Selamat hari senin semuanya. Semoga suka baca ceritanya😋😍😍
Sebuah mobil terparkir di depan kediaman Pak Baron. Si pemilik yang masih berada di dalam mobil memandang keadaan sekitar yang tampak sepi meski di seberang jalan ada beberapa ibu-ibu yang berkumpul mengelilingi sebuah gerobak sayur. Kehadiran mobil mengkilat yang jarang tentu saja menyita perhatian warga sekitar. Apalagi para ibu-ibu yang suka bergosip. Kebetulan sekali mereka sedang berkumpul sembari berbelanja pada tukang sayur keliling yang berhenti tak jauh dari kediaman Pak Baron.Tinggu. Asal kalian tahu saja kalau beberapa ibu-ibu kepo memang sengaja memberhentikan tukang sayur itu di sana karena mereka menunggu informasi baru mengenai Pak Baron. Seorang ibu-ibu dengan daster merah bergambar ayam menatap begitu intens pada mobil itu. "Eh Ibu-Ibu," panggilnya pada semua yang sedang berbelanja di sana. "Itu mobil siapa yang parkir di rumah Pak Baron?" Tangannya menunjuk pada kuda besi mengilat di seberang jalan. Semua yang ada di sana menoleh ke arah yang ibu itu tunjuk. Sala
Pagi ini, Saka berdiri di ambang pintu divisi yang dia pimpin. Tentu saja dia mencari keberadaan Safira untuk menanyakan soal Nada yang sudah tidak masuk semenjak seminggu yang lalu. Mereka berdua memang satu kampung tinggalnya. Pandangan Saka jatuh pada sosok yang dia cari sedang mengerjakan sesuatu. "Safira," panggilnya. "Iya, Pak," jawab Safira sembari mengalihkan pandangan ke arah pemilik ruangan. Dia melihat atasannya berdiri di ambang pintu, segera dia berdiri dari duduknya. "Ikut saya ke ruangan saya." Setelahnya dia gegas pergi menuju ruangannya diikuti dengan pandangan Safira yang memasang wajah bingung karena mendapat panggilan dari atasannya.Safira yang tiba-tiba saja dipanggil oleh menejernya tentu saja merasa terkejut. Beberapa karyawan wanita mendekati meja Safira. "Hei. Ada apa tiba-tiba kau dipanggil Pak Saka?" Seorang karyawan dengan rambut panjang bertanya pada Safira. Sedangkan Safira masih memasang wajah bingung. Dia mengedikkan bahu lalu menggeleng. "Aku juga t
Nada duduk pada sebuah kursi di trotoar jalan. Dia memandang kumpulan pemuda di seberang jalan yang tampak tertawa dengan duduk melingkari sebuah meja. Sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu yang seru. Tangan kanan tidak terasa terangkat dan bertengger di atas perutnya yang masih rata. Dia mengingat kenangan saat Saka sering mengajaknya keluar dan minum bersama sembari bersenda gurau. Tiba-tiba saja tatapannya menerawang ketika mengingat pengkhianatan dan kebohongan pria itu. Ingin sekali dia memutar waktu karena menyesal pernah mengenal Saka. Tidak. Untuk anak dalam kandungannya dia tidak menyesal sama sekali karena bagi Nada itu adalah sebuah anugerah. Di saat kegiatannya hanya diam, sebuah suara menyapa indra pendengaran. "Nada." Nada menoleh, dia terkejut ketika melihat keberadaan Aska di sampingnya. Pria itu berdiri menggunakan kacamata hitam. "Kak Aska," panggil Nada dengan rasa terkejut. Perempuan itu tidak menyangka akan bertemu dengan mantan calon kakak iparnya di t
Nada menatap Aska penuh dengan kebingungan, mencari pengertian dari mimik wajah dari pria di hadapannya. "Mak—maksud Kak Aska apa, sih?" Aska menghela napas dalam. "Kamu akan tinggal di sini. Daripada kamu luntang-lantung di jalan, mending di sini bukan? Apalagi kamu sedang hamil," ucap Aska tanpa menoleh. Bola mata Nada melotot. Dalam hati bertanya-tanya tahu dari mana Aska kalau dirinya sedang hamil? Menyadari keterdiaman Nada, Aska melirik perempuan itu. Terlihat mimik terkejut di sana. "Jangan terkejut. Saya sudah tahu semuanya dari adik kamu." Nada hanya diam dalam lamunan. "Ayo turun." Hingga perkataan Aska menyadarkan dirinya. Dia melihat pria itu yang ingin membuka sabuk pengaman. "Tunggu, Kak," ucapnya yang spontan memegang tangan Aska agar pria itu tidak membuka sabuk pengamannya. Arah pandangan Aska yang ke bawah membuat dirinya turut ikut melihat apa yang pria itu lihat. Bola mata Nada melebar saat menyadari tangannya yang telah lancang memegang tangan Aska. "Maaf-ma
Sesuai kesepakatan kemarin antara dirinya dan juga Aska. Untuk sementara Nada akan tinggal di apartemen pria itu yang katanya menganggur. Sedangkan Aska akan mencarikan kontrakan yang sesuai dengan keinginan Nada. Bosan. Satu kata yang kini dirasakan oleh wanita yang tengah hamil muda itu. Sendirian di apartemen tanpa melakukan apa pun. Menonton tivi? Sudah dia lakukan sejak pagi. Akan tetapi, itu tidak juga membuat rasa bosan dalam diri Nada hilang. Nada menyandarkan punggung pada sandaran sofa, dia mengembuskan napasnya kasar dengan bola mata yang mengedar. Saat dia mengamati suasana apartemen, sebuah ide tiba-tiba datang dalam benaknya. Perempuan itu pun bangkit dengan cepat. "Daripada melamun, lebih baik aku bersih-bersih apartemen saja. Anggap saja ini sebagai bentuk terima kasih pada Kak Aska atas tumpangannya untuk tinggal." Nada mengangguk. Perempuan itu mulai beranjak untuk mencari alat bersih-bersih. Pertama-tama dia akan mencari kemoceng dan lap bersih untuk membersihkan
Baik Nada dan Aska langsung menoleh ke asal suara dan melihat sosok perempuan dengan kaus putih bergambar beruang dari salah satu pintu.Jika Aska tampak bingung dengan sosok itu, berbeda dengan Nada yang malah mengembangkan senyumnya. "Salsa?" panggil Nada dengan senyum lebar.Kedua perempuan itu pun langsung berjalan cepat untuk saling mendekat. "Hei. Hati-hati," ujar Aska dengan sedikit rasa panik kala melihat Nada yang berlari.Aneh. Meski dalam keadaan khawatir ekspresi pria itu masih saja sama. Aska berdecak lalu mendekati Nada dan sosok perempuan yang memanggil nama mantan calon adik iparnya itu.Aska masih berdiri menatap dua perempuan di hadapannya, sepertinya tengah melepas rindu. Detik kemudian dia melihat Salsa yang menatapnya."Pest. Dia siapa?" tanya Salsa pada Nada.Nada menatap sejenak Aska di mana wajah pria itu langsung membuat dirinya merasa kikuk. "Oh. Kenalin, Sa. Ini Kak Aska. Kak Aska ini Salsa," ujar Nada memperkenalkan dua orang yang belum saling mengenal itu.
Kini, hanya tinggal Salsa dan juga Nada yang ada di kontrakan Nada. Selepas Aska keceplosan aksn kehamilan Nada, pria itu tahu kalau dia harus undur diri dan memberi kesempatan untuk dua wanita itu saling berbicara satu sama lain."Jadi, apa yang sebenrnya terjadi, Nad?" tanya Salsa. Mendengar kehamilan Nada nafsu makan Salsa serasa hilang seketika padahal menu-menu enak masih terhidang di depan mereka.Nada menunduk dengan perasaan malu. Dia menarik napas panjang dan mulai menceritakan semua yang telah terjadi pada dirinya, tanpa ada yang ditutupi satu pun."Jadi, pria tadi adalah mantan calon kakak ipar kamu?" tanya Salsa dengan menunjuk ke arah luar. Padahal, sudah tidak ada siapa pun di sana.Nada mengangguk dengan pelan. "Ya. Aku juga tidak tahu bagaimana ceritanya dia bisa menemukan aku dan akhirnya menolong aku," jelas Nada."Tapi, Nad. Kehamilan kamu ini pastinya nanti akan bertambah besar. Kita tidak bisa menutupinya dari orang l
"Si---silakan menikmati hidangannya," ujar Nada dengan kikuk. Dia pun segera kembali ke belakang dan di sana dia bertemu dengan Salsa yang juga baru saja selesai mengantar pesanan pelanggan.Salsa yang melihat wajah pucat Nada langsung merasa bingung. "Kamu kenapa?" tanyanya dengan kerutan di kening.Tampak Nada yang menarik napas dalam di hadapan Salsa, perempuan itu seperti baru saja kehilangan oksigen dari tubuhnya. Baru saja ingin memberitahu, tetapi Salsa keburu terpanggil oleh pesanan yang sudah siap dan harus diantar."Sebentar. Aku antar pesanan dulu," ucap Salsa dengan menepuk pundak Nada pelan. Perempuan itu langsung berlalu.Nada menurunkan bahu dengan embusan napas kasar. Dia memilih untuk duduk lalu meneguk minuman. Tak lama, Salsa pun sudah kembali, kali ini dengan wajahnya yang menunjuk kepanikan. "Nada, Nada," panggil Salsa dengan menepuk lengan Nada cukup keras."Apa sih, Sal? Sakit," ujar Nada dengan wajah memelas.
Aska dan Nada menyalami tangan Pak Baron dan Bu Mila. Setelah pernikahannya yang berjalan dua hari lalu, hari ini sesuai jadwal Aska akan mengajak Nada untuk bulan madu sebagai kado pernikahan mereka. "Hati-hati di jalan, ya. Ingat. Jangan bertengkar." Pak Baron memberi pesan pada anak dan menantunya.Aska dan Nada mengangguk bersama-sama. "Iya, Pak." Pasangan suami istri itu berjalan bersama menaiki mobil Aska. Keduanya duduk pada bangku belakang karena kali ini mobil dikemudikan oleh sopir.Nada merangkul lengan sang suami. "Memangnya kita mau ke mana sih? Kamu belum memberi tahu aku loh kita mau ke mana-mananya. Kamu cuma bilang kalau kita mau bulan madu."Aska tersenyum. "Namanya juga kerutan.""Ih kamu mah." Nada mencubit pelan lengan suaminya. Aska pun terkekeh. "Ciba tebak aja dong. Kalau benar, nanti aku tambahin hari dalam bulan madu kita," ujar Aska kemudian."Kalau itu sih maunya kamu." Keduanya pun tertawa.Namun, Nada tampak berpikir. Dia menidurkan kepala di pundak san
Safira sedang berdiri di sudut tempat memerhatikan keluarga Pak Baron yang sedang mengadakan sesi foto dengan para pengantin. Bukan, bukan karena dia ingin ikut berfoto, tetapi karena dia sedang menunggu seorang perempuan yang kini juga sedang ikut berfoto. Kalian tentu tahu siapa.Safira mengentakkan kakinya karena kesal. "His. lama banget sih mereka foto-foto. Nggak penting banget deh." Dia melipat tangan dengan menunjukkan ekspresi kesalnya.Dia masih menunggu. Beberapa saat kemudian dia langsung menerbitkan senyum kala melihat seseorang yang dia tunggu berjalan ke arah dirinya. Entah mau ke mana yang jelas pasti perempuan itu akan melewati dirinya.Tepat ketika Rina. Orang yang sejak tadi dia tunggu melewati Safira, perempuan itu langsung meraih lengan Rina. Rina yang terkejut pun langsung menatap ke arah tanganya lalu menatap pelaku itu.Dia lagsung mengembuskan napas kasar kala melihat keberadaan Safia di sana. "Mau apa kamu?" tanyanya dengan malas."Kamu ikut aku sebentar," uja
Nada yang sedang menangis di pelukan kakaknya melihat keberadaan sang bapak dan ibunya di ambang pintu. Dia pun melepaskan pelukannya pada Reno. "Bapak? Ibu?" panggilnya yang membuat Tari dan Reno langsung mengalihkan pandangan. Mereka melihat kedua orang tua mereka di sana.Pak Baron dan Bu Mila tersenyum ke arah ketiga anaknya. Mereka berjalan mendekat, lebih tepatnya mendekati Nada. Reno dan Tari yang paham pun mulai menyingkir sebentar. Berdiri di depan Nada tepat, lalu menatap perempuan itu lekat-lekat.Pak Baron merasa terharu dengan keadaan ini. Keadaan yang pernah mereka lewati tetapi berakhir tragis. Pak Baron menangkup wajah Nada. "Maafkan untuk semua kesalahan yang pernah bapak perbuat sama kamu sehingga kamu melewati semua hal berat ini." Dia berujar lirih.Nada menggeleng pelan. "Tidak, Pak. Nada yang harusnya meminta maaf karena Nada menyusahkan Bapak. Menyusahkan Ibu. Nada berterima kasih pada kalian atas semua yang pernah kalian beri untuk Nada," ujar perempuan itu den
"Aku akan menikah dengan Nada," ujar Aska. Ekspresinya datar dengan pandangan tajam mengarah ke depan. Tepatnya pada sosok pria yang memakai seragam tahanan. Siapa lagi kalau buka Saka?Saka yang mendengar itu hanya bisa diam tertunduk. Dia tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Kesalahannya di masa lalu benar-benar membuat Saka menyesal dan tidak tahu harus berbuat apa untuk menebusnya. Dia telah menjadi penyebab kematian dari darah dagingnya sendiri dan membuat perempuan yang dia cintai kecewa juga marah padanya.Lantas, apakah ada hak untuk Saka meminta Aska untuk tak melanjutkan rencana yang baru saja dikatakan padanya itu?"Untuk apa kau mengatakannya padaku? Bukankah sejak lama kau memang ingin bersama dengan dia?" tanya Saka.Aska melipat tangan di depan dada. "Ya. Aku hanya ingin kau tahu saja." Tak banyak yang dikatakan oleh Aska. Pria itu hanya datang untuk memberitahu hal ini. Bukan untuk menjenguk sang adik. Bahkan sesuatu pun tidak dia bawakan untuk Saka."Aku harap ka
Harapan telah terkabul. Setelah beberapa hari menunggu, akhirnya kini Nada sudah membuka matanya. Iris itu tampak bergerak memandangi keadaan sekitar dan mencari tahu keberadaan dirinya di mana saat ini. Yang Nada ingat adalah kali terakhir dia yang sedang disekap oleh seseorang yang tak lain adallah ayah dari sosok Alva.Nada menggerang kala merasakan sakit di kepala. "Aku di mana?" tanyanya kemudian.Aska yang baru saja keluar dari kamar mandi terkejut melihat pergerakan dari atas brankar milik Nada. Dia menyadari kalau kekasihnya kini sudah sadarkan diri. "Nada," panggil Aska yang langsung berlari mendekati Nadda."Kak Aska," panggil Nada dengan suara yang sangat lirih."Kamu sudah sadar, Sayang? Kamu sudah bangun. Sebentar. Aku akan panggilkan dokter untuk kamu," ujar pria itu dengan menekan sebuah tombol yang ada di bagian belakang brankar dan menempel pada tembok.Aska mendengar desisan dari Nada. "Sabar, Sayang. Sabar. Dokter akan segera datang."Pria itu duduk di samping brank
Sejak Nada memasuki rumah sakit dan tak sadarkan diri, Aska tak pernah sekalipun meninggalkan kekasihnya itu. Duduk pada kursi di samping brankar, Aska terus menggenggam tangan Nada dan menempelkan di pipinya. Pandangan Aska terus tertuju pada Nada seolah pria itu tak ingin lagi kehilangan kekasihnya."Bangun, Sayang. Bangun. Kamu harus segera sadar," ujar Aska. Salah satu tangan pria itu harus diperban karena luka akibat terlalu banyak memukul Danu sampai lepas kendali."Sayang. Setelah ini kita harus mengadakan pernikahan. Aku tidak mau ditunda lagi apa pun alasannya nanti," ujar Aska. Pria itu seperti sedang berbicara secara langsung pada Nada. Tatapannya penuh ancaman dan nada bicaranya penuh penekanan.Aska mencium tangan Nada dengan penuh cinta. "Bangun lah. Bukankah kau sudah mendapat perawatan? Kau pernah di posisi yang lebih berbahaya dari ini dan kau bisa melewatinya. Kau cepat bangun tapi kenapa rasanya lama sekali bangunnya. Kau tahu? Aku sampai mengantuk," ujar Aska sedik
"Akh! Sakit!" teriak Nada kala rambut panjangnya ditarik secara kasar. Wajahnya kini mendongak dengan tangan yang terikat ke belakang tubuh. Perempuan itu kini tengah duduk di sebuah kursi dengan tangis yang terus mendera sedari tadi karena penyiksaan yang dia dapat.Wajah Nada tampak penuh lebam dengan sudut bibir yang mengeluarkan darah karena sobek. Penampilan Nada begitu kacau."Sakit. Tolong hentikan," ujar Nada dengan tangis. Kepalanya terasa perih kala pria di hadapannya ini mencengkeram rambutnya dengan sangat kuat."Apa? Apa?" Danu. Pelaku itu mendekatkan telinga ke wajah Nada. "Menghentikan?" tanyanya kemudian."Mimpi," ujarnya dengan keras dan kasar mendorong kepala Nada. Dia melepaskan sesaat rambut perempuan itu sebelum akhirnya kembali menariknya secara kasar."Apa kau bilang tadi? Sakit?" Danu bertanya dengan tatapan tajam. Detik selanjutnya dia tertawa dengan nada yang sangat menyeramkan."Rasa sakitmu ini tidak setara dengan sakit hati yang aku rasakan karena aku kehil
Bu Mila tidak bisa diam. Sejak tadi perempuan itu duduk, berdiri dan berjalan tiada henti dengan perasaan gelisah. Kabar mengenai penculikan Nada tentu saja menggemparkan keluarganya. Semua dibuat panik dan khawatir.Tari yang melihat ibunya terus menerus seperti itu menggeleng. Dia merasa kasihan. "Ibu. Ibu duduk dulu. Ibu yang tenang." Tari mendekati ibunya. Dia memegangi pundak Bu Mila lalu mengajaknya duduk bersama."Yang tenang, Bu. Jangan sampai kegelisahan Ibu ini membuat Ibu menjadi sakit nantinya," lanjut Tari."Gimana ibu bisa tenang, Tar kalau kakak kamu diculik orang?" tanya Bu Mila dengan perasaan sedih. Entah sudah berapa kali dia menangisi Nada."Maafin, Salsa ya Bu Mila. Salsa nggak bisa jagain Nada," ujar Salsa yang merasa bersalah."Tidak, Nak. Ini bukan salah kamu." Pak Baron berujar. Sejak tadi temannya Salsa itu terlihat sangat bersalah dengan kejadian yang menimpa Nada.Rina keluar dari dalam rumah. Dia membawa beberapa gelas minuman untuk semua yang ada di sana.
Danu berjalan santai menyusuri lorong rumah sakit dengan tangan kanannya yang memegang sebuah pisang. Dia menikmatinya sepanjang perjalanan sembari sesekali bersiul dan bersenandung. Pria itu tampak menunjukkan wajah yang bahagia.Asal kalian tahu saja, Danu baru saja pergi meninggalkan rumah sakit untuk melakukan hal yang biasanya dia lakukan. Kali ini Danu mendapatkan uang yang cukup banyak sehingga itulah dia tampak bahagia. Namun, dia tidak tahu apa yang telah terjadi di ruangan putranya.Ketika berjalan, dia tampak kebingungan dengan beberapa petugas medis yang berlari-lari. "Mereka kenapa?" tanyanya pada diri sendiri namun memilih acuh pada keadaan.Sampai akhirnya kala keberadaan pria itu sudah di dekat ruangan yang di mana anaknya dirawat, Danu mendengar suara teriakan dari sana. "Itu suara Niken?" Keningnya mengerut, menandakan kalau pria itu tengah kebingungan."Ngapain dia teriak-teriak begitu? Pakai acara nangis segala." Danu masih melangkah dengan santai menuju ruangan. Sa