Share

1. Kebenaran

Author: Evie Edha
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Ruangan yang sebelumnya dipenuhi rasa bahagia kini diliputi kebingungan. Sosok perempuan lain yang hadir menghentikan pernikahan membuat suasana menjadi tegang. Bisik-bisik semakin sentar terdengar.

Beberapa orang mulai memikirkan hal yang tidak-tidak, bahkan beberapa pandangan yang terarah pada Nada mulai terlihat sinis. Namun, tidak sedikit pula yang menatapnya iba.

"Mas. Bukankah itu mantan istri kamu?" tanya Nada yang kini buka suara. Wanita itu menatap calon suaminya dan seseorang yang berada di ambang pintu dengan tatapan sulit diartikan.

Rina—orang yang katanya istri dari Saka mendengar apa yang diucapkan oleh wanita dengan kebaya yang melekat di tubuhnya tersenyum miring.

"Mantan istri?" Suara yang keluar dari bibir sensual itu terdengar sinis. "Saya masih sah menjadi istrinya Mas Saka."

"A_apa?" Suara Nada tertahan di tenggorokan, ia memandang Saka dengan isyarat menuntut akan sebuah jaawaban. Sayangnya, keterdiaman Saka membuat dia menangkap suatu hal kalau perempuan itulah yang benar.

Dia menatap Saka dan Rina secara bergantian dengan mata berkaca. Saka, pria itu masih tetap menunduk, seperti menguatkan apa yang baru saja dia dengar.

"Ya. Laki-laki pengecut itu masih sah menjadi suami saya." Rina kembali mengatakan dengan sejelas-jelasnya.

"Apa-apaan ini?" Pak Baron yang sebelumnya hanya diam kini bangkit dengan wajah penuh kemarahan. Rasa pening yang menyerang, beliau tekan sekuat mungkin demi untuk menyelesaikan masalah ini terlebih dahulu.

Rina mengangkat satu alisnya. "Apakah perkataan saya kurang jelas? Laki-laki itu, yang duduk sebagai mempelai pria dari anak Bapak, masih sah menjadi suami saya." Rina menunjuk keberadaan Saka yang kini masihdiam.

"Jadi Nada ini pelakor begitu?" Salah satu tamu berbisik pada temannya.

"Entahlah, Bu. Bingung." Suara tetangga Nada mulai terdengar.

"Tapi kalau bukan pelakor apa namanya menikahi pria yang masih menjadi suami orang?" Baiklah. Mulut ibu-ibu yang sudah mendengar atau melihat sebuah hal yang tidak terduga pastinya tidak akan bisa berhenti.

Yunus. Paman Nada yang mengetahui kondisi mulai tidak kondusif turut angkat bicara, ia berdiri memberikan senyum ramah pada para tamu undangan. "Ibu-ibu, Bapak-bapak. Maaf. Sepertinya acaranya ditunda dulu, ya. Ada sedikit kesalahpahaman di sini. Kami mengucapkan banyak-banyak minta maaf."

Apakah akan semudah itu?

Tentunya tidak. Rina yang masih berdiri di depan pintu kini kembali mengeluarkan suaranya. "Kenapa mereka semua diminta pergi? Apa kalian takut malu karena salah satu keluarga kalian ketahuan merebut suami orang?"

Saka yang sedari tadi menunduk kini mendongak, menatap tajam ke arah Rina. "Cukup, Rina! Cukup! Sudah cukup kamu membuat kerusuhan."

"Dan membiarkan kamu melakukan kedzaliman? Mengkhianati kami dan menikahi perempuan itu? Tidak akan, Mas!" teriak Rina membalas ucapan Saka.

"Sikapmu tidak adil pada kami, Mas." Tatapan meremehkan Rina sebelumnya kini berubah menjadi kemarahan.

"Satu Maret." Di menatap Nada. "Suamiku mulai terlihat berubah. Sebelumnya aku juga merasakan hal itu, tetapi hari itu semuanya tampak jelas perubahannya." Rina mulai memaparkan sesuatu.

Mata Nada berkaca. Tanggal satu Maret adalah tanggal di mana ia menerima cinta Saka setelah hampir dua Minggu mereka saling kenal, sikap baik yang ditunjukkan Saka membuat ia luluh dalam waktu sekejap.

"Dimulai hari itu, suamiku tidak pernah lagi peduli pada aku dan putrinya. Dia yang biasanya selalu menuruti apa pun permintaan putri kami, sekecil apa pun itu, hari itu dia mulai mengabaikannya."

"Ah. Saya ingat." Suara pekikan seseorang membuat semua atensi menatap asal suara.

Ibu Susi, perempuan dengan gamis cokelat membuka mata lebar. "Putri saya, Safira. Adalah teman kerja Nada. Dia pernah bilang kalau Nada memiliki hubungan dengan pria yang statusnya belum jelas. Apakah ini ...." Dia seperi sengaja menggantungkan kalimatnya.

Ibu Susi memandang sekitar. Ia menutup mulut secepatnya kala melihat semua pandangan terarah padanya. "Maaf. Tolong lupakan ucapan saya."

Sedangkan Rina tersenyum miring mendengarnya. Dia melanjutkan. "Di hari kenaikan kelas, tanggal lima Mei. Suami saya tidak datang ke sekolah putri kami. Padahal, dulu dia yang paling marah jika saya membuat kedatangan kami terlambat ke sekolah. Dan untuk pertama kalinya hari itu dia menolak ketika saya ajak untuk mengambil raport anak kami."

Ingatan Nada berputar, lima Mei adalah hari pertama Saka mengajaknya untuk berkencan. Mereka melakukan perjalanan ke puncak. Dan di sana, mereka mereguk kebahagiaan manisnya madu terlarang.

"Sepuluh Agustus," lanjut Rina. "Putriku berulang tahun. Sampai jam dua belas malam dia menunggu kedatangan papanya. Tapi apa? Suamiku tidak pulang sama sekali. Bahkan sampai tiga hari ke depan."

Suara Rina kini terdengar parau, mata wanita itu berkaca, tetapi sorot yang ditampilkan seakan mengatakan bahwa dia harus kuat menghadapi semua ini.

Nada dipaksa untuk kembali berpikir. Di tanggal itu, Saka dan dirinya berada di Bali, dua hari sebelumnya pria itu mengajak dirinya ke sana dengan alasan ingin merayakan ulang tahun Nada yang masih akan terjadi lima hari lagi.

Oh tidak. Bagaimana bisa dia tidak tahu semuanya?

"Selang seminggu kemudian, dia pulang. Tahu apa yang dia katakan padaku? Dia meminta izin untuk menikah lagi dan mengancam akan menceraikan aku jika aku tidak mengizinkannya." Rina menarik napas dalam.

"Dan puncaknya adalah sebulan yang lalu. Tanggal sebelas Oktober. Putriku Zahra harus dilarikan ke rumah sakit, tapi dia tidak bisa dihubungi sama sekali. Bahkan setelahnya dia tidak datang untuk menjenguk putrinya sekalipun dia sudah tahu mengenai kondisi Zahra."

Sosok kuat, sombong dan angkuh yang sebelumnya terlihat pada diri Rina kini hancur sudah. Wajah wanita itu sembab dengan lelehan air mata. Memperlihatkan kesakitan di sana.

Katakan. Wanita mana yang tidak akan terluka jika dia mendapatkan perlakuan demikian dari suaminya? Bukan dia. Akan tetapi putrinya.

Kali ini Nada pun turut menjatuhkan air mata. Sebelas Oktober. Hari itu adalah hari di mana dia telah—

"Dan baru aku tahu kalau di hari masuknya Zahra ke rumah sakit adalah hari di mana suamiku melamarmu!" teriak Rina sangat keras. Dia menumpahkan segalanya di depan semua tamu yang hadir.

"Astagfirulloh." Hampir semua orang memegang dadanya sembari beristigfar. Tidak percaya dengan apa yang telah dilakukan Nada.

"Biasanya saya melihat laki-laki sekejam itu di sinetron ikan terbang. Tapi sekarang saya menyaksikannya langsung."

"Iya. Amit-amit jabang bayi. Laki-laki seperti itu beneran ada. Semoga anak saya tidak seperti itu, Bu. Kasihan yang disakiti. Sama pasti bikin malu keluarga."

"Iya. Semoga anak perempuan saya dijauhkan dari laki-laki macam itu."

Tangan Saka mengepal, dia tidak suka dengan bisik-bisik itu. "Tapi aku memang sudah menceraikanmu!" teriaknya menggelegar.

"Mana? Mana surat cerainya? Mana?" Saka diam, dia tidak bisa membalas ucapan Rina. Karena nyatanya dia hanya baru menceraikan Rina sekedar talak, belum sampai tahan pengadilan.

Melihat keterdiaman Saka, Mila ibu Nada yang sedari tadi terpaku mendengar apa yang terjadi tiba-tiba saja jatuh pingsan, beberapa keluarga terkejut akan hal itu.

Tak terkecuali Nada sendiri. "Ibu, Ibu." Bahkan wanita itu kini menangis melihat kondisi ibunya.

Pak Baron semakin diliputi kemarahan. Dia memandang Aska yang sedari tadi diam. "Nak Aska. Apa maksudnya ini? Kalian ingin mempermalukan keluarga saya?"

Aska. Pria berwajah tegas itu kini berdiri, membungkuk di hadapan Pak Baron. "Maaf, Pak. Saya benar-benar minta maaf atas kejadian ini. Saya tidak ada niatan mempermalukan keluarga Bapak. Sesungguhnya saya pun juga tidak tahu kalau adik saya belum menceraikan istrinya. Dia hanya bercerita kalau rumah tangganya sudah selesai, lalu tiba-tiba meminta saya untuk meminangkan anak Bapak untuknya," jelasnya. Tidak ada rasa takut yang terlihat. Hanya ada ekspresi datar di sana.

Namun, Saka tahu ada kemarahan dari sorot mata kakaknya. "Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Saya salah karena tidak benar-benar mencari tahu. Saya salah karena tidak begitu peduli dengan kehidupan adik saya akibat pekerjaan yang saya tangani selepas kematian orang tua kami. Maaf. Sekali lagi maaf."

"Lebih baik kalian pergi dari sini." Pak Baron menunjuk ke arah luar.

Saka gelagapan. "Pak. Lalu bagaimana dengan pernikahan ini? Saya mencintai Putri Bapak?"

Mata Pak Baron melotot. "Kamu masih bertanya soal pernikahan? Dasar laki-laki edan. Tidak punya malu. Kamu sudah mempermalukan keluarga saya, kamu sudah melempar kotoran pada keluarga saya. Dan kamu berharap pernikahan untuk ini? Tidak akan. Pergi. Pergi dari sini."

"Tapi, Pak—"

"Pergi." Pak Baron terus mengusir Saka.

"Pak—"

"Pergi saya bilang." Kali ini dia menyeret Saka keluar dari rumahnya. Tidak peduli jika nanti dia dilaporkan ke polisi atas kasus penyiksaan.

Pak Baron mendorong tubuh Saka sampai tersungkur di halaman. "Pergi dari sini. Jangan tampakkan lagi wajahmu di rumah saya."

"Pak—"

Aska mengambil alih. "Sekali lagi saya minta maaf, Pak Baron." Tidak menjawab, Pak Baron hanya membuang muka.

Aska yang mengerti kekecewaan pria paruh baya itu mulai berlalu. "Kita selesaikan di rumah," ucapnya ketika melewati Rina. Kali ini, dia yang menyeret Saka secara paksa.

Related chapters

  • Aku Bukan Pelakor   2. Kemarahan

    "Bu." Nada menangis melihat keadaan ibunya yang seperti ini. Dia memandangi dokter yang tengah memeriksa keadaan sang ibu dengan perasaan khawatir. "Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Pak Baron. Pria itu menunjukkan mimik tegang dan takut secara bersamaan. Pria dengan kacamata bening itu tersenyum pada Pak Baron. "Penyakit darah tinggi ibu kambuh, Pak. Sepertinya beliau syok. Saya tuliskan resep obatnya nanti diminum kalau ibunya sudah sadar. Jangan membuatnya terlalu banyak pikiran, ya." Pria dengan kemeja putih itu menyerahkan selebaran resep pada Pak Baron. "Kalau begitu saya permisi." "Mari, Dok saya antar." Pria tinggi dengan kulit kecokelatan mengambil alih, dia tersenyum pada Pak Baron sebelum mengantar dokter kepercayaan keluarganya yang akan pulang. Sepeninggal dua orang itu, Pak Baron menatap istrinya sendu. Lalu beralih pada putrinya yang masih memakai kebaya putih. Tanpa kata dia menyeret Nada keluar dari kamar. "Pak—" Panggilan dari Nada tidak sama sekali dia

  • Aku Bukan Pelakor   3. Kabar Burung

    Saka bangkit lalu menatap Rina tajam. Dia mendesis penuh kemarahan. Dengan langkah lebar dia mendekati perempuan itu. Tanpa diduga, Saka mendorongnya sampai punggung membentur dinding, mencekik leher mantan istrinya. Rina yang sudah menduga hal ini akan terjadi masih tampak tenang meksipun lehernya sudah terasa sakit. Bahkan sejak Saka memandang dirinya tajam, dia sudah siap dengan semua ini. Saka berdesis di depan wajah Rina. "Kenapa? Kenapa kau menghancurkan acara pernikahanku?" Tidak takut, Rina malah mendengus sinis. "Kamu pikir aku akan diam dengan apa yang kamu lakukan padaku, Ka? Tidak akan. Aku butuh keadilan akan sikap yang telah kamu perbuat padaku dan Zahra." Rina melirik ruang kerja Aska di mana kakak suaminya ini tadi berlalu, berharap pria itu akan keluar dari sana. Sayangnya Rina lupa jika ruang kerja Aska kedap suara. Oh, tidak. Kenapa dia bisa lupa? Baiklah. Sepertinya Rina harus mencari cara lain. "Itu adalah salahmu sendiri karena tidak mengizinkan aku untuk me

  • Aku Bukan Pelakor   4. Kebenaran Kehamilan

    Waktu masih pagi. Beberapa ibu-ibu sudah berkumpul mengelilingi gerobak sayur yang kebetulan berhenti di depan salah satu rumah warga. Mereka berbelanja sekaligus membicarakan hal apa yang terjadi di sekitar mereka. Terutama mengenai kejadian beberapa hari lalu yang menimpa putri pertama keluarga Pak Baron yang mengalami kegagalan pernikahan karena calon suaminya masih memiliki seorang istri. Kabar itu menggegerkan kampung Anyelir dalam sekejap. "Enggak nyangka ya, Ibu-Ibu kalau Nada seperti itu," ucap seorang ibu-ibu yang memilah sayuran di hadapannya. Seorang ibu lain yang memakai daster bunga-bunga menimpali, "Iya. Ternyata dia mau menikah dengan suami orang." "Padahal, banyak pemuda di kampung yang terang-terangan menyukai dia dan bermaksud melamar dia. Termasuk anak saya si Sapto. Tapi Nadanya malah nolak. Eh, nggak tahunya malah maunya sama pria yang udah punya istri." Dari jauh terlihat Ibu Susi yang berjalan dengan cepat menuju kumpulan para ibu di gerobak sayur. Wajahnya

  • Aku Bukan Pelakor   5. Terusir

    Seorang pria datang bertamu ke kediaman Pak Baron hari ini. Beberapa buah-buahan menjadi buah tangannya untuk datang. Dia cukup bangga kala mendapatkan sambutan ramah dari sang tuan rumah. "Keadaan Ibu bagaimana, Pak?" tanya pria itu yang tidak lain adalah Rizal. Seseorang yang sebelumnya sempat dijodohkan dengan Nada tetapi perempuan itu menolak. Pak Baron tersenyum. "Sudah mendingan, Nak Rizal. Terima kasih. Ini semua berkat Nak Rizal yang sudah mau memanggilkan dokter keluarga Nak Rizal," ucap Pak Baron tampak tidak enak. Rizal membalas senyuman itu. "Ah. Itu bukan apa-apa, Pak. Selagi saya bisa membantu, akan saya bantu. Karena keluarga Pak Baron sudah saya anggap keluarga sendiri." Pria itu memang Pintar berkata-kata manis.Pak Baron semakin merasa tidak enak pada Rizal. "Boleh saya melihat keadaan Ibu, Pak?" "Oh. Boleh-boleh." Pak Baron dengan senang hati mempersilakan. Pria paruh baya itu masih beruntung karena Rizal masih mau berhubungan baik dengan dirinya setelah putrinya

  • Aku Bukan Pelakor   6. Pergi Dari Rumah

    Nada menatap sendu pintu rumahnya yang sudah tertutup rapat. Bahkan dia juga melihat sang ayah yang mulai menutup jendela dengan sedikit tatapan tajam ke arahnya. Seolah-olah dari tatapan itu Pak Baron ingin mengatakan kalau dia sudah sangat membenci anaknya. Nada menunduk, tidak menyangka kalau kehidupan akan berubah sedrastis ini. Dia rasa baru beberapa hari lalu Nada merasakan kebahagiaan akan melepas masa lajang dengan pria yang dia cintai. Akan tetapi, dia tidak menyangka kalau pria itu juga yang telah memberikan luka pada dirinya. Menipu akan status, menjanjikan pernikahan, membuat keluarganya malu dengan kebenaran yang ada. Kini, dia pun harus terusir dari rumah yang sudah membesarkan dirinya karena kehamilan yang ingin dia pertahankan, juga penolakan dirinya untuk menikahi Rizal. Pria yang baru saja disebutkan namanya mendekati Nada. "Sudah aku katakan. Terima saja lamaran dariku. Kamu akan sedikit memberi kebahagiaan pada kedua orang tuamu. Dan anakmu yang tidak memiliki a

  • Aku Bukan Pelakor   7. Kedatangan Aska

    Sebuah mobil terparkir di depan kediaman Pak Baron. Si pemilik yang masih berada di dalam mobil memandang keadaan sekitar yang tampak sepi meski di seberang jalan ada beberapa ibu-ibu yang berkumpul mengelilingi sebuah gerobak sayur. Kehadiran mobil mengkilat yang jarang tentu saja menyita perhatian warga sekitar. Apalagi para ibu-ibu yang suka bergosip. Kebetulan sekali mereka sedang berkumpul sembari berbelanja pada tukang sayur keliling yang berhenti tak jauh dari kediaman Pak Baron.Tinggu. Asal kalian tahu saja kalau beberapa ibu-ibu kepo memang sengaja memberhentikan tukang sayur itu di sana karena mereka menunggu informasi baru mengenai Pak Baron. Seorang ibu-ibu dengan daster merah bergambar ayam menatap begitu intens pada mobil itu. "Eh Ibu-Ibu," panggilnya pada semua yang sedang berbelanja di sana. "Itu mobil siapa yang parkir di rumah Pak Baron?" Tangannya menunjuk pada kuda besi mengilat di seberang jalan. Semua yang ada di sana menoleh ke arah yang ibu itu tunjuk. Sala

  • Aku Bukan Pelakor   8. Mencari

    Pagi ini, Saka berdiri di ambang pintu divisi yang dia pimpin. Tentu saja dia mencari keberadaan Safira untuk menanyakan soal Nada yang sudah tidak masuk semenjak seminggu yang lalu. Mereka berdua memang satu kampung tinggalnya. Pandangan Saka jatuh pada sosok yang dia cari sedang mengerjakan sesuatu. "Safira," panggilnya. "Iya, Pak," jawab Safira sembari mengalihkan pandangan ke arah pemilik ruangan. Dia melihat atasannya berdiri di ambang pintu, segera dia berdiri dari duduknya. "Ikut saya ke ruangan saya." Setelahnya dia gegas pergi menuju ruangannya diikuti dengan pandangan Safira yang memasang wajah bingung karena mendapat panggilan dari atasannya.Safira yang tiba-tiba saja dipanggil oleh menejernya tentu saja merasa terkejut. Beberapa karyawan wanita mendekati meja Safira. "Hei. Ada apa tiba-tiba kau dipanggil Pak Saka?" Seorang karyawan dengan rambut panjang bertanya pada Safira. Sedangkan Safira masih memasang wajah bingung. Dia mengedikkan bahu lalu menggeleng. "Aku juga t

  • Aku Bukan Pelakor   9. Mengajak Nada

    Nada duduk pada sebuah kursi di trotoar jalan. Dia memandang kumpulan pemuda di seberang jalan yang tampak tertawa dengan duduk melingkari sebuah meja. Sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu yang seru. Tangan kanan tidak terasa terangkat dan bertengger di atas perutnya yang masih rata. Dia mengingat kenangan saat Saka sering mengajaknya keluar dan minum bersama sembari bersenda gurau. Tiba-tiba saja tatapannya menerawang ketika mengingat pengkhianatan dan kebohongan pria itu. Ingin sekali dia memutar waktu karena menyesal pernah mengenal Saka. Tidak. Untuk anak dalam kandungannya dia tidak menyesal sama sekali karena bagi Nada itu adalah sebuah anugerah. Di saat kegiatannya hanya diam, sebuah suara menyapa indra pendengaran. "Nada." Nada menoleh, dia terkejut ketika melihat keberadaan Aska di sampingnya. Pria itu berdiri menggunakan kacamata hitam. "Kak Aska," panggil Nada dengan rasa terkejut. Perempuan itu tidak menyangka akan bertemu dengan mantan calon kakak iparnya di t

Latest chapter

  • Aku Bukan Pelakor   84. Akhir Dari Segalanya

    Aska dan Nada menyalami tangan Pak Baron dan Bu Mila. Setelah pernikahannya yang berjalan dua hari lalu, hari ini sesuai jadwal Aska akan mengajak Nada untuk bulan madu sebagai kado pernikahan mereka. "Hati-hati di jalan, ya. Ingat. Jangan bertengkar." Pak Baron memberi pesan pada anak dan menantunya.Aska dan Nada mengangguk bersama-sama. "Iya, Pak." Pasangan suami istri itu berjalan bersama menaiki mobil Aska. Keduanya duduk pada bangku belakang karena kali ini mobil dikemudikan oleh sopir.Nada merangkul lengan sang suami. "Memangnya kita mau ke mana sih? Kamu belum memberi tahu aku loh kita mau ke mana-mananya. Kamu cuma bilang kalau kita mau bulan madu."Aska tersenyum. "Namanya juga kerutan.""Ih kamu mah." Nada mencubit pelan lengan suaminya. Aska pun terkekeh. "Ciba tebak aja dong. Kalau benar, nanti aku tambahin hari dalam bulan madu kita," ujar Aska kemudian."Kalau itu sih maunya kamu." Keduanya pun tertawa.Namun, Nada tampak berpikir. Dia menidurkan kepala di pundak san

  • Aku Bukan Pelakor   83. Mengatasi Masalah Tanpa Masalah

    Safira sedang berdiri di sudut tempat memerhatikan keluarga Pak Baron yang sedang mengadakan sesi foto dengan para pengantin. Bukan, bukan karena dia ingin ikut berfoto, tetapi karena dia sedang menunggu seorang perempuan yang kini juga sedang ikut berfoto. Kalian tentu tahu siapa.Safira mengentakkan kakinya karena kesal. "His. lama banget sih mereka foto-foto. Nggak penting banget deh." Dia melipat tangan dengan menunjukkan ekspresi kesalnya.Dia masih menunggu. Beberapa saat kemudian dia langsung menerbitkan senyum kala melihat seseorang yang dia tunggu berjalan ke arah dirinya. Entah mau ke mana yang jelas pasti perempuan itu akan melewati dirinya.Tepat ketika Rina. Orang yang sejak tadi dia tunggu melewati Safira, perempuan itu langsung meraih lengan Rina. Rina yang terkejut pun langsung menatap ke arah tanganya lalu menatap pelaku itu.Dia lagsung mengembuskan napas kasar kala melihat keberadaan Safia di sana. "Mau apa kamu?" tanyanya dengan malas."Kamu ikut aku sebentar," uja

  • Aku Bukan Pelakor   82. Sah

    Nada yang sedang menangis di pelukan kakaknya melihat keberadaan sang bapak dan ibunya di ambang pintu. Dia pun melepaskan pelukannya pada Reno. "Bapak? Ibu?" panggilnya yang membuat Tari dan Reno langsung mengalihkan pandangan. Mereka melihat kedua orang tua mereka di sana.Pak Baron dan Bu Mila tersenyum ke arah ketiga anaknya. Mereka berjalan mendekat, lebih tepatnya mendekati Nada. Reno dan Tari yang paham pun mulai menyingkir sebentar. Berdiri di depan Nada tepat, lalu menatap perempuan itu lekat-lekat.Pak Baron merasa terharu dengan keadaan ini. Keadaan yang pernah mereka lewati tetapi berakhir tragis. Pak Baron menangkup wajah Nada. "Maafkan untuk semua kesalahan yang pernah bapak perbuat sama kamu sehingga kamu melewati semua hal berat ini." Dia berujar lirih.Nada menggeleng pelan. "Tidak, Pak. Nada yang harusnya meminta maaf karena Nada menyusahkan Bapak. Menyusahkan Ibu. Nada berterima kasih pada kalian atas semua yang pernah kalian beri untuk Nada," ujar perempuan itu den

  • Aku Bukan Pelakor   81. Pergi ke Makam

    "Aku akan menikah dengan Nada," ujar Aska. Ekspresinya datar dengan pandangan tajam mengarah ke depan. Tepatnya pada sosok pria yang memakai seragam tahanan. Siapa lagi kalau buka Saka?Saka yang mendengar itu hanya bisa diam tertunduk. Dia tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Kesalahannya di masa lalu benar-benar membuat Saka menyesal dan tidak tahu harus berbuat apa untuk menebusnya. Dia telah menjadi penyebab kematian dari darah dagingnya sendiri dan membuat perempuan yang dia cintai kecewa juga marah padanya.Lantas, apakah ada hak untuk Saka meminta Aska untuk tak melanjutkan rencana yang baru saja dikatakan padanya itu?"Untuk apa kau mengatakannya padaku? Bukankah sejak lama kau memang ingin bersama dengan dia?" tanya Saka.Aska melipat tangan di depan dada. "Ya. Aku hanya ingin kau tahu saja." Tak banyak yang dikatakan oleh Aska. Pria itu hanya datang untuk memberitahu hal ini. Bukan untuk menjenguk sang adik. Bahkan sesuatu pun tidak dia bawakan untuk Saka."Aku harap ka

  • Aku Bukan Pelakor   80 Menemui Danu

    Harapan telah terkabul. Setelah beberapa hari menunggu, akhirnya kini Nada sudah membuka matanya. Iris itu tampak bergerak memandangi keadaan sekitar dan mencari tahu keberadaan dirinya di mana saat ini. Yang Nada ingat adalah kali terakhir dia yang sedang disekap oleh seseorang yang tak lain adallah ayah dari sosok Alva.Nada menggerang kala merasakan sakit di kepala. "Aku di mana?" tanyanya kemudian.Aska yang baru saja keluar dari kamar mandi terkejut melihat pergerakan dari atas brankar milik Nada. Dia menyadari kalau kekasihnya kini sudah sadarkan diri. "Nada," panggil Aska yang langsung berlari mendekati Nadda."Kak Aska," panggil Nada dengan suara yang sangat lirih."Kamu sudah sadar, Sayang? Kamu sudah bangun. Sebentar. Aku akan panggilkan dokter untuk kamu," ujar pria itu dengan menekan sebuah tombol yang ada di bagian belakang brankar dan menempel pada tembok.Aska mendengar desisan dari Nada. "Sabar, Sayang. Sabar. Dokter akan segera datang."Pria itu duduk di samping brank

  • Aku Bukan Pelakor   79. Perawatan Nada

    Sejak Nada memasuki rumah sakit dan tak sadarkan diri, Aska tak pernah sekalipun meninggalkan kekasihnya itu. Duduk pada kursi di samping brankar, Aska terus menggenggam tangan Nada dan menempelkan di pipinya. Pandangan Aska terus tertuju pada Nada seolah pria itu tak ingin lagi kehilangan kekasihnya."Bangun, Sayang. Bangun. Kamu harus segera sadar," ujar Aska. Salah satu tangan pria itu harus diperban karena luka akibat terlalu banyak memukul Danu sampai lepas kendali."Sayang. Setelah ini kita harus mengadakan pernikahan. Aku tidak mau ditunda lagi apa pun alasannya nanti," ujar Aska. Pria itu seperti sedang berbicara secara langsung pada Nada. Tatapannya penuh ancaman dan nada bicaranya penuh penekanan.Aska mencium tangan Nada dengan penuh cinta. "Bangun lah. Bukankah kau sudah mendapat perawatan? Kau pernah di posisi yang lebih berbahaya dari ini dan kau bisa melewatinya. Kau cepat bangun tapi kenapa rasanya lama sekali bangunnya. Kau tahu? Aku sampai mengantuk," ujar Aska sedik

  • Aku Bukan Pelakor   78. Penyelamatan Nada

    "Akh! Sakit!" teriak Nada kala rambut panjangnya ditarik secara kasar. Wajahnya kini mendongak dengan tangan yang terikat ke belakang tubuh. Perempuan itu kini tengah duduk di sebuah kursi dengan tangis yang terus mendera sedari tadi karena penyiksaan yang dia dapat.Wajah Nada tampak penuh lebam dengan sudut bibir yang mengeluarkan darah karena sobek. Penampilan Nada begitu kacau."Sakit. Tolong hentikan," ujar Nada dengan tangis. Kepalanya terasa perih kala pria di hadapannya ini mencengkeram rambutnya dengan sangat kuat."Apa? Apa?" Danu. Pelaku itu mendekatkan telinga ke wajah Nada. "Menghentikan?" tanyanya kemudian."Mimpi," ujarnya dengan keras dan kasar mendorong kepala Nada. Dia melepaskan sesaat rambut perempuan itu sebelum akhirnya kembali menariknya secara kasar."Apa kau bilang tadi? Sakit?" Danu bertanya dengan tatapan tajam. Detik selanjutnya dia tertawa dengan nada yang sangat menyeramkan."Rasa sakitmu ini tidak setara dengan sakit hati yang aku rasakan karena aku kehil

  • Aku Bukan Pelakor   77. Pencarian Nada

    Bu Mila tidak bisa diam. Sejak tadi perempuan itu duduk, berdiri dan berjalan tiada henti dengan perasaan gelisah. Kabar mengenai penculikan Nada tentu saja menggemparkan keluarganya. Semua dibuat panik dan khawatir.Tari yang melihat ibunya terus menerus seperti itu menggeleng. Dia merasa kasihan. "Ibu. Ibu duduk dulu. Ibu yang tenang." Tari mendekati ibunya. Dia memegangi pundak Bu Mila lalu mengajaknya duduk bersama."Yang tenang, Bu. Jangan sampai kegelisahan Ibu ini membuat Ibu menjadi sakit nantinya," lanjut Tari."Gimana ibu bisa tenang, Tar kalau kakak kamu diculik orang?" tanya Bu Mila dengan perasaan sedih. Entah sudah berapa kali dia menangisi Nada."Maafin, Salsa ya Bu Mila. Salsa nggak bisa jagain Nada," ujar Salsa yang merasa bersalah."Tidak, Nak. Ini bukan salah kamu." Pak Baron berujar. Sejak tadi temannya Salsa itu terlihat sangat bersalah dengan kejadian yang menimpa Nada.Rina keluar dari dalam rumah. Dia membawa beberapa gelas minuman untuk semua yang ada di sana.

  • Aku Bukan Pelakor   76. Pemakaman

    Danu berjalan santai menyusuri lorong rumah sakit dengan tangan kanannya yang memegang sebuah pisang. Dia menikmatinya sepanjang perjalanan sembari sesekali bersiul dan bersenandung. Pria itu tampak menunjukkan wajah yang bahagia.Asal kalian tahu saja, Danu baru saja pergi meninggalkan rumah sakit untuk melakukan hal yang biasanya dia lakukan. Kali ini Danu mendapatkan uang yang cukup banyak sehingga itulah dia tampak bahagia. Namun, dia tidak tahu apa yang telah terjadi di ruangan putranya.Ketika berjalan, dia tampak kebingungan dengan beberapa petugas medis yang berlari-lari. "Mereka kenapa?" tanyanya pada diri sendiri namun memilih acuh pada keadaan.Sampai akhirnya kala keberadaan pria itu sudah di dekat ruangan yang di mana anaknya dirawat, Danu mendengar suara teriakan dari sana. "Itu suara Niken?" Keningnya mengerut, menandakan kalau pria itu tengah kebingungan."Ngapain dia teriak-teriak begitu? Pakai acara nangis segala." Danu masih melangkah dengan santai menuju ruangan. Sa

DMCA.com Protection Status