Di tempat lain, pagi itu Polisi baru saja menerima hasil tes kejiwaan Sevia yang menyatakan jika tahanan mereka itu memang memiliki gangguan kejiwaan dan tidak bisa dipidana sesuai dengan prosedur yang ada. Dengan keluarnya hasil tes itu akhirnya pihak kepolisian memutuskan untuk melakukan rehabilitasi pada Sevia di rumah sakit jiwa. Sevia tersenyum-senyum sendiri, bahkan tertawa hingga membuat penghuni satu selnya merasa miris dan takut kalau tiba-tiba wanita itu hilang kendali dan menyerang. Dua petugas polisi datang untuk membuka sel, mereka langsung membawa Sevia keluar dari sana karena akan dipindah ke rumah sakit jiwa. Di waktu yang bersamaan Arin melihat Sevia yang keluar dari sel. Dia dan Sevia memang berada di sel yang berbeda. Arin langsung berdiri karena penasaran Sevia mau dibawa ke mana. Saat Sevia melewati sel Arin, dia melirik ke Arin sambil tersenyum licik. Arin sangat terkejut, hingga sejenak otaknya terasa tak bisa lagi berpikir. “Mau dibawa ke mana dia?”
Baru kali ini Haris merasa kuwalahan menjaga Lily. Sejak Risha masuk rumah sakit anak itu terus saja rewel dan hampir membuatnya kehilangan kesabaran. “Lily mau ketemu Bunda.” Lily menangis dan merengek ingin melihat Risha karena sejak kemarin tidak boleh menjenguk. Haris melihat Lily yang menangis sampai mau berguling di lantai, akhirnya dia mencegah dan mengangkat Lily. “Baiklah, tapi janji Lily harus patuh pada paman,” ucap Haris akhirnya menuruti keinginan Lily. Lily mengangguk-angguk membalas ucapan Haris. Haris mengusap kepala Lily, dia tak punya pilihan lain selain mengajak Lily pergi ke rumah sakit. Haris harus berjuang melewati satpam bahkan dokter di pintu masuk agar Lily diperbolehkan pergi ke kamar Risha, ini karena aturan Rumah sakit tidak memperbolehkan anak kecil berada di sana.Seolah paham, Lily benar-benar menuruti permintaan Haris setelah melihat Pamannya itu berdebat dan berjuang agar dirinya bisa ke dalam.Lily meminta turun dari gendongan haris dan ber
Di rumah sakit jiwa. Sevia memperhatikan orang-orang yang dirawat di sana, semua pasien di sana ternyata tidak sepenuhnya gila total, ada beberapa yang memang terganggu saja mentalnya. Sevia melihat makanan yang disediakan rumah sakit, dia merasa makanan itu sangat tidak layak dan menjijikkan. Dia tidak mau makan, lalu meletakkan piring dengan kasar. Sevia keluar dari kamar begitu juga dengan pasien lain untuk menghirup udara segar. Sevia melihat ada pasien sedang makan makanan yang ternyata kiriman dari keluarga, membuat Sevia berpikir untuk mengambilnya. Lagi pula mereka gila, kan? Pasti tidak bisa melawan. Sevia mendekat ke pasien lain yang tidak dijaga perawat. Dia melihat ada makanan enak di rantang pasien itu, membuatnya langsung mengambil dan memakannya dengan cepat. “Jangan!” teriak pasien itu karena Sevia mengambil makanannya. Sevia tidak menggubris dan tetap makan. “Itu makananku, dasar pencuri!” teriak pasien itu histeris. Perawat yang mendengar langsung mendekat, d
Kondisi Risha yang memang butuh perhatian ekstra, membuat Risha diminta bedrest dan tidak boleh banyak kegiatan apalagi terlalu banyak jalan sampai kondisi janinnya benar-benar kuat. Risha kerja di atas kasur. Dia melakukan semuanya dari sana. Risha juga sudah berpesan agar Adhitama menjemput Lily sepulang sekolah nanti karena dia tidak diperbolehkan pergi-pergi. Sore harinya saat Risha masih sibuk dengan pekerjaannya. Ponsel yang ada di atas kasur wanita itu berdering. Risha melihat nama guru Lily terpampang di layar, membuatnya buru-buru menjawab panggilan itu. “Halo, Miss.” “Halo Bu Risha. Maaf sebelumnya, tapi kenapa ini belum ada yang menjemput Lily , ya?” tanya guru Lily dari seberang panggilan. Risha sangat terkejut sampai melihat ke jam dan ternyata memang sudah terlewat setengah jam dari jadwal Lily pulang. “Maaf, Miss. Saya akan menghubungi papanya, minta tolong jaga Lily sampai Papanya datang ya. Saya minta maaf sekali,” ucap Risha. Setelah mendapat jawaban
Sore itu di ruangannya Haris tampak memikirkan sesuatu. Dia beberapa kali hendak melakukan panggilan tapi urung. Hingga tak lama Haris berdiri dari kursi empuknya lantas keluar. Dia berdiri di depan meja kerja Alma dan membuat sekretarisnya itu kaget. “Aku mau meminta tolong padamu," kata Haris tanpa basa-basi. "Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda, Pak?" tanya Alma. "Bantu aku memilih hadiah untuk Risha,” ucap Haris. “Bu Risha sudah keluar dari rumah sakit?” Alma kembali bertanya dan dijawab Haris dengan anggukkan kepala. Melihat Haris seperti tergesa-gesa, Alma langsung mengambil tasnya. Mereka akhirnya pergi ke mall, tapi di sana Haris masih saja bingung harus membeli apa. “Apa ada bayangan hadiah yang ingin Pak Haris berikan ke Bu Risha?” tanya Alma karena Haris belum menentukan mau masuk toko mana. “Sebenarnya aku juga bingung karena itu mengajakmu,” jawab Haris. Alma mengangguk-angguk lalu ikut berpikir. “Bagaimana kalau tas saja, Pak?” tanya Alma memberi sara
Haris hanya tertawa mendengar dugaan Risha. Dia memilih buru-buru pergi dari pada terjebak dengan situasi yang tidak dia sukai. Haris dan Alma kembali ke kantor, meskipun harus ada sedikit drama karena Lily tak mengizinkam Alma pulang. Beruntung Risha bisa membujuk Lily. Sepanjang perjalanan Haris dan Alma tak saling bicara, Alma memilih membuang muka keluar jendela sambil menahan kantuk.Setengah jam kemudian mereka tiba di gedung Mahesa. Saat baru saja sampai di depan lobi, Haris dan Alma bertemu dengan Rara yang berjalan keluar. Tak ayal mereka berpapasan. “Kenapa kamu ada di sini?” tanya Haris karena terkejut melihat Rara. “Aku ke sini karena baru saja melamar kerja,” jawab Rara. Tatapannya lalu berpindah pada Alma yang berdiri di samping Haris. 'Dari mana mereka berdua? Kenapa tidak terlihat membawa berkas jika baru saja bertemu klien? Atau jangan-jangan mereka ….' Alma menyadari ke mana arah tatapan Rara, membuatnya sampai berdeham karena aneh ditatap seperti itu. “Apa k
Risha masih pusing memikirkan nasib perusahaan yang dia bangun. Risha bahkan sejak beberapa saat yang lalu tampak melamun. Hingga sebuah pesan masuk dari staffnya. Risha memandang pesan yang tertera. Dia bingung dan sedih kenapa harus sampai mengalami ini. [Bu, penjualan beberapa minggu ini menurun drastis. Kita harus segera mengatasi ini agar tidak terjadi dampak berkelanjutan.] Risha membuang napas kasar. Jemarinya lincah menulis jawaban. [Aku akan melakukan live siang ini untuk klarifikasi, memang sudah seharusnya aku minta maaf ke customer loyal My Lily] Risha memijat pelipis dan lagi-lagi menghela napas. Tak berapa lama Risha mendapat balasan kalau stafnya yang ada di Jogja akan membuat pengumuman lebih dulu setelah Risha menentukan jamnya. Risha menyiapkan diri untuk klarifikasi, meski dirinya panik dan takut, tapi dia menyadari jika apa yang terjadi dengan usahanya, dialah yang bertanggung jawab. Risha pergi ke kantor cabangnya yang ada di Jakarta untuk melak
Risha tersenyum membelai lembut kepala Adhitama. Suaminya itu bersikap begitu manja.Risha terus memandangi wajah Adhitama yang sengaja memejamkan mata. Pria itu bahkan mengambil tangan Risha lantas meletakkannya di dada.Risha tetap membelai kepala Adhitama dengan lembut, merasa nyaman dengan keheningan yang menyelimuti mereka. Ia menarik napas panjang, karena Adhitama membahas masa kecil mereka, mau tak mau Risha mengingat momen-momen kebersamaannya dan Adhitama."Mas Tama ingat tidak waktu kecil kita pernah main di sungai dan aku hampir terbawa arus karena tidak mendengarkan ucapan Mas agar tidak pergi jauh-jauh.” Ucapan Risha memecah keheningan.Adhitama membuka sedikit matanya, menatap Risha dengan senyum tipis. "Ingat, karena itu aku yang kena marah kakek."Risha tertawa kecil. "Iya, padahal Mas sudah mengingatkan, memang dasarnya aku agak bandel,” ucapnya.Adhitama terkekeh kecil, dia menyentuh pipi Risha lantas memiringkan badan, Adhitama tampak memandang perut Risha kemudian
Haris tertawa terbahak-bahak setelah Alma menceritakan tentang kecemasannya. Alma tidak memberitahu Haris bahwa pikirannya itu berasal dari ucapan Rara.“Apa kamu ingat golongan darah orang tuamu?” tanya Haris.“O dan B,” balas Alma.“Lalu golongan darahmu sendiri?”“B.” Alma menjawab singkat seperti orang yang takut membuat kesalahan.“Jadi coba kamu pikir, golongan darahku A, berapa persen kemungkinan aku ini sedarah denganmu? Ada-ada saja,” kata Haris.Pria itu lantas menutup laptopnya dan berdiri.“Sudah jangan berpikiran macam-macam, aku senang kamu bisa sampai di sini,” ujar Haris. “Tidak ada staf yang menggunjingmu lagi ‘kan?” tanyanya sambil merapikan rambut Alma yang sedikit berantakan.Alma merasa berdebar lagi seperti pagi tadi, pipinya bersemu merah.“Kita bisa pergi sekarang ‘kan?” Alma mundur satu langkah, dia tersenyum canggung lalu membalikkan badan.Alma buru-buru berjalan menjauhi Haris sambil memegang erat tali tas yang melingkar di depan dada.Haris buru-buru menyu
Pagi itu untuk pertama kali Haris merasa senang duduk di meja makan.Pembantu terus saja menggoda dengan berkata masakan Alma memang sangat luar biasa.Alma sendiri tersenyum malu mendengar pujian itu, dia duduk tepat di seberang Haris. Alma sesekali memandang pada Haris, pria mapan, tampan dan baik hati itu masih tidak dia percayai memiliki perasaan padanya.“Sepertinya makananmu itu tidak akan berkurang kalau kamu hanya melihatku, dan tidak menyuapkannya ke dalam mulut,” ucap Haris tanpa memandang ke Alma.Mendengar itu pembantu rumah tidak bisa menyembunyikan senyum, sedangkan Alma menunduk menahan malu.“Ini sudah berkurang banyak,” jawab Alma seraya menyembunyikan rasa malu.**Setelah sarapan Haris berangkat ke kantor dan Alma mengantarnya sampai ke depan.Meskipun ragu, tapi Alma memberanikan diri meminta izin ke Haris untuk pulang ke rumahnya hari itu.“Aku harus membereskan rumah, aku juga meninggalkan cucian piring kotor, jika tidak diurus bisa-bisa berjamur,” kata Alma.Ala
Alma tak menyangka Haris akan menahannya di rumah pria itu. Dia tidak bisa melakukan apa-apa selain menerima dan mengikuti apa keinginan Haris. Bahkan seperti apa yang pria itu katakan, sudah ada banyak baju untuknya di sana.Meskipun agak canggung kepada pembantu rumah, tapi Alma mencoba untuk bersikap baik.Seperti pagi itu, dia bangun pagi lantas pergi ke dapur untuk membantu menyiapkan sarapan.Awalnya pembantu rumah Haris kaget bahkan memohon Alma untuk tidak melakukan itu. Namun, Alma bersikeras, dia berkata tidak mau menumpang dan makan secara cuma-cuma di sana.“Sudah sewajarnya, karena Mba Alma calon istri Tuan Haris.”Ucapan pembantu membuat Alma menghentikan gerakan tangannya memotong wortel, dia menoleh karena kaget.Bagaimana bisa pembantu rumah tahu kalau dia calon istri Haris?“Apa Pak Haris bilang aku ini calon istrinya?” tanya Alma setengah tak percaya.“Iya, dia bahkan meminta kami menjaga Mba Alma seperti menjaga keluarga sendiri,” kata pembantu itu. “Syukurlah kare
Keesokan harinya. Andre sudah bersiap pergi bersama Adhitama untuk mengurus masalah di anak cabang perusahaan Mahesa yang terdapat di Jogja.Mereka sarapan lebih dulu di restoran hotel, ada Risha dan Lily juga di sana.“Semalam Anda pergi ke mana, Pak?” tanya Andre. Dia tampak menekuk bibir saat melihat Adhitama hanya diam seolah tak mendengar pertanyaannya.“Kita jalan-jalan, Om Andre mau, tapi pas diketuk-ketuk pintunya, Om Andre tidak keluar,” jawab Lily.“Hampir saja aku pikir kamu mati di kamar,” ledek Adhitama, “tapi mendengar suara dengkuranmu yang seperti babi, aku yakin kamu hanya tidur,” imbuh Adhitama.Andre memasang wajah masam. Dia malu lalu melihat Risha yang tertawa.“Mana mungkin kamar di hotel bintang lima tidak kedap suara,” balas Andre.Adhitama dan Risha sama-sama menahan tawa.Andre memilih menyantap makanannya, saat itu dia melihat Mahira masuk restoran bersama kedua orang tuanya.Lily melihat Mahira, dia menatap benci karena sudah dibuat menangis oleh gadis itu
Ternyata, saat Andre tidur, Adhitama mengajak Risha dan Lily pergi keluar. Mereka pergi ke alun-alun kidul Jogja dan duduk-duduk di sana.Lily sangat senang. Anak itu sibuk bermain gelembung sabun sampai tertawa begitu bahagia. Dia berlari-lari sambil tertawa senang mengejar gelembung yang berterbangan tertiup angin.“Padahal sudah malam, tapi anak-anak masih betah main begituan,” kata Risha mengamati beberapa anak kecil yang juga bermain gelembung seperti Lily.“Namanya juga anak-anak,” balas Adhitama.Mereka duduk memakai tikar plastik yang tadi dibeli dari penjual seharga sepuluh ribu. Risha hanya tersenyum menanggapi balasan Adhitama dan terus memperhatikan Lily yang sedang bermain.Sudah lama tidak melihat Lily sesenang itu saat berlarian. Risha lega putrinya bisa kembali ceria. Risha masih memandang ke arah Lily, lalu melihat anak itu berbicara dengan anak kecil seusianya.Adhitama juga memperhatikan sang putri, sebelum memalingkan pandangan lalu menyandarkan kepala di pundak Ri
Sesampainya di Jogja, Adhitama meminta sopir yang menjemput untuk mengantar mereka ke hotel yang sudah Adhitama pesan. “Kenapa tidak ke rumah?” tanya Risha terkejut. Andre tampak biasa. Dia hanya melirik sekilas ke Adhitama yang duduk di belakang bersama Risha dan Lily. “Kemarin kamu bilang pembantumu sedang ke luar kota, jadi tidak ada yang membersihkan rumah. Aku takut rumahnya berdebu dan kalian bisa alergi,” ujar Adhitama menjelaskan. “Aku sudah bilang kalau Si mbok udah balik ke rumah,” kata Risha mengingatkan. “Aku sudah terlanjur booking kamar, sudah menginap saja di hotel, lagi pula hanya beberapa hari,” balas Adhitama tetap kukuh menginap di hotel. Risha menghela napas kasar. Akhirnya dia pasrah saja. Mereka sampai di hotel dan langsung pergi ke kamar yang dipesan. Saat Andre hendak masuk kamar, Adhitama mencegah asistennya itu. “Aku mau bicara sebentar,” kata Adhitama. “Apa, Pak?” tanya Andre. “Aku nitip Lily,” kata Adhitama lalu berlalu pergi. Andre terkejut kar
Pagi itu. Adhitama bersiap-siap untuk pergi ke perusahaan. Dia sedang mengikat dasi, lalu menoleh pada Risha yang sedang mengambilkan jas miliknya. “Oh ya sayang, aku akan pergi ke Jogja untuk mengurus pekerjaan,” kata Adhitama. Risha mengambil jas yang tergantung di lemari, lalu menoleh pada Adhitama sambil bertanya, “Kapan Mas Tama pergi? Aku mau ikut, sekalian melihat kantor di sana.” “Tapi bukan weekend, lusa aku berangkat,” jawab Adhitama. “Ya sudah, tidak apa-apa. Nanti aku ikut sama Lily juga, sekali-kali Lily libur juga tidak apa-apa. Sepertinya dia juga butuh liburan,” ucap Risha. “Oke kalau begitu. Nanti akan aku minta Andre untuk memesankan tiket untuk kalian juga,” ujar Adhitama sambil mengembangkan senyum. “Iya, tapi jangan beritahu Lily dulu ya Mas, takutnya dia nanti heboh." Risha tahu bagaimana sifat Lily, bisa-bisa anak itu akan menanyakan setiap detik kapan mereka pergi. Adhitama tersenyum penuh arti kemudian mengangguk paham. Adhitama akhirnya berangkat ke
Setelah makan malam yang sedikit menegangkan itu, Haris dan Alma beranjak pulang. Risha dan Adhitama juga memilih mengantar keduanya sampai ke halaman. “Hati-hati di jalan,” ucap Risha bersamaan dengan Haris dan Alma yang berjalan menuju mobil.Alma mengangguk lalu masuk mobil, begitu juga dengan Haris.Haris melajukan mobil meninggalkan rumah Risha. Sepanjang perjalanan, Haris melihat Alma terus saja diam. Sikap Alma membuatnya berpikir, apakah gadis itu marah karena tindakan tegasnya ke staf HRD.“Apa kamu marah?” tanya Haris untuk memastikan.“Tidak,” jawab Alma dengan suara agak lirih.Haris diam sejenak, berpikir jika Alma sudah menjawab seperti itu artinya dia tidak perlu memperpanjang masalah.“Bagaimana tadi, apa kamu sudah dapat baju untuk pernikahan kita?” tanya Haris. Untuk memecah rasa canggung dia memilih membahas hal lainnya.“Belum karena tadi Kak Risha harus menjemput Lily yang sakit,” jawab Alma dengan suara datar.Haris merasa Alma bersikap sedikit aneh. Dia kembal
Tanpa memberitahu, Malam harinya Haris menjemput Alma di rumah Risha. Saat sampai di sana, dia pergi ke kamar Lily dan bocah itu langsung meminta gendong karena masih sakit. “Kenapa badannya hangat?” tanya Haris saat menggendong Lily. “Dia demam, makanya tadi dijemput dari sekolah,” jawab Risha. Haris kaget, lalu menoleh Lily yang menyandarkan kepala di pundak. “Lily sakit? Sudah minum obat belum?” tanya Haris. “Sudah,” jawab Lily. "Lily bobok aja ya." Haris membujuk. Lily menggeleng lalu berkata," Lily maunya digendong Paman Haris.” Haris memeluk Lily, membiarkan anak itu bersikap manja, lalu kembali membujuk dan mengajak Lily berbaring di kasur. Haris mengambil buku cerita di nakas kemudian membacakan cerita untuk Lily. Alma juga ada di sana, ikut mendengarkan Haris bercerita. “Aku tinggal sebentar,” kata Risha pamit dan Alma membalasnya dengan anggukan kepala. Risha berjalan keluar dari kamar Lily. Saat menuruni anak tangga, dia melihat Adhitama yang baru