Haris hanya tertawa mendengar dugaan Risha. Dia memilih buru-buru pergi dari pada terjebak dengan situasi yang tidak dia sukai. Haris dan Alma kembali ke kantor, meskipun harus ada sedikit drama karena Lily tak mengizinkam Alma pulang. Beruntung Risha bisa membujuk Lily. Sepanjang perjalanan Haris dan Alma tak saling bicara, Alma memilih membuang muka keluar jendela sambil menahan kantuk.Setengah jam kemudian mereka tiba di gedung Mahesa. Saat baru saja sampai di depan lobi, Haris dan Alma bertemu dengan Rara yang berjalan keluar. Tak ayal mereka berpapasan. “Kenapa kamu ada di sini?” tanya Haris karena terkejut melihat Rara. “Aku ke sini karena baru saja melamar kerja,” jawab Rara. Tatapannya lalu berpindah pada Alma yang berdiri di samping Haris. 'Dari mana mereka berdua? Kenapa tidak terlihat membawa berkas jika baru saja bertemu klien? Atau jangan-jangan mereka ….' Alma menyadari ke mana arah tatapan Rara, membuatnya sampai berdeham karena aneh ditatap seperti itu. “Apa k
Risha masih pusing memikirkan nasib perusahaan yang dia bangun. Risha bahkan sejak beberapa saat yang lalu tampak melamun. Hingga sebuah pesan masuk dari staffnya. Risha memandang pesan yang tertera. Dia bingung dan sedih kenapa harus sampai mengalami ini. [Bu, penjualan beberapa minggu ini menurun drastis. Kita harus segera mengatasi ini agar tidak terjadi dampak berkelanjutan.] Risha membuang napas kasar. Jemarinya lincah menulis jawaban. [Aku akan melakukan live siang ini untuk klarifikasi, memang sudah seharusnya aku minta maaf ke customer loyal My Lily] Risha memijat pelipis dan lagi-lagi menghela napas. Tak berapa lama Risha mendapat balasan kalau stafnya yang ada di Jogja akan membuat pengumuman lebih dulu setelah Risha menentukan jamnya. Risha menyiapkan diri untuk klarifikasi, meski dirinya panik dan takut, tapi dia menyadari jika apa yang terjadi dengan usahanya, dialah yang bertanggung jawab. Risha pergi ke kantor cabangnya yang ada di Jakarta untuk melak
Risha tersenyum membelai lembut kepala Adhitama. Suaminya itu bersikap begitu manja.Risha terus memandangi wajah Adhitama yang sengaja memejamkan mata. Pria itu bahkan mengambil tangan Risha lantas meletakkannya di dada.Risha tetap membelai kepala Adhitama dengan lembut, merasa nyaman dengan keheningan yang menyelimuti mereka. Ia menarik napas panjang, karena Adhitama membahas masa kecil mereka, mau tak mau Risha mengingat momen-momen kebersamaannya dan Adhitama."Mas Tama ingat tidak waktu kecil kita pernah main di sungai dan aku hampir terbawa arus karena tidak mendengarkan ucapan Mas agar tidak pergi jauh-jauh.” Ucapan Risha memecah keheningan.Adhitama membuka sedikit matanya, menatap Risha dengan senyum tipis. "Ingat, karena itu aku yang kena marah kakek."Risha tertawa kecil. "Iya, padahal Mas sudah mengingatkan, memang dasarnya aku agak bandel,” ucapnya.Adhitama terkekeh kecil, dia menyentuh pipi Risha lantas memiringkan badan, Adhitama tampak memandang perut Risha kemudian
Di rumah Kakek Roi. Pria itu duduk merenung karena merasa bersalah. Jika dia tidak membohongi Risha dan Adhitama, mungkin Risha tidak akan hamil secepat ini yang membuat kesehatan Risha terganggu. Namun, dia melakukan semua itu semata-mata hanya untuk menyatukan Adhitama dan Risha, jika tahu sejak awal kalau Risha memiliki riwayat buruk selama masa kehamilan, Kakek Roi pasti mengambil cara lain. “Kalau aku jujur ke Risha tentang kebohongan penyakit Lily, apa mungkin dia akan tetap mempertahankan janinnya, bagaimana ini?” Kakek Roi berniat jujur soal kebohongan yang dibuatnya, tapi dia juga bingung karena cemas Adhitama pasti akan membencinya. Kakek Roi menghela napas kasar, dia benar-benar bingung kali ini. Banyak hal yang harus dia pertimbangkan setelah semua sandiwara yang dibuat. Kakek Roi diam sesaat, lalu mengambil ponsel yang ada di meja dan mengetik pesan untuk Risha. [Kapan kalian akan berkunjung ke rumah Kakek?] Kakek Roi menunggu balasan Risha, lalu beberapa
Setelah Adhitama dan Lily ganti baju, Kakek Roi mengajak mereka sarapan.Kakek Roi berusaha untuk tetap bersikap biasa, meski dalam hati begitu takut membuat Adhitama dan Risha kecewa. “Aku mau mendaftar ke dokter untuk memeriksakan kondisi Lily, tapi jadwal dokternya penuh terus, padahal sebelumnya tidak pernah begini,” ucap Risha saat sedang berada satu meja dengan Kakek Roi dan Adhitama. Kakek Roi kaget, tapi tetap memilih diam. “Coba booking untuk minggu depan,” ucap Adhitama memberi saran. Risha yang bingung hanya mengangguk mengiyakan. “Kalau memang dokter itu lambat dan susah mendapat jadwalnya, kita bawa saja Lily ke dokter lain,” ucap Adhitama lagi. Kakek Roi tiba-tiba terbatuk-batuk mendengar perkataan Adhitama. Risha dan Adhitama terkejut. Risha buru-buru menuang air putih ke gelas, lalu memberikannya pada Kakek Roi. “Pelan-pelan, Kek.” Risha menatap Kakek Roi yang menerima gelas darinya dan minum. Kakek Roi menganggukkan kepala, dia meletakkan gelasnya lalu berkat
Kemarin di rumah sakit jiwa, pasien bernama Misna yang sering dijahati Sevia benar-benar emosi. Dia memukul Sevia dengan kuat menggunakan ranting kayu.Sevia jatuh ke lantai, tapi dia tak benar-benar jatuh karena yang dilakukannya itu hanya sandiwara. Dia berteriak-teriak seperti teraniaya sambil merintih kesakitan meminta tolong. Dia benar-benar membuat drama besar, meski tangannya hanya lecet-lecet sedikit.“Tolong! Tolong!” teriak Sevia histeris.Misna semakin emosi, saat akan memukul Sevia lagi, ada perawat yang datang dan langsung menghentikan aksi Misna.Beberapa staff yang mendengar juga datang, mereka membantu Sevia yang terbaring di lantai, lalu membawanya ke ruang perawatan.“Dia bohong! Dia pura-pura!” teriak Misna.“Sudah, tenanglah.” Perawat membawa paksa Misna ke kamar untuk ditenangkan.Di ruang perawatan. Sevia diminta berbaring, lalu luka goresnya diobati. Di sana Sevia masih berpura-pura kesakitan dan sampai menangis. “Tolong aku. Dia menyerangku dan terus memukulik
Di ruang kerja berukuran besar dengan cahaya lampu yang temaram di malam hari. Haris duduk diam dengan tatapan tertuju lurus ke luar jendela tapi kosong. Dia sedang tenggelam dalam kesunyian hidupnya. Sekilas terlintas hari-hari ketika bersama Risha di masa lalu. Pikiran itu tiba-tiba saja melintas seperti roll film yang diputar kembali di dalam otaknya, mengingatkan dirinya akan perasaan yang tak pernah diungkapkan pada Risha. Haris mengingat jauh ke masa remaja mereka, di mana dia selalu menjadi pelindung Risha. “Apa dia masih ingat semua?” Haris bicara pada dirinya sendiri. Haris masih mengingat jelas, ketika Risha sedih, dialah yang selalu ada di sisi Risha, menenangkannya dan selalu membuat Risha dalam kondisi aman. Haris tersenyum tipis, jika ingat masa lalu, maka dia juga ingat kebodohannya dulu. Dulu Risha selalu pulang bersamanya. Mereka begitu dekat, hingga Haris merasa jika bisa menggapai Risha. Namun, apalah dia yang memiliki kesempatan tapi tidak pernah mengamb
Risha dan Adhitama saling pandang mendengar pertanyaan Lily soal pengawal. Mereka tak mungkin menjelaskan dengan detail karena Lily pasti akan kebingungan. "Pengawal itu tidak seram, dia malah akan melindungi Lily," ucap Risha. Lily diam mencerna apa yang bundanya sampaikan. Tatapan matanya beralih ke jendela lalu anak itu mendekat ke arah pintu mobil. Lily menempelkan dagu ke kaca, entah apa yang sedang anak itu pikirkan. Beberapa menit berselang mereka akhirnya tiba di sebuah perusahaan yang menyediakan jasa keamanan. Seorang staff langsung mempersilahkan mereka masuk untuk bertemu bagian yang mengurusi hal semacam ini. "Perkenalkan saya Anjas, saya sudah diberitahu sekretaris Anda tentang keinginan Anda memakai jasa kami." Adhitama mengangguk, matanya tertuju pada beberapa lembar kertas di atas meja. "Ini beberapa biodata bodyguard yang sudah kami pilihan sesuai dengan permintaan Anda." Adhitama mengambil kertas itu dari meja, dia juga memberikan satu ke Risha agar
Haris tertawa terbahak-bahak setelah Alma menceritakan tentang kecemasannya. Alma tidak memberitahu Haris bahwa pikirannya itu berasal dari ucapan Rara.“Apa kamu ingat golongan darah orang tuamu?” tanya Haris.“O dan B,” balas Alma.“Lalu golongan darahmu sendiri?”“B.” Alma menjawab singkat seperti orang yang takut membuat kesalahan.“Jadi coba kamu pikir, golongan darahku A, berapa persen kemungkinan aku ini sedarah denganmu? Ada-ada saja,” kata Haris.Pria itu lantas menutup laptopnya dan berdiri.“Sudah jangan berpikiran macam-macam, aku senang kamu bisa sampai di sini,” ujar Haris. “Tidak ada staf yang menggunjingmu lagi ‘kan?” tanyanya sambil merapikan rambut Alma yang sedikit berantakan.Alma merasa berdebar lagi seperti pagi tadi, pipinya bersemu merah.“Kita bisa pergi sekarang ‘kan?” Alma mundur satu langkah, dia tersenyum canggung lalu membalikkan badan.Alma buru-buru berjalan menjauhi Haris sambil memegang erat tali tas yang melingkar di depan dada.Haris buru-buru menyu
Pagi itu untuk pertama kali Haris merasa senang duduk di meja makan.Pembantu terus saja menggoda dengan berkata masakan Alma memang sangat luar biasa.Alma sendiri tersenyum malu mendengar pujian itu, dia duduk tepat di seberang Haris. Alma sesekali memandang pada Haris, pria mapan, tampan dan baik hati itu masih tidak dia percayai memiliki perasaan padanya.“Sepertinya makananmu itu tidak akan berkurang kalau kamu hanya melihatku, dan tidak menyuapkannya ke dalam mulut,” ucap Haris tanpa memandang ke Alma.Mendengar itu pembantu rumah tidak bisa menyembunyikan senyum, sedangkan Alma menunduk menahan malu.“Ini sudah berkurang banyak,” jawab Alma seraya menyembunyikan rasa malu.**Setelah sarapan Haris berangkat ke kantor dan Alma mengantarnya sampai ke depan.Meskipun ragu, tapi Alma memberanikan diri meminta izin ke Haris untuk pulang ke rumahnya hari itu.“Aku harus membereskan rumah, aku juga meninggalkan cucian piring kotor, jika tidak diurus bisa-bisa berjamur,” kata Alma.Ala
Alma tak menyangka Haris akan menahannya di rumah pria itu. Dia tidak bisa melakukan apa-apa selain menerima dan mengikuti apa keinginan Haris. Bahkan seperti apa yang pria itu katakan, sudah ada banyak baju untuknya di sana.Meskipun agak canggung kepada pembantu rumah, tapi Alma mencoba untuk bersikap baik.Seperti pagi itu, dia bangun pagi lantas pergi ke dapur untuk membantu menyiapkan sarapan.Awalnya pembantu rumah Haris kaget bahkan memohon Alma untuk tidak melakukan itu. Namun, Alma bersikeras, dia berkata tidak mau menumpang dan makan secara cuma-cuma di sana.“Sudah sewajarnya, karena Mba Alma calon istri Tuan Haris.”Ucapan pembantu membuat Alma menghentikan gerakan tangannya memotong wortel, dia menoleh karena kaget.Bagaimana bisa pembantu rumah tahu kalau dia calon istri Haris?“Apa Pak Haris bilang aku ini calon istrinya?” tanya Alma setengah tak percaya.“Iya, dia bahkan meminta kami menjaga Mba Alma seperti menjaga keluarga sendiri,” kata pembantu itu. “Syukurlah kare
Keesokan harinya. Andre sudah bersiap pergi bersama Adhitama untuk mengurus masalah di anak cabang perusahaan Mahesa yang terdapat di Jogja.Mereka sarapan lebih dulu di restoran hotel, ada Risha dan Lily juga di sana.“Semalam Anda pergi ke mana, Pak?” tanya Andre. Dia tampak menekuk bibir saat melihat Adhitama hanya diam seolah tak mendengar pertanyaannya.“Kita jalan-jalan, Om Andre mau, tapi pas diketuk-ketuk pintunya, Om Andre tidak keluar,” jawab Lily.“Hampir saja aku pikir kamu mati di kamar,” ledek Adhitama, “tapi mendengar suara dengkuranmu yang seperti babi, aku yakin kamu hanya tidur,” imbuh Adhitama.Andre memasang wajah masam. Dia malu lalu melihat Risha yang tertawa.“Mana mungkin kamar di hotel bintang lima tidak kedap suara,” balas Andre.Adhitama dan Risha sama-sama menahan tawa.Andre memilih menyantap makanannya, saat itu dia melihat Mahira masuk restoran bersama kedua orang tuanya.Lily melihat Mahira, dia menatap benci karena sudah dibuat menangis oleh gadis itu
Ternyata, saat Andre tidur, Adhitama mengajak Risha dan Lily pergi keluar. Mereka pergi ke alun-alun kidul Jogja dan duduk-duduk di sana.Lily sangat senang. Anak itu sibuk bermain gelembung sabun sampai tertawa begitu bahagia. Dia berlari-lari sambil tertawa senang mengejar gelembung yang berterbangan tertiup angin.“Padahal sudah malam, tapi anak-anak masih betah main begituan,” kata Risha mengamati beberapa anak kecil yang juga bermain gelembung seperti Lily.“Namanya juga anak-anak,” balas Adhitama.Mereka duduk memakai tikar plastik yang tadi dibeli dari penjual seharga sepuluh ribu. Risha hanya tersenyum menanggapi balasan Adhitama dan terus memperhatikan Lily yang sedang bermain.Sudah lama tidak melihat Lily sesenang itu saat berlarian. Risha lega putrinya bisa kembali ceria. Risha masih memandang ke arah Lily, lalu melihat anak itu berbicara dengan anak kecil seusianya.Adhitama juga memperhatikan sang putri, sebelum memalingkan pandangan lalu menyandarkan kepala di pundak Ri
Sesampainya di Jogja, Adhitama meminta sopir yang menjemput untuk mengantar mereka ke hotel yang sudah Adhitama pesan. “Kenapa tidak ke rumah?” tanya Risha terkejut. Andre tampak biasa. Dia hanya melirik sekilas ke Adhitama yang duduk di belakang bersama Risha dan Lily. “Kemarin kamu bilang pembantumu sedang ke luar kota, jadi tidak ada yang membersihkan rumah. Aku takut rumahnya berdebu dan kalian bisa alergi,” ujar Adhitama menjelaskan. “Aku sudah bilang kalau Si mbok udah balik ke rumah,” kata Risha mengingatkan. “Aku sudah terlanjur booking kamar, sudah menginap saja di hotel, lagi pula hanya beberapa hari,” balas Adhitama tetap kukuh menginap di hotel. Risha menghela napas kasar. Akhirnya dia pasrah saja. Mereka sampai di hotel dan langsung pergi ke kamar yang dipesan. Saat Andre hendak masuk kamar, Adhitama mencegah asistennya itu. “Aku mau bicara sebentar,” kata Adhitama. “Apa, Pak?” tanya Andre. “Aku nitip Lily,” kata Adhitama lalu berlalu pergi. Andre terkejut kar
Pagi itu. Adhitama bersiap-siap untuk pergi ke perusahaan. Dia sedang mengikat dasi, lalu menoleh pada Risha yang sedang mengambilkan jas miliknya. “Oh ya sayang, aku akan pergi ke Jogja untuk mengurus pekerjaan,” kata Adhitama. Risha mengambil jas yang tergantung di lemari, lalu menoleh pada Adhitama sambil bertanya, “Kapan Mas Tama pergi? Aku mau ikut, sekalian melihat kantor di sana.” “Tapi bukan weekend, lusa aku berangkat,” jawab Adhitama. “Ya sudah, tidak apa-apa. Nanti aku ikut sama Lily juga, sekali-kali Lily libur juga tidak apa-apa. Sepertinya dia juga butuh liburan,” ucap Risha. “Oke kalau begitu. Nanti akan aku minta Andre untuk memesankan tiket untuk kalian juga,” ujar Adhitama sambil mengembangkan senyum. “Iya, tapi jangan beritahu Lily dulu ya Mas, takutnya dia nanti heboh." Risha tahu bagaimana sifat Lily, bisa-bisa anak itu akan menanyakan setiap detik kapan mereka pergi. Adhitama tersenyum penuh arti kemudian mengangguk paham. Adhitama akhirnya berangkat ke
Setelah makan malam yang sedikit menegangkan itu, Haris dan Alma beranjak pulang. Risha dan Adhitama juga memilih mengantar keduanya sampai ke halaman. “Hati-hati di jalan,” ucap Risha bersamaan dengan Haris dan Alma yang berjalan menuju mobil.Alma mengangguk lalu masuk mobil, begitu juga dengan Haris.Haris melajukan mobil meninggalkan rumah Risha. Sepanjang perjalanan, Haris melihat Alma terus saja diam. Sikap Alma membuatnya berpikir, apakah gadis itu marah karena tindakan tegasnya ke staf HRD.“Apa kamu marah?” tanya Haris untuk memastikan.“Tidak,” jawab Alma dengan suara agak lirih.Haris diam sejenak, berpikir jika Alma sudah menjawab seperti itu artinya dia tidak perlu memperpanjang masalah.“Bagaimana tadi, apa kamu sudah dapat baju untuk pernikahan kita?” tanya Haris. Untuk memecah rasa canggung dia memilih membahas hal lainnya.“Belum karena tadi Kak Risha harus menjemput Lily yang sakit,” jawab Alma dengan suara datar.Haris merasa Alma bersikap sedikit aneh. Dia kembal
Tanpa memberitahu, Malam harinya Haris menjemput Alma di rumah Risha. Saat sampai di sana, dia pergi ke kamar Lily dan bocah itu langsung meminta gendong karena masih sakit. “Kenapa badannya hangat?” tanya Haris saat menggendong Lily. “Dia demam, makanya tadi dijemput dari sekolah,” jawab Risha. Haris kaget, lalu menoleh Lily yang menyandarkan kepala di pundak. “Lily sakit? Sudah minum obat belum?” tanya Haris. “Sudah,” jawab Lily. "Lily bobok aja ya." Haris membujuk. Lily menggeleng lalu berkata," Lily maunya digendong Paman Haris.” Haris memeluk Lily, membiarkan anak itu bersikap manja, lalu kembali membujuk dan mengajak Lily berbaring di kasur. Haris mengambil buku cerita di nakas kemudian membacakan cerita untuk Lily. Alma juga ada di sana, ikut mendengarkan Haris bercerita. “Aku tinggal sebentar,” kata Risha pamit dan Alma membalasnya dengan anggukan kepala. Risha berjalan keluar dari kamar Lily. Saat menuruni anak tangga, dia melihat Adhitama yang baru