"Kamu kalau ada masalah, cerita aja Din! Walaupun kita baru kenal, aku mau kok jadi teman curhat kamu!" pancing Bella.
Dinda tersenyum, namun dia tak mengatakan apapun. Dia belum bisa seterbuka itu pada orang yang baru dikenalnya, walaupun terlihat ramah."Din..!" panggil Bella."Eh...ya Bell?""Kamu kenapa? Apa ada yang mau diceritakan?" tanya Bella."Ahh... nggak kok! Oh ya, kehamilan kamu udah masuk berapa bulan, Bell?" tanya Dinda mengalihkan pembicaraan."Hhm....! Udah masuk tujuh bulanan Din!" jawab Bella menghela napas tak semangat."Maaf ya Bell, bukan aku gak mau cerita! Cuma... untuk saat ini, aku masih baik-baik aja kok!" ucap Dinda yang tau dengan kekecewaan Bella."Udah gak apa-apa! Aku maklum kok, kalau kamu belum bisa percaya sama aku!" jawab Bella tak mendesak lagi.Sejak menikah dengan Rudy, banyak perubahan pada diri Bella, dia tidak sebar-bar dulu, dan bahasanya pun lebih sopan.<Saat jam istirahat kantor, Rumah Makan Family akan selalu dipenuhi pelanggan. Karena tempat yang strategis, juga rasa dan harga yang lebih terjangkau, ditambah pelayanannya memuaskan, tidak heran jika Rumah Makan ini semakin hari semakin ramai didatangi pelanggan.Seorang pria dengan setelah jas, masuk ke dalam. Dia melihat sekeliling, melihat ramainya pengunjung, pria tersebut yakin jika Rumah Makan ini pasti bukan Rumah Makan yang asal-asalan.Dia menemukan tempat duduk kosong di pojok ruangan. Dia pergi ke kursi yang masih kosong.Tak lama, seorang pelayan datang "Mau pesan makanan apa, Pak?" tanya pelayan ramah sambil menyerahkan buku daftar menu.Pria itu melihat sekilas, "Saya pesan nasi satu porsi, lauk dan sayur spesial dari Rumah Makan ini! Minumannya, teh manis aja!" ucap pria tersebut."Baik, Pak! Mohon ditunggu sebentar ya, Pak?" ucap pelayan sopan lalu pergi menyiapkan pesanan.***Nisa yang merasa
Nisa segera membawa nampan yang berisi pesanan pelanggan yang duduk di kursi, meja sebelah sudut. Karena tamu tersebut duduk menghadap ke luar, Nisa tidak bisa melihat siapa tamu yang duduk di kursi tersebut.Arman yang saat itu tengah asyik memainkan handphonenya, tak menyadari jika pesanannya telah berada di depannya.Dia kaget, saat mendengar suara dari pelayan yang menyajikan makanannya, Arman sontak menoleh."Silahkan dinikmati makanannya, Pak!" ucap Nisa pada si pelanggan.Arman tak berkedip saat melihat Nisa, seolah tak percaya jika wanita yang berada di depannya itu adalah mantan istrinya.Penampilan Nisa yang banyak berubah semenjak berpisah, ditambah kurangnya beban pikiran, menjadikan Nisa terlihat semakin muda dan segar. Walau pakaian yang ia gunakan juga adalah seragam yang digunakan para pelayan, dan terlihat biasa-biasa saja, tapi tetap mampu memancarkan kecantikan alaminya, sangat berbeda saat dia masih menyandan
Cukup Kak Arman...!" teriak Bella dari jauh.Setelah berhenti sebentar di Supermarket, Bella segera berangkat ke alamat Nisa, tapi dia sungguh tak menyangka, jika alamat yang dituju malah terjadi keributan, dan biang dari keributan adalah kakaknya sendiri."Bella..?" gumam Nisa tak percaya, melihat Bella membentak orang yang selama ini sangat ia hormati."Mbak Nisa..! Maafkan Kak Arman ya!" ucap Bella tak nyaman dengan kelakuan kakaknya.Rudy yang akhirnya mengetahui jika tebakannya benar, kaget. Dia sama sekali tak menyangka, jika Nisa adalah mantan istri dari kakak iparnya.Namun saat ini, Rudy merasa serba salah. Dia lebih memilih diam, demi menghindari masalah dengan kakak iparnya."Nggak apa-apa Bell, terimakasih sudah mau membelaku dari orang seperti itu!" ucap Nisa sambil memandang ke Arman"Bella..... ngapain kamu di sini! Lebih baik kamu pulang, dan jangan pernah berhubungan lagi dengan wanita sombong seperti di
Tidak ada yang menyadari, jika di saat Nisa dan Bella masuk ke dalam ruangannya, dua orang pria keluar dari Ruman Makan family. Satu orang bertubuh besar menggunakan masker dan bertopi, sementara satunya hanya menggunakan topi dengan jaket berwarna hitam.Sebelum keduanya meninggalkan rumah makan, keduanya tak sengaja saling pandang. Kedua pria bertopi dan bermasker saling terdiam, dan saling menatap dengan curiga. Entah apa maksud dari tatapan itu, tidak ada yang tau.Rudy yang duduk di kursi pojok, cuma melihat sekilas tanpa merasa curiga sedikitpun.Sambil menunggu Bella, Rudy memesan minuman sekedar pelepas dahaga.Sambil menunggu kedatangan pelayan, Nisa memandang Bella intens, dia kaget saat mendapati perubahan yang terjadi di diri Bella."Lho....kamu hamil, Bell?" tanya Nisa kaget. Nisa segera menyadari, jika kedatangan Bella sebelumnya bersama seorang pria, yang rasa tak asing bagi Nisa. Karena tadi dia sedang
"Apa aku harus mencium kaki, Mbak Nisa? Agar kata maaf itu, aku dapatkan, Mbak?" tanya Bella sambil terisak memandang Nisa."Aku bukan orang sesuci itu, Bell! Aku hanya wanita biasa, yang juga bisa marah dan membenci!" "Aku mohon Mbak! Mohon maafkan aku, apapun akan aku lakukan, asal Mbak mau memaafkan aku!" ulang Bella."Gak perlu...!" potong Nisa cepat."Jika kamu memang menyadari kesalahanmu, tolong katakan pada keluargamu, jangan ganggu kehidupan aku lagi!"Bella langsung memandang lekat wajah cantik di depannya, ia seakan tak percaya jika Nisa hanya memberikan syarat itu, untuk memaafkannya "Serius Mbak? Apa semudah itu?" tanya Bella dengan mata membola."Ya... dengan kalian tak mengusik kehidupanku, itu berarti, kalian telah memberi ketenangan dalam hidup aku, dan putraku!" "Terimakasih Mbak, mulai saat ini, aku janji akan menjauh dari kehidupan Mbak Nisa, dan tidak akan mengusik kehidupan kalian lagi!" jawab Bel
"Hehe...kalau Om kangen, kenapa nggak minta Sherly datang, sih! 'Kan Sherly paling bisa, membuat Om, melupakan semua masalah!" Sherly masih asyik ngobrol dengan seseorang di seberang sana, sama sekali tak menyadari keberadaan suaminya."Siapa yang menghubungi Sherly? Kok bisa terlihat akrab seperti itu?" monolog Arman."Ya udah, ntar malam Sherly ke sana, deh! Ingat ya, Om harus persiapkan segalanya! Sherly nggak mau gagal kayak tempo hari, lho!" ucap Sherly manja."Mau kemana kamu, Sher? Siapa yang kamu hubungi?" tanya Arman berdiri di samping Sherly."Eh..Mas Arman!" Wajah Sherly tiba-tiba memucat, melihat kehadiran suaminya yang tak ia sadari."Kenapa..? Kaget ya, siapa yang kamu hubungi?" tanya Arman sambil menatap tajam."Ehh, ini..cuma orang dari Agensi! Dia memintaku untuk menghadiri pertemuan sesama model, nanti malam!" ucap Sherly gugup."Jangan bohong kamu, Sherly!" "Siapa yang bohong, sih Mas! Lagipu
Gadis itu tersenyum malu saat ditatap intens oleh Rasya. Rona merah di pipinya, menambah kecantikan wajahnya."Owh iya ya, aku lupa deh ngenalin diri! Nama aku Annisa Hafizah kak, orang-orang manggil aku, Nisa!" jawab Nisa sambil memainkan ujung hijabnya."Nama kamu cantik, secantik wajah kamu!" ucap Rasya tak sadar.Nisa menunduk malu dengan pipi semakin merona. "Kamu masih sekolah, kelas berapa?" tanya Rasya."Aku kelas dua belas Kak!""Owh...gak lama lagi SMA donk!" "Iya, Kak!""Usia kamu berapa Nisa?" tanya Rasya antusias."Usia aku lima belas tahun, Kak! Kakak masih sekolah juga?" tanya Nisa balik, sambil memberanikan diri."Hehe..aku udah kuliah! Usia aku aja udah dua puluh tahun!" "Owh... berarti Kakak udah tua donk?" ucap Nisa serius."Hahaha....dasar anak kecil. Usia segitu ya masih muda donk, Nisa! Masa' udak tua, sih!" Sejenak Rasya melupakan rasa sakit pada luka
Indra keluar dari kamar perawatan Dinda, dia tidak dapat menghilangkan perasaan cemburunya, pada orang yang telah menolong Nisa, jika memanfaatkan kondisi nisa, malam itu."Akhhh....sial! Aku yang berusaha, dia yang menikmati!" ucap Indra sambil menendang-nendang ke segala arah."Aku harus cari tau, siapa dia sebenarnya? Mengapa seolah dia tau, kapan waktu yang tepat, untuk mencegah sesuatu terjadi pada Nisa!" gumam Indra.Indra termenung di kursi taman Rumah Sakit, sejenak ia lupa, jika keberadaannya di situ karena menemani istrinya."Jika aku mencari tau siapa laki-laki itu, apa sekiranya dia akan melaporkan aku, ya? Tapi, jika tidak bertanya padanya, apa aku harus bertanya pada Nisa, tentang peristiwa malam ini?" ucap Indra sendiri."Aakkhhhh....sialan! Jika aku bertanya pada Nisa, yang ada dia akan semakin membenciku." Indra begitu kacau memikirkan semuanya."Aku gak rela, jika Nisa dimanfaatkan oleh orang itu!" gumam Indra s
Bu Susy tersadar dari tidurnya kaget, melihat suasana berbeda dengan tempat yang ia tempati beberapa bulan terakhir. Dalam kebingungan, ibu Susy berteriak. Tak berapa lama, seorang perawat yang bertugas melayani para penghuni panti, datang. "Ada apa, Bu?" tanya perawat tersebut. "Hapa... hamu...?" tanya bu Susy heran. "Saya perawat di sini, Bu! Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya perawat yang telah terbiasa berinteraksi dengan orang stroke, membuat ia bisa mengartikan bahasa tak jelas dari ibu Susy."Hana, haman, haku hau haman!" "Maaf Bu, Bapak Arman sendiri, yang mengantarkan Ibu ke sini! Saat ini, Bapak Arman sudah pulang! Ibu bisa tenang, Ibu berada di tempat yang khusus merawat para orangtua, yang tak sempat, di rawat anak-anak mereka!"Betapa kagetnya bu Susy setelah mendengar penjelasan perawat. Ia nampak shock, tak menyangka jika ia akan dibuang oleh anaknya sendiri. Bu Susy menangis, ia menyesal
"Apaan sih, Mas! Aku malah bahagia, jika mereka bisa tetap bersama selamanya! Lagi pula, aku udah punya kamu, ngapain harus menyemburukan suami orang?" jawab Nisa sambil nyelendot di tangan Rasya. Hati Rasya berbunga-bunga, dengan ungkapan perasaan istrinya. "Terimakasih sayang! Aku harap, apapun masalahnya, kita bisa bicarakan baik-baik! Aku tak mau mengalami kegagalan, dalam rumahtangga kita!""Aamiiiin....! Sama-sama, sayang!" jawab Nisa tersenyum manis. Nisa merasa bahagia, dengan selesainya semua permasalahan yang ia rasakan selama ini, Nisa akhirnya bisa merasa lega. "Mas.... aku bahagia banget, masalalu yang dulu aku alami terasa berat, ternyata memberi kebahagiaan bagiku, di masa sekarang!" ucap Nisa memandang jalanan di depan. "Syukurlah, tapi aku akan berusaha, memberikan kebahagiaan bukan cuma saat ini, tapi selamanya!""Aamiiiin...!"Kedua suami istri tak jadi pulang ke rumah, tapi justru mereka
"Terimakasih atas saran lo, Nis! Aku akan lihat, bagaimana Indra menyadari kesalahannya! Jika memang dia pantas untuk dipertahankan, maka aku akan berusaha mempertahankannya!" jawab Dinda santai. "Bagus deh, semoga Allah memberikan kebaikan untuk rumahtangga kalian!""Aamiiin....!" balas Dinda atas do'a Nisa. "Oh iya Nis! Aku mau minta maaf, ya! Nama kamu, ikut digunakan oleh mendiang anakku!' jawab Dinda sedih teringat dengan kematian putri kecilnya. "Gak papa, kok! Lagian, nama itu 'kan belum aku bikinkan lisensinya, jadi siapa aja boleh menggunakannya! Apalagi aku cantik, aku yakin siapapun yang menggunakan nama itu, pasti cantik kayak aku!" jawab Nisa enteng. Dinda melongo dengan kenarsisan sahabatnya, sejak kapan, pikirnya "Lo baik-baik aja, 'kan, Nis?" tanya Dinda sambil menempelkan tangannya di dahi Nisa. "Apaan sih, Din! Orang sehat begini, malah dibilang sakit!" gumam Nisa sewot. "Tunggu.... tunggu! Sejak
"Assalamualaikum....!" ucap salam Nisa yang di depan sebuah rumah minimalis, ditemani suaminya. "Rumahnya, asri ya Mas!" ucap Nisa sambil melihat-lihat lingkungan rumah sahabatnya. "Kamu suka?" tanya Rasya merangkul tubuh istrinya kepelukan. "Banget, aku itu sukanya suasana alam, ya.... seperti taman ini, Mas!""Nanti kita beli satu, rumah yang ada tamannya!" jawab Rasya enteng. "Awh....!" jerit Rasya yang mendapat cubitan dari istrinya. "Apaan sih, sayang! Main cubit aja!" sungut Rasya sambil menggosok perutnya. "Kamu yang apaan, Mas! Beli rumah, kayak beli gado-gado, pemborosan tau!" protes Nisa. "Kan kamu ingin suasana seperti ini, sayang!" jawab Rasya membela diri. "Tapi nggak gitu juga konsepnya, kali...!" jawab Nisa heran dengan pola pikir suaminya. "Waalaikum salam....! Maaf, cari siapa, ya?" tanya wanita paruhbaya yang membukakan pintu. Rasya dan Nisa menoleh ke pintu
"Dasar, adik ipar perhitungan! Baru aja dimintai pertolongan beberapa kali, udah main kabur!" omel Arman di sepanjang jalan. Sampai di rumah, emosi Arman semakin membengkak! Ibunya yang duduk di atas kursi roda, melemparkan perabotan rumah yang tidak seberapa, ke segala arah. "Mama apa-apaan sih, Ma! Udah gak bisa bantu beres-beres, malah berantakin rumah begini!" Melihat kedatangan putranya, bu Susy tambah meradang. Semua barang benda yang dapat terjangkau oleh tangannya, ia lemparkan kepada Arman. "Huh.... huh...!" Sambil melempar, hanya kata gak jelas yang keluar dari bibirnya. "Ma.... jika Mama terus-terusan seperti ini, Arman pastikan Mama akan menyesal!" bentak Arman memandang tajam. "Mama mikir gak, sih! Mama baru aja keluar dari Rumah Sakit, bukannya istirahat malah marah nggak jelas begini!" omel Arman sambil mengumpulkan pecahan beling yang berserakan di lantai."Hamu... hak.. hecus, hurus hibu!" ujar bu
Hati Indra terasa miris, melihat wanita yang biasanya selalu ceria, kini hilang ingatannya. Yang dipikirannya, hanya mengenai anak yang ia lahirkan, yang telah kembali ke pankuan ilahi. "Dinda, kamu udah makan obat?" tanya Indra duduk di bangku, yang ada di kamar mereka. "Udah donk, Mas! Aku kan harus sehat, agar bisa menjaga dede Nisa!" jawab Dinda semangat. "Iya, kamu harus minum obat terus ya, agar dede bayi juga ikutan sehat!" ucap Indra memotivasi istrinya agar tetap semangat untuk minum obat, walau harus mengikuti ke 'halu an' istrinya. "Gitu ya, Mas?" tanya Dinda dengan senyum di bibirnya. "Iya, donk! Jika kamu sehat, nanti kita bisa jalan-jalan!" tambah Indra. "Jalan-jalan...? Sama dede Nisa, Mas?" tanya Dinda dengab mata berbinar. Dinda duduk di pinggir tempat tidur, menghadap suaminya, seperti seorang anak yang ingin mendengar dongeng dari ibunya. "Iya..kita akan jalan-jalan, tapi pastikan
"Siapa istri pemuda itu..? Apakah istrinya, mengenalku? Semoga saja begitu, dengan demikian, aku mempunyai harapan selamat, dari balas dendam bocah itu!" ucap hati Tuan Frass. "Ada apa dengan Tuan! Nampaknya dia begitu bahagia!" Tanda tanya menghantui pikiran Jhon, tapi dia tetap menjalankan perintah Tuannya***Di rumah, Nisa nampak duduk dengan Ahmad,putranya. Ahmad begitu senang mendengar kabar kehamilan ibunya, "Bunda... berapa lama lagi adik Ahmad bisa diajak bermain, Bun?" tanya Ahmad semringah. "Hehe... sabar ya sayang, tunggu adik lahir dulu, terus tunggu adek gede, baru deh main sama kakak Ahmad!" ucap Nisa sambil membelai rambut putranya. "Kok lama banget! Sekarang adik di mana, Bun?" tanya Ahmad polos. Sambil tersenyum, Nisa memindahkan tangan Ahmad, ke perutnya yang masih datar. "Kok di sini, Bun? Apa gak sempit Bun? Terus, tempat adik bermain, dimana?" tanya Ahmad heran. "Nggak sempit don
Air mata Nisa tak dapat ia bendung, air mata bahagia, mengiasi wajah cantiknya. Nisa merasa tak percaya, baru satu bulan ia menikah, ternyata Allah kembali menitip kan karunia terbesar, pada dirinya. Ia benar-benar bersyukur, karena banyak di luar sana, yang telah sekian lama menikah, namun belum dikaruniai seorang anak. "Selamat ya, Bu atas kehamilannya!" ucap dokter wanita yang menanganinya. "Terimakasih, Dok!" ucap Nisa tersenyum haru. "Sudah menjadi tugas kami, Bu! Pesan saya, jaga emosinya agar jangan sampai stres, dan jangan lupa konsumsi makanan bergizi ya, Bu! Jangan lupa, perbanyak istirahat!" nasehat dokter. "Baik, Dok!" jawab Nisa, serius mendengar nasehat dokter. "Satu lagi, di sini saya tulis resep vitamin, juga obat penghilang mualnya, jangan lupa bulan depan datang lagi, kita cek perkembangan janinnya, ya Bu!" "In syaa allah, Dok!"Setelah menebus obat dan vitamin di apotik, Nisa, segera meninggalkan
Nisa baru ingat, jika bulan ini dia belum menstruasi. "Kenapa, nak? Kamu gak berencana menunda kehamilan, 'kan?" "Ee...nggak kok, Yah!" cicit Nisa."Syukurlah, gak baik kamu menunda kehamilan! Walau bagaimanapun, kamu harus menghargai keinginan suamimu! Lagi pula, Ahmad juga sudah besar, sudah sepantasnya punya adik!" nasehat Ayah Faisal. "Iya Yah, dari awal menikah, Nisa gak ada niat untuk menunda kehamilan! Tapi kalau belum hamil, ya sabar aja!" jawab Nisa, tapi dalam hati Nisa berkata lain. "Bagus itu, mumpung kamu masih muda, jadi peluang untuk hamil itu, masih besar! Ayah do'akan agar kamu secepatnya, bisa memberikan Keturunan buat Rasya!""Iya, Yah! Moga aja secepatnya dipercaya Allah!""In syaa allah, aamiiin!" doa ayah Faisal.Ia ingin, dengan kehamilan, dapat mempererat cinta dalam rumahtangga putrinya. Nisa yang masih terngiang pertanyaan ayahnya, dia mulai memikirkan perubahan yang terja