Entah kemana tujuannya, yang jelas Ayunda terus melangkah tanpa arah dan tujuan membawa nasibnya yang begitu malang. Tidak ada lagi tempatnya bersandar, mengadu apa lagi bermanja-manja. Dia sendiri, sebatang kara dan penuh dengan kesedihan. Dulu dia pernah hancur berantakan setelah mengetahui kehamilannya, kemudian Erwin pun datang seakan menjadi penyelamat dunianya. Dia pikir Erwin adalah malaikat penolong yang sudah dikirimkan semesta untuknya, menutupi segala kepedihan dan menggantikan dengan cahaya kebahagiaan. Tapi kenyataannya itu hanya sebuah sandiwara cinta yang sebenarnya tidak pernah ada. Justru setelah menikah masalahnya semakin berat. Semua tuduhan malah diarahkan padanya, seakan dirinya adalah tersangka utama dari semua ini. Berbagai tuduhan pun terus menerjangnya hingga akhirnya tak ada tempat yang menerimanya lagi. Hari semakin malam, melangkahkan kaki pun mulai terasa lelah. Dia pun memutuskan untuk duduk sejenak di sisi jalanan. Melihat sekitarny
Diam rasanya sangat menyesakkan, sedangkan berbicara pun siapa yang akan mendengarkan? Semetara sabar rasanya sudah sangat menyakitkan. Akhirnya aku terdiam dalam kepiluan. Tusukan jarum ini terlalu dalam hingga melukai jiwa dan perasaan. Aku yang dulu selalu menghiasi bibir ini dengan senyuman manis kini mulai terganti dengan kesedihan. Menangis meratapi nasib yang penuh dengan kemalangan. Ini takdir atau kesalahan yang aku lakukan? Jika ini adalah takdir aku ingin mengatakan bahwa aku menyerah. Namun, jika ini awal dari kesalahan maka aku katakan bahwa aku menyesalinya. Bisakah semuanya berubah menjadi lebih indah? Rasanya raga ini tak lagi mampu untuk membawa semua ini. Aku yang penuh luka harus mengobati luka ku sendiri. Sampai disini aku tak percaya lagi ada cinta yang sejati. Sampai dititik ini aku tak lagi ingin menjadi wanita yang dicintai. Apakah aku terlalu mendramatisir keadaan ku? Tapi aku sudah terlalu terpuruk dalam luka ini, luka yang entah k
Ayunda duduk di sebuah kursi meja makan, ternyata yang lainnya sudah selesai sarapan pagi. Dia sebagai orang baru tentunya masih bingung harus bagaimana dan melakukan apa. Hingga dia pun hanya duduk sambil meneguk mineral dan mengedarkan pandangannya. Akan tetapi dia merasa orang-orang disana begitu ramah padanya. Hingga saat dia kebingungan seorang wanita pun menghampirinya. "Kamu Yunda kan? Pembantu baru?" tanya wanita tersebut dan sepertinya mereka berdua seumuran. "Iya," jawab Ayunda dengan suara pelan. "Kenalin, aku Gia. Aku pembantu juga disini, tadi Buk Nining pesan. Kalau kamu masih belum mengerti tentang apapun itu disini tanya aja sama aku," ucap Gia dengan ramahnya. "Terimakasih," Ayunda pun merasa lebih baik karena ada pembantu yang ternyata begitu ramah. "Sekarang kamu sarapan dulu, disini kita bebas mau ngapain aja. Karena ini dapur khusus untuk pembantu," terang Gia lagi. "Oh," Ayunda pun mengangguk mengerti. "Kamu pasti mau sarapan? Mau bikin sarapa
Ayunda menarik napas panjang setelah menghitung jumlah uang recehan miliknya yang baru dia keluarkan dari dompetnya. Dia hanya ingin membeli nasi goreng yang dijual di pinggir jalan sana. Entah kenapa dia ingin sekali makan nasi goreng malam ini.Untuk membeli makanan saja dia begitu kesulitan, jalan hidupnya benar-benar sangat rumit setelah malam bersama David terjadi.Ayunda sangat menyesali, sayangnya semua penyesalan tak ada gunanya sama sekali."Hidup ku benar-benar berantakan," gumamnya. Setelah mempertimbangkan antara pergi untuk membelinya atau tidak akhirnya dia pun memutuskan untuk pergi membeli. "Baiklah, kita beli nasi goreng," kata Ayunda sambil mengelus perutnya dan seakan berbicara pada calon anaknya.Ayunda tak dapat menahan keinginannya, sehingga dia akan berusaha untuk mendapatkannya. Dia pun mulai berjalan kaki untuk menuju tempat tujuannya, sebab jika menumpangi ojek apa lagi memesan taksi sudah pasti uangnya tidak cukup. Tapi, keinginan yang sudah begi
"Hatttccciiiim." Akibat kehujanan membuatnya menjadi bersin-bersin. Bahkan saat sudah mengganti pakaiannya pun dia masih saja merasa kedinginan. Tapi meskipun demikian dia tetap ingin memakan nasi gorengnya. Dengan handuk di kepala dia pun menuju dapur dan membawa nasi goreng miliknya. Setelah mengambil piring dia duduk di kursi meja makan. Tentu saja tempat makan khusus pekerja yang telah disediakan oleh pemilik rumah. "Hatttccciiiim." Ayunda masih saja bersin-bersin, sesekali tangannya mengucek hidungnya yang terasa gatal. Tapi tidak masalah karena dia masih bisa menahannya, sambil terus menikmati nasi goreng yang penuh perjuangan ini. "Yunda, kamu dari mana?" tanya Gia yang baru melihat Ayunda. "Eh, Gia, tadi aku beli nasi goreng," kata Ayunda. "Wah kelihatannya enak." "Kamu mau?" "Aku masih kenyang, abis makan bakso," ucap Gia. Ah, mendengar kata bakso membuat Ayunda jadi ingin memakannya. Aneh rasanya, padahal dia masih belum menghabiskan nasi gore
Setelah beberapa saat diam mematung menatap 4 buah mangga di tangannya akhirnya Ayunda pun memutuskan untuk memakannya. Anehnya lagi buah mangga tersebut terasa begitu manis di lidahnya, dia bahkan sampai menghabiskan tanpa sadar. "Rasanya manis banget sih, enak banget," ucapnya sambil kembali menatap pohon mangga yang menampakkan begitu banyak buah yang menggantung. Bahkan Ayunda memakannya secara langsung tanpa menggunakan pisau sama sekali. Sungguh keinginan seorang wanita hamil terkadang sedikit berbeda dari wanita lainnya. Namun kini tidak lagi berusaha untuk mengambilnya, memilih untuk kembali ke kamar lalu tidur. Saat pagi harinya dia pun terbangun, tapi dia merasa tidak nyaman. Rasanya begitu dingin dengan tubuh yang menggigil. Kakinya terasa nyeri dan terlihat bengkak, dia juga bingung melihatnya. "Hatttccciiiim!" beberapa kali Ayunda pun menggosok hidungnya karena terasa tidak nyaman. Sepertinya karena semalam kehujanan membuatnya menjadi seperti ini. N
Sebenarnya Ayunda masih harus dirawat di rumah sakit, akan tetapi dia bersikeras ingin segera pulang. Selain karena merasa lebih baik, juga karena biaya yang dikeluarkan akan lebih banyak. Uang penjualan kalung miliknya tak seberapa, bahkan tidak sampai sepuluh juta. Sedangkan untuk satu hari di rumah sakit juga sudah terpakai beberapa juta karena mendapat penanganan yang bisa dikatakan cukup serius. Ayunda masih membutuhkan lebih banyak uang untuk biaya melahirkan, apa lagi dia belum membeli perlengkapan bayi sama sekali. Semuanya kini menjadi beban pikirannya, sejenak Ayunda kembali mengingat saat-saat dulu David memberikannya kalung tersebut. David mengatakan bahwa dia membeli kalung tersebut dari gajinya sewaktu bekerja dengan Zidan. Harganya memang tidak seberapa, tapi kenangannya begitu banyak. Namun, jika mengenang hanya membuat semakin terluka ada baiknya jika menjualnya, ini juga untuk keperluan dirinya dan darah daging David sendiri. Anggap saja itu sebagai
Padahal baru saja Ayunda merasa sesuatu yang sangat besar, rasa yang sangat berbeda ketika makanan yang dia makan tangan David yang memasak. Dia juga tidak tahu apa sebabnya, bahkan saat pertama kali memasukan nasi goreng ke dalam mulutnya, ada pergerakan dari dalam sana. Mungkin janin tersebut merasa bahagia karena kembali mendapatkan sesuatu dari hasil buatan tangan ayahnya. Meskipun Ayunda tidak mengatakan pada David tapi dia juga tidak menepis anggapan itu. Sebab sudah sering kali merasa pergerakan lebih aktif ketika berdekatan dengan David. Mungkin saja dia tahu bahwa kini sedang berdekatan dengan sang ayah, ikatan yang telah tercipta sejak dini itu benar adanya. Sayangnya rasa penuh dengan kebahagiaan itu harus dipatahkan oleh ucapan David yang sangat menyakiti hati. Perasaan sensitif dan hati yang memang kini begitu rapuh. Hingga dia harus menelan nasi dengan menahan sesak di dada. "Ternyata ada kamu disini." Ayunda yang mendengar suara pun mulai tersadar dari l
Sedangkan David merasa khawatir karena sejak tadi Ayunda tidak bisa dihubungi. Bukankah Ayunda mengatakan untuk tidak menghubunginya selama 1 jam saja? Tapi ini apa? Sudah berjam-jam wanita tersebut tidak bisa dihubungi. David pun semakin merasa cemas, dan dia tidak bisa diam saja. Segera menuju rumah Ayunda dan bertepatan dengan Wina yang sedang menggendong Ken di teras. "Selamat sore, Tenta," sapa David. "Iya." David pun menatap wajah putranya yang sudah terlelap dalam gendongan Wina. Kemudian kembali menatap Wina. "Tante, Ayunda sudah pulang ke rumah ya?" tanyanya. Tak peduli jika pun Wina kesal padanya, sebab kini lebih sering berkunjung ke sana. Yang terpenting bisa bertemu dengan Ayunda dan anaknya adalah hal yang membuatnya bahagia. "Ayunda pergi dengan teman-teman kantornya ke desa, tapi Tante juga lupa nama desanya. Katanya menginap di sana," terang Wina. David pun dibuat terkejut mendengar penjelasan Wina. Ayunda tak memberitahu jika dia akan perg
Desa yang masih begitu asri, tempat dimana mereka akan memulai proyek untuk kemajuan desa tersebut. Sekaligus membuka lapangan pekerjaan, dimana penduduknya banyak yang merantau ke kota karena sulitnya mencari pekerjaan di sana. Ayunda sampai terkagum-kagum melihat desa tersebut. Terbiasa tinggal di kota membuatnya merasa nyaman dengan kondisi desa yang begitu asri ini. "Suaranya indah banget," kata Ayunda sambil membuka tangannya lebar-lebar menikmati udara segar yang berhembus. Kemudian dia pun menghirup udara sebanyak-banyaknya dan menghembuskan secara perlahan. "Semua beban rasanya hilang," ucapnya lagi. "Iya, ini indahnya kebangetan," ucap Tere yang juga membenarkan. Perjalanan dari kota ke desa tersebut memakan waktu tempuh lebih kurang 7 jam, sehingga mereka pun tidak mungkin dalam satu hari pulang dan pergi. Apa lagi melihat pemandangan yang sangat indah ini. Tapi mereka sudah disediakan rumah oleh kepala desa tersebut untuk menginap selama satu malam ini.
"Maaf, Bos, tadi hanya orang tidak penting," ucap Ayunda setelah kembali ke ruangan. Kemudian dia pun meneguk mineral yang ada di atas mejanya, dia harus bisa menenangkan diri agar bisa tenang menghadapi pekerjaan hari ini. Sungguh bertemu dengan David membuat suasana hatinya menjadi sangat kacau. "Sepertinya kamu sangat kesal," tebak Yusuf. "Sedikit," kata Ayunda lagi. "Sedikit?" "Aku nggak tahu kenapa dia terus saja menggangu aku, dulu dia kemana aja?" ucap Ayunda penuh kekesalan. "Dia siapa?" "Ayah Kenzie," ucap Ayunda. "Ah, iya. Aku juga mau mengatakan padamu bahwa proyek Erwin telah digantikan oleh David. Aku dengar Erwin menjualnya pada David," terang Yusuf. "Menjual?" tanya Ayunda tak habis pikir. "Iya." "Menjual atau dia yang memaksa," gerutu Ayunda. Yusuf pun mengangkat kedua bahunya, dia juga tak mengerti. "Sehingga dari sini dan kedepannya kita akan terikat kerja sama dengan David, sampai proyek ini selesai, lagi pula jika proyek ini kita putuskan
Setelah Ayunda memarkirkan mobilnya dia pun segera turun. Ternyata bertepatan dengan Tere sang sahabat juga baru tiba. "Yunda!" seru Tere sambil menghambur memeluk Ayunda. "Pagi ayang," sapa Ayunda. "Pagi, hari ini kita jadi berangkat kan ke desa terpencil itu?" "Iya, soalnya kita harus lihat dulu keadaan desanya. Setelah itu baru nanti kita bicarakan kelanjutan proyeknya," terang Ayunda lagi. "Iya sih." Keduanya pun mulai berjalan masuk ke dalam kantor tempat mereka bekerja. Sambil berjalan mereka bercerita banyak hal. Terutama tentang pekerjaan. Ting! Ponsel Ayunda pun berbunyi, sebuah notifikasi pesan masuk. [Sayang, kenapa kamu pergi gitu aja] "Apaan sih ini orang?!" Ayunda pun mulai memblokir nomor ponsel David. Dia kesal karena pria tersebut terus saja mengirimkan pesan yang menurutnya sangat menjengkelkan. "Siapa?" Tere pun penasaran melihat Ayunda begitu kesal. "Orang gila!" "Kejam sekali," kata Tere sambil tertawa kecil. "Emang iya." "H
Lagi males up, tapi ada satu pembaca namanya Kak Eka, aku pun semangat.... Selamat membaca... *** Malam ini Ayunda merasa sangat lelah, setelah seharian bekerja. Pekerjaan hari ini terasa sangat banyak membuatnya kehabisan tenaga. Tapi bersyukur karena anaknya tidak rewel, Ken begitu lelap tertidur sehingga dia pun bisa langsung tertidur. Namun, saat malam harinya dia pun terbangun karena tangisan sang anak. Wajar saja karena biasanya anaknya minum susu di jam seperti ini. Dengan setengah sadar dia pun segera membuat susu, kemudian segera memberikan pada sang anak sambil merebahkan dirinya kembali pada ranjang. Akan terjadi anehnya sang anak belum juga berhenti menangis. Ayunda pun kembali membuka matanya, dia pun tersadar ternyata yang dia berusaha susu bukan pada anaknya. Melainkan pada bantal. "Ya ampun, aku ini. Maaf ya, Nak," ucapnya yang kini barulah memberikan susu dengan benar pada sang anak. Ken pun perlahan mulai tertidur kembali, begitu juga dengan
David pun memutuskan untuk keluar dari ruangan itu. Dia ingin membiarkan Adel dan Hera berbicara dengan leluasa. Namun, ternyata Yogi juga ikut menyusulnya, kini keduanya duduk di kursi yang berada di depan ruangan Hera. "Sejak kapan kau dan Adel punya hubungan?" tanya David. "Sejak tadi," jawab Yogi. David pun menatap wajah Yogi yang duduk di sampingnya. Jawaban sepupunya itu memang terdengar cukup aneh. Tapi dia situ David tahu jika tidak ada keseriusan di dalamnya. "Kenapa? Kamu cemburu?" tanya Yogi lagi. David pun hanya diam saja tanpa menjawab sama sekali. Lagi pula dari mana datangnya rasa cemburu, sedangkan semua cinta dan kasih sayang sudah habis dia berikan pada Ayunda. "Apa kau memiliki rasa tertarik padanya?" David pun mengembalikan pertanyaan pada Yogi. "Itu rahasia," jawab Yogi. David pun mengangguk, "Tapi satu hal yang aku ingin katakan pada mu, dia adalah wanita yang baik, tolong jaga dia," ucap David. David memang tidak pernah tertarik pada
Adel duduk sendiri di taman rumah sakit, dia tak mengerti mengapa jalan hidupnya begitu berat. Dia juga bertanya-tanya apakah mungkin jalan yang dia pilih salah? Apakah dia yang terlalu berharap bisa dicintai oleh David hingga rela menjalani pernikahan tanpa cinta?Apa yang dia harapkan?Dicintai David?Konyol! Padahal sejak awal sudah tahu cinta David tidak pernah ada untuknya. Huuuufff. Adel pun menarik napas berat ketika memikirkan jalan hidupnya yang begitu rumit ini. "Hay," Yogi pun langsung duduk di sampingnya. Adel pun menoleh, menepikan lamunan yang terasa begitu berat. "Kamu memikirkan sesuatu?" tanya Yogi. "Menurutmu?" tanya Adel kembali. "Jangan pikirin lagi, ada aku di sini kan?" celetuk Yogi. "Playboy cah buaya darat mulai beraksi," sindir Adel. "Aku bukan buaya darat!" "Lalu?" "Aku ini adalah lelaki yang tampan, lagi pula buaya itu setia!" katanya lagi. Adel pun tersenyum miring mendengarnya. "Selama dia di air," lanjut Yogi. "Dasar," ge
"Minggir, aku mau turun!" pekik Ayunda. Kemudian dia pun melihat jam dinding, karena dia tak bisa berlama-lama di sana. Ini jam kerja, tujuannya ke sana untuk memperingati David tapi malah seperti ini. "Yunda, Kakak kangen banget sama kamu," ucap David sambil bergerak ingin memeluk Ayunda. "Apa sih?! Aku nggak mau! Hargai aku dong!" kata Ayunda. David pun mundur selangkah karena tidak ingin Ayunda lebih marah. "Kalau mau peluk, peluk istri mu!" "Sudah aku katakan kami sudah bercerai, ya tapi kami masih tinggal satu rumah karena dia sudah seperti keluarga untuk kami," terang David. "Gila, otak mu tidak waras!" "Biarkan saja.""Gila!" "Kamu kerja sama Kakak aja gimana?" David pun mulai menawarkan pekerjaan untuk Ayunda. Semetara Ayunda tidak akan tertarik dengan tawaran David. "Terserah kamu mau gaji berapa, aku kasih cek kosong kamu bisa isi sendiri," lanjut David. Ayunda pun tersenyum mendengar penawaran David. Membuat David pun merasa bahagia karena bisa
Bertapa bahagianya Ayunda karena hari ini telah resmi bercerai dengan Erwin. Setelah berjuang cukup lama akhirnya dirinya berhasil mendapatkan kemenangan. "Akhirnya aku nggak ada ikatan pernikahan dengan Erwin lagi," ucapnya pada Tere. Setiap hal yang terjadi padanya Tere lah orang yang juga mengetahui tentang dirinya. Sebab persahabatan mereka seperti saudara, meskipun Tere adalah bagian dari keluarga Erwin. Tapi jangan lupa ternyata Tere hanya anak angkat saja. Namun, Ayunda tak pernah membahasnya sebab tak ingin membuka luka Tere lebih dalam. "Sepertinya kalian sedang bahagia?" tebak Yusuf yang baru tiba di kantor dan melihat ada Ayunda dan Tere yang berada di ruangannya. "Iya, akhirnya aku resmi jadi janda," celetuk Ayunda. "Kamu ini ada-ada aja, memangnya tidak bersedih setelah bercerai?" tanya Yusuf diiringi dengan tawa kecil. "Terdengar konyol, tapi menjadi janda itu lebih baik daripada terus menjalani rumah tangga dengan orang yang tidak tepat," jawab Ayund