merutuki kebodohannya sendiri.Untuk apa berharap pada sesuatu yang tidak mungkin?Risha terus berkelahi dengan pikirannya sendiri sambil tetap berjalan, hingga langkahnya terhenti karena dia mulai kelelahan.Risha mengedarkan pandangan, memastikan saat ini sedang berada di mana, tetapi malah kebingungan.“Di mana ini?”Risha merasa asing dengan jalan yang dilaluinya, apalagi saat ini hari mulai gelap. Dia menoleh ke kanan dan kiri. Perasaan was-was mulai merayapi hatinya.Dari jauh lampu mobil menyilaukan pandangannya membuat Risha menyipitkan mata. Sebuah mobil mulai mendekatinya, tetapi Risha tidak beranjak.Risha masih diam di tempat hingga mobil itu berhenti di dekatnya. Setelah dengan jelas melihat si pengemudi mobil, pandangan awas Risha beru
Kepercayaan diri Mahira menghilang dan menguap entah ke mana saat datang ke perusahaan tempatnya ingin melamar pekerjaan yang ternyata milik Risha.Gadis itu membeku bak arca purba saat wanita yang anaknya dia jahili di Jogja tersenyum sambil memegang CV di tangan. Hilang sudah harapan Mahira mendapat pekerjaan sebagai host live di sana."Coba jelaskan mengenai dirimu secara singkat!" pinta Risha. Mahira menelan ludah susah payah. Sepertinya dia baru saja menenggak setengah botol air mineral sebelum masuk ke ruang wawancara, tapi entah kenapa kini tenggorokannya terasa kering."Saya ..., saya mudah belajar, energik dan suka anak kecil," ucap Mahira asal. Dia terlalu grogi sampai tidak yakin dengan jawabannya sendiri.Salah satu staf My Lily yang ikut melakukan wawancara tampak kaget, tapi dia heran mendapati Risha yang duduk di sebelahnya malah tersenyum. "Suka anak kecil? Apa maksudmu menggoda anak kecil?" tanya Risha.Mahira kaget, dia diam tak membalas pertanyaan Risha dan kini
Mahira sejenak ragu, tetapi akhirnya menerima uang pemberian Andre itu. "Terima kasih," ucapnya pelan sebelum pergi meninggalkan gedung Mahesa. Berjalan keluar gedung, hati Mahira mulai was-was dan bingung. Kalau dia pulang, sudah pasti dirinya akan dimarahi oleh ayahnya atau lebih parahnya akan diserahkan kembali pada si tua bangka Dendi. Tetapi, jika dia tidak pulang, ke mana dia harus pergi. Setibanya di rumah, Mahira langsung disambut dengan teriakan keras dari ayahnya. "Kamu ke mana saja, hah? Kenapa kamu nggak pulang-pulang? Kenapa malah kabur? Kamu mau bikin papa celaka?" cecar laki-laki paruh baya itu. Mahira lantas mencoba menjelaskan. "Aku cuma mau cari tempat aman, Pa. Aku nggak mau dipaksa nikah sama Pak Dendi." Namun, Salman - ayah Mahira tidak mau mendengar. "Kamu pikir kamu siapa? Kalau bukan karena aku, kamu nggak akan hidup sampai sekarang!" Emosi Mahira memuncak. "Tapi Pa, aku ini anak papa bukan alat buat bayar hutang. Hutang itu kesalahan Papa sendiri
Sepanjang perjalanan ke kantor Andre dan Mahira sama-sama diam. Sampai di kantor Andre mengantar Mahira ke ruang OB dan berbicara sebentar dengan salah seorang karyawan di sana. Andre meminta Mahira untuk ikut mengerjakan pekerjaan OB, sementara dia pergi menemui Adhitama. "Kenapa baru datang?" tanya Adhitama yang keheranan. Karena tidak biasanya Andre terlambat ke kantor seperti ini. Andre terlihat merasa bersalah. "Maaf, Pak. Ada masalah tadi pagi." Adhitama mengangkat alis. "Masalah apa?" Andre menceritakan semuanya secara singkat. Setelah mendengar penjelasan itu, Adhitama bertanya, "Sekarang gadis itu di mana?" Andre menghela napas. "Saya minta OB kantor untuk kasih dia kerjaan. Setidaknya dia tidak terlunta-lunta menggelandang di jalan dan bermanfaat di sini." Adhitama hanya mengangguk tanpa berkomentar lebih jauh. Sementara itu Mahira sibuk menyapu lantai. Meski pekerjaannya sederhana, dia merasa senang karena setidaknya dia tidak merasa seperti beban. Saat selesa
Setelah bicara berdua, Bu Mira dan Andre kembali ke ruang tengah untuk menemui Mahira. Karena hari sudah malam, Bu Mira meminta Mahira untuk istirahat. "Ini sudah malam, Mahira kamu bisa tidur di kamar Andre malam ini," kata Bu Mira. Andre menghela napas berat. "Terus aku tidur di mana, Ma? Di dapur?" Mendengar itu, Mahira langsung bangkit dari sofa. "Tante, nggak usah repot. Aku tidur di luar saja, di ruang TV. Nggak apa-apa kok." Andre melirik Mahira dengan sinis. "Ya, bagus kalau sadar diri. Sana tidur di luar." Mahira hanya tersenyum kecut. Dia berpamitan pada Bu Mira untuk beristirahat di depan TV. Tanpa sepatah kata lagi, Mahira merebahkan diri di sana, mencoba tidur meski hatinya gelisah. Sementara Bu Mira memelototi Andre yang sudah keterlaluan memperlakukan Mahira dan bersungut masuk ke dalam kamarnya. Andre, meski kesal, merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Namun, ia memilih mengabaikannya dan masuk ke kamar. Malam semakin larut tetapi Andre yang se
Rumah Andre malam itu sebenarnya sudah sunyi, tapi Bu Mira dan Mahira masih ada di ruang tengah untuk menonton televisi. Namun, beberapa saat kemudian kedamaian itu terusik ketika terdengar ketukan keras dari pintu depan. "Apa itu Andre pulang? Kok nggak langsung masuk?" gumam Bu Mira, bangkit dari kursi. Bu Mira berjalan menuju pintu, tetapi sebelum membukanya, Mahira tiba-tiba menyusul dengan wajah bingung. "Bentar, Tante. Aku lihat dulu siapa," ujar Mahira sambil melirik ke jendela kecil di dekat pintu. Ketika Mahira mengintip, dia langsung membeku. "Tante, itu si Pak Dendi!" bisiknya dengan nada panik. "Dendi? Ngapain dia di sini malam-malam begini?" tanya Bu Mira heran. Namun sejurus kemudian dia menyadari kalau kedatangan Dendi tentu saja untuk menjemput Mahira. "Jangan dibuka, Tante! Dia pasti mau maksa aku pergi. Dia juga pasti nggak datang sendirian," jawab Mahira sambil melongok ke luar memastikan Dendi tidak membawa orang lain. Sementara itu, ketukan pintu
Andre menekan rem mobilnya dengan geram ketika mereka sampai di depan rumahnya. Dia menoleh ke Mahira yang duduk dengan tenang di sebelahnya. Perempuan itu tampak tenang, seolah situasi ini biasa saja baginya. Andre menarik napas dalam sebelum keluar dari mobil dan berjalan ke pintu rumah. Saat pintu terbuka, Bu Mira berdiri di sana dengan alis terangkat. "Andre, siapa ini?" tanya ibunya, dengan nada terkejut bercampur curiga. Andre mendesah berat. "Ini Mahira, Ma. Panjang ceritanya." Dia menceritakan secara singkat apa yang terjadi. Mulai dari bagaimana Mahira melarikan diri dari pernikahan dengan Dendi hingga keputusan Andre untuk membawanya ke sini. Ibunya mendengarkan dengan wajah yang semakin tegang, lalu menatap Mahira dengan tajam. "Andre, kembalikan anak ini ke rumahnya sekarang juga," tegas Bu Mira. "Enggak mungkin, Ma. Aku mau bawa dia ke polisi saja," jawab Andre datar. Mahira yang sejak tadi diam, tiba-tiba membuka mulut. "Jangan! Tolong jangan bawa aku ke po
Andre mematung di tempat. Di hadapannya, Mahira tampak panik, dengan air mata berlinang. Tanpa diduga, gadis itu berlari ke arahnya, mencengkeram tangannya erat. "Tolong aku ... selamatkan aku dari sini," suara Mahira bergetar, hampir seperti bisikan, tetapi cukup keras untuk membuat Andre mendengar jelas. Andre menatap gadis itu, lalu mengarahkan pandangannya ke pria yang berdiri di ujung ruangan dengan setelah jas hitam dan rangakaian bunga melati yang menggantung di lehernya. Ya tentu saja pria itu adalah Dendi, ayahnya sendiri. Dunia seakan berhenti berputar untuk sesaat. Andre tahu betul riwayat ayahnya yang sering menikah, meninggalkan ibunya, dan sekarang berencana menikahi gadis yang berdiri gemetar di sebelahnya. Andre begitu muak dengan pria itu. "Mahira," kata Andre pelan, berusaha melepaskan cengkeraman tangan Mahira. Tetapi gadis itu menggenggam tangannya semakin erat. Matanya yang berlinang air mata membuat Andre tak sanggup berkata-kata lebih jauh. Tatapan D
Suasana di ruang makan saat sarapan pagi itu cukup suram. Bu Mira makan dengan kepala tertunduk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Itulah yang dirasakan Andre. Dia yakin ada sesuatu yang mengganggu pikiran ibunya. "Papa kamu mau nikah lagi." Akhirnya keluar juga suara Bu Mira. Ekspresinya datar, mungkin hanya dibuat-buat saja. Andre sudah tahu akan hal itu jadi dia hanya mencebikkan bibir saja. Hanya suara gumaman kecil yang keluar dari mulutnya. "Kamu kok nggak kaget, Ndre?" tanya Bu Mira keheranan. "Sudah tahu, Ma. Kemarin kami ketemu waktu aku pergi menemani Pak Tama di Jogja." Andre menyuapi dirinya dengan sesendok nasi plus sedikit lauk lalu mengunyahnya dengan pelan. "Oh, jadi kamu juga sudah ketemu sama calonnya papa kamu?" Andre mengangguk pelan. Diraihnya gelas berisi air putih lalu menenggaknya hingga habis. "Iya, tapi wanita itu rada sinting." "Rada sinting gimana?" tanya Bu Mira penasaran. "Ya sedikit nggak waras aja, Ma." "Kenapa kamu bisa bilang g
Rico syok tak karuan. Dia melihat Haris masih terus mengetuk kaca jendela mobil tapi dia tidak mau keluar. “Sialan, kenapa dia bisa tahu,” gerutu Rico. Rico panik dan takut. Dia segera menginjak pedal gas untuk kabur, tapi karena terburu-buru, Rico tidak sadar di depan ada Alma sehingga hampir saja menabrak Alma. Alma terkejut ketika melihat mobil itu melaju, beruntung tangannya langsung ditarik Risha sehingga tidak sampai tertabrak. Haris sangat terkejut karena Rico berusaha kabur. Untung saja saat itu ada sopir mobil box My Lily yang melihat lalu segera memundurkan mobilnya sampai membuat mobil Rico menabrak mobil itu. “Sialan!” gerutu Rico. Dia buru-buru keluar untuk kabur, tapi sayangnya ada satpam Risha yang langsung mencegahnya. “Mau ke mana kamu?” Satpam langsung meringkus Rico. “Lepaskan!” Rico hendak memberontak, tapi satpam menahan kedua tangannya di belakang. Haris sangat terkejut Rico hampir menabrak Alma. Dia langsung menghampiri Alma. “Kamu baik-baik saja, kan