Home / Romansa / Aku (Bukan) Istri Pilihan / 4. Selingkuhan Suamiku Istri Orang

Share

4. Selingkuhan Suamiku Istri Orang

last update Last Updated: 2024-05-22 14:31:49

***

“Mas!” Ara terbelalak. Tangannya sibuk merapikan pakaian yang menempel di tubuhnya. Namun, bagaimanapun usahanya, tetap saja, baju kurang bahan itu  tak bisa sempurna menutupi seluruh  tubuhnya.

Mama mertuaku juga masih terbelalak. Wajahnya begitu tegang. Semoga dia tidak terlalu kaget, bisa gawat, dong, kalau tetiba dia pingsan. Eh, tapi beliau sepertinya udah tahu semua kok, kelakuan anaknya. Sayangnya, dia tak pernah cerita sebelumnya padaku tentang hal ini.

Jujur, aku kecewa. Mertuaku ini ternyata tidak jujur. Saat melamarku dulu, dia tidak berterus terang semua tentang keburukan Mas Haga.

“Haga itu manja, gak mandiri, kurang bertanggung jawab. Sepertinya hanya kamu yang bisa merubah sifat jeleknya itu, In.  Jadikanlah dia seorang suami yang bertanggung jawab, gak kolokan lagi seperti sekarang!” Begitu katanya waktu itu.

Sama sekali dia tidak mengatakan kalau putranya itu ternyata seorang pezina. Parahnya,  tak menunggu esok atau lusa, dia bahkan bisa berzina di malam pertama pernikahannya. Di rumahku sendiri.

Andai aku  tahu sejak awal, maka pernikahan ini tak akan pernah terjadi.

*

“Indri?” Wanita paruh baya itu memanggil namaku pelan, sementara tatapannya masih tertuju pada gadis murahan yang kini  bersembunyi di balik punggung kekasihnya.

“Iya, Ma?”  jawabku tetap dengan nada tenang.

“Kamu, kamu baik- baik saja, Nak?” Mama menoleh, matanya yang masih membulat sempurna itu, kini menatapku lekat.

“Saya baik, Ma,” sahutku mengulas senyum.

“Apakah perempuan ini menginap di sini tadi malam, Sayang?”

“Iya, Ma. Mereka minta menggunakan kamar utama, saya menolak. Maaf, ya, Ma. Saya tetap bertahan di kamar itu. Soalnya pakaian saya udah disusunin Bi War di lemari pakaian yang ada di kamar itu.”

“Indri?”

“Iya, Ma?”

“Kamu tahu siapa dia, Nak?” Maam mertua menunjuk lurus perempuan itu.

“Pacar Mas Haga,” jawabku tetap tenang.

“Ka … kamu, kamu tidak ….” Waniat itu terlihat bingung dnegan reaksiku.

“Tenang, Ma! Jangan sampai Mama sakit, lho! Saya baik-baik saja.” Aku kembali mengulas senyum.

“Sayang, Mama minta maaf. Mama tak bermaksud menyembunyikan kebusukan anak mama terhadap kamu. Sekarang, mama pasrah, mama ihklas, jika  kamu minta pisah. Mama enggak akan menahan jika kamu mau meninggalkan Haga. Haga memang keterlaluan. Anak set*an.”

“Ma! Jangan ngataian  Haga seperti itu! Mama kan, tahu, kalau Ara pacar Haga dari dulu! Dan liat, perempuan itu malah yang kelakuannya kayak set*an.  Haga berdarah, Ma.  Karena kecelakaan ini makanya Ara datang ke sini. Ara yang ngobatin Haga, Ma. Dia yang bawa Haga ke klinik. Kalau tidak, mungkin Haga sudah mati kehabisan darah! Perempuan apa dia yang --”

“Diam! Kau diam!” Mama mertua  memototong kalimat Mas Haga.

Mas Haga terdiam.

“Mama memintamu mejauhi perempuan ganjen itu, iya, kan? Kenapa kau malah tega menyimpannya di rumah ini tepat di malam pernikahanmu?”

“Karena Haga berda –“

“Diam! Tak perlu kau jawab!”

“Mama kira kau benar-benar telah meninggalkan perempuan itu! Kau pembantah, Haga! Apa yang harus mama katakan pada keluarga Indri sekarang? Mau mama taruh di mana muka mama ini?”

Wanita itu berteriak histeris. Kedua tangannya menggerauk rambut di kepalanya. Memukul mukul berkali-kali.

“Tenang, Ma! Jangan begini!” Aku menenangkannya.

“Indri, Mama malu. Mama gak nyangka, Haga sebejad ini, Nak.”

“Tenang, Ma. Indri gak mau Mama kenapa-napa, lho!”

“Indri, silahkan kamu minta talak pada Haga, Nak! Mama ihklas, melepasmu, Sayang. Meskipun Mama sangat mendambakan kamu sebagai menantu mama. Tapi, mama enggak mau egois. Mama tak akan tega bila kau bertahan dengan suami sebejad anak  mama. Mama kira dia bisa  berubah, setelah menihaimu, sayang.”

Kulirik  Mas Haga. Wajahnya  terlihat sangat terang. Senyum tipis terulas di sudut bibirnya. Kuturunkan pandangan mata ini, tepat di tangannya.

Tangan kekar itu, menempel erat di telapak tangan Ara. Jemari mereka saling bertaut, saling memilin. Aku tahu, inilah yang sangat mereka tunggu-tunggu. Mereka menunggu aku meminta talak, sehari setelah pernikahanku.

Andai lelaki durjana ini belum meniduriku, aku pastikan tanpa diminta oleh ibunya pun, aku segera melakukannya. Tetapi, kini kasusnya berbeda. Noda darah di kain sepre ranjang  tadi malam, adalah alasan, bahwa dendam ini harus segera dituntaskan.

Lelaki itu telah memperkosa diriku.  Meski statusnya adalah suami, tapi cara dia mengambilnya, sangat menghinaku. Mencabik-cabik harga diriku. Kau kira aku akan menyerah?  Tidak, aku bisa melawanmu dengan caraku. Kupastikan kau bukan lagi suamiku, meski tanpa kata talak darimu.  Tak akan pernah kau bisa menyentuh tubuhku, meski seujung kuku. Karena, untuk meminta talak padamu, aku tidak mau.

Silahkan kau berzina di mana pun sesukamu, tetapi statusku akan tetap sebagai istrimu, agar kau  menderita di dalam  kubangan cinta harammu.

“In, mama akan telpon orang tuamu, ya, Nak? Biar Mama minta maaf langsung, dan mengantarkan kamu pulang ke rumah mereka. Oh, iya, mengenai ganti rugi, mama akan bayar berapa pun yang kamu tuntut, Sayang. Untuk menebus rasa bersalah mama.” Wanita itu memegang kedua bahuku. Air bening menetes dari kedua matanya.

“Gak usah lebai, deh, Ma. Udah, biar Haga aja yang talak dia!” Suamiku tampak tak sabar.

“Iya, Mas. Kamu talak aja dia sekarang!” Ara mengompori.

“ Indri, maaf,  sekarang juga kamu saya –“

“Hentikan Haga!” Mama mertuaku  berteriak.

Mas Haga menutup mulutnya sambil berdecik. Perempuan di belakangnya mendengkus kasar.

“maam tidak meminta apa-apa padamu! Kau diam, dan turut  keputusan Indri! Dan kau perempuan sundal! Jangan ikut campur! Tunggu, giliranmu sebntara lagi!” Mama menunjuk wajah Ara penuh emosi.

“Indri, bagaimana, Nak? Kepurusan ada di tangan kamu, Sayang?”  Wanita itu menoleh le arahku  kini, menatapku  dengan sendu.

“Terlambat, Ma.”

Dua kata itu akhirnya keluar dari mulutku. Mereka bertiga tercekat.

“Terlambat?” Mama mengulang kata-kataku.

“Ya, andai Mas Haga mengatakan kalau dia sudah punya pacar, seditik sebelum dia memperkosa aku.”

“Apa?”  Mama mertua terperangah.

“Kau bilang apa?” Ara berteriak.

“Indri!” Mas Haga salah tingkah.

Ara  berjalan mendekatiku.

“Apa kau bilang barusan? Kau bilang Mas Haga memperkosamu? Jangan bermimpi! Mas Haga jijik padamu, perempuan kampung!” Tangannya langsung bergerak hendak  meneleng kepalaku.

“Jaga tangan harammu! Jangan pernah berani menyentuhku!”  Kusambar lengannya, kuputar tanpa ampun.

“Aw! Lepasin! Mas Haga …!” Perempuan itu berteriak kesakitan.

“Lepas Indri!” Sang durjana mendekat.

“Haga! Berhenti di situ!” Sang Mama berteriak.

Aku semakin leluasa menyiksa perempuan itu. Beberapa menit, kubiarkan dia menjerit kesakitan.

“Ampun tolong lepasin!” Dia mulai menghiba.

“Ok, aku lepasin, tapi ingat, jangan pernah kau coba mengulang, kalau kau ulang lagi, aku gak akan segan mematahkan tanganmu, paham!”

Perempuan itu tak menjawab, hanya keringatnya yang tampak nenetes deras di kening, mungkin karena menahan rasa sakit yang hebat.

“In, Sayang? Bisa kamu jelasin, Nak? Apa maksud kaliamtmu tadi?” tanya Mama mertuaku, setelah aku melepas tangan Ara.

“Iya, Ma. Mas Haga memperkosaku tadi malam. Aku takut hamil, Ma. Kasihan cucu Mama bila  lahir tak berayah,” jawabku asal, tanpa ekspresi. Karena sesungguhnya bukan itu alasanku bertahan.

“Ya, Tuhan. Haga, kalau toh, kamu menyukai Indri, kenapa mesti memperkosa dia?”

“Haga  tidak memperkosa, Ma. Indri juga mau.” Mas Haga membantah.

“Apa, Mas? Jadi, benar kamu udah tidur sama perempuan itu?” Ara meradang lagi.

“Ara … Sayang, nanti, aku jelasin, ya!”

“Kamu bilang gak akan  menyentuhnya, Mas!”

“Begini … Ra.”

“Cukup! Kamu jahat! Jadi karena itu sebetulnya dia melemparmu pakai vase bunga itu, iya, kan? Karena kau memperkosanya?”

“Ara, bukan begitu, Sayang!”

“Cepat,  kamu talak dia sekarang juga, Mas!  Aku mau kamu talak dia sekarang juga! Di depan Mama kamu!” Ara semakin histeris. Aku hanya tersenyum miring.

“Apa kamu bilang? Kamu perintahkan anak saya menalak istri sahnya? Yang ada kamu yang keluar dari rumah ini, cepat!”

Wow, pertunjukan yang sungguh menegangkan. Ibu mertuaku meradang. Wanita itu menyeret  Ara dengan kasar. Putranya mengikuti dari belakang.

“Tolong Mas Haga! Kita belum selesai bicara! Jangan usir saya, Tante!” Sang betina memohon.

“Lepasin, Ma! Jangan kasar, dong, Ma sama Ara!” sang Jantan tak kalah memelas.

Berjalan gontai aku mengiring dari belakang. Mama mertuaku menyeret perempuan itu hingga ke gerbang, security buru-buru  membukakan pintu pagar. Mama mencampakkan tubuh setengah telanjang itu  di aspal jalan.

“Kunci pagarnya!” perintah Mama lalu berjalan kembali menuju  ke dalam rumah

“Buka gerbangnya!” Mas Haga memerintah.

Sang security kebingungan. Ara  menangis di jalan, melolong memanggil nama suamiku, kekasihnya. Pasangan zinanya.

“Haga! Tinggalkan perempuan itu! Sini kamu! Kita belum selesai bicara!” perintah sang Mama. Wanita itu berbalik, menatap geram kelakuan sang putra.

“Tidak, Ma. Maaf, kali ini, Haga tak akan mau mengalah lagi. Haga akan tetap bersama Ara, dengan atau tanpa restu Mama.  Haga akan tinggalkan rumah ini sekarang juga!”

Gila, Mas Haga  mengambil keputusan yang sangat berani. Dia lebih memilih pergi dari rumah ini, demi Ara, wanita murahan itu? Wow, patut diacungi jempol kesetiaannya. Ya,  jujur  aku salut pada kebesaran cinta mereka.  Timbul rasa iba, kalau toh, mereka saling cinta, mengapa harus dihalangi, coba.  Kenapa orang tua Mas Haga tak merestui? Apakah hanya karena penampilan Ara yang selalu tampil  seksi begitu? Kalau masalah itu, bukankah bisa dibicarakan? Minta Ara hijrah, misalnya?

“Kau serius, Haga? Kau serius dengan ucapanmu barusan? Kau rela meninggalkan semuanya, hanya demi perempuan itu?” Mama mertuaku  menghampiri. Tepat saat sebuah mobil berhenti di depan gerbang.

“Di sini kau rupanya! Ara! Apa yang kau lakukan di sini, jadi betul kata orang-orang, kau selingkuh dengan lelaki ini, bahkan sering nginap di sini, iya?”

Seorang lelaki berperawakan sedang turun dari dalam mobil. Masih muda, wajahnya juga cukup tampan, hanya postrur tubuhnya saja yang kurang tegap. Sungguh berbeda dengan postur tubuh Mas Haga. Tetapi, siapa dia? Papa Ara? Tak mungkin, lelaki itu masih sangat muda.

“Mas Leo, kamu … kamu udah pulang, Mas. Mas, aku di sini, enggak ngapa-ngapain, kok, aku cuma ….” Ara terlihat gugup. Wajahnya tampak sangat ketakutan.

“Kamu jelasin di rumah!”

Lelaki yang dia panggil Mas Leo itu, mencengkran lengannya, menariknya untuk berdiri, lalu mendorongnya masuk ke dalam mobil dengan kasar.

“Hey, Kau! Urusan kita belum selesai! Kau tunggu saja! Kau ingat-ingat dan kau hitung dulu, berapa kali sudah kau meniduri istriku! Setelah kau ingat dan yakin enggak keliru, aku akan mencarimu, paham!” ancamnya menunjuk Mas Haga.

Suamiku terlihat pucat, bibirnya bergetar sambil berucap,” Kenapa kau enggak pernah bilang kalau kamu sudah bersuami, Ra?”

Mama mertua tersungkur,  sepertinya dia pingsan karena terkejut.

****

Related chapters

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   5. Kedatangan Bang Ipar

    ****Lelaki itu menggendong tubuh ibunya, kembali masuk ke dalam rumah. Aku mengikuti dari belakang. Bik War terlihat panik. Berlarian kesana ke mari, lalu kembali dengan minyak subuah botol minyak kayu putih di tangan. Mas Haga meletakkan ibunya di sofa ruang tamu, karena itu yang paling dekat saat ini.“Ibuk! Bangun, Buk! Ibuk!” panggil Bik War. Kuperhatikan cara dia menyadarkan nyonya besarnya. Mengoleskan minyak kayu putih di hidung, kening dan pelipis sang majikan.Aku hanya berdiri mematung.“Aku akan telpon Papa,” ucap Mas Haga berinisiatif.“Buat apa? Agar dia juga pingsan?” tanyaku menghambatnya.Lelaki itu melotot. Menatapaku dengan sorot amarah. Aku tak peduli. Sekarang tak penting lagi bagiku, dia menatapku seperti itu, atau sebaliknya, tak akan berpengaruh apa-apa.“Lalu apa yang bisa kulakukan? Ha? Seperti kamu itu? Hanya diam dan menonton?”Aku tersenyum miring. “Setidaknya bukan aku yang membuat Mama kamu pingsan, begitu tahu ternyata anak kebanggaannya menid

    Last Updated : 2024-05-22
  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   6. Jebakan Suami Ara

    ===“Maaf, Mbak mau ke mana, ya?”Security yang berdiri di pintu utama mencegatku. Cari akal! Berpikir, Indri! Cepat! Kupaksa otak berpikir keras.Kenapa kedua security ini membedakan aku dengan pengunjung lain, coba? Apakah karena penampilanku? Gamis panjang ini kah penyebabnya, hingga mereka curiga padaku?“Atau ada yang bisa kami bantu, Mbak?” tanyanya lagi.“Oh, tidak, itu suami saya, lho! Maaf, permisi!”Kupasang wajah yang sangat meyakinkan, sambil menunjuk suami Ara yang kini sudah sapai di dekat pintu lif.“Tunggu, Mas!” Aku berteriak. Setengah berlari aku pura-pura mengejar ketiga orang itu.Untunglah kedua petugas keamanan itu tidak curiga.Hampir saja pintu lif tertutup, saat aku sampai di depan pintunya. Kini aku berdiri begitu dekat dengan mereka. Untung beberapa pengunjung juga bersama kami di dalam lif. Jadi, suami Ara tak akan mencurugai kalau aku membuntutinya.Di lantai dua, pintu lif terbuka, dua orang turun, tetapi bukan suami Ara. Di lantai tiga, pintu lif

    Last Updated : 2024-05-22
  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   7. Aku Menantu Idaman Tapi Bukan Istri Pilihan

    7Pemenang itu bisa saja lebih dari satu. Agar bisa menang, yang lain tak harus disingkirkan. Biarkan dia membayang-bayangi kesuksesan kita. Kita tak harus tampil menjadi satu-satunya pemenang. Tak perlu menginjak orang lain agar bisa berdiri kokoh. Kita bisa berdiri sama-sama. Bahkan menjalin kerja sama.===Berjalan terburu-buru, aku melewati lelaki itu. Dia menatapku dari kejauhan, saat melangkah melintasi halaman nan luas rumah mewah itu. Tak peduli dengan tatapannya, aku menerobos masuk. Hampir saja aku menabrak tubuhnya, saat dia menghalangi jalanku menuju pintu utama.“Sebentar, aku mau bicara!” Dia menangkap lenganku.Terpksa langkahku terhenti.“Maaf!” ucapku menatap tajam cengkraman tangannya di lenganku, sebagai protes atas perbuatan tak sopannya.“Aku mau bicara,” tuturnya melonggarkan cengkraman.“Lepas tangan saya!” perintahku tetap tak mengalihkan tatapan.“Ok, tapi kamu jangan pergi dulu sebelum aku berbicara.”“Baik, silahkan! Satu menit waktu kamu!”“So

    Last Updated : 2024-05-23
  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   8. Talak Dari Suamiku

    ===“Baru pulang, In?” Mama mertua menyambut kepulanganku dengan senyum ramah. Suaminya melirikku sekilas lalu kembali fokus pada ponselnya. Sepertinya dia tengah video call dengan seseorang. Siapa lagi kalau bukan putra sulungnya, Mas Bara.“Iya, Ma. Maaf saya terlambat. Gak bisa ikut makan malam bareng tadi,” ucapku sedikit menyesal.“Gak apa-apa. Maklum, ini hari pertama kamu mengelola butik kamu sendiri, iya, kan? Gimana tadi?”“Lancar, Ma. Saya tetap menempatkan Kak Johana sebagai manager di Butik. Dia sudah berpengalaman banyak. Dan karyawan lain, saya janji akan meningkatkan income mereka mulai bulan depan.”“Bagus. Mama dan Papa akan tetap mendukung apapun keputusan kamu, Sayang. Hanya saja, kami berharap, kamu jangan terlalu forsir di kerjaan. Lebih baik kamu fokus ke pernikahan kamu saja. Kami pengen cepat-cepat gendong cucu, In, hehehe ….”Aku ikut terkekeh kecil, meski sedikitpun aku tak merasa lucu. Justru aku merasa gamang. Bagaimana bisa aku memenuhi harapan mereka? Cu

    Last Updated : 2024-05-23
  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   9. Hamil Setelah Ditalak

    ===“Ara sudah ditalak suami sirinya. Dia berjuang untuk lepas dari lelaki bedebah itu. Maka sebagai imbalannya, dia memintaku berbuat yang sama. Aku harus talak kamu, kuharap kamu bisa mengerti.”“Ya, aku mengerti, jangan khawatir. Jadi, talak ini karena permintaan Ara?”“Maaf, aku sangat mencintai Ara.”“Tak perlu minta maaf, aku terima talak kamu, Mas. Mulai detik ini, kita bukan lagi suami istri.”“Kamu marah?”“Tidak. Inilah yang terbaik untuk kita. Toh dilanjutkan juga tak ada gunanya, bila kamu tetap tak bisa lepas dari bayang-bayang perempuan itu.”“Aku mencintai Ara. Kami saling mencintai.”“Ya, aku paham. Meski dia istri seseorang.”“Dia sudah ditalak.”“Selamat untuk kalian berdua.”“Semula, aku ingin menikahinya tanpa mentalak kamu, tetapi Ara tak mau. Dia ingin menjadi satu-satunya untukku.”“Dan aku tak akan mau bila berbagi suami dengannya. Jadi, aku sangat mendukung keputusanmu mentalak aku.”“Terima kasih atas pengertian kamu, In!”“Ok. Besok pagi aku akan beran

    Last Updated : 2024-05-23
  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   10. Bara Memaksa Rujuk

    ===“Kita pulang, Sayang? Kamu udah kuat, kan?” Mama mertua menepuk lembut pipiku.Kuulas senyum tipis.“Bentar lagi, dong, Ma! Tunggu barang sejam dua jam lagi. Biar Indri lebih kuat.” Suaminya menyarankan.“Iya, iya. Mama itu rasanya gak sabar, Pa. Pengen waktu cepat berlalu, biar cepat gendong cucu, hehehe ….”“Orang tua Nak Indri udah mama telpon, kan?”“Udah. Mereka udah di jalan. Saya suruh nunggu di rumah saja. Kita ketemu di rumah, toh kita juga udah mau pulang.”“Ya, udah. Saya mau ke lantai tga sebentar, ada rekan bisnis kita kebetulan juga sedang di rawat di sini. Kamu mau nemani Papa, Bara?” Papa mertua menatap putra sulungnya.“Papa aja, deh, Pa. Bara mau ngurus administrasi ruamh sakit ini sebentar lagi, Mama aja yang nemani Papa!” tolak Mas Bara.“Haga, kan bisa ngurus administrasi perawatan istrinya. Tapi, sudahlah. Papa pergi dulu, ayo, Ma!”“Indri, bentar, ya, Sayang! Kamu istirahat aja dulu, sambil ngabisin infus di botol itu, biar semakin kuat.” Mama mertu

    Last Updated : 2024-05-24
  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   11. Rahasia Perceraian Terbongkar

    ****“Apa, rujuk?” Haga tersenyum tipis sambil menggeleng-gelengkan kepala.“Iya, rujuk! Kamu harus rujuk dengan Indri!” ujar Bara sambil menatapnya tajam.“Aku tak mau!”“Harus, Haga, titik!”“Aku tidka mau rujuk, Mas! Kalau Mas Bara mau sama dia, silahkan ambil!”“Apa maksudmu? Apa maksudmu?”“Mas peduli pada kesehatam Papa dan Mama, kan? Kenapa tidak Mas aja yang nikahi Indri?”“Bang*sat kau!”“Hentikan!” teriaku saat tangan Mas Bara kembali menyerang wajah Mas Haga.Kedua laki-laki itu menoleh ke arahku.“Kalian bertengkar karena kehamilanku?” tanyaku dengan nada pelan, hampir mirip gumaman.“Bukan itu masalahnya, Sifat ktidakdewasaan kalianlah yang menjadi permasalahannya,” jawab Mas Bara masih ketus.“Mas Haga sudah menceraikanku. Saat itu kami belum tahu kalau ada janin di perutku. Dan perlu Mas Bara tahu, janin ini ada akibat aku diperkosa. Bukan atas dasar cinta.”“Apa maksudmu?” Mas Bara menatapku tajam.“Tak ada maksud apa-apa. Aku hanya ingin menekankan, agar Mas Ba

    Last Updated : 2024-05-24
  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   12. Mas Arga, Kakak Kandungku Mengamuk

    ===“Jadi, kamu diam-diam sudah pisah dengan Haga?” Mama mertua berjalan masuk.“Tenang, Ma! Tenang! Mama salah dengar sepertinya.” Mas Bara menyongsong ibunya.“Mama dan Papa sudah dengar semuanya. Tak perlu kalian tutup-tutupi lagi!”Ok, tapi Mama harus bisa tenang! Kalau Mama saja seperti ini, bagaimana dengan Papa?”“Stop Bara! Berhenti mengkhawatirkan Papa dan Mama. Kami baik-baik saja. Cukup sudah perbuatan Haga menghancurkan semuanya. Berhenti menutupi kesalahannya!”Aku terperangah. Mama terlihat begitu tegar. Awalnya dia memang tampak sangat terkejut, tetapi setelahnya aku dan Mas Bara yang dia buat terkejut. Apalagi melihat reaksi Papa mertuaku. Lelaki paruh baya itu malah berjalan tenang menghampiri kami, meraih sebuah kursi lalu duduk di sisi ranjang. Tepat di sebelah kanan kepalaku.“Papa dan Mama baik-baik saja?” Mas Bara masih tak percaya.“Haruskah kami menghembuskan napas terakhir hanya karena ulah adikmu? Haga sudah kelewatan. Semua kami lakukan demi kebaika

    Last Updated : 2024-05-24

Latest chapter

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   78. Sepenggal  Asa Buat Indri  Dan Bara  (Tamat)

    POV Johana“Pak Bayu, ini benerankah?” lirihku seraya mengerjapkan mata berkali-kali.“Hem,” gumamnya, menunduk. Sedikit lagi, wajah dengan kumis tipis itu kian menunduk. Dia mendekati wajahku, mengikis jarak di antara kami. Kini benar-benar tak berjarak.Kurasakan sentuhan kumis tipis itu menyentuh kulit wajahku. Kurasakan sentuhan bibir itu menyentuh lembut keningku. Ini tidak mimpi, ini benar-benar nyata. Pak Bayu mengecup lembut tepat di keningku.“Maaf,” bisiknya lalu menatap tepat di manik manik mataku.Aku menunduk. Mulutku masih membisu. Bibir dan lidah ini masih terasa begitu kelu. Otakku masih sibuk berpikir, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Pak Bayu bisa berubah seperti ini. Kenapa dia berubah setelah beberapa jam yang lalu masih menolak untuk menemaniku ke rumah Indri.“Jo, maaf, mungkin ini agak mengejutkan bagimu. Tapi, aku serius. Aku menyukaimu. Setelah empat hari berpikir dan merenung, bahkan hingga tadi siang saat kau menelponku, aku masih belum bisa memutuskan.

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   77. Ada Johana Pengganti Indri di Hati  Bayu

    “Indri, Sayang! Tunggu Suster!” Seseorang menghentikan kami dari kejauhan.Panggilan itu berasal dari seorang pria yang sesaat tadi masih sangat kucintai. Namun, detik ini sangat kubenci. Sangat kubenci, tak tersisi, tak terjarak, amat sangat kubenci.“Sayang, kamu tenang saja, ya! Aku akan mengurus semuanya, semua akan baik-baik saja!” ucapnya dengan napas terengah-engah.Aku tak perduli. Kupalingkan wajah menghindari tatapannya. Kutepis kasar saat tangan itu mencoba menyentuh lenganku. Bisu, aku tetap memilih membisu. Dia adalah putra sulung keluarga Wijaya. Bara Wijaya namanya. Sedetik tadi aku masih sangat cinta. Namun, detik ini dan detik berikutnya, dia sudah tak bermakna. Aku membenci dia seperti aku membenci keluarganya. Mereka sama saja. Termasuk Mas Bara.“Indri, aku pastikan putri kamu akan baik-baik saja. Aku akan kembalikan kepadamu secepatnya, tapi kamu harus berjanji satu hal padaku. Bahwa kamu akan baik-baik saja. Indri, kamu dengar aku?”“Suster, saya mau pulang

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   76. Surat Pernyataan Sebelum Perceraian

    Kembali POV Indri“Indri!”Aku tersentak, segera aku menoleh ke arah pintu. Ibu dan ayah melangkah masuk dengan wajah lesu. Seorang pria berpakaian rapi ikut masuk, Pak Hendrik, pengacara keluarga mertuaku. Dia didampingi oleh seorang pria lain yang tak kukenal. Kenapa mereka yang datang. Lalu ke mana kedua mertuaku?“In, kamu yang tenang, ya, Nak! Jangan panik!” Ibu mendekatiku.“Ibu, mana anakku?” buruku tak sabar.“Jangan menangis, Nak! Ingat kondisimu masih sangat lemah! Jaga kesehatanmu! Tolong bersabarlah!” bujuk Ibu membelai kepalaku.“Bayiku mana, Bu? Ke mana Mama mertuaku? Ayah …?” Aku menoleh ke arah ayah yang terlihat tak kalah lesu.“In, kamu tenag dulu, Pak Hendrik dan Bapak ini akan menjelaskan kepada kita. Tenang, ya, Nak!” Ayah ikut membujukku.“Ini ada apa sih, sebenarnya? Aku tidak butuh penjelasan apa-apa! Aku hanya ingin anakku! Tolong kembalikan anankku!" se”gahku makin kebingungan. Syak melanda hatiku. Perasaanku benar-benar tak enak sekarang.“Pak Hendri

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   75. Bayiku Diambil Keluarga Mantan Suami

    “Mbak mau ke mana? Bayinya mau dibawa ke mana?” Ibu berusaha menjejeri langkahnya.“Mau pulang! Bayi ini milik Haga. Haga itu anakku! Bayi ini adalah penggantinya!” ucap mama menghilang di balik pintu.“Mbak! tunggu dulu! Benar itu bayi Nak Haga mendiang, dia itu cucu kita! Kita akan rawat sama –sama! Mbak!” panggil Ibu, terdengar suara Ibu makin menjauh.Kupencet tombol yang tersedia di dinding, di atas bagian kepala ranjang pasien. Tak ada yang bisa aku lakukan selain memanggil para perawat. Tubuhku masih terllau lemah untuk mengejar bayiku yang dilarikan oleh mama mertua.“Ada apa, Bu Indri?” Dua orang perawat memasuki ruanganku dengan langkah terburu-buru.“Tolong bayiku, Suster! Bayiku diculik!” laporku dengan suara bergetar menahan tangis. Sesak dan prasangka buruk mencekik kalbu. Betapa aku ingin menjerit sejadinya. Namun, luka bekas jahitan ceaser di perutku masih belum begitu kering. Aku harus berusaha tetap tenang.“Lho, bayi Ibu ke mana? Bukannya tadi digendong oleh nene

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   74. Bayiku Dilarikan Mama Mertua

    “Bay! Tunggu!” Mas Arga spontan melepas pelukan pada Mas Bara. Dia berlari kecil ke luar ruangan. “Bayu! Aku bilang tunggu!” Panggillannya masih sempat terdengar sekali lagi.Mas Bara mendekatiku. “Sepertinya Bayu sangat terluka,” bisiknya di dekat telingaku. Aku hanya membisu.Bella menyisi, memberi ruang yang lebih lebar untuk Mas Bara. “Aku keluar nyusul Mas Arga, ya! Kasihan Mas Bayu, sepertinya sangat terpukul,” pamitnya.Aku dan Mas Bara mengangguk. “Aku boleh pinjam hape kamu, Sayang?” tanyanya beberapa saat kemudian.“Boleh, ambil saja? Tapi, buat apa?” tanyaku seraya menunjuk ponselku di atas nakas.“Sebentar, aku akan telpon Johana. Kami maukan bicara dengannya?”“Kak Jo?”“Ya.”“Untuk apa?”“Minta dia menghibur Bayu!”“Oh, tapi … Mas Bayu tidak menyukainya.”“Ya, aku tahu itu. Tapi, saat Johana bisa mengobati lukanya, cinta bisa saja tumbuh setelahnya.”“Ya, bisa jadi. Aku akan coba.”Mas Bara meraih ponselku, lalu menyalakannya. Benda itu lalu dia serahkan padaku.“Hey,

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   73. Selamat Menjadi Ibu, Juga Menjelang Pengantin Baru

    ====“Kamu udah sadar, In! Alhamdulillah.”Seseorang menyapaku. Suara itu sepertinya sering kudengar, tetap aku lupa siapa pemiliknya. Aku juga masih bingung, di mana kini aku berada. Apa yang telah terjadi, dan kenapa aku di sini, semuanya masih samar. Kupaksa membuka kelopak mata. Terasa sangat sulit. Aroma khas karbol dan obat, menyerang cuping hidung. Sepertinya aku berada di rumah sakit. Apa yang telah terjadi? Kenapa aku di sini? Rasa penasaran itu membuatku semakin berusaha memaksa mata yang melekat sempurna itu untuk terbuka.Awalnya hanya terlihat gelap, perlahan seperti ada titik yang bercahaya, makin lama makin lebar. Samar kulihat langit-langit ruangan, putih bersih. Kualihkan menatap dinding, semuanya di cat berwarna putih. Semakin yakin ini adalah rumah sakit. Kenapa aku berada di sini? Lelah otakku berpikir, tak jua ingatanku mengimformasikan tentang itu.“Indri, kamu baik-baik saja, bukan?”Suara laki-laki itu semakin jelas terdengar. Kurasakan tang

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   72. Bara Dan Bayu Di Rumah Indri

    ======Sebuah mobil kudengar memasuki halaman. Pagi ini semua anggota keluarga sudah berangkat ke Medan. Untul melaksanakan acara lamaran Mas Arga. Aku tinggal sendirian. Perjalanan yang harus ditempuh selama dua jam, di tambah kondisi jalan yang berkelok-kelok, menguatkan keputusan Bapak, bahwa aku tidak usah ikut. Setelah menitipkan pesan kepada tetangga samping rumah agar menjagaku, mereka berangkat setelah salat Subuh tadi pagi.Ketukan halus terdengar di depan, berulang dan berirama. Sepertinya pengemudi mobil itu adalah tamu Bapak, tak tahu kalau Bapak dan Ibu tak di rumah.Aku beranjak dari pembaringan, meraih jilbab instan yang kuletak di kepala ranjang, lalu berjalan pelan menuju pintu depan.“Mas Bara ….” Lirih kusebut nama pemuda itu. Dia berdiri tegak di hadapanku. Orang yang sangat kurindu. Hampir sebulan ini tak pernah bertemu. Hanya lewat chat, ataupun telpon, yang justru menambah sesak di dalam kalbu.Tetapi pagi ini, saat mentari mulai mengintip dari ufuk timu

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   71. Siapa Yang Menelepon Mas Arga  Saat Acara Lamaran

    POV Bella========Masih ragu, kutimang-timang benda pipih yang ada di tanganku. Ingin sekali aku berbicara dengan Mas Bara sekali lagi, sebelum acara lamaranku esok hari. Entah mengapa, hati kecilku menghiba. Ingin mendapat izin darinya. Meski kutahu, dia tak akan pernah peduli akan aku, juga tentang hari yang paling bersejarah sekalipun dalam hidupku. Karena baginya, tak ada artinya diriku.Esok hari bersejarah dalam hidupku. Kuminta Mas Arga agar segera melamarku, ya, aku yang meminta. Sebab, bila aku menunggu inisiatif darinya, bisa jadi hal itu tak akan pernah terlaksana. Mas Arga terlalu santai dalam menjalani hubungan ini. Katanya, jika memang jodoh, aku pasti akan diraihnya. Tinggal masalah waktu, tak perlu terburu-buru.Bagaimana mungkin dia bisa meraihku, jika dia tak segera menghalalkan aku? Tetapi itulah Mas Arga. Dia lebih suka tenggelam dalam dunianya sendiri. Organisasi kepemudaan yang yang di ketuainya. Organisasai yang menyita waktunya, hingga lupa akan

  • Aku (Bukan) Istri Pilihan   70. Hukuman Ara,  Keputusan Bella Menikah,

    =====“Mas Bara, aku merasakan hadirmu di sini! Ternyata aku sangat mencintaimu,” lirihku tanpa membuka mata. Sengaja aku tak membuka mata, kutakut hayalanku akan sirna, aku takut, bayangan kekasih hatiku akan lenyap seketika.“Begitukah? Terima kasih, Sayang! Terima kasih banyak! Tapi, tolong buka matamu! Lihat aku sebentar! Aku harus balik ke Medan, sebelum ketahuan Mas Arga!”Spontan aku membuka kelopak mata. Kaget luar biasa.Ternyata ini bukan hayalan, hadirnya bukan bayangan. Mas Baraku ada di sini, di depanku, dengan sebuah jaket terulur di tangannya. Dan Bella menyaksikan semuanya.“Mas!” Kutegakkan tubuh dari sandaran merapikan jilbab yang berkibar tertiup angin kering pegunungan.“Ya, ini aku, Sayang. Pakai jaketnya, ya!”“Pergi, sebelum Mas Arga emosi lagi!” “Iya, Kamu yang kuat dalam perjalanan ini. Andai ada bandara di sana! Aku akan menerbangkanmu pakai pesawat saja.”“Iya, aku paham. Aku tahu kamu teramat mengkhawatirkan aku, tapi kamu harus pergi sekarang!”“Pak

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status