Risha tiba-tiba memikirkan apa yang dikatakan oleh Haris. Semua itu benar dan Risha tidak bisa mengelak dari hal itu. “Aku harus bagaimana?” Risha tiba-tiba saja merasa bingung. Risha diam sesaat, lalu memutuskan untuk berkonsultasi dengan dokter kandungan yang sekarang bertanggung jawab dengan kehamilannya. Risha pergi ke rumah sakit esok harinya. Dia bertemu dokter lalu mencoba berkonsultasi. “Jadi, bagaimana baiknya, Dok? Begitulah riwayat kehamilan saya saat hamil anak pertama,” ucap Risha dengan raut wajah sedih dan bingung. Dokter itu bukanlah dokter yang dulu menangani kondisi kehamilan pertama Risha. Dokter itu mendengarkan dengan seksama, lalu menghela napas kasar. “Kasus ini memang sulit, kemungkinan terulang lagi pasti lebih besar. Sebenarnya ini memang berbahaya juga untuk kehamilan yang sekarang, meski kondisi Anda sendiri baik,” ucap dokter menjelaskan panjang lebar. Risha merasa lemas dan tak bertenaga. Jika kehamilannya sekarang mengalami kasus seperti du
Risha mengurai pelukan Adhitama, dia mengusap pipi dan membiarkan Adhitama membelai pipinya penuh kasih sayang.“Ada apa, hm?” Adhitama bertanya lagi karena Risha tidak mau bicara.Adhitama kembali memeluk Risha yang menangis. Dia berusaha menenangkan wanita itu dengan mengusap lembut punggung Risha.“Kamu bisa menceritakan semuanya ke aku kalau memang ada masalah, jangan dipendam sendiri,” ucap Adhitama lagi.Risha menggeleng pelan. Dia juga memeluk Adhitama lalu berusaha untuk agar lebih tenang.Setelah beberapa menit berada dalam dekap hangat Adhitama, Risha akhirnya melepas pelukan, dia mencoba tersenyum memandang pada pria itu.“Sepertinya aku hanya sedang sensitif aja karena hamil. Jadi rasanya apa-apa pengennya nangis,” ucap Risha, berusaha meyakinkan Adhitama.“Kamu yakin?” tanya Adhitama yang tak percaya mendengar ucapan Risha.Risha mengangguk-angguk masih sambil mempertahankan senyumnya.“Ya sudah, aku mandi dulu,” kata Adhitama.Risha mengangguk lagi. Dia lega karena Adhit
Hari itu Risha akhirnya bertemu dengan Rama. Dia sudah siap ingin mengamuk manager tempatnya mempercayakan produk My Lily, karena sudah berbohong soal kandungan skincare yang diproduksi. Risha menunggu di sebuah kafe, sampai beberapa saat kemudian Rama datang dan langsung duduk di depan Risha. “Apa yang ingin Anda bicarakan sampai mendesak untuk bertemu?” tanya Rama berpura-pura tak tahu tentang huru-hara yang terjadi. Risha menatap datar. Dia mengeluarkan kertas hasil laboratorium salah satu produk skincare My Lily yang dibuat di pabrik tempat Rama bekerja. “Lihat saja sendiri. Bagaimana bisa Pak Rama diam dan malah membiarkan saya tertipu seperti ini?” Risha memperlihatkan kekecewaannya pada Rama. Rama mengambil hasil laboratorium itu. Dia tak terkejut sama sekali karena sudah tahu. “Bagaimana bisa pabrik melakukan ini? Kita sudah bekerjasama sangat lama, tapi kenapa Pak Rama tidak jujur saja?” Risha benar-benar meluapkan kekecewaannya. Meski suaranya tak terlalu lanta
Di tempat lain, pagi itu Polisi baru saja menerima hasil tes kejiwaan Sevia yang menyatakan jika tahanan mereka itu memang memiliki gangguan kejiwaan dan tidak bisa dipidana sesuai dengan prosedur yang ada. Dengan keluarnya hasil tes itu akhirnya pihak kepolisian memutuskan untuk melakukan rehabilitasi pada Sevia di rumah sakit jiwa. Sevia tersenyum-senyum sendiri, bahkan tertawa hingga membuat penghuni satu selnya merasa miris dan takut kalau tiba-tiba wanita itu hilang kendali dan menyerang. Dua petugas polisi datang untuk membuka sel, mereka langsung membawa Sevia keluar dari sana karena akan dipindah ke rumah sakit jiwa. Di waktu yang bersamaan Arin melihat Sevia yang keluar dari sel. Dia dan Sevia memang berada di sel yang berbeda. Arin langsung berdiri karena penasaran Sevia mau dibawa ke mana. Saat Sevia melewati sel Arin, dia melirik ke Arin sambil tersenyum licik. Arin sangat terkejut, hingga sejenak otaknya terasa tak bisa lagi berpikir. “Mau dibawa ke mana dia?”
Baru kali ini Haris merasa kuwalahan menjaga Lily. Sejak Risha masuk rumah sakit anak itu terus saja rewel dan hampir membuatnya kehilangan kesabaran. “Lily mau ketemu Bunda.” Lily menangis dan merengek ingin melihat Risha karena sejak kemarin tidak boleh menjenguk. Haris melihat Lily yang menangis sampai mau berguling di lantai, akhirnya dia mencegah dan mengangkat Lily. “Baiklah, tapi janji Lily harus patuh pada paman,” ucap Haris akhirnya menuruti keinginan Lily. Lily mengangguk-angguk membalas ucapan Haris. Haris mengusap kepala Lily, dia tak punya pilihan lain selain mengajak Lily pergi ke rumah sakit. Haris harus berjuang melewati satpam bahkan dokter di pintu masuk agar Lily diperbolehkan pergi ke kamar Risha, ini karena aturan Rumah sakit tidak memperbolehkan anak kecil berada di sana.Seolah paham, Lily benar-benar menuruti permintaan Haris setelah melihat Pamannya itu berdebat dan berjuang agar dirinya bisa ke dalam.Lily meminta turun dari gendongan haris dan ber
Di rumah sakit jiwa. Sevia memperhatikan orang-orang yang dirawat di sana, semua pasien di sana ternyata tidak sepenuhnya gila total, ada beberapa yang memang terganggu saja mentalnya. Sevia melihat makanan yang disediakan rumah sakit, dia merasa makanan itu sangat tidak layak dan menjijikkan. Dia tidak mau makan, lalu meletakkan piring dengan kasar. Sevia keluar dari kamar begitu juga dengan pasien lain untuk menghirup udara segar. Sevia melihat ada pasien sedang makan makanan yang ternyata kiriman dari keluarga, membuat Sevia berpikir untuk mengambilnya. Lagi pula mereka gila, kan? Pasti tidak bisa melawan. Sevia mendekat ke pasien lain yang tidak dijaga perawat. Dia melihat ada makanan enak di rantang pasien itu, membuatnya langsung mengambil dan memakannya dengan cepat. “Jangan!” teriak pasien itu karena Sevia mengambil makanannya. Sevia tidak menggubris dan tetap makan. “Itu makananku, dasar pencuri!” teriak pasien itu histeris. Perawat yang mendengar langsung mendekat, d
Kondisi Risha yang memang butuh perhatian ekstra, membuat Risha diminta bedrest dan tidak boleh banyak kegiatan apalagi terlalu banyak jalan sampai kondisi janinnya benar-benar kuat. Risha kerja di atas kasur. Dia melakukan semuanya dari sana. Risha juga sudah berpesan agar Adhitama menjemput Lily sepulang sekolah nanti karena dia tidak diperbolehkan pergi-pergi. Sore harinya saat Risha masih sibuk dengan pekerjaannya. Ponsel yang ada di atas kasur wanita itu berdering. Risha melihat nama guru Lily terpampang di layar, membuatnya buru-buru menjawab panggilan itu. “Halo, Miss.” “Halo Bu Risha. Maaf sebelumnya, tapi kenapa ini belum ada yang menjemput Lily , ya?” tanya guru Lily dari seberang panggilan. Risha sangat terkejut sampai melihat ke jam dan ternyata memang sudah terlewat setengah jam dari jadwal Lily pulang. “Maaf, Miss. Saya akan menghubungi papanya, minta tolong jaga Lily sampai Papanya datang ya. Saya minta maaf sekali,” ucap Risha. Setelah mendapat jawaban
Sore itu di ruangannya Haris tampak memikirkan sesuatu. Dia beberapa kali hendak melakukan panggilan tapi urung. Hingga tak lama Haris berdiri dari kursi empuknya lantas keluar. Dia berdiri di depan meja kerja Alma dan membuat sekretarisnya itu kaget. “Aku mau meminta tolong padamu," kata Haris tanpa basa-basi. "Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda, Pak?" tanya Alma. "Bantu aku memilih hadiah untuk Risha,” ucap Haris. “Bu Risha sudah keluar dari rumah sakit?” Alma kembali bertanya dan dijawab Haris dengan anggukkan kepala. Melihat Haris seperti tergesa-gesa, Alma langsung mengambil tasnya. Mereka akhirnya pergi ke mall, tapi di sana Haris masih saja bingung harus membeli apa. “Apa ada bayangan hadiah yang ingin Pak Haris berikan ke Bu Risha?” tanya Alma karena Haris belum menentukan mau masuk toko mana. “Sebenarnya aku juga bingung karena itu mengajakmu,” jawab Haris. Alma mengangguk-angguk lalu ikut berpikir. “Bagaimana kalau tas saja, Pak?” tanya Alma memberi sara
Risha dan Adhitama berjalan beriringan masuk ke sekolah Lily pagi itu. Mereka terlihat beberapa kali berhenti untuk berbicara dengan orangtua teman Lily yang juga datang ke sekolah.Hari itu acara kelulusan murid digelar, Risha sudah tidak sabar melihat bagaimana penampilan putri kecilnya di atas pentas.Risha duduk sambil harap-harap cemas menunggu acara dimulai.“Dia tidak akan membuat kesalahan ‘kan?” tanya Risha sambil meremas tangan. Padahal Lily yang akan tampil, tapi dia yang grogi.Adhitama yang melihat Risha beberapa kali menggigit bibir bawah hanya tersenyum, dia meraih tangan sang istri yang ada di atas paha lalu menggenggamnya erat.“Dingin sekali, kenapa kamu yang gugup begini?” tanya Adhitama.“Aku hanya khawatir. Lihat saja banyak orang begini, bagaimana kalau dia takut hingga membuat kesalahan. Dia pasti sedih dan bisa kehilangan rasa percaya diri, ini penampilan pertamanya di depan banyak orang,” jawab Risha.“Kamu harus yakin ke Lily, dia pasti bisa. Calon penerus Ma
Sore itu, Andre duduk di meja kerjanya sambil menatap layar laptop. Pekerjaan hari itu hampir selesai, tetapi ada satu hal lagi yang harus dia urus sebelum meminta izin pulang ke Adhitama.Andre melihat jam di tangannya, sudah hampir pukul lima sore. Andre menarik napas dalam-dalam sebelum berdiri dan melangkah ke ruangan Adhitama.“Pak, apa saya bisa bicara sebentar?” kata Andre, mencoba terdengar tenang meskipun ada sedikit kegugupan di suaranya.Adhitama yang masih berkutat dengan layar laptop menjawab, “Tentu. Ada apa?”“Saya mau minta izin, Pak. Lusa rencananya saya ingin mengambil cuti untuk jalan-jalan sebentar. Sudah lama saya tidak liburan."Adhitama sedikit terkejut mendengar permintaan Andre. Dia menghentikan pekerjaannya sejenak lalu memandang sekretarisnya itu. “Jalan-jalan? Ke mana? Memang kamu sudah punya pacar?” goda Adhitama.Andre tertawa kecil mendengar pertanyaan sang atasan. Pemuda itu sedikit berkilah dengan menjawab, “Memang pergi jalan-jalan harus bersama pacar
Seminggu kemudian Alma dan Haris mengadakan syukuran atas kelahiran anak mereka.Syukuran di rumah mereka berjalan meriah. Tamu-tamu yang datang silih berganti, membawa suasana hangat penuh canda tawa.Alma, yang baru saja melahirkan putra pertamanya, tampak bahagia menyambut satu per satu tamu yang hadir.Andre melangkah masuk dengan senyum kecil di wajah. Berbaur dengan tamu-tamu lain yang sebagian besar dia kenal. Namun, saat melihat sosok gadis yang tengah mengobrol di sudut lain ruangan, Andre segera berjalan mendekatinya. Ia sudan lama tak bertemu dengan Mahira, tapi dia sebenarnya sudah menduga pasti akan bertemu dengan Mahira di rumah Alma."Andre! Lama nggak ketemu. Apa kabar?" tanya Mahira sambil tersenyum lebar.Andre mengangguk kecil. "Baik. Kamu gimana?""Aku? Baik juga. Ngomong-ngomong, kabar mamamu gimana? Sehat kan?""Sehat kok," jawab Andre.Mereka terlihat canggung, Mahira bahkan ingin menjauh tapi entah kenapa ada perasaan yang membuatnya ingin terus mengobrol denga
Risha baru saja keluar dari kamar Lily malam itu. Dia berjalan pelan sambil memandang pintu ruang kerja Adhitama. Risha ragu mungkinkah Adhitama masih berada di sana atau sudah kembali ke kamar mereka. Risha mengedikkan bahu, memilih mempercepat langkah menuju kamar tidur. Baru saja menutup pintu, Adhitama membuat Risha terkejut karena sudah berada di dalam. “Astaga Mas Tama!” pekik Risha setelah sebelumnya berjengket karena kaget. “Kamu itu kenapa?” Adhitama terkekeh kecil lalu menekuk tangan di depan dada. “Aku pikir Mas masih di ruang kerja,” balas Risha sambil naik ke atas ranjang lalu duduk di samping Adhitama. “Apa ada masalah lagi di Mahesa?” tanyanya penuh perhatian. “Tidak ada, hanya mengecek dan memastikan sesuatu.” Adhitama membalas sambil melingkarkan tangan melewati punggung Risha, memberi isyarat kalau dia ingin memeluk istrinya itu. “Bagaimana Pembangunan kantor dan pabrik barumu? Bukankah seharusnya bulan depan pabrik sudah bisa mulai beroperasi?” tanya Adhitama
“Sudah sayang, kamu sudah cantik!”Ucapan Adhitama membuat Risha menoleh dan tersenyum. Adhitama berjalan mendekat pada Risha yang masih mematut diri di depan cermin, memeluk pinggang lalu mencium pundak istrinya itu.“Lily sudah siap?” tanya Risha sambil memandang Adhitama dari pantulan kaca di hadapannya.“Sudah, dia senang sekali mendengar kita mau mengajaknya pergi belanja,” balas Adhitama. “Ternyata semua wanita sama, suka sekali dengan hal berbau materi,” imbuhnya.Risha tertawa lebar, dia memutar tubuh lalu memandang Adhitama yang semakin hari semakin terlihat menawan di matanya.“Jadi selama ini Mas Tama pikir aku ini matre? Begitu?” goda Risha.“Hm .. bagaimana aku menjawab? Yang pasti aku bahagia bisa memberimu segalanya.” Adhitama meraih pinggang Risha. Menarik tubuh wanita itu hingga menempel padanya.“Aku hanya butuh Mas cintai dan jadikan satu-satunya wanita di dalam hidup Mas Tama,” ujar Risha. Senyum tipis dan tatapan matanya yang penuh cinta melenakan Adhitama hingga
Andre sedang duduk di meja kerjanya, memeriksa laporan yang harus diserahkan ke Adhitama saat atasannya itu baru saja datang.Andre langsung berdiri dan menyapa dengan sopan. “Selamat pagi, Pak.”"Pagi, ikut ke ruanganku, ada yang mau aku bicarakan," ucap Adhitama seraya melangkah masuk.Andre mengangguk, dia berdiri dari kursinya kemudian menyusul Adhitama. Meskipun terdengar serius, tapi raut Adhitama tidak tampak mengintimidasi."Aku mendengar dari pengacara kalau masalah dengan ayahmu itu belum ada titik temu, bagaimana perkembangannya?” tanya Adhitama.Andre menarik napas dalam sebelum menjawab. “Sebenarnya semalam saya bertemu dengannya, yang bisa saya baca dia mulai terlihat khawatir. Mungkin karena saya bilang bekerja di Mahesa dan memiliki dukungan penuh dari perusahaan.”Adhitama tersenyum tipis. “Baguslah kalau begitu. Orang seperti Papamu itu biasanya hanya menggertak. Kalau ada yang kamu butuhkan, jangan ragu untuk bicara, aku pasti akan membantu,” ucapnya.“Terima kasih,
Di tengah hujan gerimis yang mengguyur kota, Mahira duduk di kursi penumpang mobil Andre sambil membuka jendela, membiarkan angin segar bercampur bau aspal basah masuk ke dalam mobil.Di tengah perjalanan menuju kos, tiba-tiba Mahira berkata, “Apa bisa berhenti sebentar di minimarket depan? Aku mau beli beberapa makanan buat stok di kos.”Andre mengangguk tanpa banyak bicara, lalu memutar setir ke arah minimarket yang Mahira maksud. Mobil itu melambat dan berhenti di depan minimarket yang terlihat ramai. Mahira keluar lebih dulu, lalu menoleh ke Andre yang masih duduk di kursi kemudi.“Yuk, ikut," ajaknya. Andre sebenarnya malas keluar mobil, tapi entah kenapa dia mengiyakan saja ajakan Mahira."Kamu kalau mau beli sesuatu boleh. Aku traktir, kamu pilih apa aja yang kamu mau.” Senyum Mahira mengembang. Pikirnya, Andre sudah banyak membantu jadi tidak ada salahnya mengeluarkan beberapa puluh ribu untuk membelikan pemuda itu sesuatu.Andre menghela napas sambil menggeleng. "Nggak usah.
Mahira duduk di ruang kecil kantor My Lily, matanya terus melirik jam dinding. Risha belum juga datang, dan dia sudah tidak sabar untuk meminta izin pada ibunda Lily itu.Meski terdengar keterlaluan, tapi Mahira berniat mengajukan diri agar diizinkan melakukan live penjualan sepanjang hari.Mahira masih menunggu dengan cemas, hingga Risha muncul dengan senyum maanis.“Pagi,” sapa Risha ke semua stafnya. Wanita itu berjalan ke ruang kerjanya dan disusul oleh Mahira.“Bu Risha, permisi. Apa saya boleh bicara?”Ucapan Mahira membuat Risha menghentikan langkah lalu menoleh.“Bicara apa?” tanya Risha dengan kening berkerut halus.“Begini Bu Risha. Saya mau meminta izin, boleh tidak hari ini saya mengambil alih live dari pagi sampai petang? Maksimal delapan jam.”Risha mengangkat alis, kaget dengan permintaan itu. “Kenapa tiba-tiba kamu ingin live selama itu?”Mahira menarik napas panjang, matanya sedikit berkaca-kaca. “Saya butuh uang, Bu. Papa saya … papa saya ditangkap polisi.”Risha ter
Lain di mulut lain di hati. Meski terlihat tak peduli, nyatanya Andre tidak benar-benar bisa mengabaikan Mahira. Malam itu, meskipun memaksakan diri untuk tidur, pikiran Andre tetap berkelana, memikirkan Mahira dan apa yang mungkin sedang terjadi.Pagi harinya, Andre bangun dengan perasaan yang masih sama. Namun, dia tetap berusaha untuk tidak memperlihatkan perasaannya kepada siapapun, termasuk ibunya.Andre bangkit dari tempat tidur dengan mata berat. Ponselnya tergeletak di meja dengan layar hitam tanpa notifikasi baru. Dia memegangnya lagi, ragu sejenak sebelum mengetik pesan lain untuk Mahira.[Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja.]Setelah mengirim pesan itu, Andre termenung, berharap balasannya kali ini datang.Namun, keheningan tetap mengisi ruang kamarnya. Andre mendesah berat, merasa bersalah tapi masih enggan mengakui."Apa aku harus ke sana langsung?" gumamnya. Pikiran tentang Mahira di kos seorang diri terus menghantui Andre.***Matahari baru saja muncul, memancarkan sin