Share

5. Terusir

Author: Evie Edha
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Seorang pria datang bertamu ke kediaman Pak Baron hari ini. Beberapa buah-buahan menjadi buah tangannya untuk datang. Dia cukup bangga kala mendapatkan sambutan ramah dari sang tuan rumah.

"Keadaan Ibu bagaimana, Pak?" tanya pria itu yang tidak lain adalah Rizal. Seseorang yang sebelumnya sempat dijodohkan dengan Nada tetapi perempuan itu menolak.

Pak Baron tersenyum. "Sudah mendingan, Nak Rizal. Terima kasih. Ini semua berkat Nak Rizal yang sudah mau memanggilkan dokter keluarga Nak Rizal," ucap Pak Baron tampak tidak enak.

Rizal membalas senyuman itu. "Ah. Itu bukan apa-apa, Pak. Selagi saya bisa membantu, akan saya bantu. Karena keluarga Pak Baron sudah saya anggap keluarga sendiri." Pria itu memang Pintar berkata-kata manis.

Pak Baron semakin merasa tidak enak pada Rizal. "Boleh saya melihat keadaan Ibu, Pak?"

"Oh. Boleh-boleh." Pak Baron dengan senang hati mempersilakan. Pria paruh baya itu masih beruntung karena Rizal masih mau berhubungan baik dengan dirinya setelah putrinya menolak Rizal. Padahal, banyak orang tua di sini yang ingin menjadikan Rizal menantu. Apalagi setelah tahu kalau Nada menolak.

Keduanya melangkah memasuki rumah Pak Baron. Namun, langkah keduanya berhenti saat mendengar suara Tari yang sedikit meninggi. "Katakan, Kak. Apakah Kakak hamil?"

Jantung Pak Baron serasa dipukul seketika mendengar pertanyaan putri bungsunya. Bertanya pada siapa Tari? Arah suara yang dia dengar sangat tahu dari mana membuat Pak Baron menebak.

Nada. Dalam hati dia berharap apa yang didengarnya adalah kesalahan. Dia berharap bahwa Nada akan menjawab tidak. Pak Baron segera melangkah mendekati kamar sang putri.

Namun, semua itu hanyalah keinginan yang hanya akan terjadi dalam mimpinya kala Nada mulai menjawab, "I—iya."

"Apa!" teriaknya tidak percaya. Tatapannya nyalang pada dua perempuan yang kini duduk saling berhadapan di samping Jendela.

Nada dan Tari yang melihat keberadaan sang ayah terkejut seketika. Kedua bola mata mereka membola seketika. "Ba—Bapak," panggil Nada dengan suara bergetar.

Pak Baron melangkah cepat mendekati putrinya, memandang tajam Nada dengan kemarahan yang sudah tidak dapat dibendung lagi.

"Katakan. Apa benar kamu hamil? Tidak, kan? Bapak tadi salah dengar, kan?" tanya Pak Baron dengan suara bernada tinggi. Bola matanya melotot dengan warna merah penuh amarah.

Nada hanya bisa menunduk dan menangis. Takut dengan ekspresi bapaknya saat ini. Dia hanya bisa meremas tangannya yang ada di pangkuan.

"Katakan!" teriak Pak Baron kembali.

Hal itu mampu membuat Nada terkejut sampai berjingkat. Bahunya naik cepat, lalu mengangguk pelan dan menjawab, "Ma—maafkan Nada, Pak." Bukannya menjawab perempuan itu malah semakin menangis kencang dan meminta maaf pada bapaknya.

Hal itu sudah cukup bagi Pak Baron apa yang dia tanyakan adalah benar. Tanpa kata tangan kanan Pak Baron terangkat, mengayun pada wajah Nada dan menampar pipi putih pucat itu.

"Dasar anak kurang ajar. Bikin malu!" teriak Pak Baron. Dia menunjuk putri pertamanya yang tersungkur di lantai dengan bengis. "Anak tidak ada guna."

Pak Baron mendekati Nada kembali, dia menjambak rambut putrinya dengan marah-marah. "Salah apa kami sama kamu? Kenapa kamu tega melakukan ini pada kami?"

Nada menangis tergugu di lantai. Dia memandang bapaknya dari balik mata berkaca. Menahan sakit di kepala akibat tamparan dari bapaknya.

"Maafkan Nada, Pak. Nada salah," ucap Nada di sela tangisnya. Dia memegang tangan Pak Baron yang menjambak rambutnya untuk menahan rasa sakit di kepala.

Namun, Pak Baron tidak menggubris apa yang dikatakan Nada. Dia tetap menjambak rambut putrinya sedang tangan yang satu mencengkeram dagu Nada membuat perempuan itu mendongak dengan wajah basah.

"Masmu membuat nama keluarga ini hancur. Dan kamu sekarang menambahknya lagi? Bukannya memperbaiki malah membuat semakin parah? Kalian sudah menghancurkan keluarga ini." Beberapa kali Pak Baron mendorong kepala Nada.

Tari yang melihat bagaimana kemarahan bapaknya merasa takut, tetapi menatap sang kakak yang kesakitan membuat dirinya menjadi kasihan.

Tari mendekati bapaknya. "Pak sudah. Kasihan Kak Nada," ucap Tari yang memegang tangan Pak Baron. Dia berusaha melepaskan tangan bapaknya dari kepala sang kakak.

Nada hanya bisa menangis. Menahan perih dan sakit yang semakin menjalari kepala. "Sakit, Pak. Ampun, Pak," ucapnya dengan wajah memelas. Berharap bapaknya mau melepaskan jambakan itu. Sayangnya, itu tak mungkin.

"Pak, sudah. Kasihan, Kakak." Tari masih mencoba.

Namun, Pak Baron segera menghempaskan tangan Tari, menatap wajah anak bungsunya itu. "Jangan ikut campur!" teriak Pak Baron.

Bola matanya yang melotot dan memancarkan kemarahan mampu membuat Tari merasa takut. Mau tidak mau, dia pun membiarkan bapaknya yang kembali memarahi sang kakak sembari memukul punggungnya.

Tari menatap Rizal yang hanya diam di ambang pintu. Wajah pria itu tampak bingung dan terkejut. "Rizal. Bantu Tari," ucap gadis itu dengan mengentakkan kaki.

Rizal pun gelagapan. Dia mengerjapkan mata dan segera mendekati Pak Baron. Pria itu memegangi tangan pria paruh baya yang masih marah-marah pada Nada.

"Pak, Pak Baron sudah, Pak. Pikirkan kesehatan Ibu, Pak. Takutnya Ibu kambuh lagi penyakitnya kalau mendengar ini semua,," ucap Rizal yang mencoba menenangkan Pak Baron.

Pria tua itu akhirnya berhasil berhenti memarahi anaknya. Dia menatap Nada masih dengan kemarahan yang kentara.

"Pak, sabar. Bapak harus tenang." Rizal kembali berujar.

Pak Baron masih mengatur napasnya. "Bagaimana bisa Bapak sabar, Nak Rizal? Dia sudah membawa aib bagi keluarga Bapak. Setelah calonnya masih memiliki istri dan membuat pernikahan mereka batal, sekarang dia malah hamil di luar nikah," jelas Pak Baron dengan menggebu.

"Ya Tuhan. Apa yang harus Bapak lakukan?" Pak Baron meremas kepalanya.

Pandangan Pak Baron tertuju pada Nada. "Perut dia akan semakin membesar. Tidak akan kita bisa menyembunyikannya terus." Dia menunjuk ke arah Perut Nada

Pria paruh baya itu mendongak, mengusap kasar wajahnya. Detik selanjutnya dia menatap nyalang putri sulungnya. "Tidak ada cara lain. Kamu harus gugurkan kehamilan itu." Tangan Pak Baron menunjuk ke arah perut Nada kembali.

Nada mendongak dengan mata melotot. Dia terkejut dengan apa yang diucapkan bapaknya mengenai menggugurkan bayi ini. Kehadiran bayi ini karena sebuah dosa, dia tidak ingin menambah dosa lagi.

Nada menggeleng. "Tidak, Pak. Nada tidak mau."

Kemarahan Pak Baron kembali mencuat. "Kamu?"

Namun, pukulan yang akan diberikan pria itu urung saat Rizal kembali menahannya. "Pak. Rizal tahu solusi baiknya."

Pak Baron menatap pria yang ada di sampingnya, menunggu pria itu mengatakan sesuatu. "Saya akan menikahi Nada, Pak. Saya akan menutupi kehamilan itu dengan pernikahan ini," lanjut Rizal.

Pak Baron terkejut. Tentu saja. Dia tak menyangka kalau Rizal akan mengatakan hal itu. Itu sungguh pengorbanan yang sangat besar.

Sebuah senyum tiba-tiba saja terbit di bibir Pak Baron. "Kamu benar, Nak Rizal?" tanya tidak percaya. Namun, anggukan dari pria itu seolah membawa angin segar dalam hidupnya.

"Kamu benar akan menerima Nada dan anak yang dia kandung? Kamu tidak apa jika Nada tidak perawan?" tanyanya lagi.

"Iya, Pak." Rizal mengangguk dengan ekspresi penuh keyakinan.

Pak Baron segera memeluk Rizal erat. "Terima kasih, Nak Rizal."

Saat Pak Baron merasa lega, Tari dan Nada terkejut akan hal itu. Kedua kakak beradik itu saling pandang.

Nada menatap bapaknya, dia menggelengkan kepala. "Tidak, Pak. Nada tidak mau," ucapnya lantang. Air matanya kembali jatuh.

Pak Baron yang masih memeluk Rizal mendengar kata-kata, Nada. Dia melotot. Dia melepaskan pelukan lalu menatap Nada dengan tajam. "Apa kamu bilang?"

"Nada tidak mau menikah dengan Rizal, Pak." Nada kembali mengatakan.

Pak Baron bersungut. Napasnya memberi dengan dada naik turun. "Kamu harus menikah dengan Rizal."

"Tapi Nada tidak mencintai Rizal, Pak."

Pak Baron mengibaskan tangan. "Di saat seperti ini kamu memikirkan cinta? Lalu apa maumu, hah?"

"Nada ingin merawat anak Nada sendiri daripada menikah dengan Rizal."

Di belakang sana Rizal berdecak, memutar bola matanya malas. Dalam hati menggerutu, "Sudah dalam keadaan apes pun masih sok jual mahal."

"Dan membuat orang tuamu semakin malu dengan kehadiran anakmu itu yang tanpa suami? Begitu?" teriak Pak Baron dengan suara yang menggelegar.

Nada pun tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Hanya bisa menunduk dengan memeluk perutnya seolah takut terjadi apa-apa dengan calon buah hatinya.

Pak Baron menggeram marah. "Baiklah. Jika kamu tidak mau menggugurkan bayi itu dan tidak mau menikah dengan Rizal, lebih baik kamu pergi dari sini," ucap Pak Baron sembari meraih tangan Nada.

Pria paruh baya itu menarik Nada secara paksa, menyeretnya keluar dari rumah. "Pergi kamu dari sini. Kamu bukan lagi anakku karena tidak mau menuruti perkataan orang tuamu."

"Pak. Jangan, Pak. Nada tidak mau!" teriak Nada yang tidak ingin pergi dari rumah.

"Pak. Jangan, Pak." Tari mengikuti dari belakang.

Namun, Pak Baron mengabaikan hal itu. Dia tetap menyeret Nada keluar dari rumah. Mendorongnya sampai Nada tersungkur di halaman rumah.

Apa yang terjadi membuat perhatian beberapa orang yang lewat malah berkumpul tidak jauh dari sana, menatap ke arah rumah Pak Baron dan Nada. Mau bertanya apa yang telah terjadi, mereka takut. Akhirnya mereka hanya menonton saja.

Nada menangis memandang bapaknya dengan mengiba. Berharap ada belas kasih untuk dirinya. "Nada tidak ingin pergi, Pak."

"Jika kamu tidak mau menikah dengan Rizal. Pergi dari sini!" usir Pak Baron menunjuk ke arah yang jauh.

Dia berbalik, menarik Tari untuk masuk ke rumah. "Ayo masuk. Biarkan dia pergi."

"Tapi, Pak—"

"Masuk!"

Evie Edha

Hallo. Selamat pagi. Cerita Aku Bukan Pelakor akan tayang setiap hari Senin dan Kamis. Semoga kalian suka dengan ceritanya,😊 😊 😉

| Like

Related chapters

  • Aku Bukan Pelakor   6. Pergi Dari Rumah

    Nada menatap sendu pintu rumahnya yang sudah tertutup rapat. Bahkan dia juga melihat sang ayah yang mulai menutup jendela dengan sedikit tatapan tajam ke arahnya. Seolah-olah dari tatapan itu Pak Baron ingin mengatakan kalau dia sudah sangat membenci anaknya. Nada menunduk, tidak menyangka kalau kehidupan akan berubah sedrastis ini. Dia rasa baru beberapa hari lalu Nada merasakan kebahagiaan akan melepas masa lajang dengan pria yang dia cintai. Akan tetapi, dia tidak menyangka kalau pria itu juga yang telah memberikan luka pada dirinya. Menipu akan status, menjanjikan pernikahan, membuat keluarganya malu dengan kebenaran yang ada. Kini, dia pun harus terusir dari rumah yang sudah membesarkan dirinya karena kehamilan yang ingin dia pertahankan, juga penolakan dirinya untuk menikahi Rizal. Pria yang baru saja disebutkan namanya mendekati Nada. "Sudah aku katakan. Terima saja lamaran dariku. Kamu akan sedikit memberi kebahagiaan pada kedua orang tuamu. Dan anakmu yang tidak memiliki a

  • Aku Bukan Pelakor   7. Kedatangan Aska

    Sebuah mobil terparkir di depan kediaman Pak Baron. Si pemilik yang masih berada di dalam mobil memandang keadaan sekitar yang tampak sepi meski di seberang jalan ada beberapa ibu-ibu yang berkumpul mengelilingi sebuah gerobak sayur. Kehadiran mobil mengkilat yang jarang tentu saja menyita perhatian warga sekitar. Apalagi para ibu-ibu yang suka bergosip. Kebetulan sekali mereka sedang berkumpul sembari berbelanja pada tukang sayur keliling yang berhenti tak jauh dari kediaman Pak Baron.Tinggu. Asal kalian tahu saja kalau beberapa ibu-ibu kepo memang sengaja memberhentikan tukang sayur itu di sana karena mereka menunggu informasi baru mengenai Pak Baron. Seorang ibu-ibu dengan daster merah bergambar ayam menatap begitu intens pada mobil itu. "Eh Ibu-Ibu," panggilnya pada semua yang sedang berbelanja di sana. "Itu mobil siapa yang parkir di rumah Pak Baron?" Tangannya menunjuk pada kuda besi mengilat di seberang jalan. Semua yang ada di sana menoleh ke arah yang ibu itu tunjuk. Sala

  • Aku Bukan Pelakor   8. Mencari

    Pagi ini, Saka berdiri di ambang pintu divisi yang dia pimpin. Tentu saja dia mencari keberadaan Safira untuk menanyakan soal Nada yang sudah tidak masuk semenjak seminggu yang lalu. Mereka berdua memang satu kampung tinggalnya. Pandangan Saka jatuh pada sosok yang dia cari sedang mengerjakan sesuatu. "Safira," panggilnya. "Iya, Pak," jawab Safira sembari mengalihkan pandangan ke arah pemilik ruangan. Dia melihat atasannya berdiri di ambang pintu, segera dia berdiri dari duduknya. "Ikut saya ke ruangan saya." Setelahnya dia gegas pergi menuju ruangannya diikuti dengan pandangan Safira yang memasang wajah bingung karena mendapat panggilan dari atasannya.Safira yang tiba-tiba saja dipanggil oleh menejernya tentu saja merasa terkejut. Beberapa karyawan wanita mendekati meja Safira. "Hei. Ada apa tiba-tiba kau dipanggil Pak Saka?" Seorang karyawan dengan rambut panjang bertanya pada Safira. Sedangkan Safira masih memasang wajah bingung. Dia mengedikkan bahu lalu menggeleng. "Aku juga t

  • Aku Bukan Pelakor   9. Mengajak Nada

    Nada duduk pada sebuah kursi di trotoar jalan. Dia memandang kumpulan pemuda di seberang jalan yang tampak tertawa dengan duduk melingkari sebuah meja. Sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu yang seru. Tangan kanan tidak terasa terangkat dan bertengger di atas perutnya yang masih rata. Dia mengingat kenangan saat Saka sering mengajaknya keluar dan minum bersama sembari bersenda gurau. Tiba-tiba saja tatapannya menerawang ketika mengingat pengkhianatan dan kebohongan pria itu. Ingin sekali dia memutar waktu karena menyesal pernah mengenal Saka. Tidak. Untuk anak dalam kandungannya dia tidak menyesal sama sekali karena bagi Nada itu adalah sebuah anugerah. Di saat kegiatannya hanya diam, sebuah suara menyapa indra pendengaran. "Nada." Nada menoleh, dia terkejut ketika melihat keberadaan Aska di sampingnya. Pria itu berdiri menggunakan kacamata hitam. "Kak Aska," panggil Nada dengan rasa terkejut. Perempuan itu tidak menyangka akan bertemu dengan mantan calon kakak iparnya di t

  • Aku Bukan Pelakor   10. Mencari Kontrakan Untuk Nada

    Nada menatap Aska penuh dengan kebingungan, mencari pengertian dari mimik wajah dari pria di hadapannya. "Mak—maksud Kak Aska apa, sih?" Aska menghela napas dalam. "Kamu akan tinggal di sini. Daripada kamu luntang-lantung di jalan, mending di sini bukan? Apalagi kamu sedang hamil," ucap Aska tanpa menoleh. Bola mata Nada melotot. Dalam hati bertanya-tanya tahu dari mana Aska kalau dirinya sedang hamil? Menyadari keterdiaman Nada, Aska melirik perempuan itu. Terlihat mimik terkejut di sana. "Jangan terkejut. Saya sudah tahu semuanya dari adik kamu." Nada hanya diam dalam lamunan. "Ayo turun." Hingga perkataan Aska menyadarkan dirinya. Dia melihat pria itu yang ingin membuka sabuk pengaman. "Tunggu, Kak," ucapnya yang spontan memegang tangan Aska agar pria itu tidak membuka sabuk pengamannya. Arah pandangan Aska yang ke bawah membuat dirinya turut ikut melihat apa yang pria itu lihat. Bola mata Nada melebar saat menyadari tangannya yang telah lancang memegang tangan Aska. "Maaf-ma

  • Aku Bukan Pelakor   11. Bosan

    Sesuai kesepakatan kemarin antara dirinya dan juga Aska. Untuk sementara Nada akan tinggal di apartemen pria itu yang katanya menganggur. Sedangkan Aska akan mencarikan kontrakan yang sesuai dengan keinginan Nada. Bosan. Satu kata yang kini dirasakan oleh wanita yang tengah hamil muda itu. Sendirian di apartemen tanpa melakukan apa pun. Menonton tivi? Sudah dia lakukan sejak pagi. Akan tetapi, itu tidak juga membuat rasa bosan dalam diri Nada hilang. Nada menyandarkan punggung pada sandaran sofa, dia mengembuskan napasnya kasar dengan bola mata yang mengedar. Saat dia mengamati suasana apartemen, sebuah ide tiba-tiba datang dalam benaknya. Perempuan itu pun bangkit dengan cepat. "Daripada melamun, lebih baik aku bersih-bersih apartemen saja. Anggap saja ini sebagai bentuk terima kasih pada Kak Aska atas tumpangannya untuk tinggal." Nada mengangguk. Perempuan itu mulai beranjak untuk mencari alat bersih-bersih. Pertama-tama dia akan mencari kemoceng dan lap bersih untuk membersihkan

  • Aku Bukan Pelakor   12. Kontrakan Sederhana Pilihan Nada

    Baik Nada dan Aska langsung menoleh ke asal suara dan melihat sosok perempuan dengan kaus putih bergambar beruang dari salah satu pintu.Jika Aska tampak bingung dengan sosok itu, berbeda dengan Nada yang malah mengembangkan senyumnya. "Salsa?" panggil Nada dengan senyum lebar.Kedua perempuan itu pun langsung berjalan cepat untuk saling mendekat. "Hei. Hati-hati," ujar Aska dengan sedikit rasa panik kala melihat Nada yang berlari.Aneh. Meski dalam keadaan khawatir ekspresi pria itu masih saja sama. Aska berdecak lalu mendekati Nada dan sosok perempuan yang memanggil nama mantan calon adik iparnya itu.Aska masih berdiri menatap dua perempuan di hadapannya, sepertinya tengah melepas rindu. Detik kemudian dia melihat Salsa yang menatapnya."Pest. Dia siapa?" tanya Salsa pada Nada.Nada menatap sejenak Aska di mana wajah pria itu langsung membuat dirinya merasa kikuk. "Oh. Kenalin, Sa. Ini Kak Aska. Kak Aska ini Salsa," ujar Nada memperkenalkan dua orang yang belum saling mengenal itu.

  • Aku Bukan Pelakor   13. Mencari Pekerjaan

    Kini, hanya tinggal Salsa dan juga Nada yang ada di kontrakan Nada. Selepas Aska keceplosan aksn kehamilan Nada, pria itu tahu kalau dia harus undur diri dan memberi kesempatan untuk dua wanita itu saling berbicara satu sama lain."Jadi, apa yang sebenrnya terjadi, Nad?" tanya Salsa. Mendengar kehamilan Nada nafsu makan Salsa serasa hilang seketika padahal menu-menu enak masih terhidang di depan mereka.Nada menunduk dengan perasaan malu. Dia menarik napas panjang dan mulai menceritakan semua yang telah terjadi pada dirinya, tanpa ada yang ditutupi satu pun."Jadi, pria tadi adalah mantan calon kakak ipar kamu?" tanya Salsa dengan menunjuk ke arah luar. Padahal, sudah tidak ada siapa pun di sana.Nada mengangguk dengan pelan. "Ya. Aku juga tidak tahu bagaimana ceritanya dia bisa menemukan aku dan akhirnya menolong aku," jelas Nada."Tapi, Nad. Kehamilan kamu ini pastinya nanti akan bertambah besar. Kita tidak bisa menutupinya dari orang l

Latest chapter

  • Aku Bukan Pelakor   84. Akhir Dari Segalanya

    Aska dan Nada menyalami tangan Pak Baron dan Bu Mila. Setelah pernikahannya yang berjalan dua hari lalu, hari ini sesuai jadwal Aska akan mengajak Nada untuk bulan madu sebagai kado pernikahan mereka. "Hati-hati di jalan, ya. Ingat. Jangan bertengkar." Pak Baron memberi pesan pada anak dan menantunya.Aska dan Nada mengangguk bersama-sama. "Iya, Pak." Pasangan suami istri itu berjalan bersama menaiki mobil Aska. Keduanya duduk pada bangku belakang karena kali ini mobil dikemudikan oleh sopir.Nada merangkul lengan sang suami. "Memangnya kita mau ke mana sih? Kamu belum memberi tahu aku loh kita mau ke mana-mananya. Kamu cuma bilang kalau kita mau bulan madu."Aska tersenyum. "Namanya juga kerutan.""Ih kamu mah." Nada mencubit pelan lengan suaminya. Aska pun terkekeh. "Ciba tebak aja dong. Kalau benar, nanti aku tambahin hari dalam bulan madu kita," ujar Aska kemudian."Kalau itu sih maunya kamu." Keduanya pun tertawa.Namun, Nada tampak berpikir. Dia menidurkan kepala di pundak san

  • Aku Bukan Pelakor   83. Mengatasi Masalah Tanpa Masalah

    Safira sedang berdiri di sudut tempat memerhatikan keluarga Pak Baron yang sedang mengadakan sesi foto dengan para pengantin. Bukan, bukan karena dia ingin ikut berfoto, tetapi karena dia sedang menunggu seorang perempuan yang kini juga sedang ikut berfoto. Kalian tentu tahu siapa.Safira mengentakkan kakinya karena kesal. "His. lama banget sih mereka foto-foto. Nggak penting banget deh." Dia melipat tangan dengan menunjukkan ekspresi kesalnya.Dia masih menunggu. Beberapa saat kemudian dia langsung menerbitkan senyum kala melihat seseorang yang dia tunggu berjalan ke arah dirinya. Entah mau ke mana yang jelas pasti perempuan itu akan melewati dirinya.Tepat ketika Rina. Orang yang sejak tadi dia tunggu melewati Safira, perempuan itu langsung meraih lengan Rina. Rina yang terkejut pun langsung menatap ke arah tanganya lalu menatap pelaku itu.Dia lagsung mengembuskan napas kasar kala melihat keberadaan Safia di sana. "Mau apa kamu?" tanyanya dengan malas."Kamu ikut aku sebentar," uja

  • Aku Bukan Pelakor   82. Sah

    Nada yang sedang menangis di pelukan kakaknya melihat keberadaan sang bapak dan ibunya di ambang pintu. Dia pun melepaskan pelukannya pada Reno. "Bapak? Ibu?" panggilnya yang membuat Tari dan Reno langsung mengalihkan pandangan. Mereka melihat kedua orang tua mereka di sana.Pak Baron dan Bu Mila tersenyum ke arah ketiga anaknya. Mereka berjalan mendekat, lebih tepatnya mendekati Nada. Reno dan Tari yang paham pun mulai menyingkir sebentar. Berdiri di depan Nada tepat, lalu menatap perempuan itu lekat-lekat.Pak Baron merasa terharu dengan keadaan ini. Keadaan yang pernah mereka lewati tetapi berakhir tragis. Pak Baron menangkup wajah Nada. "Maafkan untuk semua kesalahan yang pernah bapak perbuat sama kamu sehingga kamu melewati semua hal berat ini." Dia berujar lirih.Nada menggeleng pelan. "Tidak, Pak. Nada yang harusnya meminta maaf karena Nada menyusahkan Bapak. Menyusahkan Ibu. Nada berterima kasih pada kalian atas semua yang pernah kalian beri untuk Nada," ujar perempuan itu den

  • Aku Bukan Pelakor   81. Pergi ke Makam

    "Aku akan menikah dengan Nada," ujar Aska. Ekspresinya datar dengan pandangan tajam mengarah ke depan. Tepatnya pada sosok pria yang memakai seragam tahanan. Siapa lagi kalau buka Saka?Saka yang mendengar itu hanya bisa diam tertunduk. Dia tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Kesalahannya di masa lalu benar-benar membuat Saka menyesal dan tidak tahu harus berbuat apa untuk menebusnya. Dia telah menjadi penyebab kematian dari darah dagingnya sendiri dan membuat perempuan yang dia cintai kecewa juga marah padanya.Lantas, apakah ada hak untuk Saka meminta Aska untuk tak melanjutkan rencana yang baru saja dikatakan padanya itu?"Untuk apa kau mengatakannya padaku? Bukankah sejak lama kau memang ingin bersama dengan dia?" tanya Saka.Aska melipat tangan di depan dada. "Ya. Aku hanya ingin kau tahu saja." Tak banyak yang dikatakan oleh Aska. Pria itu hanya datang untuk memberitahu hal ini. Bukan untuk menjenguk sang adik. Bahkan sesuatu pun tidak dia bawakan untuk Saka."Aku harap ka

  • Aku Bukan Pelakor   80 Menemui Danu

    Harapan telah terkabul. Setelah beberapa hari menunggu, akhirnya kini Nada sudah membuka matanya. Iris itu tampak bergerak memandangi keadaan sekitar dan mencari tahu keberadaan dirinya di mana saat ini. Yang Nada ingat adalah kali terakhir dia yang sedang disekap oleh seseorang yang tak lain adallah ayah dari sosok Alva.Nada menggerang kala merasakan sakit di kepala. "Aku di mana?" tanyanya kemudian.Aska yang baru saja keluar dari kamar mandi terkejut melihat pergerakan dari atas brankar milik Nada. Dia menyadari kalau kekasihnya kini sudah sadarkan diri. "Nada," panggil Aska yang langsung berlari mendekati Nadda."Kak Aska," panggil Nada dengan suara yang sangat lirih."Kamu sudah sadar, Sayang? Kamu sudah bangun. Sebentar. Aku akan panggilkan dokter untuk kamu," ujar pria itu dengan menekan sebuah tombol yang ada di bagian belakang brankar dan menempel pada tembok.Aska mendengar desisan dari Nada. "Sabar, Sayang. Sabar. Dokter akan segera datang."Pria itu duduk di samping brank

  • Aku Bukan Pelakor   79. Perawatan Nada

    Sejak Nada memasuki rumah sakit dan tak sadarkan diri, Aska tak pernah sekalipun meninggalkan kekasihnya itu. Duduk pada kursi di samping brankar, Aska terus menggenggam tangan Nada dan menempelkan di pipinya. Pandangan Aska terus tertuju pada Nada seolah pria itu tak ingin lagi kehilangan kekasihnya."Bangun, Sayang. Bangun. Kamu harus segera sadar," ujar Aska. Salah satu tangan pria itu harus diperban karena luka akibat terlalu banyak memukul Danu sampai lepas kendali."Sayang. Setelah ini kita harus mengadakan pernikahan. Aku tidak mau ditunda lagi apa pun alasannya nanti," ujar Aska. Pria itu seperti sedang berbicara secara langsung pada Nada. Tatapannya penuh ancaman dan nada bicaranya penuh penekanan.Aska mencium tangan Nada dengan penuh cinta. "Bangun lah. Bukankah kau sudah mendapat perawatan? Kau pernah di posisi yang lebih berbahaya dari ini dan kau bisa melewatinya. Kau cepat bangun tapi kenapa rasanya lama sekali bangunnya. Kau tahu? Aku sampai mengantuk," ujar Aska sedik

  • Aku Bukan Pelakor   78. Penyelamatan Nada

    "Akh! Sakit!" teriak Nada kala rambut panjangnya ditarik secara kasar. Wajahnya kini mendongak dengan tangan yang terikat ke belakang tubuh. Perempuan itu kini tengah duduk di sebuah kursi dengan tangis yang terus mendera sedari tadi karena penyiksaan yang dia dapat.Wajah Nada tampak penuh lebam dengan sudut bibir yang mengeluarkan darah karena sobek. Penampilan Nada begitu kacau."Sakit. Tolong hentikan," ujar Nada dengan tangis. Kepalanya terasa perih kala pria di hadapannya ini mencengkeram rambutnya dengan sangat kuat."Apa? Apa?" Danu. Pelaku itu mendekatkan telinga ke wajah Nada. "Menghentikan?" tanyanya kemudian."Mimpi," ujarnya dengan keras dan kasar mendorong kepala Nada. Dia melepaskan sesaat rambut perempuan itu sebelum akhirnya kembali menariknya secara kasar."Apa kau bilang tadi? Sakit?" Danu bertanya dengan tatapan tajam. Detik selanjutnya dia tertawa dengan nada yang sangat menyeramkan."Rasa sakitmu ini tidak setara dengan sakit hati yang aku rasakan karena aku kehil

  • Aku Bukan Pelakor   77. Pencarian Nada

    Bu Mila tidak bisa diam. Sejak tadi perempuan itu duduk, berdiri dan berjalan tiada henti dengan perasaan gelisah. Kabar mengenai penculikan Nada tentu saja menggemparkan keluarganya. Semua dibuat panik dan khawatir.Tari yang melihat ibunya terus menerus seperti itu menggeleng. Dia merasa kasihan. "Ibu. Ibu duduk dulu. Ibu yang tenang." Tari mendekati ibunya. Dia memegangi pundak Bu Mila lalu mengajaknya duduk bersama."Yang tenang, Bu. Jangan sampai kegelisahan Ibu ini membuat Ibu menjadi sakit nantinya," lanjut Tari."Gimana ibu bisa tenang, Tar kalau kakak kamu diculik orang?" tanya Bu Mila dengan perasaan sedih. Entah sudah berapa kali dia menangisi Nada."Maafin, Salsa ya Bu Mila. Salsa nggak bisa jagain Nada," ujar Salsa yang merasa bersalah."Tidak, Nak. Ini bukan salah kamu." Pak Baron berujar. Sejak tadi temannya Salsa itu terlihat sangat bersalah dengan kejadian yang menimpa Nada.Rina keluar dari dalam rumah. Dia membawa beberapa gelas minuman untuk semua yang ada di sana.

  • Aku Bukan Pelakor   76. Pemakaman

    Danu berjalan santai menyusuri lorong rumah sakit dengan tangan kanannya yang memegang sebuah pisang. Dia menikmatinya sepanjang perjalanan sembari sesekali bersiul dan bersenandung. Pria itu tampak menunjukkan wajah yang bahagia.Asal kalian tahu saja, Danu baru saja pergi meninggalkan rumah sakit untuk melakukan hal yang biasanya dia lakukan. Kali ini Danu mendapatkan uang yang cukup banyak sehingga itulah dia tampak bahagia. Namun, dia tidak tahu apa yang telah terjadi di ruangan putranya.Ketika berjalan, dia tampak kebingungan dengan beberapa petugas medis yang berlari-lari. "Mereka kenapa?" tanyanya pada diri sendiri namun memilih acuh pada keadaan.Sampai akhirnya kala keberadaan pria itu sudah di dekat ruangan yang di mana anaknya dirawat, Danu mendengar suara teriakan dari sana. "Itu suara Niken?" Keningnya mengerut, menandakan kalau pria itu tengah kebingungan."Ngapain dia teriak-teriak begitu? Pakai acara nangis segala." Danu masih melangkah dengan santai menuju ruangan. Sa

DMCA.com Protection Status