Dokter, Adhitama, dan pengacara langsung menuju ke ruang isolasi di mana Sevia berada. Saat sampai di sana, mereka semua terkejut melihat Sevia terus membenturkan keningnya di dinding, padahal sudah ada perawat yang berusaha mencegah. “Tarik dia!” perintah dokter karena kondisi Sevia sudah sangat mengerikan. Adhitama memalingkan muka saat melihat banyak darah di wajah Sevia. Perawat berusaha menjauhkan Sevia dari dinding, hingga tiba-tiba Sevia jatuh pingsan. “Angkat, bawa dia ke rumah sakit segera!” perintah dokter karena di rumah sakit jiwa tidak memiliki alat lengkap untuk pemeriksaan luka secara detail. Adhitama sama sekali tak bersimpati. Dia menatap dingin ketika melihat Sevia digendong keluar dari ruang isolasi. “Ikutlah dengan mereka. Awasi dan pantau bagaimana kondisi Sevia, aku tidak mau kecolongan lagi kali ini!” perintah Adhitama pada pengacaranya. “Baik, Pak.” Pengacara Adhitama segera menyusul perawat dan dokter yang sudah lebih dulu membawa Sevia. Adhitama memi
Pagi itu saat baru saja bangun Adhitama sudah tidak melihat Risha di kamar. Setelah mandi dan memakai baju rapi, Adhitama pergi mencari Risha di ruang makan, ternyata Risha sedang sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Tentu saja hal itu membuat Adhitama sangat terkejut. “Kenapa kamu yang masak? Kamu tidak usah menyiapkan sarapan, lagi pula ada pembantu yang akan membuatnya,” kata Adhitama. “Tidak apa-apa, Mas.” Risha menanggapi dengan senyum. Wajahnya tampak semringah bahkan meski memakai apron penampilan Risha tetap mempesona. “Aku tidak mau kamu kecapekan, Sha.” Adhitama bicara sambil menatap cemas. Risha menoleh pada Adhitama dan membalas, “Tidak capek, kok Mas. Aku malah senang bisa bikin sarapan buat Mas Tama sama Lily." Adhitama diam. Dia lalu mengajak Lily duduk bersamanya di ruang makan. Risha menyajikan sarapan di meja, lalu melayani Adhitama dan Lily bergantian seperti biasa. Adhitama terus menatap Risha, memperhatikan dan merasa meski tampak biasa tapi ada yang
Sevia masih tidak sadarkan diri dan masih ada di rumah sakit. Dokter dan perawat di sana masih terus memantau kondisinya meskipun Dokter merasa sedikit janggal. “Ini aneh, hasil CT-Scan tidak menunjukkan gejala atau masalah yang serius di kepala, semua baik. Kenapa dia belum sadar?” Dokter berbicara ke perawat. “Saya juga bingung, Dok.” Perawat itu juga merasa aneh, apalagi ketika diperiksa semua tanda vital Sevia aman dan baik. “Jangan-jangan dia hanya bersandiwara dan sengaja tidak bangun,” ucap perawat curiga karena sudah mendengar cerita tentang kelakuan Sevia. “Bisa jadi.” Perawat lain ikut membenarkan. Dokter menatap perawat, lalu berkata, “Kalau begitu tetap pantau dia dan jangan sampai lengah.” Setelah mengatakan itu Dokter keluar dari ruangan Sevia. Di luar dia bertemu dengan polisi yang masih berjaga. “Kondisi pasien atas nama Sevia sebenarnya baik-baik saja, tapi entah kenapa dia tidak bangun-bangun juga, saya agak curiga kalau dia sebenarnya hanya bersandiwar
Adhitama menatap Haris yang bingung dengan ucapannya. Dia mencoba membaca apa yang kakak angkat Risha itu pikirkan kemudian berkata," Iya, mereka tidak pacaran." Adhitama menyesap sedikit kopi yang baru saja dia buat lalu berjalan pergi dari pantry. Terang saja sikapnya itu membuat Haris kebingungan. Haris ingin mengejar Adhitama untuk bertanya lebih rinci, tapi dia mengurungkan niat karena masih ada karyawan lain di sana. "Sial! Ada apa denganku? Kenapa ada perasaan senang mendengar Alma tidak berpacaran dengan Andre," gumam Haris. Haris akhirnya kembali ke ruang kerjanya. Namun, setelah mendengar cerita Adhitama tadi dia merasa tidak bisa fokus bekerja. "Apa aku pastikan sendiri ke Alma? Tapi untuk apa?" Haris kembali berperang dengan pikirannya sendiri. Sore harinya sekitar jam tiga, Andre kembali ke kantor. Dia menemui Adhitama untuk meminta tandatangan, tapi terkejut mendapati Adhitama sudah rapi hendak pulang. "Apa Anda sudah mau pulang Pak?" Andre merasa tak enak
Sevia menyembunyikan perawat itu di kamar mandi. Dia bersikap tenang, lalu berjalan keluar kamar mendorong troli. Sevia waspada, untungnya polisi tidak menyadari kalau dia bukanlah perawat. Sevia bisa keluar dari tempat itu dengan tenang, lantas bergegas meninggalkan rumah sakit. “Mas Adhitama pikir bisa menjebloskanku ke penjara begitu saja? Dia tidak akan bisa melakukan itu!” Sevia melepas maskernya, lalu mencari taksi begitu berhasil keluar dari rumah sakit. Sevia sudah berada di taksi. Dia mendapat uang di kantong seragam perawat untuk kabur, Sevia juga membawa gunting di saku pakaian yang dia gunakan. Tak lama kemudian taksi yang dinaiki Sevia sampai di sekolah Lily. Dia mengawasi sekolah itu dan mencari keberadaan Lily. Jika Sevia tidak bisa membalas Risha, maka dia akan menjadikan Lily sasaran. Pikirannya sudah tak waras, hal yang paling Sevia inginkan sekarang hanyalah menyakiti Risha sejauh yang dia bisa. “Lihat saja, apa Risha masih bisa tertawa kalau anaknya m
Risha sangat panik ketika mendapat kabar dari Lily. Dia gemetar hingga membuat Adhitama bingung."Kenapa Sha? Ada apa?"“Mas,ada yang menyerang Lily. Lily bilang Audrey terluka, ayo kita ke rumah sakit sekarang," kata Risha.“Apa?” Adhitama sangat terkejut. “Audrey dibawa ke rumah sakit mana?” tanyanya sambil menyambar kunci mobil.Risha menyebutkan nama rumah sakit itu kemudian bergegas keluar dari rumah bersama Adhitama.Di sisi lain. Lily terus menangis sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Dia berada di mobil yang sama dengan Audrey, Lily terus menatap Audrey yang kesakitan.“Kak Audrey akan baik-baik saja, kan? Maaf ya, Kak Audrey.” Lily bicara sambil terus menangis.Audrey melihat Lily tidak bisa berhenti menangis. Dia mencoba tersenyum sambil mengangguk meski kesakitan. Jika saja tidak memiliki tujuan lain, tentu saja Audrey tidak akan membiarkan dirinya terluka seperti ini.Sesampainya di rumah sakit. Audrey langsung dibawa masuk IGD. Lily mengikuti bersama wanita yang tadi
Setelah Sevia tidak akan pernah lagi menjadi ancaman bagi keluarganya, Adhitama dan Risha terlihat lebih tenang.Hari itu mereka datang menjenguk Audrey yang masih mendapat perawatan di rumah sakit.Adhitama heran, bagaimana bisa pengawal yang dia bayar mahal malah terluka saat menjaga putrinya.Berbeda dari Risha yang terlihat bersimpati, Adhitama memandang heran dan curiga ke Audrey.“Terima kasih,” ucap Audrey saat Risha menyodorkan jeruk yang sudah dia kupas.“Apa keluargamu tidak tinggal di kota ini? Kenapa tidak ada seorang pun yang menjengukmu.” Adhitama bertanya dengan nada dingin.“Saya sudah tidak punya orangtua, dan tidak ada saudara,” balas Audrey.Risha hanya diam mendengarkan sambil menawari Lily jeruk seperti yang dia berikan ke Audrey.“Kamu tahu ‘kan sebagai pengawal Lily kamu sudah membuat kesalahan, bisa saja putriku terluka kemarin.” Adhitama menatap tajam Audrey. “Jika sampai itu terjadi apa kamu bisa bertanggungjawab?” tanyanya.Audrey meletakkan jeruk yang ada d
Suasana di dalam mobil yang dikendarai Adhitama pulang bersama Risha dan Lily hening. Meskipun berita duka yang mereka dengar bukan dari orang terdekat mereka, tapi tetap saja ada rasa sedih sebagai manusia. Adhitama menoleh Risha yang memandang keluar jendela, meraih tangan wanita itu lalu membawanya ke depan bibir dan menciumnya penuh cinta."Apa yang kamu pikirkan?" tanya Adhitama penuh kelembutan. “Kenapa sejak tadi diam? Mana Rishaku yang cerewet.”"Tidak ada," balas Risha lalu tertawa. Dia menoleh bangku belakang di mana Lily duduk di sana. Anak itu ternyata tertidur."Lily pasti lelah, sejak pagi kita ajak dia ke rumah sakit menjenguk Audrey lalu ke rumah Alma," kata Risha."Kamu sendiri, apa kamu tidak lelah? Seharusnya kamu tidak perlu pergi ke pemakaman adik Alma," balas Adhitama. “Aku tidak mau kalau kamu sampai masuk rumah sakit lagi.”"Mana mungkin aku tidak ikut? Mas tahu Alma beberapa kali membantuku menjaga Lily. Dia juga butuh dukungan, aku malah seperti melihat diri
Risha dan Adhitama berjalan beriringan masuk ke sekolah Lily pagi itu. Mereka terlihat beberapa kali berhenti untuk berbicara dengan orangtua teman Lily yang juga datang ke sekolah.Hari itu acara kelulusan murid digelar, Risha sudah tidak sabar melihat bagaimana penampilan putri kecilnya di atas pentas.Risha duduk sambil harap-harap cemas menunggu acara dimulai.“Dia tidak akan membuat kesalahan ‘kan?” tanya Risha sambil meremas tangan. Padahal Lily yang akan tampil, tapi dia yang grogi.Adhitama yang melihat Risha beberapa kali menggigit bibir bawah hanya tersenyum, dia meraih tangan sang istri yang ada di atas paha lalu menggenggamnya erat.“Dingin sekali, kenapa kamu yang gugup begini?” tanya Adhitama.“Aku hanya khawatir. Lihat saja banyak orang begini, bagaimana kalau dia takut hingga membuat kesalahan. Dia pasti sedih dan bisa kehilangan rasa percaya diri, ini penampilan pertamanya di depan banyak orang,” jawab Risha.“Kamu harus yakin ke Lily, dia pasti bisa. Calon penerus Ma
Sore itu, Andre duduk di meja kerjanya sambil menatap layar laptop. Pekerjaan hari itu hampir selesai, tetapi ada satu hal lagi yang harus dia urus sebelum meminta izin pulang ke Adhitama.Andre melihat jam di tangannya, sudah hampir pukul lima sore. Andre menarik napas dalam-dalam sebelum berdiri dan melangkah ke ruangan Adhitama.“Pak, apa saya bisa bicara sebentar?” kata Andre, mencoba terdengar tenang meskipun ada sedikit kegugupan di suaranya.Adhitama yang masih berkutat dengan layar laptop menjawab, “Tentu. Ada apa?”“Saya mau minta izin, Pak. Lusa rencananya saya ingin mengambil cuti untuk jalan-jalan sebentar. Sudah lama saya tidak liburan."Adhitama sedikit terkejut mendengar permintaan Andre. Dia menghentikan pekerjaannya sejenak lalu memandang sekretarisnya itu. “Jalan-jalan? Ke mana? Memang kamu sudah punya pacar?” goda Adhitama.Andre tertawa kecil mendengar pertanyaan sang atasan. Pemuda itu sedikit berkilah dengan menjawab, “Memang pergi jalan-jalan harus bersama pacar
Seminggu kemudian Alma dan Haris mengadakan syukuran atas kelahiran anak mereka.Syukuran di rumah mereka berjalan meriah. Tamu-tamu yang datang silih berganti, membawa suasana hangat penuh canda tawa.Alma, yang baru saja melahirkan putra pertamanya, tampak bahagia menyambut satu per satu tamu yang hadir.Andre melangkah masuk dengan senyum kecil di wajah. Berbaur dengan tamu-tamu lain yang sebagian besar dia kenal. Namun, saat melihat sosok gadis yang tengah mengobrol di sudut lain ruangan, Andre segera berjalan mendekatinya. Ia sudan lama tak bertemu dengan Mahira, tapi dia sebenarnya sudah menduga pasti akan bertemu dengan Mahira di rumah Alma."Andre! Lama nggak ketemu. Apa kabar?" tanya Mahira sambil tersenyum lebar.Andre mengangguk kecil. "Baik. Kamu gimana?""Aku? Baik juga. Ngomong-ngomong, kabar mamamu gimana? Sehat kan?""Sehat kok," jawab Andre.Mereka terlihat canggung, Mahira bahkan ingin menjauh tapi entah kenapa ada perasaan yang membuatnya ingin terus mengobrol denga
Risha baru saja keluar dari kamar Lily malam itu. Dia berjalan pelan sambil memandang pintu ruang kerja Adhitama. Risha ragu mungkinkah Adhitama masih berada di sana atau sudah kembali ke kamar mereka. Risha mengedikkan bahu, memilih mempercepat langkah menuju kamar tidur. Baru saja menutup pintu, Adhitama membuat Risha terkejut karena sudah berada di dalam. “Astaga Mas Tama!” pekik Risha setelah sebelumnya berjengket karena kaget. “Kamu itu kenapa?” Adhitama terkekeh kecil lalu menekuk tangan di depan dada. “Aku pikir Mas masih di ruang kerja,” balas Risha sambil naik ke atas ranjang lalu duduk di samping Adhitama. “Apa ada masalah lagi di Mahesa?” tanyanya penuh perhatian. “Tidak ada, hanya mengecek dan memastikan sesuatu.” Adhitama membalas sambil melingkarkan tangan melewati punggung Risha, memberi isyarat kalau dia ingin memeluk istrinya itu. “Bagaimana Pembangunan kantor dan pabrik barumu? Bukankah seharusnya bulan depan pabrik sudah bisa mulai beroperasi?” tanya Adhitama
“Sudah sayang, kamu sudah cantik!”Ucapan Adhitama membuat Risha menoleh dan tersenyum. Adhitama berjalan mendekat pada Risha yang masih mematut diri di depan cermin, memeluk pinggang lalu mencium pundak istrinya itu.“Lily sudah siap?” tanya Risha sambil memandang Adhitama dari pantulan kaca di hadapannya.“Sudah, dia senang sekali mendengar kita mau mengajaknya pergi belanja,” balas Adhitama. “Ternyata semua wanita sama, suka sekali dengan hal berbau materi,” imbuhnya.Risha tertawa lebar, dia memutar tubuh lalu memandang Adhitama yang semakin hari semakin terlihat menawan di matanya.“Jadi selama ini Mas Tama pikir aku ini matre? Begitu?” goda Risha.“Hm .. bagaimana aku menjawab? Yang pasti aku bahagia bisa memberimu segalanya.” Adhitama meraih pinggang Risha. Menarik tubuh wanita itu hingga menempel padanya.“Aku hanya butuh Mas cintai dan jadikan satu-satunya wanita di dalam hidup Mas Tama,” ujar Risha. Senyum tipis dan tatapan matanya yang penuh cinta melenakan Adhitama hingga
Andre sedang duduk di meja kerjanya, memeriksa laporan yang harus diserahkan ke Adhitama saat atasannya itu baru saja datang.Andre langsung berdiri dan menyapa dengan sopan. “Selamat pagi, Pak.”"Pagi, ikut ke ruanganku, ada yang mau aku bicarakan," ucap Adhitama seraya melangkah masuk.Andre mengangguk, dia berdiri dari kursinya kemudian menyusul Adhitama. Meskipun terdengar serius, tapi raut Adhitama tidak tampak mengintimidasi."Aku mendengar dari pengacara kalau masalah dengan ayahmu itu belum ada titik temu, bagaimana perkembangannya?” tanya Adhitama.Andre menarik napas dalam sebelum menjawab. “Sebenarnya semalam saya bertemu dengannya, yang bisa saya baca dia mulai terlihat khawatir. Mungkin karena saya bilang bekerja di Mahesa dan memiliki dukungan penuh dari perusahaan.”Adhitama tersenyum tipis. “Baguslah kalau begitu. Orang seperti Papamu itu biasanya hanya menggertak. Kalau ada yang kamu butuhkan, jangan ragu untuk bicara, aku pasti akan membantu,” ucapnya.“Terima kasih,
Di tengah hujan gerimis yang mengguyur kota, Mahira duduk di kursi penumpang mobil Andre sambil membuka jendela, membiarkan angin segar bercampur bau aspal basah masuk ke dalam mobil.Di tengah perjalanan menuju kos, tiba-tiba Mahira berkata, “Apa bisa berhenti sebentar di minimarket depan? Aku mau beli beberapa makanan buat stok di kos.”Andre mengangguk tanpa banyak bicara, lalu memutar setir ke arah minimarket yang Mahira maksud. Mobil itu melambat dan berhenti di depan minimarket yang terlihat ramai. Mahira keluar lebih dulu, lalu menoleh ke Andre yang masih duduk di kursi kemudi.“Yuk, ikut," ajaknya. Andre sebenarnya malas keluar mobil, tapi entah kenapa dia mengiyakan saja ajakan Mahira."Kamu kalau mau beli sesuatu boleh. Aku traktir, kamu pilih apa aja yang kamu mau.” Senyum Mahira mengembang. Pikirnya, Andre sudah banyak membantu jadi tidak ada salahnya mengeluarkan beberapa puluh ribu untuk membelikan pemuda itu sesuatu.Andre menghela napas sambil menggeleng. "Nggak usah.
Mahira duduk di ruang kecil kantor My Lily, matanya terus melirik jam dinding. Risha belum juga datang, dan dia sudah tidak sabar untuk meminta izin pada ibunda Lily itu.Meski terdengar keterlaluan, tapi Mahira berniat mengajukan diri agar diizinkan melakukan live penjualan sepanjang hari.Mahira masih menunggu dengan cemas, hingga Risha muncul dengan senyum maanis.“Pagi,” sapa Risha ke semua stafnya. Wanita itu berjalan ke ruang kerjanya dan disusul oleh Mahira.“Bu Risha, permisi. Apa saya boleh bicara?”Ucapan Mahira membuat Risha menghentikan langkah lalu menoleh.“Bicara apa?” tanya Risha dengan kening berkerut halus.“Begini Bu Risha. Saya mau meminta izin, boleh tidak hari ini saya mengambil alih live dari pagi sampai petang? Maksimal delapan jam.”Risha mengangkat alis, kaget dengan permintaan itu. “Kenapa tiba-tiba kamu ingin live selama itu?”Mahira menarik napas panjang, matanya sedikit berkaca-kaca. “Saya butuh uang, Bu. Papa saya … papa saya ditangkap polisi.”Risha ter
Lain di mulut lain di hati. Meski terlihat tak peduli, nyatanya Andre tidak benar-benar bisa mengabaikan Mahira. Malam itu, meskipun memaksakan diri untuk tidur, pikiran Andre tetap berkelana, memikirkan Mahira dan apa yang mungkin sedang terjadi.Pagi harinya, Andre bangun dengan perasaan yang masih sama. Namun, dia tetap berusaha untuk tidak memperlihatkan perasaannya kepada siapapun, termasuk ibunya.Andre bangkit dari tempat tidur dengan mata berat. Ponselnya tergeletak di meja dengan layar hitam tanpa notifikasi baru. Dia memegangnya lagi, ragu sejenak sebelum mengetik pesan lain untuk Mahira.[Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja.]Setelah mengirim pesan itu, Andre termenung, berharap balasannya kali ini datang.Namun, keheningan tetap mengisi ruang kamarnya. Andre mendesah berat, merasa bersalah tapi masih enggan mengakui."Apa aku harus ke sana langsung?" gumamnya. Pikiran tentang Mahira di kos seorang diri terus menghantui Andre.***Matahari baru saja muncul, memancarkan sin