"Fotonya baru diambil pagi ini?"
Seharusnya Caca mengamati semua data itu lebih dulu tapi dia terfokus pada satu foto yang memang sangat mempengaruhi perasaannya."Ya! Apa itu pria yang kau suka?""Namanya Arthur. Ya, dia memang orang yang kuceritakan dan apa dia menemui ayahku untuk memberikan itu?""Dia memberikan handphone dan tasmu kurasa. Kau benar.""Tasku di loker. Soal handphone, aku sepertinya meninggalkannya di club. Mungkin jatuh. Karena kalau tidak di mobil, berarti memang jatuh di klub malamnya Arthur. Atau sengaja mereka membuang di parkiran supaya tak ada yang menemukanku." Caca mengangkat bahunya tak tahu mana yang benar."Aku tidak tahu karena aku tak sadar lagi saat itu. Yang pasti mereka mengobrol bertiga dan aku curiga semua ini mereka rencanakan sejak awal ingin menjebakku.""Kenapa kau menyimpulkan mereka bertiga memang menjebakmu?""Yang pertama, ayahku sakit karena temannya menagih padan"Eng-enggak gitu! Aku tadi nggak sengaja, bajunya nyangkut terus ketarik ujung handukmu. Maafin aku, Mar!"Sambil menutup matanya karena perasaan tak enak, malu, serta serba salah di dalam hatinya yang tak jelas juga menyalahi dirinya sendiri kenapa dia bisa sampai kelepasan memikirkan sesuatu yang tabu, Caca memang tidak berani untuk menatap Amar saat ini.Dirinya dipenuhi dengan rasa malu."Hehe, kamu belum pernah punya kekasih ya sampai hampir ngiler tadi?"Pertanyaan Amar yang tidak dijawab oleh Caca justru wanita itu malah sedikit meringis, tak tahu harus menjawab apa juga pada Amar. Dia hanya tahu kalau Amar sedang menggodanya."Udah, buka matamu! Aku sudah pakai handuknya lagi. Dan bantu aku, pegang ini di kanan dan di kirinya! Tadi aku ingin menyuruhmu memegang ini tapi kamu malah ngeliatin perutku doang."'Memalukan! Dia benar-benar sadar kalau kau memperhatikan perutnya! Apa jangan-jangan Dia melihatku juga menelan liur
"Aahaha, pandai sekali membuat lelucon!"Memang apalagi yang bisa dilakukan oleh Caca selain tertawa menutupi kegemasannya? Dia juga tidak tahu lagi harus melakukan apa.Sejenak pikirannya sedikit beku karena dia malu dengan Amar."Lelucon? Aku memberikan penawaran tadi bukan lelucon!"'Rasa panas wajahku mendengar ucapannya!'Sejujurnya kata-kata Amar barusan sudah berhasil membuat semu merah di wajah Caca tapi wanita itu tetap menggelengkan kepalanya sambil menutupi rasa malunya dengan tawa."Tadi itu aku bertanya karena aku bingung saja kenapa kau yang tidur di sana bukan aku? Harusnya Kau pemilik kamar ini kau tidur dikasurmu itu. Sedangkan aku di sini dibayar dan aku sudah dibantu olehmu beberapa kali untuk menyelesaikan permasalahanku! Ssssh, Bagaimana dengan urusan ayahku yang tadi kau tunjukkan padaku?" Di sini Caca meringis sedikit karena pesona Amar sudah membuatnya lupa dan dia yang sudah mengingat masalahnya sendiri, termasuk mengingat berkas yang disodorkan Amar dan itu
"Sssh, bangun tidur itu tidak bagus kalau langsung buka selimut dan mengubah posisi tubuh ke duduk tegap! Kau harus bangunnya perlahan-lahan dari posisi miring sebelum duduk tegak! Karena itu yang terbaik untuk kesehatan."'Bisa-bisanya dia membicarakan tentang kesehatan sedangkan hatiku sekarang sudah kocar-kacir karena menahan malu aku sudah bangun kesiangan! Tak tahulah sekarang sudah jam berapa!'Amar mungkin tersenyum sangat menyejukkan sekali dipandang mata tapi tidak untuk Caca yang merasa sangat bersalah dan malu padanya. Apa pandangan orang tua Amar nanti kalau melihatnya datang ke meja makan sedangkan mereka semua sudah selesai makan?"Maafkan aku ya!"Caca masih tahu diri dan dia merasa sangat bersalah sekali tak bisa memenuhi janjinya. "Masih ngantuk nggak Ca? Kalau masih ngantuk tidur lagi aja!""Eh enggak!"Entah apa maksud Amar menyindir atau Dia benar-benar menyuruh tidur, Caca tidak tahu! Tapi yang past
"Ya ampun, Kenapa kau bisa berpikir kalau kami akan marah dan membencimu?"Sebelum Caca yang nervous berhasil mengutarakan isi hatinya, ibunya Amar lebih dulu menyapanya dan sudah berdiri dari kursinya mendekat pada Caca dan Amar."Ayolah menantuku sayang! Duduk sini! Kami dari tadi memang sudah menunggumu makan bersama!""Eh, ta-tapi ini jam sepuluh."Caca memang sudah grogi sangat sehingga dia menjawab refleks ibunya Amar."Kami menunggumu untuk makan bersama. Tidak masalah kalau kau bangun jam sepuluh ataupun bangun jam dua belas siang. Itu wajarkan untuk orang yang baru saja menikah? dulu juga aku saat pertama kali malam pertama dengan suamiku setelah pernikahan kami bangun hampir di sore hari."Caca tak tahu lagi harus bagaimana tapi wajahnya sudah merah padam. Dia bahkan tak berani menatap semua wajah anggota keluarga Ammar yang sudah tersenyum menatapnya. Pandangannya justru malah menunduk dan tangannya terasa semakin ding
"Iya, aku senyumin duluan soalnya istriku manis banget. Aku mau jadiin momen ini kenang-kenangan terindah dalam hidupku. Makanya aku harus merekam semuanya sedetail mungkin."Bisa saja dia selalu membuatku jadi deg-degan. Apa tadi yang dia bilang? Merekam semua detail wajahku. Hahaha. Harus berkomentar apa aku sekarang?Amar memainkan peranannya. Dia terlihat seperti seorang pria yang jatuh hati dan jelas saja Caca yang baru pertama kali dekat dengan laki-laki merasa sangat terganggu.Bukan terganggu karena risih tapi terganggu karena hatinya mulai bermain api. Apalagi mendengar semua orang dalam ruangan itu sah karena akan mendukungnya. Ini berhasil mengganggu kewarasannya."Rasa-rasanya dulu saat awal menikah kau tidak pernah seperti itu padaku.""Sita kenapa kau malah membanding-bandingkan kakakmu dengan aku? Kan kau tahu sendiri aku dari dulu bukan orang yang romantis. Tapi terbukti kan walaupun aku bukan orang yang romantis tetap saja aku membuatmu bahagia. Kita punya dua anak da
"Eh kau baik-baik saja?"Caca refleks bertanya pada Amar yang tak sengaja keselek air minumnya sendiri.Pria itu memukul-mukul dadanya sendiri sambil mengangguk karena memang dia tidak kenapa-napa. Hanya sesuatu saja yang membuatnya merasa terganggu."Kau yakin kau tidak apa-apa?""Aku minum tidak hati-hati sepertinya makanya aku keselek."Bibir Amar berkata begitu karena dia tidak mau setiap orang jadi banyak pikiran karenanya.Tapi siapa yang tahu hatinya?Ken. Pernyataannya tentang Ken membuatku teringat tentang seseorang. Tidak sesuai dengan apa yang dikatakan Amar. Dia tidak baik-baik saja justru dia kepikiran tentang sesuatu yang selama ini dilupakannya."Kau minumlah pelan-pelan dulu.""Yah, tidak apa-apa. Aku akan minum pelan-pelan. Terima kasih saranmu."Amar perlahan menenggak minumannya dan dia menunjukkan pada semua kalau dia baik-baik saja membuat mereka semua lega dan kini mata Amar mengarah pada keponakannya."Erlangga. Kurasa terlalu dini kau memberikan itu pada teman
"Apa aku melakukan sesuatu yang salah?""Sebenarnya tidak. Maaf aku menarikmu ke kamar tapi memang ada yang ingin kutanyakan."Amar tadi izin duluan dan dia tidak peduli apa yang dipikirkan oleh keluarganya. Baginya yang penting dia ingin menanyakan sesuatu pada wanita yang kini sedang ditatap olehnya."Apa itu?"Dan ini pertama kalinya Amar tergesa-gesa bersikap pada Caca.Biasanya dia sangat tenang tapi tidak kali ini. Dia terlihat penasaran dengan sesuatu."Kau tahu apa tadi
Apa bener dia memang memiliki kekasih tapi dia tidak mau cerita pada orang tuanya dan sengaja dia menikahiku karena sebenarnya kekasih yang dicintainya itu adalah laki-laki?Menunggu Amar terlalu lama akhirnya Caca berspekulasi yang membuat dirinya merinding sendiri.Jadi pria yang bersama denganku sekarang ini adalah pria pencinta laki-laki makanya dia tidak pernah punya kekasih wanita. Dan dia benci wanita karena dia sudah dikhianati oleh mantan kekasihnya dulu yang seorang perempuan!Entah alasan dari mana tapi Caca sudah berpikir begini. Dan itu yang membuat dirinya merasa jijik."Hai, apa yang sedang kau
Delima: Mana ku tahu. Dia baru kembali beberapa jam yang lalu. Mungkin dia ingin memberikan surprise padamu.Shaun, dia menempuh kuliah S1 dan S2-nya di Jepang dan semuanya mendapat beasiswa. Hari ini kepulangannya dan Alila sungguh tak percaya kalau temannya itu sudah datang tanpa meneleponnya.Alila: Berikan teleponnya padanya.Shaun: Hai Alila.Delima pun menurut. Dan kini suara seseorang sudah membuat Alila begitu murka padanyaAlila: Kau. Sahabat macam apa kau pulang tidak bilang-bilang padaku?Shaun: Dengar dulu, aku-Alila: Tak mau. Aku lagi marah padamu Shaun.Yah, sudah terbayang memang bagaimana kesalnya Alila karena tidak diberitahukan tentang kedatangan pria itu. Padahal selama ini komunikasi mereka cukup lancar. Tapi kenapa dia harus tahu dari orang lain tentang kedatangan Shaun?Shaun: Baiklah, aku minta maaf, aku ingin kasih kejutan padamu.Alila: Maafmu tidak diterima. Cepat temui aku di plaza dan bantu aku mengurus empat monster kecil ini. Bawa juga Delima. Dia yang pa
"Alila, kau dengar aku tidaaaak?""Dengaaaar, sabarlah Darwin, kan aku masih berpikir!"Entah kenapa Alila jadi mengingat ini. Sampai dia diam beberapa detik dan Darwin mengomel.Bayangan tentang Arthur memang tidak bisa dilupakannya dengan mudah. Ini yang membuatnya kembali menunjuk pekerjaan pada Darwin."Jangan bilang kau akan menunda lagi. Atau jangan-jangan kau menunda terus supaya aku berpaling dari Delima padamu.""Dih, kau pikir aku menyukaimu Darwin? Ish.""Habis, lama sekali sih. Aku sudah tidak sabar. Apa kau tidak mendukungku bersama dengannya dan hanya menipuku selama ini?"Darwin memang tidak sabaran. Delima memang sangat cantik sekali dan Darwin menyukainya sejak pandangan pertama. Alila jadi terkekeh lagi melihat bagaimana kesalnya Darwin padanya.Hubungannya dengan Darwin tidak se-kaku hubungan antara Reza dengan David. Mereka tak pakai panggilan resmi. Di tempat kerja, panggilan nama seperti ini juga tak masalah. Tak jarang mereka juga ribut satu sama lain di depan k
"Amar, Caca akan melahirkan!"Cuma sebelum siapapun merespon, Alila sadar duluan. Darah segar pun mengalir begitu saja yang membuat Amar cemas, Alila memekik."Kenapa kau diam saja? Cepat bawa istrimu ke dalam!"Reza juga panik. Dia segera mungkin membuka ruangan dan memanggil dokter untuk mempersiapkan operasi kedua yang jaraknya bahkan tak lebih dari seperempat jam dari Rania yang baru selesai.Caca tidak bisa diminta lahiran normal karena masalah di kepalanya dikhawatirkan akan mengganggu kesehatannya.Sekarang saja masalah di otaknya belum sembuh betul. Ya memang kondisinya sudah lebih baik. Caca bisa bertahan mengingat seseorang lebih dari seperempat jam. Bahkan rekor, pernah setengah jam dia tak bertanya dan bisa fokus ke obrolan tanpa gangguan. Tapi tetap saja, lahiran normal ini resiko berat."Papa. Amar. Bisa tidak sih kalian tidak bolak-balik? Mengganggu penglihatanku saja!"Tadi saat Rania melahirkan, Reza masih bisa tenang hanya menggenggam tangan Alila dan merangkul putri
"Aku tidak jadi bicara denganmu. Akan kupikirkan lagi bagaimana aku harus menyingkirkanmu!"Lagi-lagi jawaban yang membuat kepala David pening."Reza kau ingin aku mengundurkan diri kah?"Amar tak mengerti apa yang sedang mereka perdebatkan tapi sepertinya dia melihat sisi positif dari sikap David yang menekan Reza ini."Kau tidak perlu mengundurkan diri kalau Reza memang membenciku, David. Dia masih berpikir kalau aku ingin merebut Rania-""BUKAN HANYA RANIA!" Reza memekik."Kau pikir masalahku denganmu hanya karena itu? Aku membencimu karena kau selalu mengganggu hidupku, selalu mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku."Bingung juga Amar mencernanya. Karena dia merasa tidak mengambil apapun dan bahkan dia sudah mengembalikan Rania kepada Reza.Dia tidak mengganggu hubungan mereka selama mereka bersama, dia tidak datang kecuali dia ingin mengecek DNA Caca barulah dia muncul."Sudah Amar, tidak perlu dipikirkan. Reza hanya cemburu tentang Marsha. Kau bersama dengan Marsha dari d
"Kau jaga Marsha. Aku akan bicara dengan suaminya tentu dia sendirian di dalam kamarnya, temani dia."Tapi Reza tidak mengizinkan Alila ikut.Dan putrinya pun menurut meski saat ini David yang melihat ini dia menatap tak suka pada Reza."Kenapa kau?""Aku ikut kau bicara dengannya. Tapi jika kau berani mencoba mengganggunya maka aku akan menyelamatkannya Reza. Kau temanku tapi aku tahu kalau menyerang Amar adalah tindakan yang salah."Ini hanya sebatas kekhawatiran David kalau Reza akan melakukan tindakan yang sama seperti yang dilakukan oleh kakeknya Frederick dulu. Bersikap baik pada Rania tapi di belakang dia menusuk Rania. Membuat wanita itu kesulitan dan bahkan Frederick adalah orang yang patut disalahkan untuk semua kejadian yang menimpa Marsha.Tidak mungkin Marsha diculik dan mengalami luka di kepalanya yang parah jika Frederick melindunginya."Kau ingin menentangku?"Dan tentu saja pembicaraan ini terjadi setelah Alila keluar dan dia menuju kamar Caca dan Amar. Reza mengingin
"Papa?""Papa Reza, Marsha.""Sssh, Papa Rezanya Marsha, om Amar?""Hm, papanya Marsha. Papanya Marsha juga sudah kangen sekali dengan Marsha dan ingin sekali memeluk Marsha."Ada senyum dari wanita yang sedang ada dalam rangkulan Amar itu dan Reza juga menegang saat Amar mengatakannya.Tidak terbesit dalam pikiran Reza sama sekali kalau Amar akan membahas tentang dirinya pada Marsha dengan cara seperti ini setelah sebulan lebih Reza terus berpikir negatif tentang Amar dan cemburu padanya."Baca ini Reza."Amar memberikan handphone yang diambil David agar Reza baca.[Reza kemarilah. Putrimu yang ini juga ingin dipeluk olehmu. Dia memegang tanganku kencang sekali saat kau memeluk adiknya, Alila.]"Eh tentu Papa, kau harus memeluknya."Alila yang mengintip isi pesan itu, melepaskan diri dan dia khawatir sekali kalau kakaknya akan cemburu padanya.Dia meninggalkan Reza sendiri dan memberikan jarak agar papanya bisa mendekat pada Marsha di mana Amar juga memberikan jarak."Om Amar, dia pa
"Kenapa kau bicara begitu tentang Arthur? Kau siapa?" Caca sudah lupa lagi tentang siapa Alila.Tapi setiap kali membicarakan Arthur memang Caca selalu melindunginya dan ini yang membuat Amar tak setuju dengan rencana Alila."Tidak Alila. Aku tidak yakin. Kita akan melihat nanti seiring dengan berjalannya waktu.""Tapi kan ini sudah pasti. Dia menculikku!" sanggah Alila tak terima."Saat aku bertemu dengan mamamu untuk kedua kalinya dan dia hilang ingatan, tidak mengenal tentang Reza, aku sangat yakin sekali kalau papamu itu adalah orang yang sangat jahat. Dia menculik mamamu dan berusaha untuk membuat mamamu menyukainya. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, aku bisa melihat kalau Reza tidak seburuk yang dikatakan oleh Giyan. Jadi kurasa waktu selalu bisa menunjukkan siapa orang itu sebenarnya. Hanya perlu menunggu saja."Amar mengembalikan semuanya pada kejadian itu dan matanya kembali menatap Reza."Amar kau tidak percaya padaku kah? Aku sendiri yang bicara dengan ayahnya!"Ketim
"Tidak Amar kau salah jika berpikir kalau Arthur adalah orang baik. Justru semua masalah ini diawali darinya!"Tapi saat itu juga Alila menepis semua pikiran Amar tentang kebaikan Arthur. Dia mencoba memblok dirinya dan tidak mau terbuai dengan perasaannya lagi.Dia yakin sekali Arthur adalah sumber permasalahannya. Pria itu sangat jahat padanya dan keluarganya. Alila hanya ingin memperingati dirinya untuk membenci Arthur."Alila, apa maksudmu?" tapi sebetulnya Amar tidak setuju"Lagipula dia sudah tidak ada lagi di dunia ini. Dia sudah mendapatkan karmanya. Dia sudah mati. Jadi tak perlu dibahas lagi Amar."Reza kau berhasil menyingkirkan Arthur berarti sebentar lagi kau juga berusaha untuk menyingkirkanku karena keegoisanmu dan merasa dirimu yang paling benar. Tapi aku tidak akan pernah menyerah dan aku tidak akan pernah membiarkan Caca pergi dari hidupku. Apapun yang kau akan lakukan padaku, aku akan bertahan demi istriku.Cuma saat itu juga pikiran Amar memperingatkan dirinya kala
"Tuan pasien sudah bisa dibawa ke ruangan opname. Dan kami akan membawanya sekarang."Melihat kondisi Caca yang sedang tertidur sudah mulai stabil lagi, perawat menginfokan. Lagi pula dia sudah ada di dalam ruang observasi lebih dari dua jam.Mereka tidak bisa melakukan apapun untuk ingatannya agar kembali pulih seperti dulu. Tapi dari luka fisiknya tidak ada yang bermasalah. Luka di kepalanya juga stabil dan ini jadi pertimbangan dokter untuk memindahkan Caca ke kamar pasien.Dan kejadian ini berlangsung setelah kepergian Reza sekitar setengah jam."Baik. Kalau begitu silakan dipindahkan sekarang."Amar mengizinkan. Dan selama proses pemindahan dia tidak pergi ke manapun. Dia tetap menemani Caca di samping tempat tidurnya yang didorong oleh perawat ke ruangan opname.Amar juga hanya menunggu Caca di dalam ruangan itu sambil sesekali dia melihat handphonenya dan mengirim pesan untuk mengurus masalah bisnisnya juga.Bukan hanya masalah bisnis, ibunya yang ingin pamit pulang ke Indonesi