David kini menuju ruang kerjanya, dia mengambil sebuah foto dari laci meja dan menatapnya dengan sangat dalam. Disana terlihat jelas wajah seorang wanita cantik yang belum bisa juga dia lupakan sampai detik ini. Awalnya dia pikir dengan menikahi Adel bisa membunuh perasaannya terhadap Ayunda secara perlahan. Bahkan dia juga bisa membalaskan dendam nya, sayangnya tidak. Semakin dia berusaha untuk melupakan Ayunda semuanya semakin menyakitkan. Apa lagi setelah tahu ternyata akibat malam panas itu menghasilkan seorang anak. Kini dirinya semakin merasa bersalah atas segalanya. Bersalah kepada anaknya yang tak lepas dari hinaan yang terlontar dari mulutnya. Lama David menatap gambar wajah Ayunda hingga kepingan demi kepingan ingatan masa lalu pun kembali muncul. Tepatnya saat beberapa tahun yang lalu, saat itu dirinya sedang bermain ke rumah sahabatnya, Zidan. Sejak mereka kuliah di universitas yang sama keduanya pun mulai menjalin hubungan persahabatan yang begitu baik
Saat itu keduanya semakin dekat. Ayunda pun seringkali diantar dan dijemput oleh David saat pergi mau pun pulang kuliah. Cukup lama David berusaha untuk mendapatkan Ayunda hingga usahanya tidak sia-sia karena kedekatan mereka membuat Ayunda mulai merasa nyaman. Bahkan hari-hari yang berlalu keduanya sering kali pergi diam-diam berduaan saja. Sampai akhirnya David pun memberanikan diri untuk mengatakan cinta pada Ayunda. "Yunda, Kakak boleh ngomong sesuatu nggak?" tanya David. "Ngomong apa, kok kayaknya penting banget?" Ayunda pun mulai penasaran apa sebenarnya yang ingin dikatakan oleh David. Wajah pria itu tampak sangat serius, semakin membuat Ayunda tak sabaran saja mendengarnya. "Kak David, kok diam sih? Yunda udah penasaran benget tahu!" gerutunya. Saat itu tepatnya keduanya berada di sebuah restoran cepat saji. Dia tak tahu apakah setelah ini hubungan mereka bisa menjadi lebih baik ataupun malah merenggang. Akan tetapi David pun tidak mungkin terus menyimpan
Beberapa hari kemudian.... Setelah beberapa hari yang lalu perasaan Hera tidak bisa tenang. Dia memang melarang keras saat David berusaha untuk mendapatkan Ayunda kembali karena adanya Adel, sebagai istri sah anaknya tersebut. Akan tetapi dia juga tidak bisa memungkiri jika sudah ada anak diantara keduanya. Hera tahu anak tersebut tidak lahir dalam pernikahan, tetapi tetap saja darah daging putranya. Kenzie adalah putra dari David, artinya darah dagingnya sendiri. Tidak mungkin Hera bisa mengabaikan begitu saja, akhirnya dia pun memutuskan untuk berkunjung ke rumah Ayunda. Untuk pertama kalinya dia datang ke rumah tersebut, dan untuk pertama kalinya pula menemui kedua orang tua Ayunda. Sebab, selama beberapa bulan kebelakang ini dia hanya mengenal Zidan saja. Itu pun Zidan yang datang ke rumahnya. Mungkin saja jika bukan karena hal seperti ini dirinya tak akan pernah tahu dimana rumah keluarga Ayunda. Dan kini Hera datang sebagai seorang nenek yang ingin menemui
Setelah itu Wina pun kembali menghampiri putrinya. "Kamu ngapain sih," gerutunya. "Ma, Yunda kerja dulu ya," pamit Ayunda tanpa ingin membahasnya lagi. Setelah memberikan bayinya pada ibunya dia pun segera pergi ke kantor. Ayunda sudah memutuskan untuk terus bekerja, selain karena Yusuf baik padanya. Dia juga ingin menjadi seorang wanita yang mandiri. Bagaimana pun juga dia sudah memiliki anak, anaknya adalah tanggungjawab nya. Dia tak mau selamanya menjadi beban keluarga, meskipun keluarganya tidak akan pernah merasa dibebankan. Bahkan mereka pun mendukung apapun yang diputuskan Ayunda untuk hidupnya dan anaknya. Lagi pula dengan bekerja Ayunda bisa mengalihkan pikirannya tentang masalahnya. Dia bisa menutup lembaran lama dan membuka lembaran baru. Namun, tidak disangka ternyata dia kembali bertemu dengan David. Tepatnya saat dirinya tiba di kantor, baru saja keluar dari mobil sudah disambut dengan kehadiran David. Ayunda merasa tidak memiliki kepentingan de
Setelah merasa kecewa dengan penolakan Ayunda, David pun pergi menuju kantor.Pria itu terlihat semakin kejam, tidak ada yang boleh melakukan kesalahan sama sekali.Bahkan tidak akan segan-segan memarahi asistennya."Bodoh sekali, bagaimana mungkin ini bisa seperti ini!" bentak David pada sang asisten."Anda tidak menghadiri rapat ini, Bos," terang sang Asisten."Kau berani pada ku?!" geram David dengan suara meninggi.Sang Asisten pun menggelengkan kepalanya karena takut pada David."Keluar!" usir David dengan suara yang meninggi.Saat itu sang asisten pun memilih untuk segera pergi.David pun kembali menyandarkan kepalanya pada kursinya, dia menutup matanya larut dalam pikirannya yang begitu kacau."Aku akan membantu mu," ucap Adel. David pun mulai menyadari kehadiran Adel, tapi tak lama berselang wajah Adel justru berubah menjadi wajah Ayunda. David pun bangkit dari duduknya sambil melebarkan matanya berharap ini bukan fatamorgana, tapi sesaat kemudian wajah Ayunda kembali beru
"Anak, Bunda," Ayunda langsung mencium pipi mungil putranya dengan penuh cinta. Dia yang merasa lelah melakukan pekerjaan hari ini begitu mudahnya merasa segar kembali hanya dengan melihat wajah sang anak ketika kembali ke rumah. "Gimana hari ini, Ken rewel nggak, Ma?" tanya Ayunda pada sang Mama yang seharian penuh menjaga sang putra. "Enggak kok, cucu Oma baik banget," Wina tampak tersenyum karena merasa bahagia bisa menjaga cucunya. Lagi pula dia hanya dirumah saja tanpa ada yang menemani, akan tetapi kini setelah ada Kenzie dia merasa memiliki teman bermain, meskipun masih bayi. Saat keduanya sedang berbincang di teras tiba-tiba saja ada yang datang bertamu. "Permisi," kata Adel. Ayunda dan Wina pun menoleh. "Nyonya Adel," kata Ayunda yang cukup mengenali Adel. "Boleh kita bicara sebentar," pinta Adel. "Dia siapa? Teman kamu?" tanya Wina yang merasa asing dengan wajah Adel. "Dia istrinya David, Ma," jawab Ayunda. "Setelah Ibunya istrinya yang datang ke sini
"Tapi dia milik ku," kata David lagi sambil terus mengingat wajah Ayunda. Rasa tak percaya akan semuanya, hingga banyaknya foto pernikahan Ayunda yang dia lihat berhasil menyadarkan bahwa Ayunda telah menjadi milik orang lain.Benar-benar menjadi milik orang lain!Semua perjuangannya ternyata sia-sia, semua cinta yang dimiliki ternyata tidak berarti apa-apa. "Kamu harus bangkit, kenapa jadi selemah ini?! Kamu bukan lelaki yang lemah David, ini bukan David yang aku kenal selama ini," kata Adel lagi menyemangati David. Tak terasa genggaman tangan David terlalu kuat hingga memecahkan botol minuman di tangannya. Beling yang menancap di tangannya pun tak lagi terasa sakit seiring darah segar yang mulai menetes.Tahukan sakitnya hatinya seperti apa?Ya, lebih sakit dari tusukan beling ditangannya! Saat itu Adel pun mengobatinya agar lukanya tidak semakin mengeluarkan darah. "Kamu harus bisa bangkit, ingat Mama tidak punya siapa-siapa lagi selain kamu. Mama Wina butuh kamu, kamu
Ayunda telah menutup hatinya untuk David, apapun yang terjadi kini dan dulu semuanya telah berubah. Sepertinya Adel pulang dengan membawa kekecewaan mendalam. Sekalipun Adel datang dan menceritakan banyak hal tidak akan mungkin bisa meluluhkan hatinya yang begitu keras. Rasa cinta yang begitu besar telah habis terkikis karena David sendiri. Kerasnya kehidupan membuatnya banyak belajar tentang pengorbanan, hingga dia pun menyadari bahwa dirinya tidak pernah mendapatkan cinta yang tulus selama ini. Persetan dengan cinta, cinta hanya membawanya pada penderita saja. Kini dia hanya ingin fokus untuk membesarkan putranya. Bahkan Ayunda juga tidak bisa lebih lama menantikan perceraiannya dengan Erwin di sah kan oleh pengadilan. Hingga akhirnya dirinya yang mengajukan permohonan cerai di pengadilan negeri. Awalnya Erwin tak percaya dengan itu semua, karena dia telah memutuskan untuk tidak menceraikan Ayunda. Entah mengapa kini Ayunda mampu memikatnya, membuatnya terus saja
"Kamu belum makan kan?" tanya Wina. Tere pun menggeleng pelan sebagai jawaban. Sebelumnya dia memang ingin minum dan makan sedikit saja untuk menambah tenaga. Tapi yang terjadi justru pintu kamar terkunci dan peristiwa itupun terjadi. "Saya temani," Wina pun memegang tangan Tere dan membawanya pergi ke ruang makan sambil menunggu kamar tersebut dibersihkan oleh pembantu. Selain diminta untuk mengganti sprey juga membersikan beling kaca yang berserak di lantai. Sedangkan Tere hanya diam dan mengikut pada apapun yang dikatakan oleh Wina. Andaikan saja Wina jahat dan memberikannya racun dia tidak akan menolak sama sekali. Dia begitu kacau membuatnya tidak memilki gairah untuk melanjutkan hidupnya lagi. "Tere, ayo makan," Wina pun kembali menyadarkan Tere dari diamnya. Dia hanya duduk sambil melihat sepiring nasi goreng di atas meja makan yang baru saja dibuat oleh Wina sendiri. Tengah malam seperti ini menurutnya lebih baik makan nasi goreng pasti rasanya lebih enak
Wina pun menutup pintu kamar agar Tere tak mendengar suara mereka. Anaknya harus diberikan peringatan habis-habisan, jika tidak maka ini bisa saja terulang kembali. Dia bisa mati berdiri akibat ulah anaknya ini. Sudah cukup putrinya yang merasakan menderita karena suaminya, jangan lagi ada wanita lainnya dan anaknya yang menjadi penjahatnya. Tidak. Kini keduanya berdiri di depan pintu kamar, mulut Wina tak sabar untuk segera mendengar jawaban dari sang anak dari setiap pertanyaannya. "Zidan, apa yang kamu lakukan?" tanya Wina secara langsung. Tidak ada basa-basi lagi dan Zidan harus menjelaskan dengan cepat tanpa bertele-tele. "Ma, Zidan nggak sepenuhnya salah," ucap Zidan yang juga berusaha untuk membela diri. "Kamu bilang apa?" Wina ingin sekali memukul sang anak saat ini juga. Mungkin otak anaknya sedang berpindah dari tempatnya hingga akhirnya dia menjadi seperti ini. "Tidak waras," gerutunya yang tidak bisa menerima jawaban sang anak. Bahkan tangannya sudah siap
Akhirnya Zidan pun mendapatkan puncaknya, kini dia terkulai lemas di atas tubuh Tere. Perasaannya kini jauh lebih lega dari pada sebelumnya. Sesaat kemudian dia pun mulai bergerak untuk turun dan menyadari bahwa Tere tidak sadarkan diri. Ada rasa panik yang mulai melanda, dia merasa malu mengingat kembali apa yang dia lakukan barusan. Setelah memakai pakaiannya kembali dia pun mencoba untuk membangunkan Tere. "Tere!" panggilnya. Zidan benar-benar bingung dengan dirinya yang tidak bisa mengusai dirinya sendiri hingga ini terjadi. "Tere," panggil Zidan lagi tapi Tere tidak juga sadarkan diri. Dia pun menarik selimutnya untuk menutupi tubuh polos wanita itu. Kemudian meraih ponselnya bertujuan untuk meminta orang rumah untuk membukakan pintu kamar. Kenapa sebelumnya dia tidak melakukan ini? Seharusnya dia melakukan ini sebelum semuanya terjadi kan? Tidak. Sebelumnya reaksi obat yang membuatnya kehilangan kesadarannya. Pikirannya hanya tentang menuntaskan sesua
Zidan ingin sekali menguasai dirinya sendiri, tapi obatnya jauh lebih kuat dari pada dirinya. "Kak, lepas!" seru Tere sambil menusukkan kuku-kukunya pada punggung Zidan. Dia berharap dengan begitu Zidan akan merasa sakit dan segera menghentikan semua ini.Atau pun mungkin saja Zidan akan tersadar hingga tidak lagi seperti iblis.Tere takut jika Zidan seperti ini, bagaimana dia bisa menyerah dirinya seperti ini?Sambil berlinang air mata Tere pun terus berusaha sekuat tenaga untuk mencakar punggung Zidan. Tapi ternyata tidak menjadi masalah sama sekali, karena Zidan terus saja melakukan aksinya. Tangannya semakin menjelajah liar di tubuh Tere, bersamaan dengan hisapan pada tengkuk yang menciptakan warna merah keunguan.Kini tangan Zidan memegang tengkuknya, sedangkan sebelah lagi menjalar ke bawah sana.Tere merasa bukan menjadi seorang istri yang jatuh melayani suaminya, tepatnya seperti seorang wanita yang tengah melayani nafsu gila iblis. "KAK ZIDAN!!" Seru Tere semakin ke
Zidan pun masuk ke dalam kamar, ternyata bertepatan dengan Tere yang baru keluar dari kamar mandi dengan handuk kimono nya. Ini untuk pertama kalinya terjadi, dan cukup mengejutkan untuk Tere. Tere pun menundukkan kepalanya sambil berjalan ke arah almarmari, mencari pakaiannya. Mungkin karena terlalu banyak menangis membuatnya tidak bisa fokus. Bahkan dia mandi karena ingin menyegarkan tubuhnya yang terasa kelelahan. "Kau sengaja ingin menunjukkan ini?" sinis Zidan. Dia yakin wanita di hadapannya ini sedang merencanakan sesuatu hal. Mengingat kelakuan Tere yang begitu diluar batas, tidak tutup kemungkinan apa yang dia ucapkan benarkan? Ataupun mungkin Tere ingin menggodanya? "Aku tidak tertarik sama sekali," kata Zidan lagi dengan angkuhnya. Kemudian dia pun membalikkan badannya karena ingin segera pergi. Tapi ternyata pintu tidak bisa dibuka. "Siapa yang mengunci?" tangannya bingung. Cepat-cepat Tere pun memakai piama tidurnya agar lebih menutupi tubuhnya.
Dengan membawa perasaan bahagia Ayunda pun kembali ke kamarnya. "Akhirnya Zidan akan tunduk pada Tere," kata Ayunda dengan senyuman penuh dengan kemenangan. "Kakak kenapa?" tanya Ayunda melihat wajah David yang mulai memerah. Tapi belum juga menjawab pertanyaannya David sudah kembali masuk ke dalam kamar mandi dan mengguyur tubuhnya dengan air dingin. "Aneh," kata Ayunda yang tidak ambil pusing dengan keadaan David. Menurutnya David sedang ingin cepat-cepat buang air hingga harus dituntaskan dengan segera.. Hingga Sesaat kemudian David pun keluar dari kamar mandi. "Kak, Ken sama Mama ya?" "Iya, kata Mama Papa minta Ken tidur dengan mereka," jawab David. Segera David pun naik ke atas ranjang bersebelahan dengan Ayunda. Tapi pikirannya sudah semakin dikuasai oleh obat sialan barusan. Bagaimana ini? Dia terus menatap wajah Ayunda yang ada di sampingnya. "Kak, kira-kira ini akan berhasil nggak ya?" tanyanya berharap semuanya lancar jaya. "Kita doa kan saja." "Semog
"Ini, Bos," Bimo pun mengantarkan obat yang diminta oleh David. "Terimakasih," kata David. Terimakasih? Bimo cukup bingung karena mendengar ucapan terimakasih dari mulut bosnya. "Kenapa?" tanya David yang bingung dengan reaksi Bimo. "Tidak, Bos saya permisi," pamit Bimo. "Hem!" Setelah Bimo pergi mobil Zidan pun terlihat mulai memasuki pintu gerbang. David pun masih berdiri di teras menunggu Zidan keluar dari mobilnya. "Aku ingin bicara," kata David. "Aku juga," balas Zidan. "Kita bicara dibelakang saja," kata David. Zidan pun mengangguk dan keduanya menuju taman belakang, duduk di kursi saling berhadapan dengan meja berbentuk bulat yang berada di tengah keduanya. Huuuufff... "Bik, tolong buatkan kopi," kata Zidan saat melihat seorang art di kejauhan sedang melintas. Tak berselang lama dua cangkir kopi pun tiba dan kini diletakkan di atas meja. "Setelah kejadian kemarin aku terus diancam oleh Tuan Herlambang," kata Zidan yang memulai pembicaraan. "Kej
Ayunda pun telah membawa Tere untuk kembali ke rumahnya. Dia benar-benar tidak bisa meninggalkan Tere di apartemennya sendiri.Tidak, setelah hari ini bukan tidak mungkin Tere akan mengulanginya kembali dan dia pasti akan merasa bersalah. Bahkan Ayunda pun sudah menceritakan tentang apa yang barusan dilakukan oleh Tere yang hampir mengakhiri hidupnya pada Wina. "Ma, Tere mencoba untuk bunuh diri," kata Ayunda. "Ya ampun, apa itu benar?" tanya Wina yang benar-benar terkejut mendengarnya. "Iya, Ma. Untung aja Yunda cepat datang kalau nggak?" Ayunda pun menggelengkan kepalanya karena tak sanggup melanjutkan ucapannya. "Mama jadi kasihan sama dia, Kakak kamu kok tega sekali melakukan hal jahat ya?" Wina dibuat geleng-geleng kepala oleh tingkah putranya yang tak pernah dia bayangkan selama ini. "Iya, Ma." "Sekarang Tere dimana?" "Di kamarnya, tapi kayaknya Yunda bakalan tidur sama Tere terus deh, Ma." "Kenapa begitu?" "Biar Kak Zidan nggak bisa jahatin Tere." "Trus
Tere pun mulai tersadar, dia merasa mual dan segera lari ke kamar mandi. Mungkin ini karena alkohol yang begitu banyak dia teguk. Tapi sesaat kemudian dia pun segera memandikan tubuhnya. Setelah itu dia segera mencari keberadaan Ayunda. Tok tok tok. Tere memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar Ayunda pagi-pagi sekali. Pintu kamar pun terbuka dan Ayunda yang membukanya. "Kamu udah bangun? Padahal tadi pas aku tinggal kamu masih belum bangun," ucap Ayunda. Tere bingung dengan maksud Ayunda. "Semalam aku tidur sama kamu, barusan aku balik ke kamar aku," terang Ayunda. "Benarkah?" Tere benar-benar tidak mengetahuinya. "Gimana keadaan kamu?" "Aku baik, Yunda aku minta alamat makam Mama boleh?" "Iya." Ayunda tidak mau melihat Tere terlalu lama bersedih dan dia pun segera memberikan pada Tere. "Makasih ya, Yunda. Aku pamit," kata Tere kemudian dia pun memeluk Ayunda. "Pamit?" tanya Ayunda bingung. "Aku pergi," kata Tere lagi. Kemudian dia pun segera p